desclaimer: Kuroko no Basuke pure punya om Fujimaki Tadoshi
warning: OOC!Ogiwara, Oreshi (ya saya selalu bikin oreshi, kapan terakhir saya bikin bokushi? Kayanya belum pernah deh) AU!Mafia tema yang lagi bikin saya selalu berguling setres orz, OC cuman dua orang. Karena setting di Itali saya bingung mau bawa siapa lagi ke sana, adegan berdarah, implisit lime, tembak-tembakkan dan baku hantam.
note: fict ini dipersembahkan dengan sepenuh jiwa dan raga untuk kak Yuna Seijuurou yang selama ini sudah menemani saya menggilai season 3 (sampe rasanya pengen garuk semua staffnya). Oh Nijimuraa~ Shige~ salah apa kalian TT
.
Akashi Seijuurou memang seorang putra pemilik perusahaan berpengaruh di Jepang sana, tapi keluar negeri pun Akashi rasanya belum pernah. Sejauh dia pergi hanya mencapai kampus.
Dan disini dia sekarang, Italia.
Sebuah negara impian dengan keindahan dan keeksotisan yang berhasil menarik perhatian para turis berbagai negara untuk bertandang ke negara penghasil pasta terbesar di dunia. Semuanya pasti tergoda akan nuansa artistik sekaligus spiritual yang melingkupi setiap lini bagian dari negara tersebut. Gambaran sebuah negara akan kuatnya pendirian keagamaan, maka tidak heran jika Italia adalah pusat keagamaan umat nasrani dari seluruh dunia.
Thesis bahwa Italia adalah negara seni bisa dibuktikan dalam ribuan karya seni yang dilahirkan oleh tangan-tangan jenius pada abad pertengahan di negara itu; yang bahkan karyanya masih populer hingga sekarang. Goresan lembut dan guratan tegas pada tiap lukisan dan patung di masanya berhasil membawa Italia pada peringkat puncak negara panghasil karya seni terbaik di seluruh dunia. Warna-warna yang digradasikan secara sempurna berhasil membangkitkan pola pikir dan persepsi manusia terhadap alam sekitar. Tak lupa pula hasil karya seni itu dibuat berdasarkan takaran artistik yang amat tinggi sehingga menghasilkan nilai jual yang amat bombastis.
Negara penampung para warga yang terkenal akan keramahannya. Meski ada simpang siur kabar akan adanya mafia gara-gara trilogi film The GodFather yang menaikkan nama Al Pacino pada jamannya saat itu.
Semua materi yang mendiami negara tersebut menyimpan cerita masing-masing. Tersimpan apik dari ujung Italia Selatan hingga ke perbatasan Italia Utara. Dari Sungai Venecia hingga Coloseum di Roma. Tak akan rubuh oleh perubahan zaman. Selamanya akan menjadi aset berharga bagi mereka yang dengan setia menjaganya.
Negara yang sangat luar biasa indah dan menakjubkan bagi siapa saja, termasuk Akashi Seijuurou.
Dan disinilah dia sekarang, tepat di salah satu lukisan milik museum Doge's Palace. Menyempatkan sebentar mengunjungi tempat berisi berbagai barang seni dunia milik seniman Italia yang terkenal di seluruh dunia.
Tidak ada salahnya kan menikmati milik Italia sebentar sebelum kembali berkutat pada urusan bisnis yang djatuhkan oleh ayahnya? Mumpung.
Jarang-jarang dia bisa dikirimkan ke luar negeri, biasanya hanya mengurusi perusahaan cabang di Jepang. Kesempatan emas bagi Akashi.
Toh segala barang bawaan sudah aman di hotel dan bertemu kliennya pun masih ada waktu sekitar 20 jam lagi. Apa yang perlu di khawatirkan lagi?
Nikmati saja segala yang disuguhkan di depannya.
Tapi sepertinya perkiraan Akashi salah besar. Segalanya tidak semudah dia pikirkan.
Museum dipenuhi oleh puluhan manusia berbagai mancanegara yang dengan gamblang memenuhi segala sudut arah, berjalan tak beraturan. Begitu ramainya hingga Akashi nilai melebihi ramainya gedung stadion Saitama saat pertandingan final.
Untuk ukuran dirinya setinggi 177 cm tidak sebanding dengan tubuh raksasa para manusia Eropa. Tanpa ada rekan, orang baru dan pendatang di Italia membuat Akashi benar-benar buta arah dan dengan wajah mendukung sudah seperti seorang remaja hilang yang berpisah dengan orang tua. Sungguh sial. Sepertinya membaca brosur petunjuk gedung museum tak menjamin apapun. Akashi sudah seperti orang hilang sekarang, yang lebih tenang dari orang hilang. Yeah, jangan lupa. Dia ini Akashi Seijuurou. Seorang putra tunggal Akashi Mashiro, pemilik IQ di atas rata-rata. Di saat beginilah kecerdasannya bisa digunakan. Meski tinggi badan memang harus disalahkan.
Berkali-kali Akashi mencoba menerobos kerumunan turis lain dan tak jarang pula mendapat kegagalan dengan dorongan hampir jatuh terjerembab. Rutukan terucap pelan menggunakan bahasa Jepangnya sambil berharap tidak ada yang tahu.
Sudah hampir tiga belas menit berjuang melewati orang bertubuh tinggi besar tadi dengan segala kekuatan penuh. Sebenarnya jika dia ingin juga sudah sedari tadi dia menggunakan emperor eye. Tapi akan terlihat aneh 'kan? Apalagi ini di negara orang. Bukan arena basket.
