Hey, apa kau tahu?
Cinta itu ternyata bisa datang kapan saja.
Ketika kau senang, sedih, bahkan pada saat marah.
Memang, semuanya itu terjadi secara tidak terduga.
Begitu juga dengan kisah cintaku.
Tapi, mungkin rahasia ini akan kusimpan sendiri.
Ya …
Rahasia yang mungkin tidak akan pernah diketahui oleh siapapun.
.
.
.
Ini adalah rahasia kecil diantara kau … dan aku ….
.
.
.
.
.
taintedIris proudly presents
A Little Secret
Naruto © Masashi Kishimoto
Story © Me
Gaje Overload, typos bermekaran ( ? ), AU, OOC tingkat akut, rated T for save
Warning: Alur mundur, minim dialog. Bagi yang merasa akan bosan membaca fic ini silahkan tekan tombol back.
don't like don't read. simple as that
.
.
.
Seperti kataku tadi, cinta itu bisa datang secara tiba-tiba.
Kini aku sedang berlari diantara kerumunan lautan manusia yang semakin menjejalku, seakan memberikan rintangan tanpa ampun padaku. Namun aku tidak menyerah begitu saja. Berbekal postur tubuh yang kecil dan langsing−atau bisa kau bilang kurus−aku berhasil meloloskan diri dari kerumunan manusia yang amat sangat ganas itu.
Namun belum sempat aku bernafas lega, tiba-tiba tubuhku sudah melayang begitu saja. Dibarengi dengan jatuhnya kertas-kertas yang sedari tadi kupegang erat dan bunyi benturan tas di tanah yang masih sedikit bersalju itu, mengingat ini adalah akhir musim dingin. Aku pun langsung membereskan kertas-kertas yang berserakan di depanku terburu-buru. Dan di depan mataku kudapati sebuah tangan yang terbungkus dengan mantel berwarna hitam dan sarung tangan berwarna senada tengah mengulurkan padaku tumpukan kertas yang berada ditangannya.
Aku langsung mengambil kertas-kertas itu dan langsung membungkukkan tubuhku, mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatinya untuk membantuku memunguti kertas itu sebelum terinjak−bahkan yang lebih parahnya lagi dapat robek−karena injakan orang-orang yang sedaritadi berlalu lalang di sekitar sini. Lelaki di depanku ini menganggukkan kepalanya tanpa mengeluarkan suaranya sedikit pun, lalu berjalan membelakangiku yang masih berdiri mematung di belakangnya.
Walau sekilas saja, aku langsung jatuh hati pada sesosok lelaki asing yang menolongku, dan dengan mudahnya aku dapat mengingat wajahnya yang terlihat sangat dingin dan kaku itu.
Tapi, kenapa dibalik wajahnya yang dingin iris berwarna hazelnya menyiratkan kesedihan? Dan kenapa organ di dalam dadaku berdenyut sakit saat melihat sorot mata itu?
Dan pada detik berikutnya, aku menyadari sesuatu.
Ya, aku jatuh cinta pada pandangan pertama.
Jatuh cinta pada sesosok lelaki yang bahkan baru aku kenal kurang lebih selama 3 menit yang lalu.
.
.
Hari ini adalah hari penerimaan siswa baru di sekolahku yang baru.
Ya, hari ini aku telah menjadi salah satu siswi di Konoha High, sebuah sekolah satu-satunya yang berada di kota kecil ini. Meskipun kota ini kecil, aku sangat nyaman tinggal di sini. Karena kota ini menyimpan sejuta keindahan yang tidak orang-orang luar tahu, sehingga membuat kota ini selalu terlihat tenang dan damai.
Aku menghirup udara yang memang mengelilingi diriku. Kini aku telah mengenakan seragam sailor khas sekolah itu, atasan putih dan rok berwarna keabuan yang panjangnya 5 cm di atas lutut. Aku menggunakan pita berwarna merah pada kerah seragam sailorku. Yak, penampilanku kini sudah benar-benar rapi. Rambut merah muda sepanjang hampir mencapai dadaku ini kugerai begitu saja, membiarkan semilir angin musim semi menerbangkan helaian rambutku yang senada dengan pepohonan sakura yang tumbuh rimbun disepanjang perjalananku menuju sekolah.
Aku kini tersenyum pada diriku sendiri sambil terus berjalan, berharap bahwa hal-hal yang menyenangkan akan terjadi di masa SMA ku ini.
.
.
Kini aku terduduk gugup pada salah satu kursi yang berada di dalam aula pertemuan sekolah itu yang bisa terbilang lumayan besar. Banyak wajah yang tidak asing bagiku, namun aku tidak mengenalnya. Karena aku memang tidak begitu akrab dengan banyak orang semasa SMPku, sementara teman-teman baikku kebanyakan meneruskan sekolah keluar kota, membuatku merasa amat asing di sini.
Namun bukan salah mereka jika mereka harus pergi dari kota ini. Selama mereka dapat menggapai cita-cita dan kebahagiaan mereka, ditempat mana pun sepertinya bukan masalah, 'kan?
Kini aku bangkit dari tempat dudukku ketika aku mendengar namaku dipanggil. Aku merasa sekaligus gugup saat ini. Bangga saat namaku dipanggil dan disebut dengan peraih peringkat satu dalam tes masuk sekolah ini, sekaligus gugup karena kini ratusan pasang mata menatap pada satu arah. Padaku tentu saja. Kurasakan keringat dingin mulai mengucur dari pelipisku, hingga akhirnya aku berdiri di atas podium yang telah disediakan di atas panggung. Aku menarik nafas dalam, lalu kuhembuskan. Dan rasa gugup pun menguar begitu saja dari dadaku.
Ketika aku selesai melakukan pidato singkat ini, aku mendengar riuh tepuk tangan dari 'calon' teman-teman baruku, diiringi dengan guru-guru yang bertepuk tangan sambil tersenyum. Kelihatannya mereka puas dengan pidato yang kubawakan. Aku menundukkan kepalaku, kemudian berjalan kembali ketempat dudukku. Namun belum sempat aku turun dari panggung, aku dapat melihat helaian rambut merah dengan mata hazel yang berada di antara kerumunan manusia dengan pakaian yang sama.
Untuk sesaat aku merasakan waktu terhenti. Dan dapat kurasakan jantungku kini berdetak lebih cepat dari detakan normal.
Kini aku percaya bahwa takdir itu benar-benar ada.
.
.
Kini aku terduduk di kelasku yang baru. Saat aku memasuki ruangan kelas itu, aku dapat melihat banyak orang-orang yang mulai mengakrabkan diri dengan teman baru. Aku pun menghela nafasku. Meskipun aku memang memiliki kelebihan pada otakku, tapi tetap saja itu tidak dapat mengubahku menjadi seorang yang berani. Aku meremas ujung rokku perlahan dan menggigit bibir bawahku pelan, berusaha menghilangkan rasa gugup yang berada dalam benakku.
Ini adalah langkah baru. Ya, aku harus berani!
