Kingdom Hearts © Square Enix
A Man Who Mustn't Exist Anymore © Ruise Vein Cort

Briyua Viss her Daedu Akata


Rintik-rintik hujan berjatuhan dengan lembut dari atas sana. Membasahi tubuhku yang masih mematung pada tanah lapang ini. Membiarkan dua element menyatu dan membuatku kian membeku kala merasakannya. Begitu menyenangkan―bagiku dan bukan orang lain.

Satuan waktu sudahlah hilang saat aku menyadarinya. Meninggalkan eksistensiku yang seharusnya sudah tidak ada lagi. Seharusnya aku sudah hilang semenjak ratusan tahun yang lalu. Tapi mengapa aku masih ada di sini?

Aku membenci keadaan ini. Membenci tubuh ini. Juga membenci hilangnya waktu. Waktu yang sudah memutar balikkan fakta menjadi fiktif.

Seharusnya kisah sebelum tidur itu menjadi mimpi buruk yang sebenarnya...


Aku tak pernah percaya pada apa yang nananya keajaiban. Tak ada yang bisa kupercayai agar dapat bertahan hidup. Bahkan diri-sendiri sudah tak dapat dipercayai. Tak dapat.
Mencuri adalah satu-satunya hal yang dapat kulakukan―bila merasa bosan dengan apa-apa saja yang disediakan tong sampah pada lorong sempit ini.

Mencuri atau mati kelaparan.

Tak ada pilihan lain bagiku. Bagi sebuah eksistensi yang tidak diperlukan sama sekali oleh dunia ini. Hanya seorang tikus jalanan yang bermimpi dapat menikmati makanan yang disediakan di atas meja bersama nyala api unggu dalam ruangan hangat. Mimpi yang begitu mustahil bagiku...

...mungkin juga terkadang tuhan senang mempermainkanku?

"Makanlah, agar kau lebih hangat," ucap seorang pria lembut. Mempersilahkanku untuk menyuap semangkuk sup hangat yang masih mengepulkan uap-uap samar.

Kristal aqua milikku―setidaknya warna itu yang muncul saat aku melihat pantulan diriku pada genangan air atau pecahan cermin buram―menatap lekat senyuman lembut yang menghias wajah miliknya. Wajah yang terbingkai helai rambut perak yang indah, berpenjar cantik saat terkena cahaya yang dipancarkan bola kaca di atas sana.

"Apa Anda yakin? Anda yakin membiarkan tikus jalanan ini menggunakan alat makan perak Anda?" mendesis halus aku memandangnya percaya dan tidak.

Pria itu mendecak pelan. Mengacak pelan rambut coklat berantakanku sebelum berucap, "bagiku kau bukan tikus jalanan maupun persamaan lain yang entah apa aku tak mau mengingat. Hanya anak sepuluh tahun yang hampir mati kedinginan. Jadi makanlah."

"Anda... Benar-benar aneh," bisikku. Meraih sendok di hadapanku dan mulai menyuap sup yang tersedia. Merasakan sesuatu yang begitu hangat memasuki tenggorokanku.

"Tidak jarang mendengar komentarmu," balas pria itu dengan sebuah cengiran. "Karena aku berbeda."

Kali ini yang kulihat bukanlah senyuman lembut yang sejak tadi diperlihatkan. Melainkan senyuman lain yang sama sekali tidak pernah kukenal. Aku hanya tahu senyum sinis―orang dewasa senang menghadiahiku senyuman seperti itu―juga senyuman lembut―untuk ini bukan ditunjukkan padaku, beri pengecualian untuk dua jam terakhir ini, melainkan senyuman yang sering kulihat di wajah seorang ibu pada anak mereka.

"Apa maksud Anda dengan berbeda?" Aku bertanya dengan nada yang begitu pelan dan teratur. Memperhatikan sepasang kristal hijau kosong miliknya. Cukup aneh bila kubandingkan dengan segaris tatapan sinis, mengejek, merendahkan―kalian boleh menambahkan suku kata lain karena aku tak ingin menyebutkannya satu demi satu―yang diberikan orang lain padaku.

"Kurasa kau tak ingin tahu, sudahlah, habiskan makananmu dan kita ke toko baju."

"Maksud Anda?"

"Kau tidak ingin terus menerus menggunakan pakaian seperti itu di penginapan nanti kan?"