"Menyebalkan. Seharusnya aku mengajak Tetsuya kemari." dia bergumam lirih, membuka tas ransel untuk mengambil botol minum. Air mineral tersebut di teguknya secara kasar sebagai pelampiasan emosi tertahan sedari tadi. Pada akhirnya Akashi memutuskan untuk istirahat dan duduk sejenak, mengumpulakan tenaga untuk perjuangan lebih lanjut. Lima menit berlalu, Akashi putuskan kembali menerjang kerumunan. Akashi kembali menegakkan tubuh, mempersiapkan mental, kekuatan dan kamera di tangan. Dalam hati sudah mewanti jika memang tidak bisa lewat menggunakan cara biasa Akashi akan menggunakan emperor eye. Lihat saja.
Kalau dipikir, baru kali ini Akashi seperti orang awam. Jika di Jepang segala keperluan, keinginan pasti tercapai. Hanya dengan lirikan mata saja sudah bisa menundukkan orang. Tapi sekarang, lawannya adalah orang Eropa yang bahkan Akashi tidak kenal, tidak juga punya masalah dengan Akashi. Mana bisa seenaknya sendiri. Disini semuanya sama, mau orang kaya atau miskin. Akashi tetap saja orang luar. Tidak memiliki hak sebesar apapun meski uangnya sebanyak apa.
Lelaki berambut merah magenta itu sudah mulai masuk ke kerumunan, mengikuti arus langkah orang dan berhenti sebentar untuk memotret beberapa pajangan seni. Seperti patung sang dewi kecantikan, aprodhite, yang tingginya dua meter dan lukisan monalisa atau lainnya yang terpajang apik dan rapih di tiap sudut gedung museum berlantai dua ini.
Terlalu sibuknya dia pada deret lukisan, Akashi tidak sadar pada apa dihadapannya. Hampir saja Akashi jatuh akibat hantaman orang tak dikenal tadi jika saja tidak ada lengan yang menyanggah tubuhnya.
Lantas Akashi mendongkak, wajah oriental lah pertama kali dia lihat. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya menggunakan bahasa Italia, beruntung Akashi sempat mempelajari bahasa Italia sebelum datang kemari. Meski baru kata-kata dasar.
Akashi mengangguk, dibantu orang tersebut dia kembali berdiri tegak. Tidak memikirkan bagaimana posisinya tadi.
"Tunggu sebentar," kegiatan pemeriksaan kamera terhenti ketika orang itu berujar, "orang Jepang ya?" tanyanya menggunakan bahasa Jepang.
Akashi sempat terperangah, bersyukur dalam hati menemukan orang satu asal di negara ini. "Iya."
"Waahh! Jarang sekali menemukan orang Asia disini!" dia berteriak tak tahu tempat, menarik perhatian banyak orang yang lewat tanpa ada rasa malu.
Akashi memijit kening merasa salah menilai, orang ini benar-benar tidak bisa diajak kompromi sepertinya.
"Aku Ogiwara Shigehiro, kau?" tangannya terulur dengan senyum lebar menghias wajahnya.
Sempat melihat tangan tersebut beberapa detik lalu ke wajah orang kelewat hyper ini. Namun akhirnya dia sambut juga salaman lelaki berambut coklat caramel bernama Ogiwara Shigehiro itu, "Akashi Seijuurou."
"Oh! Akashi Seijuurou!"
Apalagi sekarang?
"Kau kapten team basket Rakuzan ya? Wohooo! Selama ini aku mengagumimu lho. Aku fansmu!" Taut salaman di gerakan atas-bawah secara liar oleh Ogiwara terlalu semangat sampai Akashi sedikit kesal dan memutuskan secara kasar.
"Maaf, tapi kalau boleh jujur. Kau membuatku tak nyaman." Diucapkan dengan nada rendah. Mata merahnya menatap tak suka.
Ogiwara terlihat merengut, "heee~ Kenapa?! Kita satu negara 'kan? Ah jangan dingin begitu! Kita bisa berteman! Apalagi di negara seperti ini." Tiba-tiba saja krah kemeja Akashi ditarik paksa oleh Ogiwara tanpa sempat menghindar, mendekatkan wajah mereka hingga tersisa tiga centimeter. Akashi bisa merasakan nafas mint dengan jarak sedekat ini. "Dan di negara yang terkenal dengan keberadaan mafianya, Akashi Seijuurou. Kalau kau tidak berhati-hati, bisa saja kau jadi targetnya." Suara Ogiwara berubah drastis menjadi dingin menusuk. Sempat tidak percaya siapa yang ada dihadapannya. Yang tadi berteriak-teriak tidak jelas kini berkata dengan nada mengancam.
"Siapa kau sebenarnya? Dan apa maumu?" tanya Akashi kemudian, tidak kalah dinginnya.
"Ogiwara Shigehiro, kita sudah berkenalan 'kan, Signore Akashi? Kalau kau ingin tahu lebih lanjut tentangku, nanti kita bahas. Karena apa yang aku katakan tadi, tidak bohong sepenuhnya. Saat ini kau tengah menjadi target mafia disini."
"Kenapa?" Terus bertanya tanpa gentar, walaupun tubuhnya harus sedikit berjinjit untuk menyesuaikan tinggi Ogiwara yang ternyata lebih dari Akashi.
"Siapa yang tidak kenal nama 'Akashi', eh? Setelah mereka tahu salah satu anaknya datang ke sini tentu saja para pemangsa harta akan gencar mencarimu. Maka dari itu, jika kau ingin tetap hidup. Dengarkan kata-kataku."