Kini aku mendudukkan diriku di atas salah satu kursi di kelas yang kutempati. Aku mengedarkan pandanganku kesekiling ruang kelas baruku. Dan kini aku dapat merasakan kedua pupil mataku yang melebar karena terkejut, melihat sesosok lelaki yang telah menghantui pikiranku. Ya, si lelaki baik hati dengan rambut sewarna merah darah dan iris berwarna hazel yang hangat. Lelaki itu duduk di ujung kelas, dekat dengan jendela. Kurasakan jantungku kini berdetak cepat kembali, dan aku yakin pasti saat ini rona merah telah menghiasi kedua pipiku.
Yeah, kurasa takdir memang sedang berada dipihakku.
.
.
Kini sudah sebulan aku bersekolah di Konoha High. Dan aku pun sudah mempunyai teman! Yang pertama bernama Yamanaka Ino yang super bawel, dan yang kedua adalah Hyuuga Hinata yang super pemalu. Aku senang berteman mereka, karena mereka begitu baik dan hangat. Oh ya, mereka juga tahu sepertinya aku mempunyai 'sedikit' ketertarikan pada si anak berambut merah yang kini kuketahui bernama Akasuna Sasori. Tapi tidak seperti anak-anak pada umumnya yang suka mencari teman atau gebetan, Sasori itu kesannya tertutup. Malah kadang dapat kulihat beberapa bekas luka di kulitnya, dan ia seringkali membolos sekolah.
Dari yang kudengar dari teman-teman seangkatannya saat SMP, Sasori memang seorang anak berandalan. Ia memang sering berkelahi dan sering membuat keributan. Selain itu, para guru juga memang sudah menyerah padanya saat SMP. Tapi entah ada keajaiban apa Sasori dapat lulus, walaupun dengan nilai yang tidak bisa dikatakan bagus. Dan entah bagaimana juga, Sasori dapat lulus pada ujian masuk Konoha High. Sungguh sebuah keajaiban.
Meskipun aku mendengar banyak pembicaraan buruk tentang lelaki yang kini sedang sibuk menatap pemandangan dari balik jendela di sampingnya, entah kenapa aku tidak percaya sama sekali. Bukannya aku dibutakan oleh cinta. Hell, I'm not a lovesick! Tapi tatapan mata lelaki itu ... Ya, tatapan mata yang tak pernah kulupakan saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Tatapan mata yang menggambarkan kesedihan yang begitu dalam.
.
.
Meskipun ini adalah musim semi, tidak berarti hujan akan turun. Kala itu aku sedang merasa amat bosan saat mendengar pelajaran Hatake-sensei. Bukannya aku sok pintar, tapi yang ia ajarkan itu sudah aku pelajari dan aku sudah mengerti semuanya. Dari pada aku tidur dan akan berakibat mempermalukan diriku sendiri di kelas, aku lebih baik mengamati sekelilingku.
Ah, tentu saja yang mataku ingin lihat terlebih dahulu adalah sosok Akasuna Sasori yang kini sedang tertidur dengan pulasnya di atas mejanya. Aku dapat merasakan senyum terbentuk dari bibirku. Walaupun wajahnya penuh bekas luka, namun ia tetap tampan. Ia adalah tetap si tuan baik hati yang aku sayangi.
Blush.
Kini aku yakin wajahku kembali memerah mengucapkan kata terakhir dalam benakku.
Sayang?
Ya, sepertinya aku telah menyayanginya. Tapi tidak aneh 'kan menyayangi seseorang tanpa alasan?
Bel pelajaran terakhir telah berbunyi, membuat teman-teman sekelasku bersorak kegirangan dan membuat Akasuna Sasori langsung terbangun dari mimpi singkatnya. Kenapa aku bisa tahu? Tak perlu kujawab kalian pasti tahu kenapa. Memikirkannya saja membuat wajahku kembali memanas. Sepertinya aku akan menjadi seorang stalker yang mengerikan.
"Hei Sakura-chan, pulang bersama?"
Suara Ino langsung memecahkan konsentrasiku mengamati si lelaki berambut merah yang kini akan beranjak dari bangkunya. Di samping Ino telah ada Hinata yang telah membereskan tasnya sedari tadi. Aku pun langsung mengangguk dan beranjak dari tempat dudukku.
"Tentu."
Kini aku, Ino dan Hinata sedang berbincang-bincang sembari mengganti sepatu sekolah kami dengan sepatu biasa yang kami simpan dalam rak sepatu sekolah. Namun pandanganku pun teralihkan ketika kedua iris mataku mendapati sosok lelaki berambut semerah darah yang telah aku kenal sejak sebulan yang lalu kini sedang menerjang derasnya hujan. Kini aku merasakan perasaan sedih sekaligus khawatir pada lelaki itu. Berbagai pertanyaan kini muncul dibenakku.
Apakah ia tidak memiliki payung? Bagaimana dengan luka-lukanya yang masih baru itu? Apa tidak perih? Dan bagaimana kalau ia sakit karena kehujanan?
"Sakura?"
Lamunanku pun langsung tersadarkan ketika aku mendengar suara Hinata. Aku menoleh padanya dan mendapati Hinata dan Ino yang tengah tersenyum padaku, dengan rona merah yang kujamin sudah menjalari kedua pipiku. Tidak perlu diberitahu pun mereka pasti tahu aku sedang melihat ke arah mana.
"Y−ya … Ayo pulang." Aku langsung membuka payungku dan berjalan menerobos ribuan tetes air yang bertubi-tubi jatuh dari atas bumi itu, disusul oleh teman-teman baruku yang dengan cepatnya dapat menyusulku. Dan sepanjang perjalanan pulang, wajahku terus memerah menghadapi terpaan berbagai godaan yang dilayangkan oleh kedua temanku ini.
Peringatan keras: jangan melihat ke arah Sasori saat sedang berada di dekat Ino dan Hinata.
.
.
Kini aku sedang kembali ke kelas pada jam makan siang sendirian. Mau tahu kenapa? Karena berkat si gadis berambut blonde pucat bernama Ino Yamanaka−yang dengan tenaga supernya−berhasil menyeretku dengan paksa ke atap sekolah tanpa sempat membawa kotak makanku.
Saat aku membuka pintu kelasku, aku dapat melihat sesosok lelaki dengan rambut semerah darah yang sedang tertidur dengan kedua tangan yang menopang wajahnya di atas meja. Perlahan, aku melangkahkan kakiku, mencoba berjalan sepelan mungkin agar tidak menimbulkan suara. Kini aku telah berada di mejaku, dan dengan sangat hati-hati aku mengambil kotak makan yang berada di dalam laci mejaku.
Dan setelah mengambilnya, aku pun berjalan perlahan menuju pintu kelasku sambil terus melihat ke arah si lelaki berambut merah yang masih tertidur itu. Entah kenapa, aku merasakan nyeri di dadaku. Dan kurasa mulai saat itu aku sudah membulatkan tekatku.
Aku akan membuatnya merasa senang!
.
.
Pagi ini aku sedang menikmati susu hangat di gelasku sambil menonton acara tv yang tengah disimak oleh otou-sanku. 'Oh, ramalan cuaca,' batinku. Dan membaca kata 'ramalan cuaca' sukses menyita perhatianku sepenuhnya ke layar televisi.
Hari ini akan turun hujan yang cukup lebat di daerah E. Karena itu sebaiknya sediakan payung atau jas hujan selama anda bepergian.
Ting!
