Be My Secret
.
.
Park Jimin x Min Yoongi
.
.
GS for Yoongi. OOC. Minyoon couple. :)
.
.
Yoongi melorotkan badannya, bergesekan kasar dengan pintu kamar mandi. Air matanya mengalir deras. Tangan kanannya bergetar hebat dengan sebuah benda berada dalam genggamannya. Sebuah benda penghancur hidupnya, penghancur masa depannya, sebuah benda yang sama sekali tak Yoongi harapkan bersimbolkan positif.
Yoongi hamil.
Itu yang ia tahu dari testpack yang ia genggam. Semua berjalan begitu cepat. Hingga rasanya ini seperti hanya mimpi. Iya, mimpi buruknya. Wanita berusia dua puluh dua tahun itu terus menatap nanar testpack yang terus ia genggam. Air matanya bahkan tak bisa berhenti.
Yoongi hancur.
Yoongi hancur, karena ulah bajingan itu. Seharusnya Yoongi melawan. Seharusnya Yoongi tahu, seharusnya Yoongi mempertahankan hidupnya. bukan menghancurkannya dalam sekejap.
.
.
.
Malam ini Yoongi memutuskan untuk mengurung diri di dalam kamar. Tanpa makan, tanpa mandi tanpa berangkat kerja. Dan rasanya saat ini Yoongi tanpa nyawa. Matanya menatap kosong lantai kamarnya. Entah apa saat ini yang ia pikirkan, Yoongi terlalu kosong untuk memikirkan sesuatu.
Dan Yoongi masihlah gadis 22 tahun. Tanpa orang tua, tanpa keluarga dan yang jelas tanpa ekonomi yang memadai. Dirinya hidup sebatang kara, bekerja siang malam hanya untuk makan dan uang kuliah. Dan sebuah fakta yang menggemparkan hidupnya membuat segalanya hancur.
Yoongi hanya bisa menghidupi satu mulut, itu saja dengan susah payah. Semua kosong, tak ada yang bisa Yoongi lakukan. Dan malam ini Yoongi hanya bisa diam, menangispun ia sudah lelah. Sangat lelah.
.
Setelah semalam melamun bahkan sesekali Yoongi memukul kasar perutnya, Yoongi memutuskan untuk kembali memeriksa kebenaran sesuatu yang ada dalam perutnya. Kaki kecil itu berjalan lesu menuju ruang tunggu, menanti dirinya di panggil.
Bahkan dirinya masih berdoa, semoga alat itu salah.
Semoga hidupnya tidak semalang mimpi buruknya.
Rasanya seluruh badannya terasa dingin. Beberapa kali wajahnya akan menatap beberapa orang yang masuk setelah di panggil. Mereka berpasangan, dan Yoongi satu-satunya yang sendirian, dengan wajah pucatnya, menyedihkan.
"Yoongi-ssi."
Dan semuanya terasa kembali menghantamnya.
Sebuah fakta yang sudah ia ketahui,
"Selamat, anda hamil. Usia kandungan dua minggu."
Sebuah kalimat yang benar-benar menghantam otak dan hatinya.
Jadi morning sicknya adalah pertanda?
Jadi alat itu benar?
Jadi ini hukumannya?
Matanya memanas memandang layar ponsel dan sebuah amplop di masing-masing tangannya.
Air matanya mengalir deras, menatap sebuah foto, dengan seorang lelaki, tersenyum, dengan kemeja panjang hitam bermotif pohon kelapa, ah dan rambutnya yang berwarna pink. Yoongi menyukai itu. Dulu.
.
.
Perempuan dengan rambut sebahu itu kini terduduk kaku di depan layar televisinya, menatap acara musik mingguan. Menampilkan beberapa penyanyi dan boygroup idolanya. Dan Yoongi ingat, dia belum makan dari semalam. Tangan rampingnya bahkan sama sekali tak mau menyentuh area perutnya. Seperti ada bagian tubuhnya yang begitu ia benci. Begitu ia hindari.
Tangannya berusaha mengganti channel tv, menyajikan sebuah drama sorenya yang biasa ia nantikan. Dan untuk saat ini, bahkan Yoongi tak memperhatikan setiap adegan yang terpampang jelas di layar televisinya. Hingga sebuah suara menyentakknya
"Mama, song-ie rindu."
Hangat. sengatan itu sungguh terasa hangat.
Panggilan itu.
Rasanya membalikkan hatinya.
Sebuah panggilan suci yang bahkan Yoongi terus mengucapkannya.
Sebuah panggilan yang ia idam-idamkan sejak lima tahun lalu.
Dan kini dirinya yang akan menjadi sosok yang di panggil. Rasanya rasa benci muak dan segala rasa amarahnya menguap begitu saja.
Melihat sebuah adegan dimana anak dari pemeran utama itu tersesat jauh, sendirian, di gelapnya malam, dengan wajah lusuh dan air mata tak henti-hentinya menetes membuat dadanya bergemuruh. Yoongi tak akan membiarkan darah dalam perutnya akan besar seperti itu.
Tekadnya bulat, dengan perlahan tangan kurus itu mengelus perut ratanya, benar, hangat, matanya memanas, gumpalan darah dalam rahimnya adalah nyawanya saat ini.
Dan Yoongi berusaha menyelamatkan calon buah hatinya, bahkan jika dirinya harus menurunkan segala harga dirinya.