Akashi tidak ingin mempercayai Ogiwara setelah kejadian mengagetkan tadi. Yah siapa yang akan percaya pada bualan orang baru dikenal tentang mafia dan targetnya?
Tapi mata karamel Ogiwara terlihat tidak ada kebohongan sama sekali, meski tadi mata itu memancarkan ekspresi ceria dan dalam hitungan detik berubah seketika.
Cengkraman kemeja Akashi dilepaskan, Ogiwara kembali tersenyum lebar seolah tidak terjadi apa-apa.
"Hehehe... Maaf soal tadi." semuanya seperti lelucon bagi Akashi. Sungguh! Dia baru datang tiga jam tadi dan sekarang mendapat kabar tidak terduga. Bertemu Ogiwara Shigehiro yang tiba-tiba bilang dia menjadi target, yang benar saja.
"Oh ya, kuharap kau bersiap." Ogiwara melirik jam sport di lengan kirinya. Kemudian menatap Akashi yang masih menatap tajam. "Lima detik lagi."
Alis Akashi tertaut bingung dengan kalimat ambigu Ogiwara. Sontak manik rubynya membulat ketika lengannya ditarik. Hanya tiga langkah dan Akashi kembali pada kesadaran berhasil menarik kembali kuasa lengannya. "Kau―"
Segala ucapan yang ingin dia tumpah ruahkan penuh kekesalan terhenti ketika mendengar jeritan wanita tak jauh dari dia dan Ogiwara berdiri, bisa dilihat seorang turis berkulit hitam dan bertudung merah rubuh dengan luka tepat di dahi. Para pengunjung lain pun panik, berlari seliweran mencari pertolongan. Suasana mulai caruk-maruk, seruan meminta tolong dan lainnya memenuhi lantai satu gedung museum Doge's Palace dalam hitungan detik.
Akashi tidak mengerti, semua terjadi tiba-tiba.
Dan tanpa sempat berkata apapun pergelangan tangannya ditarik seseorang menjauhi gedung, membaur dengan kerumunan yang berlarian keluar.
"Ogi―"
"Ada empat orang bersenjata disini, sedang mengincarmu. Mungkin yang tadi mereka salah tembak. Pakai tudung jaketmu dan ikuti instruksiku. Kalau kau tidak ingin ada lubang di kepalamu."
Hanya diam saja yang bisa Akashi lakukan, mengikuti kemana Ogiwara bawa. Tidak ada ekspresi berarti di wajahnya, masih tetap datar seperti biasa. Kelewat tenang untuk ukuran orang yang tengah menjadi target para komplotan mafia.
Brengsek
Satu kata umpatan terbesit dipikirannya, pertama kali dalam waktu beberapa tahun.
Keadaan ini sudah cukup menghabiskan sumbu kesabaran Akashi sampai untuk mengekspresikan sesuatu pun rasanya susah.
.
Kuroko no Basuke © Tadatoshi Fujumaki
.
[Ogiwara Shigehiro/Akashi Seijuurou]
.
'inaspettato'
.
"Hahahaha! Tadi itu luar biasa sekali!"
Manik merah melirik sinis pada pemuda berambut coklat yang masih tertawa terpingkal-pingkal tidak peduli pada cara menyetirnya terlalu berbahaya di tengah jalan begini. Seolah tadi itu hanya sebuah kegiatan lucu yang tidak ada apa-apanya.
Dimana letak kelucuan kejadian tadi, coba? Setelah berjuang keluar dari Doge's Palace mati-matian sambil berusaha tidak dikenali, takut tiba-tiba ada peluru nyasar ke kepala, mendadak harus melakoni tokoh action tanpa stutment. Mana lucunya?
"Kau memang gila." cibir Akashi, dia risih sebenarnya. Bukan karena detak jantung yang cepat terasa ataupun nafas putus-putus yang menyiksanya.
Ogiwara berusaha menahan tawa, dia juga sebenarnya merasakan apa yang Akashi alami. Dia gugup, nafasnya tersenggal tak beraturan. Entah karena terserempet peluru atau ditubruk pengunjung lain, kerja otak Ogiwara jadi menceng."Terima kasih."
Mata ruby itu berputar jenaka, lantas Akashi berbalik mengambil tas ransel di punggungnya. Isinya masih aman. Namun yang diincar hanya satu diantara semua barang di dalam, yaitu handphone. Ada seseorang yang harus dia hubungi.
Sejenak suasana mobil hanya diisi oleh tawa absurd Ogiwara, namun setelah mendapati delikan mata Akashi lelaki berkulit kecoklatan itu pun bungkam. Tatapan yang sangat ampuh untuk mendiamkan orang berisik macam Ogiwara. Hayama Koutaro adalah salah satu korbannya.
"Halo, Tetsuya." kata Akashi sesaat setelah telepon tersambung. Suara lembut terkesan datar bisa didengar Akashi sebagai balasan. Senyuman tipis merekah di wajah kakunya.
"Syukurlah, bagaimana kabarmu?"
"Kakak, apa tidak terbalik? Aku seharusnya bertanya begitu."
Tawa rendah menanggapi perkataan adik—beda ibu—nya itu. "Aku baik-baik saja, Tetsuya. Meski tadi ada kejadian menegangkan di museum."
"Apa?! Kakak! Kau sungguh baik-baik saja disana? Apa yang terjadi?" Jarang sekali bisa mendengar adiknya panik begitu, entah Akashi harus berekspresi bagaimana. Senang atau tertawa menanggapi. Ini sangat langka dalam kehidupan Akashi.
