Peringatan : Debut fanfic YAOI. Tolong dimaklumin semua kesalahan yang ada di dalamnya wkwkwk
It's BL (BOYS LOVE) baby, don't like don't read
BTS milik Tuhan, keluarga dan manajemennya
.
.
.
.
.
.
Hold Me Tight
(Vkook/Taekook/ pair lain diusahakan)
.
.
.
Kim Taehyung terombang-ambing tidak karuan tatkala ayahnya menggendongnya sembari berlari. Ayahnya berlari disepanjang lorong Rumah Sakit seperti kesetanan. Taehyung tidak bisa memprotes, tubuh kecilnya terkempit ketat dengan lengan ayahnya. Terlebih lagi, Taehyung hanya anak 3 tahun yang tiba-tiba dijemput ayahnya di tempat penitipan anak dan diajak berlari-lari seperti ini.
Disepanjang perjalanan, ayahnya terus bergumam tentang ibu Taehyung dan adiknya yang baru lahir. Ayah Taehyung baru berhenti bergumam setelah sampai di sebuah pintu yang terbuat dari sejenis besi ringan. Ia menarik nafas dan merapikan dasinya yang sudah mencong karena ia longgarkan dengan brutal. Mata coklat pria muda itu berair ketika menemukan seorang perempuan muda tengah berbaring sembari mengelus kotak bayi di sampingnya.
"Sayang, maafkan aku, aku terlambat."
Si perempuan hanya tersenyum. Mata hitamnya melirik si bayi dalam kotak yang tertidur, seperti memberi isyarat pada suaminya untuk melihat anak mereka yang baru lahir.
Tuan Kim menurunkan Taehyung dan mendekati bayi di samping istrinya. Bayinya begitu tampan, berpipi merona dan berkulit putih. Rambut tipis menyembul dari balik kain pembungkusnya.
"Tae, lihatlah. Ini adikmu," kata Tuan Kim.
Taehyung dapat melihat sesosok bayi yang menggeliat, nampak tak nyaman karena tidurnya terganggu.
"Kau mau menciumnya?" tanya Nyonya Kim dengan nada geli yang tidak bisa disembunyikan karena melihat wajah bingung Taehyung. Mungkin bocah itu tengah berpikir dari mana adik itu sesungguhnya muncul.
Taehyung mengangguk ragu. Ia kebingungan. Taehyung hampir mendaratkan ciumannya pada bagi di tangan ayahnya sebelum terdengar suara menangis yang cukup keras dan cukup untuk membuat perhatian Kim Taehyung tersita.
Taehyung menoleh dan mendapati seorang bayi kecil menangis keras. Pipi bayi itu sangat merah, rambutnya lebat dan gemuk. Satu kata. Menggemaskan.
Tapi tidak ada siapapun di samping bayi itu. Bayi itu sendirian.
"Ibunya sedang pergi ke kamar mandi," kata Nyonya Kim lebih kepada suaminya.
Maka Tuan Kim pun meletakkan kembali putranya dan beralih menghampiri si bayi yang sendirian tersebut. Pria itu mengambil si bayi dari kotaknya,
"Kemana ayahnya?" tanya Tuan Kim sembari mengayunkan si bayi, mencoba menidurkannya kembali.
Nyonya Kim mengangkat bahu, "Ibunya sendirian."
Tuan Kim tidak bertanya lagi, matanya berganti menatap si bayi yang berada dalam gendongannya. Bayi tersebut begitu elok dan lucu. Begitu cantik dengan bibir merah dan rona merah segar di seluruh kulit wajahnya.
"Dia cantik sekali ya," Tuan Kim melirik Nyonya Kim, "Pasti kalau sudah besar akan makin cantik. Benar kan, Tae?" Tuan Kim menunjukkan bayi yang mulai tenang itu ke hadapan Taehyung.
Taehyung kembali mengangguk. Masih bingung. Adik yang ini beda dengan adik yang tadi. Jadi adiknya ada dua?
Begitulah anggapan Taehyung karena ia tidak mendapati orang lain selain ia dan kedua orang tuanya.
"Ya! itu bayi laki-laki," kata Nyonya Kim.
"Ha? Aku salah ya?!" Tuan Kim terkekeh.
"Appa, Tae ingin mencium adik," Taehyung mengguncang kaki ayahnya.
Tuan Kim tertawa kecil, "Sebentar ya, Tae. Adik yang ini masih belum tidur."
Ibu Taehyung melambaikan tangan pada Taehyung, memanggil bocah itu agar mau mendekat. Ibunya menunjuk kotak bayinya dan melambai pada Taehyung lagi.
"Tae mau yang itu. Adik yang itu," Taehyung menunjuk bayi yang digendong ayahnya.
"Tae, adikmu ada pada Eomma. Ayo sana," Tuan Kim melarang Taehyung karena mencium bayi orang adalah tindakan yang kurang sopan jika dilakukan tanpa izin dari orang tuanya. Apa yang akan dipikirkan ibu si bayi jika tiba-tiba ia muncul dan melihat orang asing sedang mencium anaknya.
"Tae ingin adik itu," Taehyung menghentakkan kakinya ke tanah. Wajahnya sudah sangat merah.
"Tae, jangan seperti ini. Hei, nanti Appa belikan es krim, oke? Adik ini bukan adikmu. Kau tidak boleh menciumnya. Kau mengerti kan? Itu adikmu, yang itu."
Taehyung menggeleng. Ia tetap menarik-narik celana ayahnya.
"Biarkan saja. Kau mau menciumnya kan? Ayo, cium saja," seseorang berkata di ambang pintu. Seorang wanita cantik berusia lebih muda dari Nyonya Kim muncul sambil menenteng botol susu dan alat perahnya. Wanita itu menggelung rambutnya dan memakai pakaian pasien.
"Ah, maafkan aku. Tadi bayi anda menangis," kata Tuan Kim.
"Tidak apa. Jungkook memang sering menangis," si wanita menggambil bayinya dari gendongan ayah Taehyung lalu mendudukkan diri di pinggir ranjang.
"Ayo kemari! Bukankah kau mau mencium Jungkook?"
Taehyung menarik tangan ayahnya sebagai isyarat agar mengangkat tubuhnya.
"Namanya Jeon Jungkook. Dia cantik kan?"
Ibu si bayi mengelus kepala Taehyung yang sekarang berada di gendongan Tuan Kim dan baru mengecup pipi putra kecilnya.
Taehyung menyetujuinya. Ia tidak tahu betul arti kata cantik tapi bayi bernama Jungkook itu pasti cantik karena ayahnya bilang Jungkook memang cantik.
"Selamat atas kelahiran adikmu ya. Selamat Tuan Kim," kata Nyonya Jeon, "Anda sudah memberinya nama?"
"Ne, namanya Mingyu. Kim Mingyu."
"Namanya sangat bagus."
"Karena dia bayi yang tampan, namanya juga harus bagus," Tuan Kim menertawai kalimatnya sendiri.
"Mingyu anda boleh saja tampan tapi Jungkook-ku tetap yang tercantik," balas Nyonya Jeon. Wanita itu terkikik, begitu pula Nyonya Kim.
Jungkook tiba-tiba menggeliat dan hendak menangis lagi. Taehyung menatapnya dengan mata bulat berkaca-kaca. Bocah itu mencium bau beda yang khas. Taehyung dengan segala kepolosannya, mencondongkan tubuhnya untuk mencium Jungkook lagi sampai-sampai ayahnya harus menahan keseimbangan agar tidak membuat Taehyung jatuh, pasalnya anaknya itu bergerak dengan tiba-tiba.