.
.
.
"Kau tidak bisa, maaf Nona, tidak semua orang dapat bertemu dengannya." Yoongi menatap datar, namun gugup lebih mendominasi dirinya. Pagi sekali dirinya sudah bersiap untuk menemui seseorang.
"Tapi kumohon, ini sangat penting." Rasanya ia ingin berteriak menjelaskan alasannya. Namun ia tau malu.
"Semua orang juga ingin menemuinya. Maaf Nona, atau akan kupanggilkan satpam jika kau tak mau keluar."
Wajahnya memerah menahan marah, dengan tatapan sengitnya Yoongi membalikkan badan, berjalan keluar. Kembali berbalik memandang gedung yang menjulang tinggi itu. BigEnt. Menelan ludahnya kasar Yoongi terus berjalan menjauh dari gedung besar yang menjulang tinggi itu.
Yoongi semakin memikirkan hidupnya. seminggu sudah ia tak kuliah dan berangkat kerja. Uangnya menipis, dan ada nyawa lain dalam tubuhnya yang harus ia jaga. Dan Yoongi benar-benar pusing memikirkan itu semua.
Kaki kecil itu terus melangkah, mengabaikan rasa pegal dan haus pada tenggorokannya. Yoongi hanya tak tau dimana dirinya harus berhenti. Matanya memandangi jalanan, ramai penuh mobil, sebelah bibirnya terangkat, mati juga tak akan menyelesaikan masalahnya, dan Yoongi belum ingin mati. Wanita itu mengabaikan pusing yang sungguh membuat kepalanya ingin meledak, mengabaikan kucuran keringat di pelipisnya. Yoongi tak mau berhenti, tak mau menghentikan langkahnya, meski akhirnya hingga ia merasakan gelap.
.
.
.
Seokjin terus menggerakkan kakinya berhentakkan dengan lantai, kedua tangannya terpaut dengan raut kentara khawatir menatap seorang gadis yang kini terbaring lemah diranjangnya. Seokjin dapat dengan jelas melihat bagaiamana pucatnya wajah gadis yang kini tengah diperiksa oleh dokter pribadinya. Sesekali mata Seokjin akan mengamati bagaiaman ekspresi dokter sekaligus temannya itu. Dan kilatan kejadian bagaiamana gadis yang tengah terbaring itu tiba-tiba pingsan di pinggir mobilnya yang tengah terpakir terus berputar dalam otaknya.
"Dia terlalu lemah. Berikan vitamin yang barusan ku tulis Seokjin-ah. Katakan untuk mengonsumsi makanan bergizi. Tekanan darahnya begitu rendah, aku takut terjadi sesuatu pada bayinya."
Seokjin tersentak mendengar penjelasan dokternya tentang bagaiamana yang menurutnya seorang gadis yang begitu muda ternyata tengah mengandung. Setelah mengantar dokter pribadinya, Seokjin memilih untuk memasak sesuatu dan menyuruh pelayannya untuk membeli obat.
Semua terasa berputar, calon ibu yang tengah mengandung tiga mingguan itu terlalu lemas untuk mengangkat tangannya. Matanya terbuka perlahan, menyesuaikan cahaya yang berada dalam ruangannya. Dan rasanya terlalu pusing mengamati ruangan yang terasa asing baginya, kasurnya tak seempuk ini dan wangi kamarnya tak sewangi ini.
"Ah kau sudah bangun?" Seokjin melempar majalah yang tengah ia baca. Berlari mendekat lalu terduduk di tepi ranjang, menatap mengamati bagaimana kondisi pasien yang masih terbaring di ranjangnya. Yang Yoongi lakukan hanya terdiam menyipit terbingung dengan keadaan dimana ia berada dalam ruangan dan kasur mewah dengan wanita asing di depannya "Kau pingsan di dekat mobilku. Karena jarak minimarketnya lumayan dekat dengan rumahku, yang pertama ku pikirkan adalah membawamu ke rumah, bukan ke rumah sakit. Tapi tak apa, aku sudah memanggilkan dokter untukmu. Bagaiamana kondisimu?" Yoongi mengerjapkan matanya, mendalami rentetan kalimat yang diucapkan wanita asing di depannya dalam sekali nafas.
"Ma-maaf?" Yoongi mencoba bangun.
"Biar kubantu. Ah ya, kau harus memakan makanan bergizi. Itu yang dokterku katakan. Wajahmu benar-benar pucat. Kasihan bayimu."
"Eh?"
"Eh?"
"Ma-maaf, ba-bagaimana anda tahu?" Yoongi terkaget, karena yang ia tahu, hanya dirinya dan dokter yang mengetahui kehamilannya, dan orang asing di depannya ini secara gamblang mengatakan fakta yang orang lain tak tahu.
"Ah, dokter yang memeriksamu mengatakannya. Ayo kau makan, sudah kubuatkan sup cream." Yoongi hanya terdiam saat wanita baik hati itu menyodorkan semangkuk sup cream pada pangkuannya "Makanlah. Sebentar lagi pelayanku akan membawakanmu obat." Seokjin mencoba tersenyum mengamati bagaimana wajah putih itu terlihat benar-benar cantik dan menggemaskan.
"Terimakasih. Anda begitu baik." Yoongi mengucapkannya dengan lirih dan sedikit membungkuk.