"Eh!"

"Melihat reaksimu itu... Kau mau kulempar ke tempat sampah ya? Mana mungkin. Aku masih punya perasaan untuk tidak membuatmu mati membeku setelah menghangatkanmu di tempat ini."

Kalian tahu, aku sama sekali tak mengerti dengan apa yang bersarang di balik helai perak itu. Tidak pernah kutemui seseorang seperti dia. Pria yang mau menyapaku dan melakukan hal seperti ini. Tidak pernah sama sekali.

Apa dia... Benar-benar tulus melakukan ini semua atau ada maksud tersembunyi? Mengingat di dunia ini tak ada yang bisa dipercaya. Tidak aneh bila semua domba hanyalah serigala berkostum. Semua malaikat memiliki hati iblis―bila kebalikannya kurasa akan semakin mustahil dan tidak masuk akal.

Sudahlah. Aku nikmati saja saat penuh mimpi ini. Setidaknya sampai waktu mengucap kebenaran―yang kuyakini tak akan pernah kusukai. Aku lebih senang berkenalan dengan kebohongan belaka namun manis daripada kenyataan namun pahit.


"...-adi siapa namamu?" pria itu bertanya lembut. Memilah-milah potongan pakaian yang akan dibelinya untukku―sementara aku saling bertukar pandang dengan maid yang sejak tadi membantu si perak itu, tatapan sinis mudahnya.

"Tidak tahu."

"Heh? Maksudmu tidak tahu?"

"Aku tidak tahu namaku, orang-orang biasa memanggilku 'tikus jalanan'. Mungkin itu namaku," jelasku. Maid berambut hitam itu mendengus pelan―pria itu tak melihatnya, dia berdiri tepat pada titik buta―mengejek jawabanku yang terdengar bagaikan bualan konyol dariku.

"Oh... Begitu... Wajar sih kalau mengingat masa lalumu dulu."

Eh? Dia percaya padaku?

"Anda... Mempercayai ucapan saya?"

"Beri aku alasan kenapa aku tidak bisa mempercayaimu," balasnya cepat. Memberikanku sebuah pakaian berwarna silver dengan beberapa accesorisnya. "Coba pakai yang ini."

Aku mengganguk, menuruti segala ucapan yang diberikan olehnya. Berjalan ragu menuju ruang ganti diiringin dengan tatapan tajam dari pegawai maupun pengujung toko. Tapi... Ada satu pandangan yang sama sekali tidak menusuk. Justru terasa... Hangat.


Riku POV [Jangan bilang kalian belum sadar siapa-siapa aja yang Rui sebut -.-]


Kutatap punggung anak laki-laki berambut coklat yang menghilang di balik tirai itu. Mengukir sebuah senyum kecil di wajahku sebelum akhirnya senyum milikku harus hilang saat maid yang sejak tadi membantuku berucap sinis.

"Anda pasti sudah gila bila mau membelikan pakaian itu. Pada setan kecil pencuri itu. Anda tidak takut bila dia mengambil dompet Anda?"

"Tidak..." Kuputar perlahan kristal milikku. Berusaha menghindari tatapan terkejut dari maid berambut hitam panjang itu.

"Tidak Anda bilang? Apa Anda bercanda?"

"Akan lebih bercanda lagi kalau kau mendengar pertanyaanku kali ini," senyum sinis bermain di wajahku. Bertegur sapa dengan kristal biru yang memancarkan perasaan sinis. Bagaimana kau bertahan dari semua tatapan itu, anak manis?

"Pertanyaan, maksud Anda asal-usul bocah itu? Dia hanya anak yang dibuang ka-..."

"Bukan, aku tidak bertanya mengenai mahluk mortal," potongku dengan nada main-main. Mendengus pelan saat mendapati tatapan ragu karena akhir dari kalimatku lalu berucap, "tapi mengenai Vampire. Kau tahu di mana aku bisa menemukan mereka?"

"...Apa sekrup Anda hilang satu butir?"

"Yang benar sudah hilang semua."


Kembali pada si tanpa nama POV―Sora POV.


"Jadi... Bagaimana?" tanyaku ragu. Berputar beberapa kali di depan cermin dengan sepasang kristal hijau mengawasiku.