Otakku langsung bekerja dan memutar memori lama di dalamnya, menampilkan adegan Sasori yang menerobos hujan tanpa payung. Bagaimana kalau ia tidak menonton acara ramalan cuaca? Bagaimana kalau ia tidak membawa payung? Batinku terus berkecamuk sementara aku melihat langit yang cukup cerah di balik jendela rumahku. Yosh, sudah kuputuskan kalau begitu!
Aku segera berangkat ke sekolah setelah berpamitan kepada otou-san dan ibu menuju stasiun kereta. Yah, karena jarak dari rumahku ke sekolah cukup jauh sehingga aku harus menggunakan kereta agar lebih cepat. Aku langsung membeli tiket kereta dengan terburu-buru ketika kedua mataku mendapati kereta yang ingin aku naiki baru saja tiba di stasiun.
Dengan langkah super cepat, aku langsung berlari menuju pintu kereta dan hup! Aku pun berhasil masuk. Sepertinya ada sedikit gunanya aku tidak membolos pelajaran olahraga! Dan aku pun segera mencari tempat duduk di gerbong yang kini sedang kutempati. Ah, kelihatannya aku beruntung mendapati kereta ini sepi. Aku pun langsung duduk di kursi yang kosong dan menikmati perjalanan singkatku dengan kereta.
.
.
"Semuanya 550 yen."
Yak, dan sebuah payung berwarna biru kehitaman kini berada ditanganku. Jangan tanya untuk siapa, karena aku yakin kalian pasti sudah mengetahuinya bukan? Aku dapat merasakan pergerakan bibirku yang semakin lama semakin mengembang sembari melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki menuju sekolah. Bento sudah ada, dan payung pun sudah dibeli. Haaaah, kuharap ini bisa membantunya. Yah, walaupun ini tidak sebanding, tapi kuharap ia dapat merasa senang.
Kini aku sudah sampai dikelasku dan kelas si lelaki baik hati. Sip, belum ada orang di kelas! Aku diam-diam meletakkan kotak makan di laci meja Sasori dengan secarik pesan di atasnya. Kalian mau tahu apa? Itu ra-ha-si-a, hehehe. Dan payung pun masih berada di dalam tasku. Oh, bukannya aku lupa atau apa. Aku akan meletakkannya diam-diam di rak sepatu Sasori saat lelaki itu sudah datang. Dia 'kan sering membolos sekolah dan suka datang terlambat. Ah, semoga ia datang sehingga bekal makananku jadi tidak sia-sia.
Untuk saat ini aku harap waktu dapat berjalan lebih cepat!
.
.
Bel jam makan siang pun telah berbunyi! Akhirnya istirahat. Aku melirik ke arah meja Sasori yang ditempati oleh pemiliknya. Untunglah dia datang, kalau tidak bisa sia-sia makanan buatanku! Aku pun segera berjalan keluar bersama Ino dan Hinata. Namun sebelum aku benar-benar ikut mereka menuju atap, aku pun menyempatkan diri mengamati pergerakan Sasori yang kini sedang bersiap untuk tidur. Ah, dia mengintip laci mejanya! Ino dan Hinata yang sepertinya sudah mengetahui apa yang sedang kulakukan memilih untuk menuju atap sekolah terlebih dahulu sambil tertawa kecil melihat tingkahku yang aneh. Biar saja! Aku 'kan penasaran~
Oke, kembali ke Sasori. Aku melihat ia membaca pesanku sekilas. Dia diam. Dan memasukkan kotak makanan itu ke dalam laci mejanya dan mengambil posisi tidur. Ah, sepertinya ia tidak akan memakan makanan buatanku. Dengan langkah gontai aku berjalan meninggalkan kelas yang hanya ditempati si lelaki baik hati menuju atap sekolah. Dan entah kenapa, nafsu makanku seakan menguap begitu saja.
.
.
Kini bel tanda pulang telah berbunyi, memecahkan keheningan yang melanda kelas kami karena penghuni-penghuninya yang sedang mengerjakan ulangan matematika. Sebagian besar dari kami menggerutu kesal. Well tidak termasuk diriku karena aku yakin aku dapat mengerjakan soal-soal yang diberikan guru matematika kami yang terkenal killer itu. Ahem, bukannya aku sombong ya, tapi soal-soal itu memang mudah kok, setidaknya itu menurutku. Sekali lagi, aku tidak sombong!
Aku, Ino dan Hinata kini sedang berjalan menuju loker sepatu kami. Oh, dan hujan memang benar-benar turun. Sesuai dugaanku! Untung saja aku sudah meletakkan payung yang kubeli di loker Sasori. Hmm, apa ia akan memakainya ya?
Dan baru saja kupikirkan, sejumput rambut berwarna kemerahan tertangkap oleh kedua manik mataku. Aku langsung berlari kecil dan bersembunyi di balik deretan loker Sasori tanpa perlu repot-repot berpamitan pada kedua sahabat baikku itu. Lelaki itu membuka loker sepatunya, mengambil sepatu yang berada di dalamnya dan menggantinya dengan yang sebelumnya ia kenakan. Oh tunggu dulu. Dia … dia mengambil payungnya!
Aku dapat melihat ia memperhatikan payung itu tanpa berkedip sedikitpun! Dan ia tetap tidak mengubah posisi awalnya. Sasori terus memandangi payung ditangannya. Dan Sasori pun menutup loker sepatunya, berjalan menuju deraian air hujan yang menyambutnya.
Namun, kali ini Sasori tidak menerjang ribuan air itu sendirian, ia telah ditemani oleh sebuah payung berwarna biru gelap di atas kepalanya.
Hangat.
Hal itu yang pertama kali aku rasakan saat aku melihat punggungnya mulai menjauh. Hangat di hatiku dan juga dikedua mataku. Aku tidak tahu kenapa, tapi rasa hangat dan bahagia terus memenuhi hatiku. Bahkan rasanya sekarang begitu sesak saking bahagianya. Tak tahu kenapa, setetes air mata jatuh membasahi pipiku. Dan tiba-tiba dapat kurasakan sebuah tangan menepuk pundakku. Segera kuusap jejak-jejak air mataku. Pandanganku kini teralih pada iris berwarna lavender yang hangat.
"Ayo pulang, Sakura."
Dapat kurasakan senyum terkembang dari bibirku dan kepalaku pun mengangguk tanpa perlu aku perintahkan. Dapat kulihat raut wajah kebingungan yang muncul dari kedua wajah sahabatku, tapi sepertinya mereka tidak ingin menanyakannya kenapa. Dan kini aku pun menerjang hujan bersama kedua temanku.
Ya, tidak perlu orang lain tahu. Ini cukup menjadi rahasia kecil diantara kau … dan aku …
.
.
"Hari ini kita akan membahas tentang pentingnya gizi bagi tubuh kita. Kalian akan dibagi dalam kelompok yang terdiri dari dua orang."
Sorakan dan suara gaduh terdengar dari dalam kelas X-3 yang kini sedang sibuk memilih pasangan mereka dalam tugas kelompok, sedangkan sang guru kini sedang menulis materi untuk setiap kelompok. Pandangan mataku sedari tadi tak pernah lepas dari sesosok lelaki berambut merah yang kini sedang tertidur di atas mejanya. Wajahnya menghadap meja, dan bahunya naik turun dengan konstan.
