WARNING!

-TULISAN MASIH BERANTAKAN

-OUT OF CHARACTER

-BANYAK HAL GAK MASUK AKAL

-ALUR LABIL EKONOMI

But… let's check this damn dreadful easy fanfic out! Just enjoy the story, and bear with it!

.

-oO-Job's Comforter-Oo-

Jersey justice is very severe justice.

And job's comforter wants to comfort, but actually ends up discomforting people around.

.

Bagi Doyoung ini pagi yang biasa saja. Tidak terlalu cerah, tidak juga mendung.

Itu sebabnya ia tidak mengira akan mendapati kejadian aneh sepagi ini. Tidak, bukan kejadian, lebih tepatnya orang. Orang yang berkelakuan aneh yang membuat paginya juga menjadi aneh.

Ia terkejut, tiba-tiba Rowoon duduk di bangku sampingnya. Padahal sedang asik-asiknya melamunkan Jung Yunho. Paman tampan di depan toko buku, yang kemarin meminjamkan payung padanya. Dan kedatangan lelaki tiang listrik di sebelahnya ini membuat bayangan wajah Yunho di kaca jendela lenyap seketika. Ia tidak akan pernah memaafkan Rowoon untuk ini.

"Hei. Apa yang sedang kau lakukan di kelasku?" Doyoung refleks bertanya. Ia tidak memikirkan bahwa seaneh itu keberadaan Rowoon di kelasnya. Orang ini memang cukup sering tiba-tiba muncul di kelasnya hanya untuk sekedar... hmmm… entahlah. Ia juga tidak tahu.

Benar juga, tapi biasanya kunjungan itu dilakukan saat jam makan siang atau istirahat. Tidak ketika pelajaran sebentar lagi akan dimulai. Sadarnya ia akan kehadiran lelaki itu menyingkirkan seorang Jung Yunho dari dalam benak secara menyeluruh.

"Ini kelasku juga sekarang."

Doyoung mengernyit. Merasa absurd dengan jawaban barusan.

Pemuda yang sekarang benar-benar teralihkan isu lamunannya (tentang Jung Yunho) bertanya lagi untuk meyakinkan, "Kau tersesat ya?"

"Aku berpura-pura menjadi anak bodoh di kelas agar diturunkan dua tingkat. Dan aku memilih kelas ini."

Kernyitan di dahi Doyoung makin berlipat-lipat.

Rowoon memberikan penjelasan tanpa diminta. Padahal yang dibutuhkan Doyoung hanya jawaban ya atau tidak. Tapi penjelasan itu malah membuatnya makin bingung.

Dasar gila, pikirnya, sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan menegaskan apa yang dipikirkannya tentang tindakan Rowoon ini.

Rowoon menunggu pertanyaan 'kenapa' keluar dari mulut Doyoung, tapi justru yang keluar adalah nasihat. Hikmah kehidupan yang Rowoon tidak mengerti didapat makhluk satu ini dari mana.

"Hati-hati kalau bicara. Kalau kau jadi bodoh betulan bagaimana?" secara tidak langsung Doyoung membuat pernyataan. Berdasarkan pengalaman pribadi.

Dengan sendirinya ia bercerita pada Rowoon.

Minggu lalu Ten datang padanya untuk meminjam sedikit uang. 3000 Won, karena lelaki Thailand itu sedang diberi hukuman tidak diberi uang jajan oleh ibunya. Gara-gara ketahuan menonton blue film Amerika, katanya. Ya terserah. Mau Amerika kek, Afrika kek, Antartika kek, apapun itu, Doyoung tidak peduli. Doyoung mengatakan bahwa ia juga tidak sempat meminta uang jajan. Sehingga ia tidak punya uang. Padahal ia membawa cash 30 ribu Won dalam dompet. Dan benar saja. Sesampainya di rumah, uangnya lenyap, beserta dompetnya. Ternyata sebelumnya di perjalanan pulang di dalam bus, ia kecopetan. Ia jadi tidak punya uang. Persis apa yang ia katakan pada Ten. Ia tidak begitu mempermasalahkan uang yang hilang, sebenarnya. Masalahnya ada pada dompetnya. Salah satu koleksi terbaik musim semi Gucci. Hadiah ulang tahun dari kakaknya. Tapi tetap saja.