"Tae mau cium adik terus."
"Tae punya Mingyu," kata Tuan Kim.
"Tae mau Jungkookie."
Nyonya Jeon tertawa keras, "Kalau begitu sayangilah mereka berdua."
"Eung," Taehyung mengangguk tanpa ragu lalu mendaratkan ciumannya lagi pada Jungkook kecil yang tidak jadi menangis.
Tiga hari kemudian Nyonya Jeon sudah diperbolehkan pulang. Setiap sore sebelum hari kepulangan itu, Taehyun selalu datang bersama neneknya ke Rumah Sakit dan ibunya akan selalu duduk di atas ranjang sembari menggendong Mingyu sementara di ranjang sebelahnya ada Nyonya Jeon yang duduk sambil memeluk Jungkook. Nyonya Jeon selalu membisikan sesuatu yang membuat Jungkook menggeliat atau bergerak protes.
Dan Taehyung akan menghampiri ibunya dan mencium adiknya untuk selanjutnya duduk di sebelah ibunya dan memandangi Jungkook yang berpipi lebih merah dari bayi kebanyakan. Namun, pada hari ke-3, Taehyung tak lagi mendapati Jungkook dan Nyonya Jeon. Ranjangnya kosong dan bersih. Nyonya Kim bilang kalau Jungkook dan ibunya sudah pulang terlebih dahulu karena pada dasarnya Nyonya Jeon lebih lama di Rumah Sakit daripada Nyonya Kim dan kondisi Jungkook yang lahir dua hari sebelum Mingyu juga telah stabil.
"Jungkookie pulang?" tanya Taehyung dalam gandengan neneknya.
"Benar," sahut Nyonya Kim.
"Dimana rumah Jungkookie?" tanya Taehyung lagi.
"Dimana pun itu, Jungkook pasti sangat senang karena bisa pulang ke rumahnya sendiri," Nyonya Kim sama sekali tidak memberikan jawaban yang memuaskan bagi Taehyung kecil.
"Taehyungie suka Jungkookie?" tanya nenek Taehyung.
"Hemm, Appa bilang Jungkookie cantik. Tae suka," Taehyung tertawa dan neneknya mengusap puncak kepala bocah itu dengan lembut.
"Kau pasti bertemu dengannya nanti."
.
.
.
Nyatanya tiga tahun telah berlalu dan Taehyung nyaris lupa pada Jungkook. Ia tidak pernah bertemu dengan bayi bau talac berpipi merah selain Kim Mingyu, adiknya.
Ia menjalani hari-hari bahagianya seperti semula bersama ayah, ibu, nenek dan adik laki-lakinya yang selalu lapar.
"Eomma, beli yang itu! Yang kiri…kiri," Taehyung menunjuk sebuah snack warna coklat tua di baris ke-3 rak minimarket. Bocah laki-laki yang kini berusia 6 tahun itu duduk di dalam troli belanjaan sambil memeluk beberapa kotak susu untuk Mingyu. Taehyung memaksa ikut berbelanja karena ingin sekali membeli permen jelly sama seperti milik temannya, Park Jimin. Mumpung adiknya, Mingyu, sedang tidur dan bisa ditinggal.
Tiba-tiba ia menoleh ke belakang karena ada suara tangis anak kecil. Seorang wanita juga tengah berjongkok mengelus kepala si anak sembari mengembalikan barang-barang yang jatuh dari rak.
"Mana yang sakit, sayang? Sshh, Jungkookie jangan menangis ya! Sini Eomma tiup biar sakitnya hilang."
Nyonya Kim juga berbalik dan ikut memunguti barang yang jatuh sembari memengang troli yang berisi Taehyung.
"Ah, maafkan saya merepotkan Nyonya."
"Tidak apa-apa, eh…kau….kau…bukankah yang sekamar denganku….kita melahirkan di Rumah Sakit yang sama," Nyonya Kim terlihat sangat sumringah, "Ini Taehyungie…dan itu pasti Jeon Jungkook kan?"
Jungkook mengusap air matanya, rambutnya yang lebat dan nyaris menyentuh mata terlihat berantakan.
"Tae, kau masih ingat Jungkookie?" tanya Nyonya Kim.
Taehyung bengong. Sama seperti dulu. Ia tidak bisa mengalihkan perhatiannya dari bocah lucu berpipi merah dengan mata kelinci serupa pingpong mini.
Jungkook berhenti menangis tatkala ada anak lain yang melihatnya menangis. Jungkook mengusap matanya lebih cepat, hidungnya masih basah karena ingus. Anak berusia 3 tahun itu berusaha menyedot kembali ingusnya.
"Aigo, cantiknya!"
Nyonya Kim mengangkat tubuh kecil Jungkook dan memperlihatkannya pada Taehyung.
"Anda kemana saja? Jungkook anda telah membuat Taehyungie-ku kesusahan."
Nyonya Jeon kontan saja langsung minta maaf namun Nyonya Kim meledak tawanya. Nyonya Jeon mengambil alih Jungkook yang sebelumnya ada di gendongan Nyonya Kim.
"Aku hanya bercanda. Taehyung selalu bertanya soal Jungkook dan dimana rumahnya. Aku rasa dia merindukan teman cantiknya."
"Kami langsung pulang ke Busan. Orang tuaku ada di sana. Tapi, akhirnya kami kembali ke Seoul karena aku dapat tawaran pekerjaan di sini."
Obrolan itu terus berlanjut. Kedua ibu itu tidak menyadari Taehyung yang terus memandangi Jungkook. Anak berambut coklat itu akhirnya bersuara,
"Eomma, Tae mau cium Jungkook!"
"Aigo, anak ini!"
"Nah, Jungkookie, Taehyung-ssi ingin mencium Jungkookie. Boleh?" Nyonya Jeon mendekatkan Jungkook kepada Taehyung.
Tanpa disangka Jungkook mendorong kepala Taehyung hingga anak itu terjengkang. Jungkook menggeleng dan mengemut jarinya sendiri. Balita itu memeluk leher ibunya dengan sebelah tangannya yang bebas. Sementara itu, Taehyung sudah berkaca-kaca. Ia hendak menangis karena ada anak kecil yang mendorong kepalanya hingga membentur besi troli.
"Ya Tuhan, maafkan Jungkook. Taehyungie sakit? Jungkook memang terkadang nakal sekali," kata Nyonya Jeon.
Taehyung tak menyahuti, ia malah mengambil permen jelly-nya dan mengulurkannya kepada Jungkook. Jungkook mengintip malu-malu dari lipatan leher ibunya.
"Ambilah. Jungkookie tidak suka permen?" tanya Taehyung. Anak berusia enam tahun itu tersenyum kecil meski baru saja terjengkang.
Jungkook berbisik, "Gamsahamnida" sambil menerima permen pemberian Taehyung lalu memeluk leher ibunya lagi.
Gigi kelinci Jungkook menarik perhatian Taehyung. Bocah itu berpikir bagaimana Jungkook bisa punya gigi seimut itu.
"Eomma, Tae mau main di rumah Jungkookie,"
Kata-kata Taehyung mengingatkan ibunya untuk bertanya tentang alamat rumah Jungkook. Nyonya Jeon bilang, ia dan Jungkook menyewa sebuah apartemen murah di daerah Gwangjin-gu dan sekarang tengah bekerja di salah satu rumah di Gangnam-gu sebagai pengasuh anak-anak. Dan menurut penuturan Nyonya Jeon, Nyonya Kim bisa menyimpulkan pada siapa wanita muda itu bekerja.