"Psst, Sakura-chan, kau sekelompok dengannya saja!"
Dapat kurasakan kedua bahuku tergejolak kaget ketika suara yang amat kukenal menggema pada dinding telingaku. Aku langsung menengok ke arah suara. Dan benar saja, kudapati Ino kini sedang nyengir sambil mengacungkan ibu jarinya.
"A … Aku tidak bisa Ino … Kau tahu 'kan, aku menatapnya langsung saja sudah sangat malu …" ucapku miris. Ino dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Ckckck. Sakura, kalau kau begini terus, bagaimana bisa kau mendekatinya? Apa kau betah selamanya menatap lelaki itu dari jauh?"
Rasa ragu pun mulai menjalari benakku. Aku menggigit bibirku pelan. Well, mungkin agak kuat, karena kini dapat kurasakan sesuatu yang amis dan aneh merangsang indra pengecapku yang sedari tadi belum merasakan apapun, mengingat saat ini belum jam makan siang. Kuremas ujung rok ku perlahan sambil menundukkan kepalaku.
Ya ampun, sekarang aku bahkan merasa rasa maluku lebih parah dari seorang Hinata Hyuuga!
"I−Ino …"
"Haruno-san, apa kau sudah mendapatkan teman kelompokmu?"
Kepalaku pun langsung menegak dan menatap langsung ke arah Yuuhi-sensei yang kelihatannya telah selesai menuliskan materi diskusi di papan tulis. Aku menggeleng pelan.
"Belum, Yuuhi-sensei."
"Begitukah?" aku dapat melihat kini Yuuhi-sensei tengah mengedarkan pandangannya ke seisi kelas. Dan pandangannya terhenti pada sosok satu-satunya yang tengah tertidur dalam kelas. Jangan bilang kalau …
"Haruno-san, kau kupasangkan dengan … Akasuna-san. Sebaiknya kau bangunkan dia." Ujar Yuuhi-sensei lalu membalikkan tubuhnya dan kembali menulis materi lain di atas papan tulis.
Aku, dipasangkan dengan Sasori?
Tuhan, apakah ini mimpi?
Aku mencubit lenganku sedikit kencang. Oke, ini memang bukan mimpi. Aku menengok ke arah Ino dan Hinata yang kini telah duduk berdua. Sepertinya mereka sengaja membiarkanku tidak dapat kelompok sehingga aku harus terjebak dengan Sasori. Dan kali ini mungkin aku harus berterima kasih kepada kedua sahabatku yang amat mengesalkan ini. Aku memulutkan 'terima kasih' pada mereka, dan mereka pun tersenyum sambil mengangguk. Aku dapat melihat Hinata memulutkan 'selamat berjuang' saat aku mengambil peralatan tulisku, membuat senyumku semakin melebar.
Aku pun melangkahkan kakiku ke arah meja Sasori. Dapat kurasakan pandangan teman-temanku yang seakan menusuk kulitku. Mereka memberikan tatapan iba dan kasihan padaku. Cih, kayak aku akan mati hari ini saja!
Perlahan, kusentuh bahu Sasori untuk pertama kalinya. Yang pertama kali kurasakan adalah kehangatan, dan jantungku kini berdebar lebih cepat. Kugigit bibirku pelan. Aku merasa ragu untuk membangunkannya. Tapi tatapan Yuuhi-sensei pun kini menghujam kulitku juga, membuatku sedikit bergidik ngeri.
Dengan agak ragu, kuguncangkan bahu Sasori sejenak, dan tatapan teman-teman sekelasku tak lepas dari kami berdua. Apakah mereka tidak memiliki kegiatan lain?
Oke, tidak ada respon.
Kucoba untuk mengguncang bahu Sasori lebih kuat. Dan kali ini berhasil. Dapat kurasakan nyeri tiba-tiba menjalar ke punggung tanganku. Lelaki itu, Sasori, kini telah membuka matanya. Iris hazelnya menatapku dingin, dan giginya bergemeletuk−pertanda ia sedang kesal.
Aku menelan ludahku, berusaha mengumpulkan keberanian dalam diriku. Dapat kurasakan detak jantungku kini semakin menggila, dan organ yang sebesar genggaman tangan itu kini mengalirkan darah ke seluruh tubuhku dengan terlalu cepat. Aku dapat merasakan sesuatu yang hangat kini menjalari kedua pipiku.
Memalukan!
"Ermm, Sasori-san, apa aku bisa duduk di sebelahmu? I−itu … Yuuhi-sensei …"
"Hn."
Satu kata itu berhasil menghipnotisku, membuatku tidak dapat menggerakkan tubuhku sama sekali. Mungkin bagi kalian ini memang aneh, namun kata-kata yang kudengar itu membuatku bahagia. Ia tidak pernah berbicara denganku sebelumnya!
"Kau mau duduk tidak?"
Dan kesadaranku langsung kembali saat aku mendengar Sasori mengeluarkan kembali suaranya. Aku menengok ke arahnya dan mendapati ia sedang menaikkan sebelah alisnya sambil mendengus kesal. Langsung kududukkan diriku di atas kursi yang terdapat di depannya. Kugeserkan kursi itu sehingga aku bisa duduk berhadapan dengannya. Buku-buku serta alat tulis yang semula berada dalam tanganku kini berada di atas mejanya.
Aku pun membuka buku tulisku, mulai menorehkan tinta berwarna hitam ke atas kertas putih yang kini sedang kupegang. Meskipun aku menunduk, aku dapat melihat jelas apa yang Sasori lakukan di depanku. Ia menguap sambil menutup mulut dengan tangannya. Senyuman pun tak dapat kutahan lagi. Sasori benar-benar manis. Sungguh.
"Aku tidak berniat dalam kerja kelompok ini jadi−"
"Tak apa, lakukan saja apa yang kau suka."
Aku mengangkat wajahku, dan aku dapat kembali melihat alisnya yang dinaikkan sebelah serta ekspresi kebingungannya. Aku mengerjap-kerjapkan mataku. Apa ada yang salah denganku? Aku hanya mengatakan hal yang kupikirkan saja kok.
"Kalau begitu, aku tidak suka mengerjakan tugas. Kau saja yang mengerjakan."
Kata-kata Sasori berhasil membuat suara tawa lepas dari mulutku. Aku dapat melihat Sasori kembali menaikkan alisnya.
"Baiklah, baiklah." ujarku lalu berdeham sejenak. "Tapi kau jangan tidur ya, bisa-bisa Yuuhi-sensei memarahiku karena membiarkanmu tidur sehingga aku harus mengerjakan tugasnya sendiri."
Kini aku pun berkutat dengan lembaran tugasku, menuliskan materi yang harus didiskusikan. Yah, walaupun aku mengerjakan tugas ini sendiri aku sama sekali tidak keberatan. Asalkan aku bisa terus bersama Sasori, bagiku ini sudah cukup.
Tak ada yang bisa membuatku lebih bahagia dari ini.
.
.
Tak terasa waktu telah berlalu. Kini aku telah berada dikelas dua. Setelah berkutat dengan kertas-kertas ulangan lebih dari seminggu, akhirnya usahaku berhasil. Dengan hasil terbaik tentu saja.