Pelajaran yang ia dapat: jangan pernah melakukan understatement pada diri sendiri. Alam tidak akan mempermainkanmu. Tapi ia akan menghilangkan apa yang kau katakan tidak ada.

"Mengerikan. Semoga saja itu tidak terjadi padaku." Rowoon tidak punya kalimat lain untuk menanggapi cerita soal pengalaman Doyoung tersebut.

Beberapa saat keduanya terdiam. Rowoon berpikir bahwa pemuda ini masih ingin bertanya lebih jauh soal alasan ia pindah tingkat, tidak, bukan pindah, terjun bebas dua tingkat. Tapi ia tidak ingin kegeeran. Jadi ia biarkan saja Doyoung berpikir dulu.

Doyoung ingin bertanya lebih jauh. Namun setelah memikirkan beberapa kalimat yang tepat untuk bertanya, ia memutuskan. Sudahlah. Bukan urusannya juga.

Jadi ia memilih melemparkan kalimat ini ke muka Rowoon yang sepertinya menunggu Doyoung berbicara lagi, "Sepertinya kau harus pindah tempat duduk. Kursi itu milik Kun."

Seketika Rowoon mengangkat bahu, begitu saja patuh. Ia bangkit dan mengambil tempat duduk di bangku paling belakang untuk memantau segala yang dilakukan Doyoung. Doyoung sedikit banyak bertanya-tanya pada kepatuhan Rowoon yang menurut begitu saja pada perintahnya. Tapi sekali lagi ia memutuskan. Sudahlah. Bukan urusannya.

-oO-Job's Comforter-Oo-

Haaaah... Istirahat. Waktunya bernafas, pikir Rowoon. Ia sudah mempelajari pelajaran di tingkat ini tentu saja, dan fakta kalau selama ini ia memiliki rekam jejak akademik yang normal itu berarti ia tidak bodoh-bodoh amat untuk lupa seluruhnya apa yang ia pelajari. Yang membuatnya frustasi adalah ia sudah mempelajarinya, dan sekarang mengulang semuanya lagi jelas membuat otaknya merasakan kejenuhan.

Tapi ia punya tujuan yang jelas.

Ia punya tekad. Jadi, ia akan menjalankan semua ini. Demi seseorang tentu saja...

Ia yang tidak lapar dan tidak ada niatan untuk keluar kelas duduk saja di bangkunya. Sambil memperhatikan suasana ruang kelas barunya. Hampir seluruh siswa keluar dari kelas saat bel istirahat terdengar. Hanya ada Doyoung yang masih duduk di tempatnya. Dan tiga lelaki yang sedang mengepung lelaki itu.

Itulah alasan (utama) Rowoon untuk tetap tinggal.

Ia menanggapinya dengan tatapan datar. Ia pikir mereka hanya teman. Bukan sesuatu yang mengancam. Setidaknya untuk saat ini. Ia masih cukup cool untuk tidak tiba-tiba mengambil kesimpulan. Dan menciptakan scene di hari pertamanya turun tingkat.

Winwin merangkul bahu Doyoung dari sebelah kiri. Johnny dari kanan. Lalu ada Jaehyun yang membalik kursinya hingga berhadapan dengan Doyoung.

Mereka terlihat akrab. Ketiganya tersenyum bahagia. Rowoon bisa melihat senyuman Johnny dan Winwin dari sisi profil samping. Yang tidak ia tahu adalah ekspresi Doyoung saat ini. Lelaki itu terus menatap ke arah Jaehyun. Entah tersenyum. Atau tidak. Rowoon tidak ingin menerka. Ia tidak bisa begitu saja berkonklusi kalau Doyoung akan menampilkan ekspresi serupa dengan yang lainnya. Karena lelaki itu hanya diam.