"Em. Siapa namamu cantik?"
"Yoongi. Min Yoongi." Ucapnya setelah menelan sup cream terenak yang pernah ia rasakan seumur hidup.
"Kau terlihat lebih muda dariku." Seokjin sedikit tertawa "Panggil aku Eonni saja. Seokjin, Kim." Yoongi tersenyum mengangguk, tak dapat mengabaikan sup cream enak yang benar-benar membuat lidahnya meleleh "Em, apakah aku harus menghubungi suamimu? Mungkin dia tengah khawatir saat ini. Kau pasti menikah muda? Berapa usiamu? Bahkan kau masih menggemaskan sekarang." Seokjin memekik terlalu gemas dengan Yoongi. Tangannya terkepal menahan hasrat untuk mencubit pipi menggemaskan itu. Namun kondisi berkata lain, wajahnya menjadi canggung saat melihat bagaiamana Yoongi terdiam kaku.
Dengan susah payah ia menelan sup yang telah masuk ke dalam mulutnya lalu menatap Seokjin gugup "A-anu. Eum. A-aku tak memiliki suami." Gugup. Itu yang Yoongi rasakan. Menjelaskan fakta yang benar-benar terlihat begitu rendah bagi dirinya. Menahan malu. Namun tak bisa ia pungkiri, Seokjin terlalu baik untuk ia bohongi.
Dan yang di lakukan wanita dengan rambut yang di gelung dengan jepitan bermotif bunga itu hanya membola, menutup mulutnya yang menganga "Ma-maafkan aku." Ucapnya dengan wajah penyesalan. Yoongi tersenyum menggeleng.
"Tak apa Eonni. Kau tak perlu meminta maaf."
Sesuatu dalam dirinya merasa terbakar "Kau harus meminta pertanggung jawaban kekasihmu! Enak saja kalau sudah berbuat tak mau bertanggung jawab! Dasar anak jaman sekarang." Ups, lagi-lagi dirinya menutup mulut dan seluruh kalimat laknatnya, karena dengan kata lain, ia menyindir bagaiamana Min Yoongi itu. "Maafkan aku Yoongi. Sial. Dasar mulutku."
Yoongi hanya terkekeh melihat bagaiaman Seokjin brutal memukul bibirnya sendiri dengan mata penuh penyesalan yang ia layangkan pada Yoongi.
"Tidak Eonni. Jangan minta maaf terus." Jeda sebentar, Yoongi meletakkan sendoknya yang sempat ia gigit karena menahan tawanya " Hm, bagaimana aku harus mengatakannya," mata kecilnya menerawang pada mata Seokjin dengan sedikit gugup "Apakah bisa ini disebut pemerkosaan? Aku tak tahu istilah apa yang harus aku gunakan." Ujarnya sekuat tenaga.
"APA!?" Seokjin benar-benar tak dapat mengontrol emosinya, tubuhnya berdiri menatap tajam Yoongi yang kini rasanya menciut "Siapa? Siapa katakan Yoongi? Siapa yang berani memperkosa gadis cantik sepertimu? Katakan, lalu aku akan mengulitinya." Yoongi benar-benar tak berfikir wanita yang awalnya anggun di depannya ini dapat semenyeramkan ini.
"Em Eonni sudahlah." Tangan kurus itu tanpa sadar membawa Seokjin untuk kembali duduk. Wanita bermarga Kim itu menghela nafas, memandangi bagaiaman saat ini Yoongi hanya mengaduk-aduk sup cream yang sudah sedikit itu. Hatinya bergetar iba, membayangkan jika Yoongi adalah adik kandungnya, membayangkan jika ia memiliki adik bernasib malang layaknya Yoongi. Mungkin Seokjin saat ini sudah mengejar pelaku bajingan itu.
"Yoongi." Tangan itu bergerak menggenggam tangan kurus yang kini langsung berhenti mengaduk supnya. "Jangan takut. Aku menyukaimu bahkan saat kau pingsan tadi. Kau boleh bercerita padaku. Katakan, anggap aku Eonniemu."
Mata si Min terasa panas mendengar penuturan lembut Seokjin. Ia rindu diperhatikan. Ia rindu kehangatan. Ia rindu merasa dilindungi. Ia rindu kasih sayang. karena beberapa tahun terakhir, Yoongi hanyalah gadis sebatang kara. Sendirian. Tanpa siapapun yang dapat ia sandarkan kepalanya jika ia lelah.
"Kau tak akan percaya Eonni." Berusaha tersenyum, namun dengan jelas matanya menghianati bibirnya, air mata itu menetes tanpa dapat ia tahan.
"Aku tau kau wanita baik Yoongi-ah." Tangannya terangkat menghapus pipi yang basah.
"Aku tak yakin kau akan percaya. Semua orang juga tak akan percaya." Wajahnya menunduk.
"Eh, jangan bilang suamiku?"
"Eh?" Yoongi segera mengangkat wajahnya, memandang kaget sekaligus gugup "Si-siapa suami Eonni?" Seokjin membuang nafas lega.
"Ahaha kalau begitu bukan suamiku." Seokjin mengambil mangkuk dari tangan Yoongi, menaruhnya pada nakas.
"Jadi katakan. Aku percaya padamu."