Nyonya Jeon bekerja pada salah satu keluarga kaya yang mempunyai anak bernama Kim Seokjin. Kebetulan sekali ia pernah datang ke acara ulang tahun Kim Seokjin mewakili orang tua Namjoon yang pergi ke Swiss.
Namjoon, Kim Namjoon sendiri adalah keponakan Nyonya Jeon yang menjadi adik kelas Seokjin di sekolah. Mereka hampir selalu bertengkar namun anehnya, Namjoon diundang ke pesta ulang tahun Seokjin.
"Kapan-kapan datanglah jika aku sedang libur bekerja, Nyonya. Aku senang jika Jungkook punya teman yang banyak…Jungkook, mau ucapkan selamat tinggal pada kakak itu? Taehyung hyung, ayo ucapkan! Tae-hyung."
Jungkook menggeleng kencang. Ia tidak mau melambai pada anak laki-laki yang sejak tadi memandangnya penuh minat. Anak aneh.
"Jungkookie sedang malu, mungkin lain kali," Nyonya Jeon mengusap puncak kepala Taehyung lalu membungkuk sedikit dan mengajak Jungkook pergi.
Dari kejauhan, Nyonya Kim dapat melihat Nyonya Jeon menggembalikan permen Jelly pemberian Taehyung yang belum ia bayar ke kasir. Wanita yang lebih muda dari Nyonya Jeon itu mengucapkan maaf dan selanjutnya keluar dengan membawa seplastik kecil belanjaan dan Jungkook di gendongannya.
Sepulang dari supermarket, Taehyung terus merengek tentang permen Jelly yang tidak jadi ia beli dan tentang Mingyu yang begitu menyebalkan karena menjambaknya berkali-kali.
Kim Mingyu telah tumbuh menjadi balita menggemaskan dengan rambut sehitam jelaga sedikit berbeda dengan Taehyung yang rambutnya cenderung berwarna coklat gelap. Tapi kedua kakak-adik itu sama-sama memiliki bentuk mata yang indah dan tajam.
Kendati sempat marah pada Mingyu, Taehyung segera menceritakan tentang Jungkook kepada Mingyu. Nyonya Jeon hanya tersenyum sambil mengeluarkan semua belanjaan dari plastik.
"Dia kenapa?" tanya nenek Taehyung. Wanita yang nyaris berumur 50 tahun itu menunjuk Taehyung dengan dagunya.
"Habis ketemu pacarnya," ucap Nyonya Kim setengah bercanda. Ia memasukkan kubis ke dalam kulkas.
"Ha? Pacar yang mana? Anak siapa? Yeoja seperti apa dia?"
"Jeon Jungkook. Anak dari perempuan yang sekamar denganku waktu melahirkan Mingyu dulu. Kami bertemu mereka di minimarket tadi. Setelah hampir 3 tahun, ini pertama kalinya aku bertemu lagi dengan wanita itu."
"Oh, Jungkook yang itu. Dia itu namja atau yeoja sih?" nenek Taehyung mengaruk pelipisnya seakan ingin mengingat-ingat sesuatu.
"Namja. Tapi cantik sekali. Kalau Ibu melihatnya, Ibu pasti akan mengira Jungkook itu anak perempuan. Aku jadi kepikiran untuk menjodohkannya dengan Mingyu-ku. Pasti cocok sekali," Nyonya Kim terkikik.
"Husy! Bicara apa kau ini. Mingyu itu masih bayi, Jungkook juga sama, mereka belum bisa pacaran. Kalaupun ada yang harus pacaran, itu adalah Taehyungie. Dia menangis karena Jungkook pulang dari rumah sakit. Kau pikir dia tidak akan menangis kalau tahu adiknya pacaran dengan orang yang dia sukai. Jangan buat cucuku menangis lagi, mengerti?"
"Aish, Ibu galak sekali."
"Bagaimana aku tidak galak, kau lihat Taehyung. Dia bercerita panjang lebar tentang Jungkook," Nenek Taehyung tersenyum kecil sambil membantu Nyonya Kim menempatkan bahan makanan ke dalam kulkas.
"Sekarang Ibu Jungkook bekerja sebagai pengasuh di rumah keluarga Kim yang kaya raya itu. Yang gerbang rumahnya ada gambar meraknya. Ibu tahu kan? Dua blok dari sini."
Nenek Taehyung mengangguk pelan lalu memandangi Taehyung lalu kembali kepada Nyonya Kim.
"Tae, kemari sebentar! Ayo sini, Nenek mau bicara."
"Hemmm? Waeyo?" sahut Taehyung kecil.
"Kau suka Jungkookie?"
"Jungkookie? Tae suka Jungkookie."
"Benar kau suka padanya?"
"Ne," jawab Taehyung lantang.
"Jungkookie boleh main dengan Mingyu?"
"Eh? Boleh, kalau Tae juga ikut."
"Apa Jungkookie cantik?"
"Cantik."
"Ada yang lebih cantik?"
"Eomma."
Mingyu memekik memanggil Taehyung dan tanpa berpamitan Taehyung berlari menghampiri adiknya yang ia tinggalkan.
Nenek Taehyung mengusap wajahnya. Wanita itu menutup sebagain wajahnya lalu tertawa keras sekali sampai Nyonya Kim kaget dan menjatuhkan mangkok isi kecambahnya.
"Ibu kenapa?"
"Rasanya baru kemarin Taehyung lahir dan sekarang ia sudah mahir merayu orang."
Nenek Taehyung melanjutkan tawanya sementara Nyonya Kim mengangkat bahu tidak paham. Pantas saja terkadang Taehyung bertingkah aneh. Neneknya pun sama anehnya.
Ya Tuhan.
Pada kesempatan yang selanjutnya, Nyonya Kim mencoba menyambangi tempat kerja Nyonya Jeon. Ternyata benar jika Nyonya Jeon bekerja pada salah seorang konglomerat di Gangnam-gu. Nyonya Kim cukup terkejut melihat Nyonya Jeon yang lebih muda darinya itu sedang membujuk anak lelaki berusia lebih kurang sembilan tahun yang sedang merajuk tepat di depan rumahnya. Anak laki-laki itu tampan, memakai kacamata, memegang kekang anjing putih jenis Maltese dan juga menggandeng anak kecil usia tiga tahun yang terlihat kebingungan. Bocah tiga tahun itu bolak-balik memandangi si anak berkacamata dan ibunya, Nyonya Jeon.
"Aku mau jalan-jalan dengan Kookie, Ahjumma," kata si anak berkacamata.
"Sebentar lagi gelap, bagaimana kalau besok saja? Ya? Kalau Tuan sampai tahu, Beliau bisa marah. Tuan muda Jin tidak boleh pergi sendirian, lagipula Jungkook belum mandi, lihat keringatnya, aish…jelek sekali, tidak pantas dilihat orang," kata Nyonya Jeon. Wanita itu tahu jika Jin mulai terobsesi pada Jungkook. Mungkin karena Kim Seokjin adalah anak tunggal dalam keluarganya.
Jin memeluk kepala Jungkook, "Tidak, Kookie baik-baik saja. Kookie bilang dia mau es krim. Jika Kookie mau es krim dia harus mendapatkannya."
"Di kulkas ada es krim-"
"Kookie tidak suka rasa coklat," bentak Jin.