Sebenarnya Doyoung merasa takut. Namun ia tidak memperlihatkan.

Dan Rowoon benar-benar tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Ia bisa merasakan ada sesuatu yang janggal dari atmosfer keempat 'teman' ini. Ada sesuatu yang salah dengan arrangement ini.

Tapi ia tidak tahu apa.

Apa ia akan mencari tahu? Hmmm... Kita lihat saja.

-oO-Job's Comforter-Oo-

Rowoon tidak sengaja melihat Doyoung sedang buang air kecil ketika ia memasuki toilet. Ketidaksengajaan yang mengundang kesempatan. Sisi moral di pikirannya berusaha menasehati sisi 'kebinatangannya' yang mendadak liar. Pada setengah perjalanan ia memasuki toilet ada pertempuran batin besar dalam dirinya. Pada satu titik ia benar-benar berusaha untuk bertingkah normal.

Ia lalu melakukan hal sama di samping Doyoung. Membuka resleting celana, menyembulkan sesuatu, menuntaskan hasrat. Normal.

Tapi sedetik kemudian, bagian dirinya yang penasaran dan menuntut kepuasan lain selain penuntasan hasrat kantung kemihnya, menghentikan segala usaha untuk menormalkan situasi. Yang tidak normal adalah ketika otot lehernya bergerak sedikit. Otot bola matanya yang bekerja lebih banyak.

Ia melirik ke samping, bagian bawah. Berusaha menangkap kemungkinan pemandangan yang bisa didapatkan.

Ya, berhasil.

Ia menahan senyum. Menutupi teriakan kemenangan dalam hati. Dan teriakan kekalahan moralitasnya yang memang sejak awal tidak ia pegang terlalu kuat juga. He is an opportunist, kalau ada kesempatan, kenapa dilewatkan? Ia membayangkan ada suara penjahat yang tertawa puas di kepalanya.

So? Pemandangan barang milik siapa yang sedang coba ia abadikan dalam memorinya?

Memang barang milik siapa yang sedang ia lihat?

Siapa lagi? Ia tidak melihat ada orang lain selain mereka berdua di sana.

Dasar pencuri. Pencuri pandang, maksudnya, tapi tetap saja pencuri.

Doyoung selesai lebih dulu. Ia menghampiri wastafel untuk mencuci tangan. Tidak menaruh kecurigaan apapun pada teman sekelas barunya yang baru saja mendesah kecewa itu. Kecewa karena kesenangan yang didapatkan hanya sekejap.

Tiba-tiba Winwin merangkul pundak Doyoung, bersamaan dengan Rowoon yang menyelesaikan aktivitasnya. Tidak ada yang menyadari sejak kapan lelaki oriental itu berada di sana. Rowoon tidak kaget, tidak tentu saja. Ia bisa stay cool. Tapi atmosfer kejadian kali ini lebih janggal lagi daripada ketika di kelas.

Ada yang tidak beres.

"Jangan lupa. Kami menunggumu." Si perangkul menyeringai menatap refleksi sang lawan bicara dalam cermin. Doyoung sedikit mengangkat sudut bibir kiri, mungkin berusaha tersenyum. Tapi jelas sekali ia tidak antusias dengan kenyataan bahwa ia punya teman yang cukup setia menungguinya untuk pergi ke kamar kecil. Rowoon mencatat itu sebagai tambahan keanehan lainnya dari dinamika hubungan empat orang 'teman' ini, setidaknya sejauh ini.

Johnny dan Jaehyun bersandar di ambang pintu. Tidak memasuki toilet itu. Hanya berniat untuk menunggu teman satunya.