Ahem.
Dan kau mau tahu apa yang membuatku bahagia? Bukan bukan, bukan nilaiku yang memuaskan itu. ini ada hubungannya dengan kau−tahu−siapa.
Yup, Akasuna Sasori.
Dia naik kelas juga! Yeah, walaupun ia sering membolos, tapi nilainya ternyata cukup membantunya. Dari isu yang kudengar di ruang guru ( aku tidak menguping tentu saja. Aku tidak sengaja mendengarnya saat aku sedang berbincang dengan Namikaze-sensei, wali kelasku ), Sasori berhasil naik kelas dengan nilai pas-pasan. Setidaknya ia naik kelas.
Kini aku sedang berdiri di depan papan pengumuman yang penuh sesak dengan anak-anak baru. Tapi karena posisiku sebagai senior, maka anak-anak baru itu menyingkir untuk membiarkan aku lewat. Fufufu. Dan pandangan mataku kualihkan pada kertas-kertas yang menempel di sana. Kira-kira dikelas mana ya aku akan ditempatkan?
Ah, itu dia! Aku menemukan namaku, di atas nama Akasuna Sasori. Tunggu, tadi apa? Akasuna Sasori? Aku sekelas dengannya?!
"YEEEESS!"
Refleks aku langsung berteriak dan melompat-lompat kegirangan. Dan saat aku selesai, aku mendapati anak-anak baru itu kini sedang menatapku dengan wajah yang aneh, bahkan ada yang tertawa! Aku langsung berdeham, lalu dengan cepat aku langsung berlari meninggalkan papan pengumuman itu.
Jangan tanyakan padaku bagaimana rasanya bersorak-sorak kegirangan di hari pertama masuk sekolah dengan orang-orang yang melihatmu. Yang jelas, terlalu memalukan hingga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata!
Dan sekarang aku tengah berjalan menuju kelasku yang baru, XI-1. Dan saat aku membuka pintu kelas itu, aku mendapati Ino dan Hinata yang tengah berbincang-bincang di sana. Wow, dan aku juga sekelas dengan sahabat-sahabatku? Ini benar-benar kebetulan yang menyenangkan!
"Ohayou, Hinata-chan, Ino pig!" sapaku kepada kedua sahabatku yang kini langsung memalingkan wajahnya ke arahku. Aku memberikan cengiran khasku pada mereka.
"Ya ampun, kita satu kelas Sakura-chan? Ah, rasanya senang sekali~" aku dan Hinata pun langsung berpelukan. Ehem, jangan berpikir macam-macam ya.
"Masuk-masuk langsung memanggilku pig. Dasar jidat." Maki Ino kesal. Aku langsung mendengus sebal. Tapi aku tahu ia hanya bercanda. Ayolah, tidak mungkin 'kan Ino akan marah karena masalah sepele?
"Sepertinya kau sedang datang bulan, eh? Pagi-pagi sudah bermuka masam begitu," godaku sambil menyolek lengannya jahil. Ino mendengus kesal, namun senyum terkembang dari bibirnya yang tipis.
"Sok tahu sekali kau." Ujarnya. "Oh ya, sudah tahu sang pangeran Sasori sekelas dengan kita juga?"
Aku dapat merasakan semburat merah kembali muncul di wajahku. Perlahan, kuanggukkan kepalaku untuk menjawab pertanyaan Ino. Aku kini dapat mendengar suara tawa meluncur dari si pemilik suara. Pasti Hinata.
"Ya ampun, wajahmu sampai memerah Sakura-chan." dan kini giliran Ino yang tertawa. Menyebalkan.
"Uuuggh, jangan menggodaku." kataku sambil menggerutu. Tapi percuma saja, karena mereka tetap tertawa sambil menepuk pundakku. Mereka memang tidak ada matinya, deh!
Kelas pun sudah masuk. Kelas baru kami telah dipenuhi oleh teman-teman kami. Tidak ada yang berubah sepertinya, karena aku mengenal wajah teman-teman sekelasku saat masih kelas satu. Setidaknya syukurlah pihak sekolah tidak memindahkan kami ke kelas yang berbeda. Kalau iya? Ugh, pasti akan sangat menyebalkan!
Dan kini pandangan mataku teralih pada sosok lelaki berambut merah disampingku yang tengah tertidur di atas meja. Pagi ini ia datang tepat waktu, lalu langsung duduk disampingku dan memposisikan tubuhnya untuk tidur di atas meja tanpa repot-repot melepaskan sweater dan tas selempangnya terlebih dahulu. Ia bahkan tidak menyapaku.
Apa ia tidak mengingat namaku ya?
Ah, bahkan ia tidak pernah menanyakannya padaku.
Sejak peristiwa kerja kelompok itu, aku tidak pernah berbicara lagi dengan Sasori. Dan soal bekal beserta payung itu terus berlanjut. Oh, dia kelihatannya sangat menyukai masakanku! Ia bahkan membalas pesan yang kutuliskan setiap kali aku memberikan bekal makanan padanya. Ya, aku sengaja menyisipkan pesan di sana. Setidaknya jika aku tidak bisa berbicara dengannya secara langsung, aku bisa berbicara melalui surat kecil itu padanya.
Tapi, ia tak pernah menanyakan siapa diriku pada kertas itu.
Ah, namun itu tidak masalah. Asalkan aku masih bisa melihatnya … Walaupun dari jarak jauh sekalipun, aku merasa amat senang.
Tapi kenapa malah pedih yang kurasakan?
.
.
"Oke, keadaan aman."
Tenang, meskipun aku berbicara sendiri aku tidak gila kok! Kini aku sedang mengendap-endap menuju atap sekolah. Entah kenapa, hari ini rasanya malas sekali mengikuti pelajaran. Bukannya apa, ketidakhadiran Sasori hari ini membuatku kehilangan semangat. Padahal aku sudah membuat bekal spesial untuknya!
Kuputuskan aku akan memakan makanan ini sendiri. Lagipula Ino dan Hinata pasti akan mencurigaiku kalau mereka melihatku membawa dua bento ke sekolah.
Pintu atap kini sudah berada di depan mataku. Dengan agak ragu, kupegang kenop pintu itu dan kuputar.
Cklek!
Ah, ternyata tidak terkunci! Aku pun langsung membuka lebar pintu atap itu. dan di depan mataku tersajikan pemandangan yang tidak aku duga! Rambut merah itu, seragam yang hanya terkancing dibagian bawahnya, serta celana yang sobek dibagian ujungnya …
Di depan pagar kawat atap kini terlihat seorang Akasuna Sasori dengan tas yang masih berada di pundaknya kini tengah tertidur. Kedua iris hazelnya tertutup. Angin sepoi sesekali berhembus menerpa tubuhnya. Namun bukannya bangun, Sasori−alih-alih menikmati udara musim semi yang terus menerpanya−tetap terbuai bunga mimpinya.
Aku menelan ludahku sesaat. Haruskan aku berada di sini?
Aku berjalan mendekat menuju laki-laki yang tengah terlelap itu. Dengan agak ragu, aku berjongkok di dekatnya. Baru pertama kali aku melihatnya sedekat ini saat ia tertidur. Walaupun aku sering melihatnya tertidur, tapi tetap saja ini berbeda! Kalau di kelas aku hanya dapat melihat rambutnya, dan kalau sekarang aku dapat melihat wajahnya!