"Ah, benarkah? Jungkook itu suka makan apa saja. Jungkookie, Jungkookie suka es krim coklat?" Nyonya Jeon membelai kepala Jungkook, ia harap Jungkook mau berkompromi dengannya karena ia sekarang sedang repot dan tidak bisa menemani Jin pergi. Tukang masak keluarga Kim tidak bisa datang hari ini dan Nyonya Jeon terpaksa memasakkan makanan untuk mereka semua.
Satpam dan bodyguard di rumah itu tidak berani menentang Jin karena anak itu suka mengadu kepada ayahnya dan ayahnya tidak segan-segan untuk memecat orang yang menurut anaknya kerjanya tidak menyenangkan hati. Masih ada ratusan orang yang mengantri bekerja di rumah itu. Begitu pikirnya. Memang cenderung angkuh.
"Ne, Jungkookie suka," jawab Jungkook.
Nyonya Jeon menghela nafas dan Jin kelihatannya juga menyerah. Anak itu masih memeluk Jungkook. Saat Jin dan Jungkook hendak masuk ke dalam, Nyonya Kim yang sejak tadi memperhatikan perdebatan mereka memanggil Nyonya Jeon.
"Jeon-ssi!"
"Ah, Kim-ssi!" Nyonya Jeon tersenyum lembut seperti biasanya.
Jin mengernyit dan melepaskan pelukannya pada Jungkook. Ia tidak pernah melihat wanita di depan Nyonya Jeon apalagi anaknya yang terus memandangi Jungkook dengan pandangan yang Jin bisa artikan sebagai kekaguman.
"Taehyungie apa kabar? Oh, apa ini Mingyu? Wah, lucunya," Nyonya Jeon melongok ke kereta bayi Nyonya Kim dan menemukan Mingyu tengah tertidur.
"Tae, ayo beri salam!"
"Annyeong Jeon-ssi," kata ini hanya diucapkan sepersekian detik sebelum Taehyung akhirnya berlari pada Jungkook. Anak berambut coklat itu memegang lengan Jungkook, mengabaikan Jin yang sedari tadi memandanginya dengan pandangan tak suka.
"Annyeong, Jungkookie….Selamat sore," Taehyung akhirnya menyapa Jin.
Jin melengos dan menyingkirkan tangan Taehyung dari lengan Jungkook. Tapi bukan Taehyung namanya jika ia tidak membuat kesal orang. Anak itu memegang lengan Jungkook lagi.
"Kookie mau makan es krim. Bisa kau lepaskan tangannya, bocah?!" kata Jin.
"Tae juga suka es krim. Eomma, belikan Tae es krim ya? Tae mau makan es krim juga seperti Jungkookie!"
Nyonya Kim menggaruk tengkuknya melihat kelakuan Taehyung.
"Jungkook tidak mengajakmu. Benarkan, Kookie? Kajja, kita masuk dan makan es krim sambil nonton Pororo," Jin menggandeng Jungkook, ia menuntunnya perlahan. Anjing di samping Jin menyalak gembira ketika tuannya mengajaknya berjalan.
"Tidak boleh! Jungkookie jangan pergi. Tae ingin main dengan Jungkookie. Eomma! Kakak ini mau pergi bawa Jungkookie. Tae tidak suka kakak ini. Jungkookie, sini sama Tae. Sini!" Taehyung menarik tangan Jungkook.
Mereka berdua bertengkar sementara Jungkook hanya meringis kesakitan. Ia tidak menangis. Hanya meringis. Di satu sisi ia ingin pergi makan es krim dan nonton TV tapi ada anak aneh yang sejak beberapa hari yang lalu selalu menganggunya. Anak lelaki yang memanggil namanya dengan begitu manis. Anehnya Jungkook menyukainya. Jadi ia tidak bisa mengabaikan Jin maupun anak yang dipanggil Taehyung itu.
"Taehyung, Jungkook kesakitan. Lepaskan dia, Tae. Minta maaf!" kata Nyonya Kim.
"Tae mau Jungkookie!" pekik Taehyung sampai-sampai Mingyu terkejut dan terbangun.
Taehyung menangis. Jungkook jadi tambah kebingungan dan mengeratkan pegangannya pada Jin. Bocah manis itu tiba-tiba mengelus bahu Taehyung,
"Hyung, jangan menangis. Eomma bilang nanti wajahmu i-isa jelek. Hyung mau main cama-cama? Jin-hyung mainannya banyak. Jangan nangis, ne?"
Taehyung mengangguk dan mencium pipi Jungkook, membuat pipi gembil Jungkook yang tadinya kering jadi sedikit basah karena air mata Taehyung.
Sementara Jin hanya cemberut, masih memegangi Jungkook. Jungkooknya terlalu lucu dan menggemaskan untuk dibagi dengan orang lain.
Nyonya Kim meminta maaf atas nama Taehyung tapi Nyonya Jeon menepuk punggung tangan wanita yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. Nyonya Jeon bilang ia tidak punya banyak pengalaman tentang anak-anak dan malah ikut minta maaf karena Jungkook telah membuat Taehyung menangis. Nyonya Jeon begitu muda tapi Nyonya Kim sudah melihat kerut lelah di matanya. Wanita itu kelihatannya terlalu banyak tersenyum, tangannya juga terasa kasar. Wanita semuda itu sudah melewati hidup yang berat. Kelihatannya seperti itu.
Karena Nyonya Kim adalah tamu Nyonya Jeon maka Taehyung, Jin dan Jungkook hanya bisa bermain di dekat gerbang. Mereka tidak jadi makan es krim karena Jin mendadak jadi malas melihat Taehyung yang terus menempel pada Jungkook dan mencium balita 3 tahun itu setiap lima menit sekali. Dan yang lebih menyebalkan Jungkook seperti merespon semua perlakuan Taehyung. Jungkook beberapa kali mengelus tangan Taehyung, memastikan agar anak berambut coklat itu tidak menangis lagi.
"Kapan sih kau pulangnya?" tanyanya pada Taehyung.
"Aku tidak mau bicara padamu," sahut Taehyung.
"Ya! Aku ini lebih tua darimu,"
"Lalu?"
"Ya! Anak ini tidak mengerti sopan santun," Jin mengedipkan matanya tidak percaya.
Di tengah acara main mereka tiba-tiba Mingyu bergabung dan langsung memasukkan jari telunjuknya ke dalam mulut kecil Jungkook. Mingyu menggigil ketika Jungkook menjilat jarinya. Mingyu tidak mengerti, ia hanya melihat bibir Jungkook sebagai objek yang menarik karena bentuk dan warnanya yang menggemaskan.
"Nyonya Jeon," panggil Nyonya Kim.
"Ne?" Nyonya Jeon menyahuti. Ia baru kembali dari dalam rumah untuk mengecek pekerjaannya.
"Lain kali jangan melahirkan anak yang terlalu cantik," Nyonya Kim memberikan tatapan jenaka.
Nyonya Jeon hanya tertawa kecil, kalau diperbolehkan memilih ia juga tidak ingin melahirkan Jungkook seperti ini. Tanpa suami dan hidup miskin.
"Jungkook terlalu menarik perhatian. Aku yakin dia pasti membuat banyak namja menangis kalau sudah besar. Buktinya kedua putraku langsung menyukainya."