"Aku sungguh baik-baik saja. Tenang, ada orang aneh yang menyelamatkanku."
Ogiwara tidak mengacuhkan lirikan Akashi padanya dan fokus pada jalanan di depan sembari asik bersiul pelan. Takut mendapat delikan tajam lagi seperti tadi.
"Kakak, sudah bertemu Ogiwara-kun?"
Sedetik kemudian alis sebelah Akashi naik, "bagaimana kau bisa mengenalnya?"
"Aku yang menyuruhnya melindungi Kakak. Maaf aku baru beri tahu. Kalau aku bilang pasti kau menolak."
"Bagaimana kau tahu, Tetsuya."
Bisa didengar tiap kata bernada rendah penuh penekanan dari arah bangku penumpang sampingnya, Ogiwara sukses dibuat merinding hanya dengan suara Akashi saja.
Tapi sama sekali tidak berpengaruh pada pemuda di seberang sana.
"Aku tidak tahu, hanya menebak saja."
"Jangan bohong, Tetsuya." Akashi terus menuntut.
"Kalau aku tidak bohong Kakak pasti akan marah padaku."
Helaan nafas keluar mulut Akashi, diikuti Ogiwara yang juga merasakan atmosfer berat di sekitar mobil.
"Aku tidak akan marah, aku janji."
Terjadi jeda diantara mereka, hingga akhirnya ada suara balasan dari seberang negara sana. "Aku membaca email ancaman dari laptop ayah kemarin sore. Setelah kau di perintahkan ayah ke Italia. Aku hanya takut kau kenapa-kenapa jadi jaga-jaga aku meminta temanku yang juga di Italia sana untuk melindungimu."
Sebelah tangan yang bebas naik memijit pangkal hidung, mendadak kepalanya pusing. "Sekarang kau berani lancang ya, Tetsuya."
"Aku tidak sengaja saat mengambil dokumen yang diminta ayah."
"Berarti ayah tahu, kenapa diam saja tahu aku dalam bahaya?"
"Kakak ini kan Akashi Seijuurou, bukan Kuroko Tetsuya. Yang kuat, cerdas dan luar biasa. Kebanggan ayah. Mana mungkin ayah tidak percaya kau bisa menangani segalanya sendiri disana. Ya kan?"
Akashi terdiam, kalimat adiknya, Kuroko Tetsuya, sukses membuat hatinya mencelos. Selama ini memang dialah yang selalu jadi anak emas bagi keluarga Akashi. Bukan Tetsuya. Karena fakta Kuroko Tetsuya hanya anak dari istri kedua membuat Kuroko sendiri tidak bisa berbuat apa-apa. Tapi perasaan sayang terhadap kakak tirinya melarang Kuroko membenci Akashi Seijuurou.
"Maafkan aku."
"Sudahlah, aku tidak pernah memikirkannya lagi. Lagipula aku sudah puas dengan jabatan ini. Kakak, jaga dirimu baik-baik disana. Ayah tidak mungkin rutin menelponmu. Tapi aku pasti akan menggantikannya untuk memantau keadaanmu."
Diluar kesadaran sudut bibir Akashi tertarik membentuk senyum.
"Terima kasih, Tetsuya."
Telepon terputus oleh Tetsuya setelah menyahuti ucapan kakaknya dengan gumamman singkat. Sudah sangat dipastikan bagaimana wajah imut lelaki itu.
"Nah, sekarang sudah tidak ada yang perlu kujelaskan lagi 'kan?"
Tak bergeming masih tetap menatap ponsel, ekspresi tak terbaca tertangkat penglihatan Ogiwara membuatnya agak bingung dan takut Akashi mengalami guncangan gara-gara kejadian tadi di Doge's Palace.
Berhasil Ogiwara hindari serangan kejutan tepat di depan matanya, mungkin kalau gagal pelipisnya sudah berlubang oleh senjata dadakan Akashi. Gunting. Darimana lelaki ini menemukan gunting? Jangan bilang orang ini selalu membawa gunting setiap saat.
Manik karamel Ogiwara melirik horor ke samping, "oi oi oi oi! Jangan bercanda!"
"Kau yang jangan bercanda. Dasar sampah! Siapa kau sebenarnya? Tidak mungkin kau hanya orang biasa yang kebetulan ada di Italia dan dimintai tolong Tetsuya."
Kemudian mata Ogiwara berputar bosan, "Gzz! Bagaimana jika aku menolak menjawab?"
"Maka aku pun menolak untuk menjamin bukan lehermu sasaranku selanjutnya."
Ogiwara menggeram dan langsung memutar stir mengarahkan mobil langsung ke pinggir jalan, menghentikan mobil seketika. Mengabaikan segala umpatan dalam bahasa Italia orang lain.
"Dengar, Akashi Seijuurou. Aku punya baretta yang tersimpan di balik baju dan siap menembak siapa saja yang berani mengusikku. Jadi tolong turunkan gunting sialanmu dari hadapanku."
Akashi tak bergeming sedikitpun, Ogiwara mendecih.
"Baiklah! Aku akan bicara! Aku hanya bodyguard sewaan. Puas kau!"
"Bohong."
"Aku tidak bohong!" teriak Ogiwara memukul stir mobilnya. Matanya tak sejenaka biasanya.
"Tsk! Dibayar berapa kau oleh Tetsuya?"
"Perlukah kuberi tahu?"
"Sangat."