"Ayo." Ajak Jaehyun. Terlihat sepertinya mulai tidak sabar.

"Cepatlah Winwin. Doyoung tidak akan lupa. Benar begitu, Young?" Johnny tersenyum menggoda. Tapi apapun yang berada dalam benak Doyoung saat ini, berhasil membuatnya tidak tergoda.

Aha! Pikir Rowoon, hal aneh lainnya lagi.

Dan tidak, ia tidak cemburu. Ia hanya kesal bahwa kenyataan ia turun dua tingkat tidak membuatnya menjadi satu-satunya manusia yang bisa dengan eksklusif menggoda Doyoung.

Tapi tentu ia diam saja. Selama ia belum tahu pasti ada apa gerangan dengan semua ini. Ia berusaha untuk tetap hanya mengawasi dan berusaha menjadi pihak yang tidak terlihat di sini.

"Jangan banyak bicara. Pergilah." Doyoung berusaha untuk tidak menunjukkan gemetar di tangannya.

"Baiklah. Aku menunggumu." Dengan reduplikasi kalimat terakhir itu Winwin berlalu. Meninggalkan Doyoung berdua dengan Rowoon.

Rowoon menghampiri lelaki itu. Menjadikan kegiatan mencuci tangan sebagai momentum untuk mendekati dan mengajak bicara.

Doyoung menunduk. Tatapannya beradu dengan sabun cair yang berceceran di sekitar kran. Tampak memikirkan sesuatu.

"Sebenarnya apa masalahmu dengan mereka? Bukannya aku ingin sok tahu. Tapi sepertinya kau tidak pernah tersenyum ketika mereka datang padamu." Rowoon to the point. Selesai mencuci tangan ia tidak beranjak dari dekat lelaki itu. Ya, bahwa Rowoon sejak tadi diam saja. Tapi bukan berarti segala ingin tahunya bisa dibungkam dalam diam. Jadi begitu ada kesempatan, ia keluarkan saja sekalian semuanya.

Masih untung ini tidak semuanya dari semuanya.

Sang lawan bicara mengangkat kepala, "Not your job."

Lalu berjalan menjauh. Kini Doyoung terlihat kesal, dari yang tadinya setengah kesal.

Rowoon biasa diperlakukan biasa saja oleh lelaki itu. Tapi tidak pernah sedingin ini. Di kelas tadi ia masih bersikap normal.

Mungkin Doyoung bukanlah tipe orang yang suka jika ada orang lain yang ikut campur dalam urusannya. Jika dilihat dari frasa terakhirnya barusan sih seperti itu.

Rowoon merasa ada yang tidak beres. Tidak, coret kalimat barusan. Rowoon yakin ada yang tidak beres.

-oO-Job's Comforter-Oo-

"Jadi hanya demi anak itu, kau rela turun kelas dua tingkat? Kau gila." Zuho yang tidak habis pikir itu menggeleng. Setelahnya menggigit lagi sisa roti isinya.

Rowoon membiarkan jus jeruknya hanya berembun di tangan. Menunggu lima bongkah es di dalamnya hingga benar-benar meleleh. Ia tidak suka minuman terlalu manis. Dan ketergesaannya membuatnya lupa mengatakan pada bibi penjaga stan minuman untuk tidak menambahkan gula lebih banyak. Jadi hanya pada tambahan air dari es itulah ia bisa berharap mendapatkan sesuatu yang sesuai dengan lidah manjanya.

Sekalian memperhatikan es yang mencair, sekalian ia memberi waktu pikirannya untuk mencari jawaban yang tepat. Tapi setelah dipikir-pikir, ia jawab saja seadanya.

"Ya. Aku gila. Lebih tepatnya tergila-gila." ia menyeringai bangga, teman yang bertanya tadi menatapnya sekan ia sungguh-sungguh menatap orang gila.