Sekuat tenaga Yoongi menarik oksigen lalu membuangnya. Mencoba mencari keyakinan pada dirinya sendiri dan pada mata Seokjin,
"Jimin. Park Jimin." Lugas.
"Apa?"
.
.
.
Malam itu Yoongi terus menggerutu karena ada lelaki berperut buncit terus menggodanya. Heol, meskipun Yoongi bekerja di club malam, namun seleranya tinggi, tidak untuk pria kelebihan lemak di perutnya. Tapi perlu di garis bawahi, Yoongi hanya memberikan tubuhnya untuk suami tercintanya kelak. Menjadi salah satu pelayan di club malam tak membuatnya masuk ke dalam lubang gelap. Tidak. Yoongi masih sayang tubuh dan masa depannya. Memikirkan dua bulan lagi ia akan wisuda dan meninggalkan tempat terkutuk ini lalu mendapatkan pekerjaan layak sudah meraung-raung dalam pikirannya, dan sekali lagi, Yoongi ingin menggelindingkan pria menjijikan di ujung sana yang masih memandanginya penuh nafsu.
"Mundurkan sedikit bibirmu.. Dan antar ini ke lantai tiga ruang 21." Kihyun memberikan nampan dengan sebotol vodka di atasnya.
"Apa mereka sedang seks? Kau tau, aku tak mau menganggu mereka." Kihyun menghela nafas lalu menggeleng.
"Tidak. Dia sendirian, atau kau bisa menemaninya? Dan sekalipun mereka sedang seks, mungkin kau bisa ikut threesome?" godanya yang sukses mendapatkan tendangan di tulang keringnya.
"Sialan. Mati saja sana." Ucapanya menggerutu lalu berjalan dengan hentakan keras. "Kau pikir aku apa hah. Enak saja. Yang ada aku akan menikah dengan idolaku nanti. Astaga, mendengar suara serendipitinya saja sudah membuatku merinding." Yoongi terkikik dengan pikirannya. "Ah sudah sampai." Tangan itu bergerak mengetuk, menunggu hingga pintu terbuka, dan yang ia dengar adalah suara yang menyuruhnya masuk.
Matanya menyipit, ruangannya lumayan gelap, dan tak ada suara desahan ataupun ranjang yang berdecit. Kaki rampingnya terus melangkah menemukan si penyewa kamar.
"Permisi tuan. Ini pesanan anda." Matanya yang kecil sukses membola lebar, hingga bola matanya hendak keluar saat lelaki yang tadi menunduk itu mengangkat wajahnya. Menampilkan lelaki berambut abu-abu dengan rahang tajam dan bibir tebal yang hampir tiap hari ia pandangi.
Park jimin.
Terduduk lesu di hadapannya.
Yoongi tak tahu harus bereaksi bagaimana. Ia ingin berteriak berlari atau menubruk Jimin dengan pelukan hangatnya. Namun semuanya pupus saat melihat bagaiamana wajah itu terlihat begitu menyakitkan, air mata yang tersisa dan mata yang layu. Jimin benar-benar berbeda.
"Ji-jimin ssi?' lirihnya mencoba memanggil Jimin yang masih diam memandangnya. "Kau baik-baik saja Jimin-ssi?"
Dan yang ia ingat adalah, Jimin menariknya lalu menindihnya. Dan semua terjadi. Kehormatannya dirampas idolanya. Bahkan tangisannya tak dapat mengembalikan apa yang telah Jimin renggut. Yoongi hanya diam, pasrah dan menangis, karena tamparan di pipinya sudah cukup membuatnya lelah.
Lalu yang Jimin ingat adalah, ia terbangun dengan seorang gadis di sampingnya.
.
.
.
Namjoon terburu-buru menuruni mobilnya, setelah sebelumnya mendapat telefon dari istri tercintanya dengan nada penuh panik dan amukan, menyuruhnya untuk membatalkan rapat dan segera pulang ke rumah. Jika ini lagi-lagi karena anak semata wayangnya yang terlalu cerdas, Namjoon benar-benar akan menyekolahkan Taehyung di Hogwarts, sekolah impian Taehyung dimana ia ingin sekelas dengan Harry Potter, namun si Ayah yakin, anak semata wayangnya tak dapat masuk Gryffindor melainkan Slytherin. Oke, lupakan pikiran absurb Kim namjoon dan Kim Taehyung, dirinya memilih berlari kecil saat jarak semakin dekat dengan ruang keluarga.
"Namjoon akhirnya kau datang." Kepalanya menoleh bingung. Tak ada Taehyung, berarti masalahnya bukan pada anak itu. Melainkan dirinya melihat melihat wanita muda tengah menunduk gugup di sofa tak jauh darinya.
"Ada apa sayang?" Namjoon memandang istrinya tenang.
"Kau tak akan percaya ini. Karena awalnya aku berharap percaya, lalu aku tak percaya sampai akhirnya aku percaya,"
"Oke katakan yang jelas Jinnie." Namjoon menggenggam lembut tangan isterinya, mengelusnya,berusaha menenangkan Seokjin yang terlihat panik. "Jelaskan apa yang terjadi. Dan siapa gadis itu?" bisiknya dir akhir kalimat.
"Joonie, kau tak akan percaya ini. Gadis ini," Seokjin menuntun Namjoon untuk mendekat ke arah Yoongi "Dia tengah mengandung." Namjoon menaikkan alisnya menunggu kalimat Seokjin "Lebih tepatnya mengandung anak Jimin."