"Nyonya terlalu melebih-lebihkan. Aku hanya ingin Jungkook-ku tumbuh menjadi namja yang kuat. Tidak malu punya ibu sepertiku. Namja yang baik hati, ceria, dan penyabar. Itulah bayanganku tentang Jungkook," ucap Nyonya Jeon agak emosional.
"Jangan lupa, dia itu cantik," Nyonya Kim memukul pelan lengan Nyonya Jeon.
"Ah iya, Jungkook-ku yang cantik. Aku harap kecantikan itu tidak akan melukainya suatu saat nanti."
"Namaku Jeon Jungkook. Senang bertemu dengan kalian," Jungkook membungkuk dalam. Ini adalah hari pertamanya di SMA.
Pagi tadi, tuan mudanya yang sudah ia anggap seperti hyungnya sendiri ribut ingin mengantarkan Jungkook ke sekolah meski Jungkook sudah menolaknya berkali-kali. Bukan karena tidak mau, tapi ada anak laki –laki lain yang memaksa mengantarnya. Anak itu memojokkan Jungkook di depan gerbang rumah Jin dan berkata bahwa Jungkook akan ke sekolah bersama anak itu. Titik.
Jadilah Jungkook agak sedikit terlambat karena adegan drama di depan rumah antara Jin dan namja yang akan mengantarnya, Kim Taehyung.
"Wah, imutnya. Apa dia itu laki-laki? Pacarku saja kalah imut," celetuk seseorang di kelas.
Beberapa laki-laki tertawa dan hal tersebut membuat Jungkook sedikit memerah. Di baris kedua, seorang anak laki-laki tampan melambaikan tangannya pada Jungkook. Namja itu menepuk tempat duduk di sebelahnya sambil tersenyum lembut.
"Jungkook-ah," kata si namja.
"Boleh saya duduk, Saem?" Jungkook menatap gurunya.
"Ya. Lain kali jangan terlambat lagi. Kau boleh pilih tempat duduk sesukamu."
Jungkook mengangguk patuh. Beberapa anak yang bangku di sebelahnya masih kosong mulai menepuki bangku kayunya, isyarat bahwa mereka mempersilakan Jungkook untuk duduk di sampingnya. Tapi Jungkook langsung menuju ke bangku di sebelah si namja yang memanggilnya tadi.
"Annyeong, Mingyu-ya. Terima kasih sudah mencarikan bangku untukku."
"Kau selalu terlambat di hari pertama sejak SD karena si alien dan si maniak makanan itu," Mingyu merapikan poni Jungkook yang sedikit kusut.
"Mereka memang sedikit keterlaluan pagi ini," Jungkook ikut merapikan poninya.
"Hei, Jungkook! Aku Bam-Bam! Salaman," kata seseorang dengan wajah ceria di belakang Mingyu dan Jungkook.
"Ah iya, aku Jungkook."
"Omo, dilihat dari dekat ternyata kau memang sangat imut ya."
"Gamsahamnida" Jungkook selalu tersipu jika dipuji karena Eomma-nya selalu mengajarkan untuk berterimakasih pada setiap pujian orang.
"Tutup mulutmu. Jangan menggodanya," Mingyu memutus salaman antara Jungkook dan Bam-Bam.
"Memang kau pacarnya?" Bam-Bam tidak terima dengan kelakuan Mingyu.
"Di luar sana sudah ada alien gila yang mengejar Jungkook. Tolong, biarkan aku menghadapi orang gila itu dulu dan jangan jadi sainganku. Oke?"
Bam-Bam melongo, begitupula dengan Jungkook. Bam-Bam baru kenal dengan Mingyu dan pemuda tinggi itu sudah berani mengancamnya.
"Mingyu, maksudmu-"
"Apa?" Mingyu sedikit jengkel, ia sudah menyatakan perasaannya secara terang-terangan kepada Jungkook berkali-kali namun Jungkook masih saja tidak mengerti, tidak menanggapi dan yang paling menjengkelkan, Jungkook memberikan perhatian kepada kakaknya, Taehyung, "Aku memang menyukaimu," Mingyu terlihat masa bodoh dan mencium pipi Jungkook begitu saja.
Jungkook merona hebat, sesuatu hendak meluncur keluar dari mulutnya.
"Gyu-"
"Yang disebelahnya Jungkook, bisa diam sebentar? Jika kalian ingin terus mengobrol, kalian bisa melanjutkannya di ruang BP," tegur guru yang tengah mengajar di depan.
Mingyu dan Bam-Bam diam, Jungkook tersenyum penuh sesal dan meminta maaf. Padahal itu jelas bukan salahnya. Mingyu selanjutnya mengenggam tangan Jungkook di bawah meja dan beberapa kali mencuri pandang kepada Jungkook. Dulu, Jungkook kira Mingyu hanya iseng tapi nampaknya Mingyu tidak main-main saat membisikan bahwa Mingyu akan menang dari laki-laki manapun, termasuk Kim Taehyung.
Jungkook,
He got goosebumps
.
.
.
Jungkook memutuskan untuk pulang sendiri setelah Mingyu diseret oleh dua orang namja berparas tampan. Jungkook sempat membaca nametag mereka, Choi Seungchol dan Hansol Vernon. Namja yang satu mirip vampir dan yang satunya mirip aktor yang pernah Jungkook tonton fimnya di kamar Jin. Mereka bilang ada urusan klub dengan Mingyu.
Namja berusia 16 tahun itu mengecek jam tangan saat dirasa langit mulai menggelap. Ini hari pertamanya tapi ia bukan namja penakut yang tidak bisa pulang sendiri. Hari ini, Ibu Jungkook tidak bekerja, wanita itu izin pergi ke Gwangjin-gu untuk melunasi biaya sewa apartemen mereka. Jungkook sedikit heran kenapa ibunya tetap mempertahankan apartemen itu meski mereka bisa tinggal sesuka hati di rumah keluarga Kim yang luas. Jungkook dan ibunya bahkan mendapat paviliun tersendiri. Paviliun dengan dua kamar kecil yang berhadapan. Tidak ada yang lebih baik bagi Jungkook selain paviliun itu. Dimana Jungkook bisa melihat ibunya tertidur dan mengurut kakinya sendiri.
Pada usia Jin yang ke-14, Nyonya Jeon berniat untuk mengundurkan diri karena menganggap Jin sudah terlalu dewasa untuk punya pengasih anak seperti dirinya. Jin juga tumbuh menjadi pemuda jangkung yang bisa menghajar dua orang sekaligus saat latihan karate. Nyonya Jeon merasa sudah tidak dibutuhkan lagi.
Namun, nyatanya itu hanya pemikiran Nyonya Jeon. Jin tidak punya pemikiran bahwa dirinya tidak membutuhkan Nyonya Jeon lagi. Ia kesulitan untuk menemukan pengasuh yang cocok, ketika Nyonya Jeon datang terlebih lagi ada Jungkook, Jin merasa hidupnya sudah lengkap. Pemuda itu tidak mendapatkan kasih sayang yang cukup dari kedua orang tuanya jadi ketika Jungkook kecil dibelai oleh ibunya di dapur, ia akan mengintip, tanpa disangka Nyonya Jeon yang mengetahui keberadaan Jin justru akan memanggilnya dan akan membelai Jin juga. Jadi Jungkook dn Jin akan meletakkan kepala mereka di pangkuan Nyonya Jeon dan Nyonya Jeon akan bersenandung lirih sambil sesekali mendongengi mereka bagaimana cara membuat bibimbap atau telur dadar.