Ia ingat betul pernah mengalami ini sebelumnya. Perasaan ini. Obsesi pada seseorang yang untungnya hal itu bisa ia kendalikan secara proporsional. Tidak meneror –mengganggu orang yang disukainya hingga menghilangkan kenyamanan.

Ia juga yakin bahwa perasaan yang dialaminya tidak pernah segila ini. Ketika SMP dulu ia tidak pernah meminta untuk pindah kelas, hanya karena ingin berada di kelas yang sama dengan Seolhyun –mantan terindah. Padahal mereka satu angkatan. Lebih mudah untuk pindah dibandingkan jika harus pindah angkatan. Dua tingkat pula.

Mungkin dulu memang tidak kepikiran sampai sana. Entah ia yang saat itu masih terlalu muda. Dan pasrah menerima kenyataan.

Apapun itu, ia tidak ingin lagi mengingatnya.

"Ck. Rowoon si Drama Queen. Kau tidak memikirkan orang tuamu? Bagaimana jika mereka kecewa?" begitu selesai melenyapkan seluruh makanan di seisi nampan, Inseong memeriksa ruang obrolan di telepon genggam. Ia memiliki beberapa urusan dengan teman-teman di ruang lingkup lain yang tidak bisa ditinggalkan. Sosialita.

"Tentu saja tidak. Tinggal satu atap selama 18 tahun membuat orang tuaku mengenalku dengan baik. Lebih baik dari siapapun. Aku mengatakan pada mereka bahwa aku hanya ingin memantapkan pelajaranku."

Zuho menyambar tisu untuk membersihkan sisa remahan di tangan dan sekitar mulut. Terasa agak kasar karena rambut-rambut yang sedikit bertumbuh di atas bibir dan dagu. Bukan lupa atau tidak sempat. Tapi memang terlalu malas untuk bercukur.

"Tetap saja kau berbohong." ia berujar, hanya memperjelas fakta.

"Tanpamu di kelas, aku merasa kesepian di tengah keramaian." Intonasi yang dikeluarkan Inseong membuatnya terdengar tidak serius dengan ucapannya. Tapi memang begitulah cara ia berbicara. Dan Rowoon tidak butuh penjelasan untuk hal itu. Seluruh dunia juga tahu. Betapa ia dekat dengan dengan Inseong. Dan memahami dirinya lebih dari siapapun.

"Ramai gigi kelincimu! Kelas kita memang sudah sepi dari sananya."

Inseong mendelik. Zuho benar-benar tidak tahu cara menarik teman dekatnya kembali ke kelas asal, pikirnya. Menurutnya, Zuho harus bersyukur. Karena masih ada dua orang baik hati yang mau berteman dengannya. Dengan perangai sedikit menyebalkan yang dimilikinya itu.

"But… either crowded or silent, you were always with us..." Di kalimat terakhir itu Zuho berpaling. Tiba-tiba jadi dramatis. Ia masih bisa berkata demikian ternyata. Rowoon jadi berhenti sebentar dari pemikiran-pemikiran sebelumnya yang memenuhi otaknya. Dan mereka memanggilku drama queen? Ha. Ha.

"Kita masih satu sekolah. Apa yang harus dikhawatirkan?" Ia mulai menyeruput lebih banyak dari sebelumnya minuman jeruk yang rasanya sudah mulai pas dengan seleranya. Tidak terlalu manis.

"Saat ini, iya. Tahun berikutnya? Aku dan Zuho sudah melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya, dan kau masih mendekam di tingkat dua?"

Rowoon hanya mengangkat bahu.

Toh, sudah terlambat juga untuk membatalkan semua kekonyolan ini. Jadi, jalani saja.

-oO-Job's Comforter-Oo-

Tidak ada yang menarik di Adhesion Polis. Itulah yang dipikirkan Rowoon. Terlebih setelah ia membuktikan sendiri dengan mendatangi mall di pusat kota itu. Tidak, lebih tepatnya Inseong yang memaksanya untuk ikut. Tidak tahu juga alasannya. Yang jelas Rowoon tahu betul alasannya berada di sini.