"Huh?" Anggap saja Namjoon seketika budeg.
"Jimin, Kim Namjoon. Park Jimin. Chimchim. Mochiku. Ippiku. Adik sepupumu. Paman Taehyung. Jimin, si artis papan atas yang tengah naik daun. Iya Namjoon. Park Jimin yang itu." Seokjin menjelaskan dengan penuh penekanan.
Namjoon bertambah tak mengerti, dan seketika kepalanya terasa pening. Bergantian memandang Seokjin lalu gadis manis yang masih betah menunduk, membuat Seokjin sedikit jengkel "Iya Namjoon. Astaga Park Jimin-ku. Awalnya saat dia mengakatan Jimin. Aku tak percaya. Lalu aku memperlihatkan foto Jimin. Dan dia mengangguk. Lalu aku mendengar ceritanya. aku tak percaya. Tapi Namjoon. Kau lihat matanya. Aku percaya padanya Namjoon. Dia gadis baik. dan aku tak percaya Jiminku benar-benar kelewatan saat ini." Namjoon memandang dalam Yoongi, gigirnya menggeletuk geram.
"Katakan. Apa maumu? Berapa uang yang kau butuhkan? Atau apa yang kau harapkan dari popularitas Jimin? Ah kau idol yang akan debut? Mau menebeng popularitasnya atau justru menghancurkan Jimin. Atau kau sasaengnya? Nona. Caramu menjijikan. Kau benar-benar terlihat rendahan. Sudah aku mau membayarmu asal kau tak berbuat macam-macam dengan Jimin." Namjoon menggeram marah.
Yoongi tak bohong. Hatinya begitu sakit. Dirinya merasa terhina. Kepalan tangannya menguat, menahan tangis dan amarah. Bahkan dirinya tak tahu harus membela apa dirinya. Dirinya sudah di cap rendah. Dirinya di cap hina. Dan mungkin itu kenyataan yang harus ia terima.
"Namjoon!" Seokjin membentak. Tak percaya suaminya mengatakan kalimat sekejam itu.
"Seokjin. Seharusnya kau tahu, kita hidup di jaman sekarang. Begitu banyak penipuan, begitu banyak cara licik. Jimin sedang berada dalam popularitasnya. Banyak orang berusaha menjatuhkannya. Ini salah satunya." Namjoon memberikan kekehan amarahnya. "Beritahu berapa yang kau inginkan, lalu pergi dari hidup Jimin selamanya."
"Tuan." Yoongi berusaha bangkit dengan sisa tenaganya. Tangannya masih mengepal hebat.
"Aku bahkan tak berharap bertemu Jimin saat itu. Dan jika anda mengira aku ingin menghancurkan popularitas Jimin, mungkin saat ini sudah beredar banyak artikel tentang diriku. Dan aku akan berada di antara wartawan dan membeberkan semuanya. Dan mungkin aku akan memeras Jimin saat ini. Aku bahkan tak tahu jika Seokjin Eonni adalah kakak iparnya. Aku hanya pingsan lalu dia memintaku menceritakan kisahku. Dan aku hanya mengatakan Park Jimin. Aku tak meminta uang dari penjelasanku. Dan sejujurnya iya, aku memang mencari Park Jimin. Aku di usir dari agensinya. Aku hanya ingin bertemu dengannya, membicarakan masalah ini baik-baik. karena yang kupikirkan hanyalah calon anakku. Aku hanya ingin pertanggung jawabannya, bukan, bukan berupa materi. Aku hanya ingin marganya. Aku-aku tau bagaimana rasanya hidup tanpa orang tua. Dan aku terlalu sakit memikirkan anakku akan memakai margaku kelak. Aku hanya berharap anakku memiliki marga ayahnya. Hanya itu. Aku tidak selicik dan sehina itu tuan."
Namjoon merasa di tampar lalu di dorong kuat-kuat. Kalimat panjang itu benar-benar menganggunya. Darahnya menaik drastis, geraman tak elak ia desiskan "Panggil Jimin Seokjin."
Dan Seokjin berani bersumpah dia seperti melihat monster untuk pertama kalinya dalam diri Kim Namjoon.
.
.
.
"Kau fokus dulu pada karirmu. Biarkan netizen mengira-ira sendiri. Lagi pula sekarang sudah reda. Pikirkan karirmu. Kau hallyu star sekarang."
"Tapi Hyung. Aku takut mereka membencinya? Tapi dalam hatiku sejujurnya aku ingin semua orang mengetahuinya." Jimin memijit pelan pelipisnya. Menyandarkan kepalanya yang terasa berada pada sofa.
"Aku tau. Semua akan terjadi jika sudah waktunya. Dan kuharap tidak ada kejadian seperti waktu itu. Atau reputasimu benar-benar hancur. Carilah orang terpercaya. Jangan seperti itu, berbagilah masalah denganku-"
"Hyung sungguh aku hanya mabuk." Jimin tak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya, matanya memandang letih Hoseok yang terduduk tak jauh darinya. "Dan jangan ingatkan aku lagi tentang kejadian itu."