Jadi ketika Nyonya Jeon mengutarakan pemikirannya untuk berhenti, Jin malah membentak Nyonya Jeon dan menyembunyikan Jungkook di kamarnya. Ia tidak ingin berpisah dari Jungkook. Untungnya Tuan Kim sama sekali tidak keberatan untuk terus mempertahankan Jungkook dan ibunya. Bagi keluarga tersebut, apa yang membuat Kim Seokjin bahagia maka harus dijaga, sekalipun itu hanya seorang pengasuh.
"Jeon Jungkook, kenapa kau sendirian saja? Mana Taehyung? Mingyu? Jin-hyung?" sebuah motor menepi di depan Jungkook. Dari balik helm tersebut Jungkook bisa mengenali seorang namja yang ia ketahui sebagai saudara Taehyung, Kim Namjoon.
Namjoon sudah duduk di bangku kuliah. Tampan. Lebih dari sekedar cerdas. Mungkin jenius. Kaya. Murah senyum. Byuntae. Sudah menonton yadong pada usia 14 tahun.
"Namjoon-hyung," Jungkook berlari menghampiri Namjoon dengan ekspresi senang.
"Mana para bodyguardmu itu? Tidak biasanya mereka melepas kelinci kesayangan mereka seperti," kata Namjoon mengulangi pertanyaan yang belum Jungkook jawab.
"Oh, mereka sedang sibuk. Lagipula, aku ini namja. Aku bisa pulang sendiri. Aku hafal alamat rumah Jin-hyung, tahu bis apa yang harus aku naiki," Jungkook mengerucutkan bibirnya.
"Jinjja? Kalau begitu aku tidak jadi memberi tumpangan. Sampai ju-"
"Tunggu! Antar aku pulang. Aku sedang berhemat dan berusaha untuk menabung. Ayo jalan," Jungkook melompat ke jok belakang motor Namjoon dan mencengkeram jaket Kim Namjoon.
"Ah imutnya. Pantas saja Taehyungie begitu menginginkanmu, ini pakai helm dulu" Namjoon mencolek pinggang Jungkook.
Jungkook menulikan pendengarannya. Ia tahu Kim Taehyung mengejarnya, tapi kenapa?
Kim Taehyung lebih dari sekedar kurang kerjaan jika berusaha mengejarnya. Menurut Jungkook, dirinya terlalu biasa untuk bersanding dengan Taehyung. Jungkook tidak terlalu tampan, dia tidak punya apa-apa kecuali tabungan yang tidak bisa dibilang banyak, Jungkook bahkan tidak punya ayah. Di akte kelahirannya hanya tertulis 'Jeon Jungkook anak dari ibu'. Kenyataan tersebut membuat Jungkook selalu tidak percaya diri, terlebih di depan Taehyung.
"Ayo jalan, Hyung!" desak Jungkook.
"Bawel. Aku sedang menyalakan mesinnya," Namjoon memamerkan motornya dengan menggeber motornya dengan agak brutal.
"Hyuuuung~, lebih cepat! Ngebut!" Jungkook berteriak tepat di samping telinga Namjoon.
"SIM-ku baru dikembalikan kemarin dan kau sudah menyuruhku untuk kebut-kebutan. Baiklah, jangan nangis kalau nanti aku benar-benar ngebut," Namjoon terkekeh ketika Jungkook memeluk pinggangnya dengan erat.
Jungkook menggigil ketika angin menerpa wajahnya dengan gerakan paling kurang ajar. Menampar kulit wajah Jungkook sampai kering. Tapi Jungkook senang. Sudah lama ia tidak naik motor.
"Ngomong-ngomong, apa Jin-hyung sudah punya pacar?" tanya Namjoon di sela-sela ia berkendara.
"Aku tidak tahu. Wae?"
"Ya! Kau kan selalu bersamanya, mana mungkin tidak tahu. Kalau sudah ada juga tidak apa-apa," suara Namjoon nyaris menyaingi suara laju motornya.
"Ya!" Jungkook ikut membentak Namjoon, "Aku kan anak pengasuhnya bukan anak Jin-hyung. Memangnya aku harus tahu segalanya tentang dia. Kenapa tanya-tanya? Hyung naksir Jin-hyung?"
"Kelihatan sekali ya?"
Mendadak Jungkook menelan serangga, ia terbatuk-batuk hebat tapi Namjoon sama sekali tidak menghentikan motornya. Mereka terus melaju menembus kabut sore. Pertanda musim dingin hampir tiba.
.
.
.
Jungkook melihat sekelebat sosok di pintu gerbang rumah Jin. Sosok itu mengenakan hoodie putih kebesaran dan celana training biru gelap dengan garis vertikal di tengah-tengahnya.
Namjoon menghentikan motornya dan langsung pergi ketika melihat aura gelap dari sosok itu. Ia bahkan lupa meminta kembali helm yang dipakai Jungkook.
"Kau darimana saja?"
"Hyung, aku-,"
"Kenapa tidak menungguku? Aku sudah bilang akan menjemputmu."
"Tae-hyung," Jungkook memelas, ia memegang tangan Taehyung dan mengenggamnya begitu saja, menautkan jari-jari mereka.
"Kau membuatku khawatir, Jungkookie," Taehyung mendesah, "Aku mengendara dengan kecepatan penuh agar bisa menjemputmu tepat waktu," Taehyung mencium puncak kepala Jungkook. Baunya masih seperti biasanya. Menggoda Taehyung untuk terus mendaratkan bibir di sana.
"Aku baik-baik saja, Hyung. Kebetulan aku bertemu Namjoon-hyung di jalan dan dia memberiku tumpangan."
"Harusnya kau tetap berdiri di depan sekolahmu dan tunggu aku, sampai aku datang," Taehyung mengusak rambut Jungkook. Langit sudah semakin gelap dan Jungkook sudah mendengar suara Jin yang memanggil Jungkook.
"Wae? Kenapa aku harus menunggu? Kau bisa saja tidak datang. Kau pernah meninggalkan Mingyu di taman bermain sampai menangis. Kau mungkin akan mengerjaiku juga," Jungkook membenarkan letak tas ranselnya.
Taehyung menyentuh dagu Jungkook, mengangkat wajah Jungkook agar sejajar dengan wajahnya. Taehyung bernafas lebih cepat, jari-jari panjangnya menelusuri pipi gembil Jungkook membuat si empunya menggigil, bulu romanya meremang.
"Hyung,"
"Kau sudah sebesar ini. Semakin cantik dan menggemaskan. Bagaimana kalau ada yang ingin merebutmu dariku, hm? Aku menghabiskan bertahun-tahun untuk menjagamu dan ketika kau memutuskan untuk berjalan sendiri, aku takut, Jungkook-ah."
Mata Taehyung bergerak liar, menyapu wajah Jungkook yang sekarang sangat merah.
"Aku hanya terlambat pulang dan reaksimu sudah seperti ini," bisik Jungkook.
"Aku juga bisa menyembelih orang sama seperti Jin-hyung jika satu hari saja tidak mendengar kabar tentangmu. Aku bisa gila, kau dengar aku?" Taehyung menahan kepala Jungkook ketika namja yang lebih muda darinya itu hendak memalingkan muka, "Hei, lihat aku! Dengarkan aku! Aku mungkin sudah mengatakan ini berkali-kali tapi," Taehyung mendaratkan ciuman ringan di bibir Jungkook. Menyapu bibir kering Jeon Jungkook dengan sangat lembut, "Saranghaeyo."
Jungkook meriut, ia mendadak merasa kecil di hadapan Taehyung.