Sebelumnya ia telah mengatakan bahwa ia tidak bisa. Ia tidak akan menolak keyakinan untuk mencari banyak informasi tentang Doyoung. Dan ketiga lelaki mencurigakan yang terus mengerubunginya di sekolah. Tapi Inseong membuat ia lebih tidak bisa menolak ajakannya.

"Sayang sekali kau tidak bisa ikut. Baiklah." Inseong memainkan ponsel untuk menghubungi seseorang.

"Terima kasih telah mengerti kesibukanku. Jadi sekarang kau sedang menghubungi Zuho dan akan memintanya menggantikan aku?"

"Halo Abeoji. Aku hanya ingin mengatakan bahwa Rowoon-" Inseong sambil memeriksa reaksi yang disebutkan namanya.

Yang disebut namanya melotot. Detik berikutnya menyatukan kedua telapak tangan di depan wajah. Melakukan gesture memohon. Kepalanya menggeleng kuat, raut ketakutan terlihat jelas.

Melihat reaksi yang dikeluarkan sempurna dengan keinginannya, Inseong buru-buru mengeluarkan statement yang berbeda dari yang dikhawatirkan Rowoon, "-belajar dengan baik di kelasnya tadi."

Bagai selamat dari kejaran zombie, Rowoon menghela nafas lega.

"Tentu Abeoji. Aku akan selalu mengawasinya. Aku tidak ingin kau mematahkan leher putramu sendiri seperti yang kau katakan, hanya karena ia membolos satu mata pelajaran saja."

Sial, pikir Rowoon. Kenapa di jam pertama tadi Inseong harus memergokinya sedang membolos sih?

Ia mendengus tidak suka, "Kau ingin kutemani sampai jam berapa?" sambarnya tidak rela, ketika sambungan telepon sang teman terputus.

Inseong menyeringai. Berteriak kemenangan dalam hati.

Hanya satu senjata yang ia miliki. Namun cukup ampuh untuk membuat Rowoon tunduk padanya.

"Kau mengataiku drama queen, lalu kau yang minta ditemani berbelanja, apa? Seperti anak perempuan saja."

Inseong terlalu malas untuk menanggapi. Kecuali jika Rowoon mengatakan hal-hal menyenangkan. Untuk saat ini baginya Rowoon lebih baik diam saja. Dari pada harus beradu argumentasi. Petaka.

"Apa yang harus kulakukan selama kau memilih celana jeans yang terlihat sama semua itu?"

"Ikut melihat-lihat saja."

"Aku tidak akan melakukan hal itu jika tidak memiliki tujuan untuk membeli."

Rowoon itu pemuda yang simple. Jika butuh, ia beli. Jika tidak, lebih baik pulang dan nonton TV. Atau melamunkan Doyoung. Yah, itu juga menyenangkan.

Pandangan Rowoon mengedar. Dan ia merasa tenggelam di lautan hitam, abu-abu, biru tua, dan cokelat gelap. Membosankan. Tapi melirik ke bagian wanita yang ada di sisi lain lantai toko itu juga bukan pilihan. Tahu begini ia membawa sesuatu untuk menghibur dirinya, apapun. Monopoli juga bagus. Bahkan papan Ouija juga tidak masalah. Pelayan di bagain depan dengan senyum terprogramnya mungkin bisa ia ajak main.

Setelah mengedarkan pandangan lebih jauh ke dunia percelanaan pria, Rowoon berkesimpulan, kira-kira begini. Bagian bawahan pria memang benar-benar suram. Kecuali jika ia berjalan ke wilayah sebelah, pakaian pria metroseksual yang penuh warna. Ia bersyukur karena temannya itu masih normal.

Lebih baik suram. Dari pada aku dan Inseong dikira… ah sudahlah.