Tidak ada pilihan lain, "aku tidak meminta bayaran sedikitpun pada Kuroko. Aku ini sahabatnya, wajar kalau membantu."
"Kau bohong."
"Kapan kau bisa percaya padaku!" teriak Ogiwara penuh emosi langsung menghadap Akashi. Mata mereka beradu pandang, hanya beberapa detik hingga akhirnya Ogiwara menghela nafas panjang dan merilekskan tubuh bersandar pada bangku.
Melihat Ogiwara diam saja memejamkan mata, gunting di depan leher pemuda tersebut turun. Dikembalikan ke asal dia ambil tadi.
Pantas saja kan jika Akashi belum bisa mempercayai Ogiwara. Baru beberapa menit mereka saling kenal, apalagi Akashi masih ingat jelas kejadian penuh adrenalin tadi di museum.
"Bawa aku ke hotel."
"Heh... Kau mengajakku bercinta?"
.
.
"Dia dilindungi seseorang."
"Siapa?"
"Saya tidak tahu."
Seorang lelaki berambut kuning keemasan menaikkan kedua kaki ke atas meja, sebatang rokok terselip diantara bibirnya. Mata tajam masih tertuju pada si anak buah yang tertunduk takut. "Bodoh. Menangkap satu anak saja tidak bisa." Dia mendecih. Membuat ketiga bawahannya merinding. Takut mendapat damprat sang atasan. Masih mending jika dibentak. Kalau ada peluru nyasar ke jidat lebih parah lagi nanti.
"Kudengar, besok dia akan mengadakan pertemuan dengan orang Italia di café letizia bagaimana jika kita serang disana?" Lelaki bertubuh tinggi besar disampingnya berkata. Menarik seringai di bibir.
"Lakukan. Kerahkan semua orang kita. Dan jangan sampai gagal."
.
.
Ada memar besar menjadi sorot perhatian lobi hotel terbesar di Itali tersebut. Akashi melangkah paling depan, tidak mempedulikan sedikitpun segala keluh Ogiwara padanya.
"Hei Akashi, tanggung jawab. Pipiku biru nih."
"Diam."
"Bagaimana aku bisa diam, sakitnya menjalar ke seluruh wajah. Aduuhh!"
"Shige, berisik!"
Bibir Ogiwara maju membentuk kerucut mendengar bentakan Akashi, namun kemudian dia tersadar akan perubahan panggilan tadi. "Tunggu, kau panggil aku apa?"
Langkah pemuda berambut merah delima itu berhenti di depan pintu kamar hotelnya. Lantas dia berbalik memberi tatapan tajam, dia sendiri baru sadar akan panggilan barusan.
"Lupakan." ujar Akashi sengit.
"Akashi, aku lapar! Traktir aku makan!"
Berbagai keluhan Ogiwara di abaikan dan hanya di balas lirikan bengis Akashi. Siapa yang tidak risih oleh suara-suara berisik orang kelebihan gizi macam Ogiwara ini?
Langkah kaki Akashi terhenti pada kamar nomor 1245, diikuti Ogiwara di belakangnya yang menatap kagum kamar standar VVIP tersebut. Tidak heran, mengingat lelaki di depannya adalah putra pemilik perusahaan besar di Jepang yang juga berpengaruh terhadap perekonomian negara.
"Akashi," Ogiwara memanggil lagi, kini ditambah tarikan lengan baju. Sudah seperti anak kelaparan saja.
"Tunggu disini, aku mau mandi."
"Kau tega?!" jeritan Ogiwara membahana sepanjang koridor, beruntung tak ada orang di sekitar mereka.
"Ogiwara, kau berisik sekali." desissan tajam tak di gubris sedikit pun Ogiwara yang dasarnya memang kurang peka.
Pada akhirnya Akashi menyerah dan mempersilahkan pemuda berambut coklat ini masuk, dengan syarat tetap menjaga sikap ketika di dalam dan disambut bahagia Ogiwara yang hampir memeluk Akashi jika tidak ada hantaman menuju dagu.
Perlukah diperjelas bagaimana isi kamar sewaan Akashi Seijuurou? Sepertinya tidak, karena akan membuang waktu banyak saking banyaknya hal yang harus dikagumi. Lihat saja Ogiwara, mulutnya menganga ketika disuguhi sebuah suitroom VIIP standart luar biasa.
Dibiarkan Ogiwara berkeliling kamar, Akashi melangkah menuju koper yang tergeletak di atas kasur. Mengambil beberapa helai pakaian dan segera masuk ke kamar mandi. Ogiwara masih sibuk mengagumi isi kamar dan mencoba beberapa perabotan.
Katakanlah dia terlalu kudet, karena nyatanya dia hidup di Itali pun tidak semewah yang biasa dilihat oleh orang luar tentang penduduk Italia.
Sofa kosong Ogiwara duduki sambil menunggu Akashi, ternyata lelaki itu masih memiliki hati juga tidak melulu mendelik tajam atau mengomel sinis. Dia diam saja ketika Ogiwara ikuti ke dalam kamarnya padahal niat Ogiwara hanya meminta makan, meski tadi dia sudah berkata menyebalkan seperti―yeah siapapun akan menjurus ke sana kalau ada yang mengajak ke hotel 'kan? Jangan salahkan otak pendek seorang Ogiwara Shigehiro. Salahkan saja rekan dimnya itu yang kelewat mesum.