"Jin-hyung mencariku, aku akan segera masuk," Jungkook menggaruk tengkuknya sendiri, ia menenteng helm milik Namjoon.
Senyum Taehyung yang tadinya hendak timbul tiba-tiba karam lagi setelah mendengar balasan Jungkook. Jungkook selalu saja menghindar jika menghadapi Taehyung yang mendadak romantis sekaligus menyeramkan seperti ini.
Taehyung cemberut di depang gerbang. Mengingatkan Jungkook pada perkataan ibunya.
Pada suatu malam berangin saat Jungkook masih duduk di bangku SMP, ia tidak bisa tidur karena kipas angin di paviliun rusak. Nyamuk-nyamuk mengerubuti telinga Jungkook dan Nyonya Jeon berusaha untuk mengusir nyamuk-nyamuk itu dengan mengipasi Jungkook sepanjang malam. Pada saat itu, Nyonya Jeon tidak sengaja menyinggung tentang Taehyung, Jungkook lalu bercerita soal Taehyung yang selalu mengantarkannya sampai depan gerbang sekolah dan menjemput Jungkook dengan sepeda bersadel rendah. Nyonya Jeon mengelus wajah Jungkook dan berkata,
"Kim Taehyung itu sama seperti Tuan Muda Jin, Jungkook-ah. Dia juga tinggal di rumah yang besar, tidak harus bersusah payah untuk mendapatkan apa yang ia inginkan, dunia yang ia tahu sama sekali berbeda dengan duniamu, Jungkook-ah. Kau boleh berteman dengan siapapun, siapapun, hanya saja….terkadang kita tidak selalu bisa bersanding dengan seseorang yang sejak awal punya kedudukan yang berbeda. Kau paham?"
Jungkook menggeleng sambil menepuk nyamuk yang hinggap di siku tangannya.
"Ah, tidak apa-apa kalau tidak mengerti. Nanti juga kau paham. Pokoknya, jangan melakukan hal yang mustahil untuk kau lakukan. Sekarang, tidurlah. Selamat malam malaikat Eomma."
Kelebat kenangan masa kecilnya dengan ibunya muncul silih berganti di kepala Jungkook. Kini kelebat kenangan bertambah rumit saat ia melihat Taehyung berdiri mematung di gerbang. Rambut coklat halus Taehyung tertiup angin melambai bosan seakan-akan tidak punya daya lagi. Mata coklat namja itu memandang Jungkook dengan putus asa.
Jungkook mengutuk dirinya, dia telah menyakiti hati Taehyung hanya karena tidak ingin menyusahkan Taehyung. Selama ini Taehyung telah banyak mengorbankan waktu bermainnya untuk menunggui Jungkook dan mengajarkan bagaimana cara mengambar bebek di masa kecil mereka. Taehyung kecil dulu akan berlari dari rumahnya ke rumah Jin untuk menunjukkan kepada Jungkook bahwa hasil gambaran gunungnya mendapat empat bintang di sekolah. Taehyung juga sering menolak ajakan bermain dari teman-temannya, sebaliknya ia meminta dibelikan Nintendo dan komputer baru untuk main game bersama Jungkook dan terpaksa bersama Jin juga.
Taehyung terlalu baik. Gentle
Tanpa disangka Jungkook berbalik dan menghambur kepada Taehyung. Menubruk Taehyung dengan kekuatan penuh dan air mata. Pemuda 16 tahun itu menangis tertahan.
"Nado saranghae, Hyung."
Jungkook membalas ciuman Taehyung. Ia mencium sudut bibir Taehyung, dengan gemetaran pula ia mencium dagu Taehyung dan ciuman itu semakin merambat ke telinga.
Taehyung tertawa ketika Jungkook membalas ciumannya, "Aigo, Jungkookie. Kelinci kecilku sudah mulai nakal."
"Kenapa nakal?" Jungkook mendorong tubuh Taehyung.
"Jeon Jungkook mencium bibir Kim Taehyung dan menangis di bahunya tapi tetap tidak mau menyebut Kim Taehyung sebagai namjachingu-nya."
"Sejak kapan kita pacaran?" Jungkook kembali mendorong tubuh Taehyung yang sekarang menempel ketat ke tubuhnya.
"Sejak kau bilang mencintaiku juga, Jungkookie. Wah, lihat wajah merajuk itu. Ya…Ya…Aww kenapa kau menggigit tanganku, Jungkook?!"
"Kau menyebalkan," sahut Jungkook.
"Beruntung kita ada di depan tempat tinggalmu, jika tidak-"
Jin mendadak muncul di balik gerbang dan melotot kepada Jungkook dan Taehyung. Surai pria yang kini menginjak usia 21 tahun itu bergoyang saat dirinya menarik Jungkook ke sampingnya.
"Cukup. Jam main sudah selesai. Kookie harus masuk dan makan malam, mandi dan tidur karena besok dia masih harus ke sekolah dan mendengarkan guru. Kau bisa pulang sekarang, Taehyung-ssi."
"Hyung, jangan begitu, kasihan Tae-hyung," Jungkook memberi tatapan memelas.
"Bocah brandal seperti dia bikin kesal saja. Dia itu cuman baik di depanmu saja,-"
"Jungkookie, masuklah," ucap Taehyung sambil tersenyum.
"Ne, Hyung," Jungkook langsung berlari masuk ke dalam paviliun.
"Taehyung-ssi, tolong biarkan Jungkook istirahat. Dia itu pelajar SMA. Baru kelas satu dan kau sudah menciumnya di depan rumahku, di pinggir jalan, di cuaca sedingin ini, ya ampun, namja macam apa kau ini," cerocos Jin.
"Kalau kau mau pinjamkan salah satu kamar di rumahmu, aku bisa mencium Jungkookie di sana. Hangat, bebas dari pandangan mata orang, jika kau bertanya namja apa aku ini, yang jelas aku pacar Jungkookie. Selamat sore," Taehyung berbalik pergi. Ia menutup kepala dengan hoodie putihnya.
"Bocah kurang ajar! Kemari kau! Ya! Kim Taehyung! Selamanya, aku tidak akan merestuimu dan Jungkook-ku. Kau dengar itu? Selamanya!"
"Selamat siang, Nyonya Kim," Jungkook menyapa ibu Taehyung dan Mingyu dengan ramah, ia membungkuk dalam dan tersenyum riang setelahnya.
"Oh, Jungkookie. Masuklah! Kenapa sudah pulang?" Nyonya Kim melirik Mingyu yang melemparkan tasnya ke atas sofa lalu langsung mencari air dingin di kulkas.
"Ada demo di pusat kota, kami di suruh pulang terlebih dahulu," jawab Mingyu sesaat setelah meneguk sebotol air dingin.
"Kau sudah mengabari ibumu? Jika belum segera telpon dia, dia pasti sangat mengkhawatirkanmu," kata Nyonya Kim sembari mematikan oven.
"Sudah, Nyonya Kim," Jungkook tersenyum canggung saat Mingyu mengulurkan sekaleng soda.
"Kita sudah bertetangga bertahun-tahun dan kau masih saja sekaku itu, Jungkook-ah. Aku ini ibunya Taehyung dan Mingyu loh, kau boleh memanggilku 'eomma' jika mau."
"Mianhae."
"Sudahlah…kalian mau minum apa? sirup atau jus?" tanya Nyonya Kim. Wanita itu bahagia melihat Mingyu yang sepertinya dari tadi tidak bisa mengalihkan pandangannya dari senyum Jeon Jungkook.