Wajahnya ketika tertidur terlihat damai sekali, seperti anak kecil yang amat manis. Aku dapat merasakan aliran darahku kini berpusat pada wajahku. Perlahan, aku mengulurkan tanganku, menyentuh anak rambut yang menghalangi wajahnya yang pucat itu. dan mataku pun menemukan bekas luka yang tertutup oleh anak rambut itu. apa ia habis berkelahi?
Aku merogoh saku rok ku, dan senyum kembali terkembang dibibirku saat aku menemukan sesuatu di dalamnya. Aku langsung mengeluarkan tanganku dari sana, dan mendapati apa yang aku cari berada ditanganku; plester luka!
Aku membuka bungkusan plester itu perlahan, tidak ingin menimbulkan suara. Setelah terbuka, aku pun menempelkan plester itu perlahan pada luka Sasori. Aku pun beranjak dari posisi berjongkokku dan meletakkan kotak bento yang sebelumnya berada pada genggamanku disamping tubuh Sasori. Dan dengan langkah yang hati-hati aku berjalan menuju pintu atap, meninggalkan Sasori yang sedang berada dalam alam mimpinya.
Aku pun berjalan kembali ke kelas dengan perasaan senang. Yeah, walaupun nanti aku akan diomeli oleh Mitarashi-sensei karena ketelatanku masuk ke kelasnya yang bisa dibilang tidak masuk akal itu. dan sekarang kurasa inilah saatnya bagiku untuk memikirkan alasan yang tepat untuk meredam kemarahan senseiku yang satu ini.
.
.
Kelopak bunga sakura yang terakhir kini telah berterbangan melintasi langit biru, dan dalam waktu singkat udara yang sebelumnya masih sejuk kini berganti dengan berbagai macam bunga-bunga berwarna-warni yang tumbuh secara serempak diiringi oleh udara yang mulai menghangat. Namun tak terasa juga, dedaunan yang sebelumnya hijau, bunga-bunga yang sebelumnya berwarna-warni kini telah berubah menjadi warna kecoklatan yang kelam. Daun-daun dan kelopak-kelopak itu kini mulai berguguran, diiringi oleh hembusan angin yang dirasakan kini seperti menusuk-nusuk tulang. Ya, musim gugur telah tiba. Dan seiringnya waktu, benda padat berwarna putih bersih kini mulai menghujani bumi secara serentak. Menyelimuti pohon-pohon dan tanah yang telanjang, membuat mereka tertutupi hampir sepenuhnya oleh si benda berwarna putih dan dingin itu.
Ya, musim salju telah tiba.
Kini aku tengah melangkahkan kakiku lebih cepat, menelusuri lorong-lorong sekolah yang memang sudah sepi itu, mengingat kegiatan belajar telah selesai kira-kira dua setengan jam yang lalu. Aku terus berlari hingga pandanganku menemukan papan tanda 'XI-1' di atas pintu-pintu kelas yang masih terbuka itu, menandakan petugas sekolah belum menutup sekolah.
Saat aku memijakkan kakiku di depan pintu kelas, kudapati sesosok lelaki dengan rambut kemerahan sedang tertidur pulas di atas mejanya.
Tunggu, bukannya seharusnya ia pulang? Tapi kenapa ia masih tertidur dikelas?
Dengan keberanian yang telah kukumpulkan, aku melangkahkan kakiku sehati-hati mungkin ke dalam kelas, takut membangunkan lelaki yang sedang terlelap itu. aku melirik ke arah laci mejanya. Ternyata kotak makan itu masih berada di sana. Sekarang aku harus memutar otakku. Bagaimana caranya mengambil kotak makan itu tanpa ketahuan?
Aku menelan ludahku perlahan. Oke, Sakura. Rileks, kau pasti bisa melakukannya! Kubulatkan tekadku dalam hati. Dengan sangat hati-hati aku menjulurkan tanganku ke dalam laci meja Sasori, dan hup! Aku dapat! Aku pun kembali dengan sangat hati-hati mengeluarkan tanganku dari sana, dengan kotak bento yang sudah berada dalam genggaman.
Aku memundurkan tubuhku beberapa langkah, dengan tatapan mataku yang tidak lepas dari sosok yang masih tertidur di depanku ini. Mendadak, rasa sakit kembali menjalari dadaku. Ribuan pertanyaan pun kini muncul di benakku.
Kenapa ia masih tertidur di sini?
Kenapa ia tidak pulang?
Apakah tidak ada yang mengkhawatirkannya di rumah?
Ting!
Aku menggigit bibirku sekilas ketika pertanyaan terakhir itu muncul dalam otakku. Apa benar yang kupikirkan itu? Apakah Sasori merasa sangat kesepian sehingga ia tidak kembali ke rumahnya dan memilih menjadi seorang berandalan?
Aku menggelengkan kepalaku pelan. Tidak mungkin begitu. Yeah, jangan berpikiran yang aneh-aneh Sakura!
Perlahan aku melangkahkan kakiku menuju pintu kelas yang masih terbuka. Sebelum aku benar-benar pergi, aku membalikkan tubuhku−memandangi sosok yang tengah tertidur itu dari jauh.
Rasa sakit dapat kurasakan kembali menjalari dadaku.
.
.
"Hei, Sakura-chan, apa yang kau lakukan?"
Aku mengalihkan pandanganku ke arah si sumber suara. Gerakan tanganku pun terhenti, dan seulas senyum mengejek kuberikan pada manusia disampingku ini.
"Ini namanya merajut, Hinata-chan~ Ya ampun, saking gugupnya karena hari ini kau akan berkencan dengan Naruto-san membuatotakmu jadi buntu ya?"
Rona merah pun kini menjalari kedua pipi gadis bermarga Hyuuga itu, membuatku mengikik lalu aku kembali melanjutkan kegiatanku, merajut. Hinata pun duduk di depan kursiku.
"Sa−Sakura-chan, terkadang kau bisa sama menyebalkannya seperti Ino-chan." Ujarnya sambil menggembungkan pipinya.
"Habis rasanya menyenangkan menggodamu, Hinata-chan." Ujarku tanpa perlu menghentikan kegiatan merajutku.
"Itu pasti untuk Akasuna-san, iya 'kan?" ujar Hinata dengan suara yang pelan sambil menyenggol lenganku. Mau tidak mau aku menghentikan kegiatanku.
"Uuughh, Hinata-chan, hampir saja jarumnya menusuk jariku." dengusku, membuatnya tertawa kecil. Kadang Hinata yang manis pun bisa jadi sama menyebalkannya dengan Ino. Omong-omong, dimana ya Ino?
"Hey, Hinata-chan, kau tahu dimana Ino?" tanyaku. Dan dibalas oleh gendikan bahu oleh Hinata. Sepertinya ia juga tidak tahu. Aku pun membalas gendikan bahunya dan kembali melanjutkan aktivitasku yang sempat tertunda, sementara Hinata mulai menyibukkan dirinya dengan handphone yang berada ditangannya.
Dan beberapa menit kemudian Ino pun datang, sukses mengganggu pagiku yang amat tenang ini.