Semilir angin menggoda Ogiwara dalam buai kenyamanan lewat jendela hotel yang dibuka lebar, menyajikan pemandangan Italia dari lantai tujuh. Sungguh sangat menakjubkan. Tidak terasa mata Ogiwara pun menyerah, detik selanjutnya mata kecoklatan itu sudah terkatup. Terlelap diantara semilir angin musim semi kota Venezia.
Akashi Seijuurou bukanlah lelaki yang akan betah berada di dalam kamar mandi, menyiapkan tetek bengek demi penampilan. Tanpa polesan apapun para kaum hawa pasti akan menyempatkan diri melirik sosok Akashi. Bukannya sombong, tapi ini kenyataan.
Rambut merah delima masih basah dan tetesan air membasahi lantai yang dia pijak. Sadar kamarnya berubah sepi (mengingat ada satu manusia berisik di dalam) Akashi dibuat bingung. Dalam hati bertanya kemana bocah itu.
Akashi sudah akan sangat bersyukur terlepas dari orang aneh macam Ogiwara jika saja manik rubynya tidak menangkap seonggok tubuh tergeletak santai di atas sofa. Dari helai coklat karamel yang mencuat Akashi sudah tebak siapa.
Dia melangkah mendekat, sekedar mengecek apakah Ogiwara tidur atau sedang apa. Namun ketika di telisik, matanya terkatup, dengan nafas teratur. Menunjukkan sosok itu tengah tertidur.
Tak ada komentar terbesit dipikiran Akashi untuk memarahi Ogiwara, dia hanya diam memperhatikan wajah damai Ogiwara. Entah kenapa mendadak dia jadi tertarik pada Ogiwara. Bukan dalam konteks spesial. Hanya pada wajah tidurnya saja yang sudah seperti anak kecil.
Tanpa kendali, lengannya bergerak menuju dahi Ogiwara yang tertutup rambut. Perlahan disibaknya rambut-rambut kecoklatan―yang tak disangka ternyata sangat lembut―dari dahi Ogiwara.
Tubuh Akashi tersentak ketika tiba-tiba pergelangan tangan yang tengah menyingkap rambut Ogiwara ditangkap oleh tangan lain. Dan baru sadar jika Ogiwara sudah bangun.
Langsung saja ditarik lengannya dari genggaman Ogiwara dan mengalihkan perhatian ke pemandangan luar. Berharap wajahnya yang mendadak panas ini tidak disadari Ogiwara.
'Sial'
"Sedang apa kau?" tanya Ogiwara kemudian, meregangkan tubuh lelah sedari tadi kejar-kejaran terus dengan para mafia itu. Mata coklat masih menangkap sosok Akashi disampingnya.
Tidak ada kalimat keluar dari mulut pemuda berambut merah tersebut, alih-alih menjawab Akashi pergi meninggalkan Ogiwara dalam kebingungan.
Ogiwara tidak tahu jika sedari tadi Akashi tengah merutuk dalam hati.
.
Akashi tidak bisa berkata apa-apa, hanya diam atau lebih tepatnya jawdrop melihat nafsu makan Ogiwara saat ini. Soal banyaknya makanan yang dia pesan bukan masalah besar bagi Akashi, semua menu di restoran hotel ini dipesan pun Akashi bisa bayar. Tapi lihat betapa cepat orang ini melahap makanan. Akashi sendiri saja baru melahap sehelai pasta.
"Ogiwara, kau seperti manusia kekurangan asupan gizi saja." celetuk Akashi geleng-geleng kepala.
Dipaksakan dia telan steaknya kemudian meminum air putih banyak-banyak, senyum bahagia terukir di wajah polosnya. "Bukan begitu, tapi, oh ayolah, ini makanan enak-enak. Sangat disayangkan kan kalau diabaikan?" kemudian Ogiwara kembali melahap scalop yang belum tersentuh, mencicipinya sedikit.
Akashi tidak menanggapi lagi, dia sibuk menikmati berbagai makanan khas Italia dihadapannya. Lima belas menit berlalu, semua hidangan habis―sebagian besar dihabiskan Ogiwara. Akashi sudah akan berdiri ketika pergelangan tangannya ditarik seseorang, saat dilihat Ogiwara tengah menatapnya. Tentu saja memaksa Akashi mengingat kejadian tadi siang sontak ditarik lengannya dari genggaman Ogiwara (lagi untuk kedua kali) wajah Akashi memerah.
"Akashi, terima kasih ya atas makanannya."
"Hm." sahut Akashi singkat, berusaha menyembunyikan rona merah yang terpulas di wajah.
"Akashi, kau kenapa? Wajahmu merah." Dan ternyata disadari Ogiwara. Akashi hanya melirik singkat saja lalu berjalan menuju kamarnya. Mengabaikan panggilan Ogiwara.
"Tunggu dulu. Akashi!"
Pergelangan kembali di tangkap Ogiwara dan lagi-lagi Akashi harus menyentaknya. Menyebalkan sekali orang ini. "Apa sih?!"
"Terima kasih atas makanannya." cengiran lebar terpasang apik di wajah polos―seperti yang terlihat―orang yang memegang baretta. Sebenarnya Akashi sendiri tidak menyangka jika orang seperti Ogiwara adalah bodyguard ilegal. Yeah, dia bodyguard tanpa bos kan? Sama saja ilegal bagi Akashi.
Dahi Akashi tertaut, menatap sebuah objek di wajah Ogiwara. Lantas dia bergidig saat sadar. "Ogiwara, kau menjijikan sekali. Pakai serbet makan kalau sudah selesai! Bodoh." lalu pergi, melanjutkan langkahnya dan menghilang di balik lift.