"Ya sudah beli saja. Dengan begitu kau jadi punya tujuan kan." Inseong menggoyang-goyangkan sebuah jeans biru tua seakan itu akan berhasil menggoda Rowoon untuk ikut membeli. Kelakuan itu hanya berhasil membuat Rowoon mendesah kesal.

"Kau yang bayar?" tanya Rowoon tidak antusias. Karena tentu ia tahu jawabannya.

"Ha. Ha. Bayar sendiri."

Rowoon berdecak sebal.

Untung sayang.

Tidak, bukan sayang yang macam-macam. Hanya sebagai teman.

Ia merasa geli sendiri menggambarkan perasaan pada teman sesama-lelaki-nya seperti itu. Ya… intinya, Rowoon tetap tidak ingin kehilangan Inseong. Semenyebalkan apapun dia.

"Kalau bisa justru kau yang membayar belanjaanku." Inseong menimang-nimang. Biru? Atau abu-abu? Ia ingin memiliki keduanya. Terutama jika Rowoon mengabulkan ucapannya barusan.

"Kau siapa? Pacar juga bukan."

"Kalau begitu kita pacaran saja. Jika dengan begitu kau mau membayar segala kebutuhanku."

Rowoon melotot dan mengeluarkan tampang sok jijik, "Ewh. Dasar murah. Jangan keterlaluan. Kau bukan satu-satunya orang yang menyimpan senjata untuk mengancam."

"Memangnya kau akan mengancam apa?" Inseong menghadapkan fokus pandangan pada Rowoon kini. Ingin tahu memangnya pemuda ini punya senjata apa untuk melawannya.

"Aku-" Rowoon memutar otak dengan lambat. Dan begitulah. Tidak bisa berpikir kritis dalam situasi begini. Inseong nyaris tidak pernah melakukan kesalahan. Rowoon jadi tidak punya bahan.

Inseong menyeringai. Tahu bahwa dirinya tidak punya kelemahan yang bisa Rowoon gunakan untuk melawannya.

"Sudahlah. Aku hanya bercanda. Aku yang akan mentraktir es krim setelah ini." Inseong mengedipkan sebelah mata. Tapi tetap saja terlihat sama. Sudah takdir dia memiliki mata satu garis.

"Hari ini kau menyebalkan. Kau tidak sedang berada dalam situasi dimana kau bisa mencandaiku."

"Ada kalimat lain selain itu?"

"Aku tidak sedang berada dalam situasi dimana bisa kau candai."

Inseong sweatdrop. Parafrase yang seharusnya lucu, jadi terdengar menyebalkan. Mood-nya hilang lagi.

"Kau itu apa? Gadis pra menstruasi? Kau terus saja menggerutu sepanjang kebersamaan kita sejak tadi. Pergilah. Kembali lagi ketika wajahmu sudah kembali berseri."

"Sungguh? Aku bisa meninggalkanmu sekarang?"

Inseong melirik arloji Omega-nya, "Dalam waktu 20 menit kau harus berada di sini."

"Apa?! Tapi aku ingin pulang. Aku benar-benar bosan. Kau tidak mengerti?"

"Dengan sepakatnya kau menemaniku, seharusnya sudah satu paket dengan kesabaranmu juga."

Rowoon tidak tahu bahwa kesabaran bisa dipaketkan. Dikira paket ayam plus kentang goreng plus satu minuman bersoda ukuran medium di rumah makan cepat saji apa?

"Terserah." Rowoon beranjak pergi.

"20 menit! Atau kau mati!"

Rowoon mengabaikan sayup-sayup suara –yang menurutnya- tidak penting itu. Meninggalkan bagian department store. Mulai berjalan sendiri menyusuri gedung perbelanjaan itu. Tidak tahu juga dengan tujuan. Ia tidak punya. Lagipula apa saja yang bisa ia lakukan saat ini dengan deadline 19,3 menit yang akan datang? Masuk ke arena permainan dan memenangkan boneka beruang dengan tuas, lalu memberikannya pada Inseong untuk meluluhkan hatinya? Manis sekali. Tapi menjijikan. Ia berdecih membayangkan itu.