Rasanya sangat berbeda. Saat bahan dari kain sutra ini mengenai tubuhku terasa begitu halus dan lembut. Sangat berbeda dengan kain kasar yang entah apa―aku tak mungkin tahu bahan dari kain itu, karena itu memanglah bukan bahan yang seharusnya digunakan sebagai pakaian.

"Ung... Cocok, Tifa-chan, tolong model ini dengan warna merah, biru dan hitam ya. Langsung dibungkus saja," pria itu meminta main-main. Memberikan dompetnya pada maid yang sebelumnya menatapku sinis―dan entah sejak kapan berbalik menatap pria itu penuh ketakutan. "Ambil saja jumlah untuk membayar pakaian Sora."

"Sora?"

"Namamu, kau bilang kau tidak punya nama aslikan? Jadi aku memberikan nama itu untukmu."

Aku mendesah. Hanya butuh waktu tiga jam dan aku sudah mengerti benar karakter orang ini.

Seenaknya sendiri tanpa memperdulikan pendapat orang lain.

Memangnya kapan aku ingin sebuah nama? Lagipula biarpun aku memiliki nama mereka aku tetap memanggilku 'tikus jalanan'. Dengan begitu aku hanya mencoreng manusia yang memiliki nama sama dengan nama yang diberikan oleh orang ini.

"Terimakasih, tolong jangan datang kembali. Lebih baik anak yang bersama Anda yang datang ketimbang Anda," maid itu berucap pelan. Memberikan tas-tas berisi pakaian yang baru saja dipesan beserta dompet dan struk pembayaran.

"Tenang saja, aku baru kembali saat cucumu yang mengelola tempat ini kok." Sepertinya aku baru saja mendengar guyonan garing yang tidak lucu sama sekali. "Ayo Sora, pemberhentian berikutnya toko accesoriss dan toko sepatu."

Kapan aku menyetujui nama itu? Aku belum bilang setuju kan?


Rembulan kini menggantung di langit malam. Memancarkan cahaya keperakan miliknya yang membias melewati kaca-kaca jendela sebuah kamar.

"Sebenarnya... Anda siapa?" tanyaku. Memandang sosok yang tengah duduk di samping jendela dan menggenggap secangkir anggur dengan tangan kanannya.

Satu hari aku bersamanya dan aku baru bertanya sekarang.

"Bukan siapa-siapa, hanya eksistensi yang sudah tersisihkan," balasnya halus. Meneguk cairan merah itu hingga habis sebelum menatapku dengan mutiara yang seolah bersinar indah dalam kegelapan itu. "Apa kau ingin ikut denganku. Kau tahu bagaimana rasanya sendirian..." tawarnya.

"Maksud Anda... Anda seorang manusia nomaden yang seenaknya sendiri?" sindirku. Memincingkan mataku yang begitu besar dan mencicipi jus jeruk yang tadi dipesankan olehnya.

"Lidahmu cukup bervariasi juga untuk seseorang yang hidup sendiri. Bahkan anak seusiamu belum tentu mengerti arti dari istilah itu."

"Boleh aku mengkategorikan hal itu sebagai pujian atau gunjingan secara langsung?"

"...Kau lebih suka yang mana?"

"Gunjingan."

"Ya sudah."

Entah kenapa aku mulai sakit kepala berbicara dengannya. Tapi... Rasanya cukup menyenangkan juga. Apa ini rasanya mendapat perhatian dari orang lain―tolong jangan menambahkan perhatian dalam artian membenci.

"Sebelum kau terlelap, Riku, itu namaku. Kau tidak pernah bertanya sejak tadi," ucapnya. Mengalihkan perhatianku yang hendak bersembunyi di balik selimut dan menuju dunia mimpi. Kuanggukan kepala tanda mengerti diiringi senyuman kecil darinya.

"Selamat malam, Sora."

"Ma...Malam."


Yayay!

Setelah Cuma masukin satu fic saja…

Rui kembalia mambuat Fic ini.

Asal kalian tahu, Vampire yang Riku maksud di sini itu bukan karena dia sang Vampire.

Tapi karena alas an yang tersinggung pada pembukaan, jadi kalian pastikan dengan mengartikan POV Riku yang pertamana dan mencocokannya dengan fic Rui bertema Alchemy.

Khukhu,

Kalian pasti sadar.

Dan… Mengenai multichap… Ini Cuma Two-Shot.

Rui kapok bikin yang lebih dari itu.

Jadi…

Mid to Review?