"Seharusnya kau membawa gadis itu. Kau tak takut dia akan menjatuhkanmu? Mungkin saja ia punya bukti. Bukan kabur seperti orang gila. Dan itu benar-benar pengecut." Jimin ingin menghantamkan kepalanya pada tembok. Ia benar benar bodoh. Kalimat CEO nya benar-benar menusuk.
Getar ponsel di meja mengalihkan perhatiannya, dengan tenang, jarinya menggeser tombol hijau lalu mendekatkan ponselnya pada telinga
"Pulang. Sekarang,"
Jimin hanya memandang kosong pintu ruangan agensinya, lalu memandang bingung Hoseok. Bahkan dirinya belum mengucapkan satu hurufpun, dan kaka ipar tercintanya mematikan panggilannya. Dan suara dingin Seokjin benar-benar membuatnya merinding untuk pertama kalinya.
.
.
Jantungnya berpacu kencang melirik Hoseok yang memilih ikut ke rumah Seokjin, karena bagaiamanapun tak ada sekat antara dirinya dan keluarga Namjoon. Mengabaikan omongan Junki tentang jadwal Jimin, Jimin memilih menemui Seokjin yang sepertinya dalam mode ganasnya. Amukan keluarganya lebih penting.
"Menurutmu ada apa?" Jimin menoleh pada Hoseok yang terus fokus membelah jalanan.
"Aku tak tahu Hyung. Tiga hari yang lalu Seokjin Nuna masih terlihat baik padaku. Bahkan datang ke apartemenku. Kau tahu Hyung, aku masih merinding mengingat suaranya." Tangannya menjadi bantalan kepalanya yang menyender pada kaca jendela.
Mendengar kalimat Jimin, membuat Hoseok ikut merinding.
.
Jimin tak tahu apapun, namun tiba-tiba kakak sepupunya menonjok keras pipi kirina. Jimin tersungkur dan merasakan sudut bibirnya berdarah.
"Namjoon." Hoseok segera menghampiri Jimin, mendelik kaget saat Namjoon tiba-tiba berusaha menerjang Jimin-lagi. Pekikan Seokjin tak terelekkan. Wanita itu segera berlari memeluk Namjoon dari belakang, menghentikan aksi suaminya yang benar-benar seperti kerasukan monster.
"Jimin kau-" geram lelaki jangkung itu memandang Jimin yang kini mencoba berdiri dengan bantuan Hoseok.
"Namjoon apa yang terjadi." Jimin menyeka darah di sudut bibirnya, membiarkan Hoseok yang kini melangkah maju mendekati Namjoon.
"Kau. Kau tanyakan saja sendiri pada bajingan itu."
"Hyung." Jimin terlonjak kaget. Namjoon tak pernah semarah ini.
.
.
Jimin terus terdiam. Memicing tajam ke arah Yoongi yang kini menatapnya dengan garang. Yoongi yang sedari tadi menunduk saat Namjoon tengah membabi buta pada Jimin, kini mengangkat dagunya tanpa gentar setelah Seokjin menjelaskan semuanya. Melihat Jimin yang terlihat masih mengenali wajah Yoongi, membuat wanita itu lebih memiliki kekuatan.
"Oke..oke. jadi dia wanita yang Jimin tiduri?" Seokjin mendelik tak suka dengan kalimat tanpa dosa Hoseok.
"Jaga ucapanmu Jung Hoseok!" Ucapnya dengan keras.
"Aku hanya bicara apa yang kau bilang Nuna. Oke aku akan jujur disini. Memang sebelumnya Jimin pernah memberitahuku ia tak sengaja mabuk hingga meniduri gadis yang sama sekali tak ia kenal. Dan bodohnya anak itu." Tangannya menunjuk kaku "Dia meninggalkan begitu saja karena Jimin terlanjur takut dan kaget. Dan Jimin?" Kini mata Jimin penuh dengan wajah serius Hoseok yang terlihat menyeramkan "Ingat yang tadi ku katakan? Nyata kan? Gadis itu akan mencarimu? Mengingat popularitasmu. Aku sudah tau ini akan terjadi. Jadi Nona? Aku tak yakin jika itu adalah Jimin, mengingat kau juga anak klub. Well, kita semua tahu, yang datang ke klub bukanlah mereka yang polos. Jangan coba membodohi kami Nona. Baik, aku mau ganti rugi. Berapa yang kau inginkan? Dan tutup mulutmu tentang kejadian itu."
Yoongi memejamkan matanya. Menahan, menahan semuanya. Menahan rasa hinanya, menahan kalimat yang membuatnya begitu rendah, menahan cemooh semua orang terhadapnya. Seharusnya ia mempersiapkan ini lebih matang. Seharusnya Yoongi tahu ini akan lebih menyakitkan dari yang ia pikirkan. Seharusnya Yoongi bisa menangani ini. Seharusnya, seharusnya air matanya tak kembali menetes memalukan saat ini. Yoongi benci menangis di hadapan orang lain, dengan keadaan dimana ia dipandang begitu menjijikan.
"Hoseok!" Seokjin berdiri dengan wajah merah. Hoseok benar-benar keterlaluan menurutnya.
"Nuna." Hoseok melirik Namjoon yang kini masih terduduk dengan mata tajamnya yang tak lepas dari Jimin.