.
.
Malam natal pun tiba!
Dan disinilah aku, berada diantara kerumunan manusia yang tengah memenuhi pusat kota, dimana kerumunan manusia itu didominasi oleh pasangan yang sedang kencang di malam natal. Aku merutuki diriku sendiri. Seharusnya aku membeli bungkus kado dari siang saja! Tapi berhubung syal yang aku buat saat itu masih belum jadi, terpaksa baru sekarang aku bisa membungkus syal itu.
Aku merasa begitu terbuang jadinya di malam natal. Rasanya iri sekali melihat pasangan-pasangan yang tengah bermesraan di dekatku. Bagaimana dengan kencan Ino dan Hinata ya? Semoga berjalan dengan lancar.
Aku terus berjalan berlawanan arus dengan orang-orang yang berada di depanku. Sesekali aku didorong dan digencet, namun aku sdikit beruntung karena ukuran badanku yang kecil sehingga aku tidak terlalu sering tergencet.
Aku berjalan melewati taman, yah sekedar untuk menghemat waktu, karena kalau aku lewat jalan biasa aku bisa telat 10 menit untuk sampai ke rumah. Lagipula taman ini masih terang sehingga aku tidak perlu takut lewat taman ini.
Saat aku berjalan, aku mengedarkan pandanganku. Dan pandanganku tak lama kemudian langsung terpaku pada sesosok lelaki yang tengah berbaring di bangku taman. Orang itu bodoh sekali! Masa dalam keadaan sedingin ini ia malah tidur di kursi taman dengan santainya? Dasar gila!
Aku mendekati sosok itu, dan mendapati sesosok lelaki gila itu memiliki rambut kemerahan. Warna merah itu langsung membuatku berlari ke sana. Apakah lelaki itu Sasori?
"Ah!"
Aku tidak dapat menahan suaraku ketika aku mendapati sosok yang tengah terbaring di atas kursi itu adalah sosok yang amat kukenal! Tubuhnya lebam, penuh dengan luka-luka memar dan sayatan. Dan jejak-jejak darah masih terlihat dari sudut bibir dan hidung lelaki itu. Aku langsung mengambil sapu tangan yang selalu aku simpan dalam saku jaketku, lalu dengan perlahan kuhapus bekas darah dan luka yang terdapat ditubuhnya. Aku dapat melihat Sasori menyerngit dalam ketidaksadarannya, membuatku harus lebih berhati-hati untuk membersihkan bekas-bekas luka pada tubuhnya.
Dan tanganku tanpa sengaja menyentuh kulit Sasori. Ya ampun, dingin sekali! Kupegang mantelnya. Sepertinya mantel tebal itu basah karena terkena salju yang mencair. Aku pun langsung memutar otakku. Ah, aku punya ide!
Kurobek bungkusan yang berada ditanganku, memperlihatkan syal yang tebal berwarna merah gelap dibaliknya. Dan aku pun membuka mantel dan sweater yang kukenakan. Sweater itu kukenakan pada tubuh Sasori dengan hati-hati. Namun sepertinya Sasori terlalu lelah sehingga ia tidak bangun. Dan syukurlah sweater itu muat, karena memang sweaterku itu berukuran lebih besar dari tubuhku. Aku pun melilitkan syal itu pada tubuhnya, lalu aku memakaikan mantelku pada tubuhnya. Mantelnya terlihat kekecilan, namun setidaknya lebih baik dari pada tidak memakainya sama sekali.
Dengan kekuatan yang ada, aku mengangkat tubuh Sasori perlahan, melingkarkan tangannya pada pundakku dan menyeret tubuhnya menuju tempat lain. Kemana pun itu asalkan ketempat yang lebih hangat!
Aku pun kini tengah duduk disebuah kedai kopi terdekat yang bisa kumasuki, mengingat Sasori cukup berat sehingga tenagaku langsung terkuras habis hanya untuk menyeretnya. Dan sipemilik toko yang baik hati itu pun meminjamkan selimut tebal untuk membungkus tubuh Sasori yang membeku, serta mengompres kening Sasori dengan kain yang sudah direndam dengan air hangat.
Aku melirik ke arah handphoneku. Celaka, sudah jam 9!
Aku pun langsung berdiri dari posisi dudukku, dan segera menghampiri sipemilik yang sedang menyeduh kopi hangat.
"Paman, aku harus pergi sekarang. Dan berikan apapun yang dapat menghangatkan tubuhnya kalau dia sudah bangun. Aku akan kemari besok atau dua hari lagi." ujarku. "Oh, dan jangan biarkan dia membayarnya. Bilang saja semuanya sudah dibayarkan, dan jangan beritahu lelaki itu tentang ciri-ciriku ya?" aku langsung membungkuk sebagai tanda terima kasih kepada pemilik toko di depanku. Dan sebelum lelaki itu dapat berbicara, aku langsung berlari keluar dari kedai kopi itu.
Bahkan aku lupa mengambil sweater dan mantelku yang masih melekat pada tubuhnya.
Dan keesokan harinya aku langsung demam tinggi karena terlalu lama berada diluar dalam cuaca yang amat dingin.
.
.
"Sakura, otou-san ingin bicara."
Aku mengalihkan pandanganku menuju ke asal suara yang sedang menyesapi kopi paginya di depanku. Aku menaikkan sebelah alisku.
"Apa yang otou-san ingin bicarakan?"
Hening. Bahkan okaa-san yang sedari tadi sibuk memasak langsung mengalihkan perhatiannya pada kami. Apa sih yang sebenarnya otou-san ingin bicarakan?
"Sakura … Kau tahu 'kan pekerjaan otou-san itu sangat sibuk, bahkan otou-san jadi jarang berada di rumah karena pekerjaan otou-san." Aku mengangguk perlahan, tidak berniat mengeluarkan suara. Aku ingin mendengar pembicaraan otou-san hingga selesai.
"Jadi, bulan depan kita akan pindah. Selain agar ayah dapat lebih mudah mengurus pekerjaan ayah, kita akan hidup ditempat yang lebih berkembang dari Konoha. Bagaimana, kau setuju 'kan Sakura?"
Pikiranku langsung kosong mendengar kata-kata yang baru saja keluar dari mulut otou-san. Pindah? Jika aku pindah, aku tidak mungkin bisa bertemu dengan Ino dan Hinata lagi, tidak bisa bermain-main dengan mereka, tidak bisa tertawa dan menangis bersama lagi.
Dan yang terpenting …
Bagaimana dengan Sasori?
.
.
"Apa? Kau akan pindah Sakura-chan?!" pekikan Ino di pagi hari itu sukses memekakkan telingaku. Aku dan Hinata langsung menutup telinga kami ketika mendengar suara Ino yang amat kencang itu. Hari ini adalah hari pertama setelah liburan musim dingin kami, dan tepat seminggu sejak percakapan terakhirku dengan otou-san yang membahas tentang kepindahan itu. Aku mengangguk perlahan.
"Ya … Aku … Aku tidak mau berpisah. Padahal aku sudah betah di sini …" air mata kini mulai keluar dari pelupuk mataku, dan kehangatan pun kurasakan ketika Hinata dan Ino memelukku perlahan.
Aku … masih belum sanggup berpisah.