Di bagian swalayan ia melihat Doyoung dari kejauhan. Dan tiga lelaki itu lagi. Mereka bersama. Membawa banyak barang dalam tiga troli yang belum ditebus di kassa. Mungkin mereka juga sedang berbelanja, pikirnya. Yang membuat terlihat menarik adalah ia tidak pernah melihat orang berbelanja sebegitu menggunungnya di dalam troli. Mereka mau apa? Mengadakan pesta?

Ia ingin mendekati satu lelaki itu sekedar menyapa. Tapi ia tidak ingin mengacaukan acara tiga lelaki lainnya. Jadi ia hanya berdiri di sana. Memperhatikan perkembangan situasi yang terjadi. Ingin tahu sebaik apa hubungan mereka. Sampai berbelanja pun dilakukan bersama-sama. Terasa kontradiktif dengan apa yang biasa ia lihat di sekolah. Bersama-sama bukan berarti bahagia kan? Contohnya ia dan Inseong tadi.

Satu pemikiran menyelinap di antara kecurigaan itu. Dari deretan kekesalannya pada Inseong yang ia alami hari ini, baru sekarang rasanya ia ingin mencium teman dekatnya itu. Mengucapkan beribu terima kasih karena telah memaksanya untuk ikut kemari. Sehingga ia bisa melihat lelaki itu di luar jam sekolah. Ia jadi tidak menyesal. Tapi jangankan hanya mencium Inseong. Melakukan yang lebih dari itu saja mereka sudah pernah.

Detik berikutnya ia melihat Doyoung berlari sekuat tenaga. Berlari secepat yang ia bisa, sejauh mungkin.

"Hei! Berhenti kau!" itu Johnny yang berteriak.

Rowoon menyeringai.

Sepertinya ia mulai mengerti.

Jersey justice is very severe justice.

And job's comforter wants to comfort, but actually ends up discomforting people around.

Dan Doyoung membutuhkan bantuan.

Sekarang!

-oO-Job's Comforter-Oo-

.

Bersambung

.

Kemaren kemaren aku baru inget kalo salah satu anggota Bandung Squad bernama Ninda pernah bikinin ff JaeDo Domestic rikuesan aku. Meskipun disatuin ama rikuesan Farah, anggota Bandung Squad lainnya, hahaha. Tapi aku suka bgt ama ffnya.

Jadi hanya dengan ff DoWoon chaptered ini aku bisa ngebales ffmu itu. Tuh. Kurang baik apa aku ampe ngasih bonus plus plus begini :v cuma mungkin tulisanku memang tidak seindah milikmu Ninda senpai. Heuheuheu. Yg penting aku sendiri sangat menikmati ngetik cerita ini. Ampe aku buka 1000x sebelum publish. Karena ini special buat senpai. Jadi gak boleh ada typo atau kesalahan apapun :B

Dan makasih udah nyemangatin aku buat skripsian aku. Buat Ninda, dan semuanya.

Btw, aku ampe bingung sendiri milih di antara tiga serangkai bunga yg terdiri dari Johnny si bunga tulip, Jaehyun si bunga azalea dan Winwin si bunga sakura itu mana yg harus dibikin paling deketin Doyoung. Aku ampe ngitung kancing. Ampe dicoba tiga kali. Bahkan aku coba ngitung kancing di tiga baju. Dan hasilnya tetep sama. Winwin. Jadi ya gini jadinya.

Terus kalimat tentang job's comforter itu harap jangan terlalu dipercaya. Cuma karangan aku. Ngawur itu mah.

Fellow DoWoon both lovers and shippers, let's prove our existence :*

/tewas/