"Aku akan menjelaskan. Jadi tolong dengarkan." Yoongi mengangkat wajahnya takkala Jimin yang sedari diam kini angkat suara "Benar. Aku meniduri dia saat itu. Tapi sumpah, aku mabuk Hyung. Aku tak sadar. Hingga aku bangun dan melihatnya di sampingku. Dan maaf aku langsung kabur begitu saja. Aku takut identitasku saat itu terbongkar. Dan masalah kau hamil? Hei kita hanya melakukannya sekali-"
"Dua kali Jimin-ssi." Suranya serak "Kau melakukannya dua kali malam itu." Wajah Jimin memerah dan semua orang mendadak diam.
"Kita lakukan tes darah." Ucap Hoseok final memecah keheningan.
"Bajingan!" dan si Monster Namjoon kembali berusa menonjok Jimin.
.
.
.
Yoongi mengganti posisi tidurnya. Ini sudah keenam kalinya wanita yang telah wisuda dua hari itu selalu mengganti posisi tidur. Dirinya gelisah. Benar-benar gelisah. Mengingat kejadian dimana dirinya duduk dengan tegang di salah satu ruangan di agensi Jimin, tepat dimana hasil teh darah keluar.
Semua mata memandang sebal Jimin yang kini menunduk lesu dengan kertas di genggamannya. Terutama Seokjin. Wanita itu kini lebih memilih duduk bersampingan dengan Yoongi dan menggenggam tangan Yoongi dengan lembut, mengingat kejadian dimana saat Yoongi benar-benar direndahkan, melihat bagaimana tubuh mungil itu bergetar samar, Seokjin tahu, semua terlalu menyakitkan jika di lewati Yoongi seorang diri.
"Lalu apa yang akan kau lakukan Jimin?" tangan Namjoon saling terpaut, suaranya begitu rendah.
"Aku-" Rasanya Jimin tak dapat melanjutkan kalimatnya atau memang tak tau apa yang harus ia katakan.
"Sebagai CEO aku bertanggung jawab akan karir Jimin. Kalian tahu kan? Jimin sedang berada di puncak popularitasnya. Kuharap keputusan kalian tidak menjatuhkan Jimin." Hoseok mengambil alih.
"Nikahi Yoongi Jim. Bertanggung jawab." Jimin membola tak siap "Jika kau adiku. Bertanggung jawablah. Jangan jadi pengecut." Lagi-lagi Jimin serasa di hantam oleh kalimat Hyung tersayangnya.
"Hyung-"
"Orang tuamu menitipkanmu padaku. Dan aku rasa telah gagal menjadi pengganti orang tuamu. Kau sudah mengecewakan kami Jimin-ah, kumohon, jangan membuat dirimu begitu pecundang." Sumpah demi karirnya, Jimin melihat bagaiamana mata Namjoon berkaca-kaca. Lelaki berambut gray itu menelan ludahnya susah payah.
"Aku akan menikahinya. Aku akan menikahimu Yoongi." Ujarnya dengan lancar.
Seokjin mau tak mau tersenyum, mengelus lembut tangan Yoongi.
"Hm. Hm. Aku ingin bicara disini. Begini. Sudah kukatakan kan kalau pilihan kalian jangan menjatuhkan Jimin?" Mata Hoseok mendadak gugup saat matanya bersibubruk dengan mata Namjoon "Ma-maksudku, ayolah aku bukan orang jahat. Aku setuju, benar-benar setuju Jimin akan menikahi Yoongi. Memang itu pula yang aku harapkan. Tapi Jimin dalam pucaknya, aku ingin mengambil alternatif. Yoongi-ssi." Jeda sebentar untuk Hoseok mengambil nafasnya "Kumohon, lindungi Jimin, menikahlah dengan Jimin, namun kuharap kau mau menyembunyikannya.
"Hoseok-"
"Nuna dengar dulu." Hosoek tak dapat mengontrol suaranya "Jika kalian ketahuan, bukan hanya Jimin yang dalam bahaya, kau juga Yoongi, juga anakmu. Kau tahu bagaimana fans saat ini? Bahkan kita harus benar-benar menyembunyikan ini rapat-rapat dari sasaeng yang terus berusaha menguntit Jimin. Kumohon bekerja samalah Yoongi. Karir Jimin juga untuk masa depan anakmu."
Semua diam menunggu keputusan Yoongi. Bahkan Jimin ikut memandangnya penuh harap. "Aku-aku, bahkan menikah bukan harapanku, jadi kenapa aku harus membeberkannya?"
"Baik. pernikahan akan terlaksana. Hoseok cocokan jadwal Jimin dengan kami oke. Aku yang akan mengurus semuanya." Dan kali ini, wajah Seokjin benar-benar terlihat ceria.
Semua berlalu begitu saja. Dengan Seokjin yang selalu mendatanginya, membawa sekantung susu ibu hamil, ikut mengantar dirirnya memeriksa kandungan, memilihkan baju pengantin untukknya. Ah baju pengantin, Yoongi akan resmi memakainya besok, atau bisa dikatakan beberapa jam lagi? Karena mereka mengadakan acara tepat dua hari setelah kelulusan Yoongi. Yoongi bahkan tak dapat terlelap memikirkan dirinya akan terikat, menikah, dengan seseorang asing yang sesungguhnya tak asing, seseorang yang sesungguhnya menjadi penyemangatnya, seseorang yang sudah menemani Yoongi dengan suara dan alunan musiknya, seseorang yang begitu ia idolakan yang justru merusak hidupnya.