.
.
Aku kini tengah menatap lelaki berambut kemerahan yang seperti biasanya tengah terlelap dalam alam bawah sadarnya. Wajah lelaki itu terhalang oleh tangannya, dan bahunya bergerak naik turun dengan teratur.
Melihatnya saja membuat hatiku hangat dan sesak di saat yang bersamaan.
Dan tanpa bisa kutahan, setetes air mata jatuh membasahi pipiku untuk kedua kalinya di hari ini.
.
.
Hari keberangkatan itu pun akhirnya tiba.
Kini aku sedang berdiri di depan pintu keberangkatan bandara. Kaa-san dan tou -san sudah terlebih dulu masuk ke dalam pesawat. Aku saling berpamitan dengan teman-teman sekelasku dan Namikaze-sensei, wali kelasku. Aku merasa sangat terharu, karena meskipun mereka tidak terlalu dekat denganku, mereka semua mau menyisihkan waktu mereka untuk sekedar mengantarku ke bandara.
Betapa beruntungnya aku memiliki teman-teman sebaik mereka.
"Ingat jidat, jangan lupa sms kalau sudah sampai di sana! Awas saja kalau tidak!" Ino memelukku erat. Aku membalas pelukannya sambil menganggukkan kepala berulang-ulang.
"Dan jangan lupa untuk main ke sini kapan-kapan Sakura-chan, kami akan selalu menunggumu di Konoha." Dan kini Hinata ikut memelukku. Aku pun balas memeluk Hinata. Dan air mata pun kini jatuh dari kedua mataku.
"Pasti … Aku akan sangat merindukan kalian semua …" ujarku lirih. Ino dan Hinata kini melepaskan pelukannya dariku.
"Ya sudah. Sekarang cepat ke sana, pesawatnya akan lepas landas 'kan sebentar lagi?" ujar Ino dengan mata yang berkaca-kaca. Aku mengangguk.
"Ya … Kalau begitu, sampai jumpa semuanya. Bertemu dan mengenal kalian selama dua tahun ini membuatku amat senang. Aku harap kita dapat bertemu lagi suatu saat lagi. Sekali lagi, terima kasih." ujarku sambil membungkukkan tubuhku. Saat aku mengangkat tubuhku, aku dapat melihat sosok berambut kemerahan yang berdiri agak jauh dari rombongan teman-temanku. Senyum kini dapat kurasakan tengan terkembang dibibirku.
Aku berpelukan dengan teman-temanku, dan dengan sensei kami yang hangat dan baik hati tentu saja. Namun Sasori tidak berjalan mendekat. Ia hanya memandangi kami dari jauh. Aku ingin sekali memeluknya. Namun seperti ini saja tidak apa, karena dengan kedatangannya sudah membuatku amat senang.
.
.
Aku mendudukkan bokongku pada kursi berwarna beludru yang nyaman dan empuk ini. Dan setelah itu aku memasangkan seatbelt yang berada dikursiku, melingkari tubuhku. Tou-san kini tengah membaca majalah yang disediakan oleh pesawat, sedangkan kaa-san menengok ke arahku. Beliau memberikan kepadaku senyumannya yang lembut, lalu mengusap kepalaku perlahan.
"Kau pasti bisa bertemu dengan teman-temanmu suatu saat nanti, Sakura-chan."
Aku mengangguk perlahan dan membalas senyum yang diberikan oleh kaa -sanku. Lalu aku mengalihkan pandanganku ke arah jendela pesawat yang kebetulan berada disampingku. Langit terlihat lebih cerah, dan dapat kudengar suara pramugari yang terdengar dari mikrofon pesawat.
'Pesawat sebentar lagi akan lepas landas. Harap pasang sabuk pengaman anda.'
Bunyi deru mesin pesawat kini mulai terdengar, menandakan pesawat akan siap lepas landas. Aku memejamkan mataku, merasakan detak jantungku yang berdetak lebih cepat.
Apakah aku terlalu terlambat untuk menghentikan semuanya?
Dan pesawat yang kunaiki pun kini mulai bergerak, maju hingga pada akhirnya benda mati dengan sayap itu kini terangkat dari tanah, menuju langit yang tak terhingga luasnya itu.
.
.
.
Terima kasih telah membiarkanku merasakan cinta …
Walaupun hanya sebentar, namun rasanya amat menyenangkan.
Namun aku baru menyadari kebodohanku sendiri
−yang baru menyadari jika aku belum mengungkapkan perasaan ini padamu.
Yeah, aku memang takut terluka.
Tapi berpisah denganmu seperti ini ternyata jauh lebih sakit dari yang kukira.
Hei, apakah sekarang kau sudah mengetahui namaku?
Apa kau sudah menyadari keberadaanku dalam duniamu yang hitam putih itu?
Kau tahu, menghabiskan waktu denganmu membuatku sangat bahagia.
Walaupun kau tidak mengetahuinya …
Dan aku akan selalu memendam kenangan ini dalam-dalam …
Menjadi rahasia kecil diantara kau, dan aku …
Dan bila memang takdir menghendaki kita bersama,
−biarkan rahasia kecil ini terungkap dengan sendirinya.
.
.
.
Terima kasih telah menjadi bagian terindah dalam hidupku.
.
.
.
Fin
hey semuanyaaa~ author balik dengan fic SasoSaku ( abis saya paling demen sama pair ini sih, hihihi :p )
hmm. jamin deh kayaknya banyak typos disini, ud d priksa sih. tapi kalo kalian nemu lagi komen aja ya :) dan maap kalo kinda rushed, gatau kenapa otak saya tiba-tiba ngeblank. ya sudah deh akhirnya begini. tapi emng endingnya mau begini sih hehehe.
oh ya, jgn lupa review ya~ saran, kritik, flame diterima kok. asalkan yg konkrit dan konstruktif ya~
saya sih pengen bikin fic ini pake Sasori POV. kyknya mnarik gitu ya. kalo pengen direview disini aja. makin banyak yg mau bakal bkin saya makin smangat buat mewujudkan POV nya Sasori~ :3
dan fic ini notes dan omakenya agak sedikit berbeda dari yg awal. dikarenakan aku mnghapus file yg lama dan aku ga edit di ms. word aku. ulang lagi deh, pfft.
oke itu aja. akhir kata, terima kasih banyak sudah mau membaca fic saya ini. see you on another story guys :DDD
Omake
'Hey, kalau nanti aku pergi apakah kau akan merindukanku?'
Aku tahu aku sudah gila. Tapi hey, aku 'kan juga ingin mengetahui perasaannya padaku. Dan lagipula, kami sebentar lagi tidak akan dapat bertemu lagi, jadi sudah sewajarnya aku bertanya.
Aku memandangi kertas kecil berisi pesan yang bertorehkan tulisan tanganku. Aku menelan ludahku perlahan. Dengan segala keberanian yang ada, kubalikkan kertas yang berada ditanganku. Mataku terbelalak mendapati pesan yang berada dibaliknya.
'Mungkin.'
Hanya satu kata saja, dan hal itu sudah membuatku senang.
Ya, mungkin ...
Senyum kembali terkembang dari bibirku.
Mungkin suatu saat kita pasti akan bertemu lagi.
.
.
.
It's Really the Fin