Ogiwara sendiri masih cengo di tempat, diusap-usap wajahnya dengan lengan kemeja yang dia kenakan. Benar saja. Ada sisa saus ternyata. Baru sadar.
Pagi hari Akashi kembali kehilangan kata-kata. Orang ini datang lagi, seperti orang bodoh melambaikan tangan padanya. Decihan keluar dari mulut, namun akhirnya Akashi mendekat juga pada si orang aneh bernama Ogiwara Shigehiro.
"Sedang apa kau disini?" tanyanya sinis, lantas Ogiwara hanya tertawa menanggapi.
"Menjemputmu, mau ke café 'kan? Kalau tidak salah namanya; letizia ya?" Ogiwara melirik jam sport yang melingkar di pergelangan tangannya sekilas dan beralih kembali pada sosok di depannya.
Akashi tak menanggapi apapun lantas dia melangkah menuju mobil dibelakang Ogiwara. "Darimana kau tahu?" tanyanya sembari memasang sabuk pengaman.
"Kuroko," bahu diangkat tak acuh, mesin dinyalakan dan mobil hitam tersebut melaju. Membelah jalanan Italia.
Pagi hari Italia tidak seperti pagi di Jepang, hawanya lebih dingin meski ini musim semi. Akashi akui memang musim semi di Jepang agak dingin, tapi tidak sedingin ini. Hingga jacket yang dia kenakan tidak bisa menghalau udara. Meski sudah berlapis jas dan kemeja.
Tidak ada yang berbicara sepanjang perjalanan, Ogiwara menyetir sambil bersenandung, mengikuti tiap nada lagu berbahasa Itali. Sedangkan Akashi sendiri sibuk mempersiapkan pertemuan nanti.
Tablet tipis dia genggam dan jari sebelah tangan bergerak menjadi kursor di layar sentuh. Ini pertemuan yang teramat penting bagi ayahnya, tidak mungkin Akashi akan santai begitu saja dalam hal persiapan. Segalanya dipertaruhkan disini. Dia tidak ingin mengecewakan ayahnya lagi seperti kekalahannya di basket oleh adiknya sendiri. Yang langsung mendapat peringatan keras. Kali ini tidak akan terulang lagi, meski ribuan mafia sekalipun memborbadirnya.
Lima belas menit perjalanan dan mereka pun sampai di sebuah café minimalis yang terlihat dari luar sangat sederhana. Akashi sempat tidak percaya akan tempat perjanjian mereka. Tidak salah tempat 'kan?
"Ini café letizia, jangan dilihat luarnya, Akashi. Ayo." Tidak ada kesempatannya protes saat pergelangan tangan ditarik Ogiwara. Rasanya Akashi hampir sudah hapal akan bagaimana rasanya digenggam Ogiwara.
Benar saja apa kata Ogiwara, diluar terlihat biasa saja. Tapi didalam Akashi akui memang sangat luar biasa. Lantai, dinding, meja dan segalanya terkesan penuh warna coklat kayu. Entah ini menggunakan kayu manis atau semacamnya, Akashi bisa mencium bau rempah tersebut menguar dari dalam café ini. Suasana sangat tenang, dengan gemercik air mancur kecil di tengah ruang.
Seorang barista menyapa mereka dengan senyum, Akashi menanggapi balas tersenyum seraya mengangguk.
Sebenarnya Akashi belum mengenal siapa yang harus dia temui, hanya berbekal nama saja yang dia punya. Sedangkan café ini tidak hanya satu orang penghuni. Kenapa mengajak ke tempat seperti ini? Akashi kira akan di restoran mewah atau hotel atau sejenisnya.
Tiba-tiba saja mereka dihentikan seorang lelaki berambut coklat dengan ahoge menurun di sebelah kiri yang tersenyum lebar ke arahnya. "Ciao~ Akashi Seijuurou?"
Akashi lantas mengangguk. "Ah benar, ayo kuantar ke ruangan pertemuan." Dia melangkah duluan di depan Akashi dan Ogiwara (kata Ogiwara, dia harus ikut kemanapun Akashi pergi. Agar semuanya aman, dan hanya dibalas dengusan Akashi)
"Oh ya, yang sebelah siapa ya?" Lelaki setinggi 172 centimeter bertanya dengan logat bahasa Italia pada Ogiwara.
"Aku Ogiwara Shigehiro, kakakmu mengenalku."
"Aku tidak tahu, fratello tidak menceritakan apapun padaku. Ya sudahlah. Oh ya, aku belum memperkenalkan diri, namaku Feliciano Vargas."
Jadi ini Feliciano Vargas, dilihat dari fisiknya memang terlihat masih seperti pemuda sekolah menengah atas, tapi dia sendiri bilang kalau sudah kuliah sekarang. Padahal tingginya tidak jauh dengan Akashi.
Dari dilihat pawakan Feliciano, Akashi sudah menyimpulkan jika orang yang akan dia temui pasti seramah Feliciano. Anaknya saja seperti ini. Pasti tidak jauh dari ayahnya.
Mereka dibawa ke sebuah ruangan yang lebih masuk ke dalam café, perkiraan Akashi salah. Café ini tidak sekecil dari luar justru sangat luas jika semakin masuk. Dan suasana pun mulai berbeda dengan bagian depan.
Bukan karena tatapan determinasi para lelaki bertubuh besar, berkacamata hitam dan berjas rapi berderet di tiap jalan. Itu tidak berpengaruh sedikit pun bagi Akashi. Tapi interiornya.