.
.
.
Tak ada yang istimewa, bagi Yoongi maupun Jimin. Pernikahan yang dilakukan sederhana namun berkelas dengan tamu undangan hanya segelintir orang bahkan Yoongi tak mengundang satupun orang yang ia kenal. Sungguh tak istimewa, namun berbeda bagi Seokjin. Wanita beranak satu itu terus tersenyum menyapa para kerabat dan tamu undangan. Seokjin begitu bahagia. Bahkan anak semata wayangnya ikut bahagia.
"Aunty, mau ku ambilkan cake lagi" Yoongi menggeleng lalu menelan potongan cake terakhirnya.
"Aunty kenyang Taehyung-ah."
"Ah apa dedek bayi juga kenyang?" ucapnya dengan mata berbinar.
"Tentu, jika Aunty kenyang, dedek bayi juga kenyang."
"Wah, Taehyung senang mendengarnya. Dek bayi," ucapnya menopang tangannya pada kedua lututnya dengan sedikit membungkuk tepat di depan perut Yoongi yang masih rata "Jika ingin minum katakana padaku oke, aku akan siap mengambilkannya." Yoongi hanya terkekeh lalu mengelus lembut surai Taehyung. Anak itu selalu menempelinya saat acara pemberkatan selesai.
"Taehyung tak ingin main?"
"Tidak Aunty, kata Mama, aku harus menjaga Aunty dan dedek bayi. Tenang Aunty, Taehyung akan menajaga Aunty, tak perlu takut walaupun pedang Tae tertinggal di kamar oke?" ucapnya berbisik di akhir kalimat. Yoongi benar-benar merasa terhibur dengan kehadiran Taehyung. Matanya beralih pada Jimin yang tengah mengobrol entah dengan siapa, Jimin dengan tuxedo putih dengan guratan hitam, rambut yang kini di cat hitam membuat Jimin berkali kali lipat terlihat begitu tampan dan sexy, sayang, rasa sayang dan cinta dari seorang fans telah sirna sejak Jimin menghancurkannya. Yang ada hanyalah rasa kagum tanpa embel-embel menyukai.
"Yoongi." Suara lembut itu mebuyarkan lamunanya.
"Oh iya Eonnie?"
"Jika kau lelah istrihatlah. Kau sudah terlalu lama berdiri."
"Aku baik-baik saja. Lagipula ada Taehyung yang menjagaku. Iyakan Tae?" Taehyung mengangguk bangga dengan kedua tangan bertengger di pinggang layaknya piala.
"Mama tenang saja. Taehyung sudah menjaga Aunty dengan baik."
"Anak pintar." Seokjin tersenyum "Taehyung cari Papa sana. Besok kau harus sekolah." Taehyung mengangguk lagi lalu melesat pergi mencari Namjoon.
"Mungkin aku sudah mengatakannya puluhan kali. Yoongi, selamat datang di keluarga kami. Kami menerimamu dengan senang hati. Jangan sungkan meminta bantuan pada kami. Kau tau kan kami begitu menyayangimu dan calon anakmu. Ah bahagia rasanya sebentar lagi Taehyung memiliki teman." Matanya terasa panas dan berembun mendengar penuturan manis dan tulus dari Seokjin.
"Terimakasih Eonni." Dengan pelan tubuh itu mendekat memeluk erat Seokjin.
.
.
.
"Sesuai dengan kesepakatan awal kita. Jadi disini kau tinggal Yoongi. Aku sengaja menyewa apartemen sampingku agar kita lebih mudah berkomunikasi. Dan setidaknya kita akan jaga jarak, dan tak akan ada orang lain curiga. Passwordnya adalah tanggal pernikahan kita, hanya angka itu yang terlintas di otaku. Aku akan mengganti passwordku juga dengan angka itu agar kau dapat sewaktu-waktu masuk ke apartemenku. Ah tentu jika keadaan aman." Yoongi hanya mengangguk, matanya sibuk menelisik ruangan minimalis namun berkesan begitu nyaman. Snagat jauh berbeda dengan flat kecilnya.
"Yoongi ada hal serius yang harus ku katakan. Ini menyangkut kita, hanya agensiku yang tahu tentang ini." Yoongi diam menanti kelanjutan Jimin "Yoongi, aku memiliki kekasih. Dan aku benar-benar mencintainya. Kuharap kau dapat menjaga sikapmu jika aku membawanya. Ah aku tidak akan mempertemukan kalian karena itu akan menjadi sangat aneh. Tapi jika kalian bertemu tak sengaja, tolong, tetap sembunyikan pernikahan ini. Aku sangat mencintai Seulgi. Kuharap kau mau bekerja sama untukku."
"Huh?"
"Bagaimana?"
"Te-tentu. Jadi kau berpacaran dengan Kang Seulgi?" Dan yang Yoongi dapat adalah sebuah anggukan dengan senyum kebanggan. Semua terasa kering, bibirnya, tenggorokannya, bahkan matanya. Sebuah rumor yang ia dengar adalah sebuah kenyataan. Idolanya benar-benar berpacaran dengan personel girlband itu. Dan yang bisa Yoongi lakukan adalah mengangguk lalu membalikan badan berpura-pura mengamati kembali interior ruangannya.
.
.
.
hanyalah pemikiran yang tiba-tiba melintas