"Jus," kata Mingyu dan Jungkook bersamaan.
"Akan siap dalam sepuluh menit. Tunggu sebentar ya, tuan-tuan," ucap Nyonya Kim berlagak seperti pramusaji.
Jungkook melihat-lihat rumah Mingyu. Selama ini ia tidak terlalu memperhatikan ternyata rumah Mingyu juga sama bagusnya dengan rumah Jin. Bedanya keluarga Kim yang ini tidak punya paviliun dan tidak punya banyak koleksi mobil. Ngomong-ngomong soal mobil, Jungkook melihat mobil Taehyung terparkir manis di halaman depan, kemungkinan besar namja 18 tahun itu sedang ada di rumah.
"Tae-hyung di rumah?" tanya Jungkook mencoba untuk memastikan.
"Mana kutahu. Hei, kita ke sini bukan untuk membahasnya kan? Kau sudah janji untuk main game bersamaku. Yang kalah harus menraktir es krim di minimarket seberang jalan. Deal?" desak Mingyu. Namja tampan itu merangkul Jungkook.
"Satu es krim saja ya?!"
Kim Mingyu tidak tahan untuk tidak mengacak rambut Jungkook. Cara Jungkook untuk menawar hukuman darinya sangatlah menggemaskan. Harusnya Jungkook tahu kalau Mingyu tidak akan tega membuat Jungkook membayar es krim untuknya hanya karena kalah main game.
"Ya, satu saja sudah cukup."
Keduanya masuk ke dalam kamar sambil membawa nampan berisi camilan, kue kering dan jus dari Nyonya Kim. Komputer Mingyu macet sejak awal dinyalakan dan membuat Mingyu berang. Maka, Jungkook mengambil inisiatif untuk meminta bantuan Taehyung. Karena setahu Jungkook, Taehyung lebih jago dalam masalah IT dibandingkan mereka berdua.
"Biar aku panggilkan, Tae-hyung sebentar ya," Jungkook segera berlari ke arah kamar Taehyung.
Pintu kamar Taehyung terbuka sedikit, cukup lebar bagi seseorang yang berniat untuk mengintip. Jungkook mengintip, mula-mulanya hanya terlihat kaki Taehyung namun lama kelamaan ada kaki lain. Empat kaki. Dan sepasang diantaranya adalah milik seorang perempuan. Jantung Jungkook berdetak menggila. Apakah keputusannya untuk mendatangi Taehyung di kamarnya adalah keputusan yang tepat? Bagaimana kalau dia menghancurkan momen Taehyung? Bagaimana kalau dia menghancurkan hatinya sendiri?
Tenggorokan Jungkook mendadak kering. Seingatnya ia sudah minum cukup banyak. Kenapa serak sekali?
Tangannya terayun, terangkat ragu. Jungkook memastikan sekali lagi dengan mengintip ke celah pintu. Taehyung sedang menepuk kepala si perempuan. Jungkook tersenyum pahit, ia menghela nafas. Penyesalan tidak ada gunanya untuk Jungkook. Apa yang harus disesali? Dia menyukai Taehyung tapi mereka sama sekali tidak punya hubungan apapun. Perasaan sesal itu harusnya tidak ada.
Pada akhirnya Jungkook mengetuk pintu. Tiga kali. Kemudian 3 kali lagi.
"Eomma, aku sedang sibuk, bisa kembali- Jungkookie? Kau disini?"
"I-iya. Komputer Mingyu macet, jadi aku mau minta tolong untuk membenarkannya. Tapi kalau hyung sibuk tidak usah. Tidak jadi," Jungkook tersenyum dan sedikit menundukkan kepala saat seorang gadis cantik di kamar Taehyung menoleh kepadanya, "Maafkan aku sudah menganggumu, Hyung. Silakan dilanjutkan."
"Hei, kenapa kau sungkan seperti ini? Ayo, akan kubenarkan, kau tidak bilang akan kesini, kalau aku tahu pasti akan kujemput," Taehyung menggosok tengkuknya.
Jungkook mencoba berpikir positif. Ia tidak apa-apa. Tidak ada yang harus disesali.
"Tidak usah, Hyung. Noona yang disana itu lebih membutuhkanmu," kata Jungkook setelah mendengar rengekan kecil keluar dari mulut si perempuan.
"Aku mau membenarkan komputer Dongsaeng-ku sebentar."
"Jangan lama-lama. Kau selalu saja melupakan kegiatan kita dengan alasan membantu dongsaeng dan meninggalkan aku. Jangan buat aku menyesal karena memilihmu, Kim Taehyung."
"Sepuluh menit saja," Taehyung tertawa jenaka. Tingkahnya menjadi sedikit imut ketika merayu seseorang, "Ayo Jungkookie. Ah, Jungkook-ku yang manis, kau belajar apa hari ini di sekolah?" Taehyung mengusap dahi Jungkook dengan ibu jarinya.
Si perempuan melotot karena melihat perlakuan Taehyung yang seperti begitu mengistimewakan Jungkook.
"Tidak, Hyung. Aku lupa kalau hari ini ada janji dengan Jin-hyung. Nanti aku bilang pada Mingyu kalau aku tidak jadi main. Aku pulang dulu ya."
"Biar aku antar!"
"Hyung~, kau itu sibuk. Tidak usah," Jungkook merapikan rambutnya dan kembali tersenyum cerah, "Selamat siang!"
Si perempuan mengangguk begitupula dengan Taehyung. Begitu Jungkook pergi, ia bisa melihat Taehyung yang melemparkan diri ke kasur dan diikuti si perempuan yang juga membaringkan diri di sebelahnya.
Mereka cocok.
Ini bukan perkara cemburu tapi jika memang itu adalah pacar Taehyung maka alangkah baiknya jika Jungkook berbahagia karena Taehyung begitu serasi dengan yeoja tadi. Mikir apa Jungkook sampai Taehyung bisa suka padanya? Mereka berdua laki-laki dan yang terpenting, Jungkook tidak merasa selevel dengan Taehyung. Mereka tidak cocok.
Jungkook pergi ke kamar Mingyu dan berkata jika ia ada janji dengan Jin. Sama seperti Taehyung, Mingyu juga menawarkan diri untuk mengantar tapi Jungkook menolak. Rumah Jin hanya berjarak 2 blok dan ia bisa pulang sendiri. Ia bukan yeoja.
"Lain kali aku traktir es krim," kata Jungkook ceria.
"Baiklah. Aku minta dua ya." balas Mingyu semangat.
"Siap, Kapten," Jungkook memposisikan dirinya untuk hormat kepada Mingyu.
Untuk sesaat, matanya kembali melirik ke kaca kamar Taehyung.
Eommanya benar. Nyonya Jeon berkata benar. Terkadang kita tidak bisa berdiri di sisi orang yang sejak awal memiliki kedudukan yang berbeda. Kendati demikian Jungkook tidak akan menjadi orang yang putus asa. Ia harusnya ikut senang. Ia harusnya seperti itu.
.
.
.
.
To be continued…
.
.
Asdfghjkl ini apa? No comment! Ga tahu harus gimana lagi bicara apa lagi.
Kenapa Vkook? karena mereka so fuckin' cute. for sure.
Yang pasti Cuma mau nyumbangin ide, cerita, pemikiran. Review atau komen suka jika kalian suka! Jika engga ya udah gapapa sih wkwkwk
(Berpikir untuk lanjut atau engga)