Feliciano berhenti pada ruangan berpintu ganda, dia membukanya pelan dan mempersilahkan Akashi dan Ogiwara masuk.
Lagi-lagi Akashi dibuat berdecak kagum dalam hati, ruangan ini jauh berbeda dengan interior luar. Luas, rapi dengan lukisan-lukisan dewa-dewi yunani berderet di dinding. Ada proyektor besar di ujung, tapi meja yang ada mungkin hanya bisa digunakan untuk lima orang saja. Menggunakan meja berukuran sedang. Lampu besar menggantung apik diatas meja.
Ogiwara memutuskan berdiri di samping pintu, dan lelaki berambut merah itu pun diantar menuju seseorang yang kini tengah membelakanginya.
"Oke, ayo kita mulai pertemuan ini!" Feliciano berteriak kencang, duduk di salah satu kursi berderet. Akashi mengikutinya.
Kenapa jadi canggung begini?
"Sudah datang ya," mata ruby Akashi memicing, beberapa detik dia terdiam ketika kursi di depannya berputar menghadapnya. Lagi-lagi Akashi dikejutkan akan kenyataan. Oh sampai kapan negara ini terus-terusan memberinya kejutan?
"Akashi Seijuurou, benar?" lelaki itu bertanya, yang herannya menggunakan bahasa Jepang. Terlalu fasih hingga Akashi tidak percaya yang ada dihadapannya benar-benar orang Italia, "Aku Lovino Vargas, salam kenal. Kau belum tahu ya, kalau kau akan bertemu denganku?"
Dan seorang lelaki yang jauh dari ekspektasi Akashi, dia―Lovino Vargas, yang Akashi kira adalah seorang pria paruh baya berumur 40an lebih, ternyata hanyalah pemuda yang Akashi tebak seumuran dengannya.
"Iya, Anda benar." sahutnya formal. Menatap langsung mata hijau pemuda di depannya.
"Jangan terlalu formal, aku seumuran denganmu, Akashi Seijuurou. Jangan heran juga."
Yang masih Akashi herankan hanya; dia harus melakukan perjanjian kerja dengan orang yang tak jauh dari usianya. Akashi tidak sangka. Apa kalimat ayahnya yang berkata jika dia akan berhadapan dengan seorang direktur utama perusahaan besar Italia itu salah? Mungkin Lovino hanya menggantikan ayahnya. Seperti dia.
"Tidak, aku tidak heran."
"Bukan, maksudku―jangan heran akan kenyataan jika memang akulah direktur utama Vargas." ujarnya terdengar sombong di telinga Akashi, lantas sudut bibir Akashi berkedut. Dia ingin tertawa mencemooh orang itu, tapi kalau saja dia tidak ingat siapa yang akan dia hadapi.
Kemampuan membaca pikiran lawan bicara dengan gerak-gerik, Akashi mempelajarinya demi perusahaan. Dan orang ini sudah paham.
"Ya, terserah kau. Mari kita lanjutkan." Baru saja Akashi akan mengeluarkan berkas yang akan dia jadikan bahan diskusi, ledakan dari luar membuyarkan segalanya. Dia terlonjak kaget apalagi setelah ledakan itu, pintu di dobrak paksa.
Akashi menoleh ke pintu masuk, tidak sempat lagi untuk berteriak memanggil nama orang yang kini sudah jatuh setelah mendapat serangan mendadak di perut, apalagi saat orang yang tadi memukul Ogiwara langsung berlari menerjangnya.
"Si―"
Dor!
Letusan dari belakangnya menumbangkan orang itu, yang terjatuh setelah timah panas mengenai kaki. Ketika Akashi menoleh Lovino tengah mengangkat pistol, masih dengan asap berasal dari moncongnya.
Akashi tak sempat berkata lagi, semua serba cepat. Kemeja belakang ditarik menuju belakang meja dan dia langsung diberi sebuah pistol dari Lovino.
Terima kasih lirih diucapkannya.
Tidak hanya satu, orang-orang berbaju hitam menyeruak masuk sambil menodongkan senjata. Terjadi baku tembak antar dua pihak, Akashi juga tidak sadar ketika tangannya bergerak ikut menembak mereka. Yang Akashi tahu, sisi lain dalam dirinya yang melakukan ini semua. Ah dasar, sampai kapan 'dia' akan terus melindungi seorang 'kakak' macam dia ini?
Mereka benar-benar kewalahan, padahal Ogiwara sudah membantu disampingnya. Ada Feliciano ikut menembakki. Tapi jika empat lawan lusinan orang, sudah ditebakkan?
Satu tembakkan berhasil mengenai lengan Ogiwara, tembakan lain berhasil menghujam rekan lainnya. Teriakan Akashi sendiri sudah tenggelam di tengah desingan senjata api yang menulikan.
Konsentrasinya buyar seketika.
Hingga tidak sempat lagi untuk menoleh ketika seseorang sudah berdiri di atas meja, di atasnya. Menyeringai buas menatap Akashi.
"Ciao, Akashi Seijuurou. Finalmento ho potuto ottenere voi!" (1)
Setelah sebuah pipa dilayangkan menuju kepala, Akashi sudah tidak ingat apa-apa lagi. Kegelapan menguasainya. Yang dia ingat hanya ada suara memanggil namanya keras-keras. Suara Ogiwara.
.
to be continued
.
Doge's Palace: Sebuah museum besar yang terletak di dekat sungai Venezia, Italia. (source from goggle, #cmiiw)
Fratello: Kakak laki-laki(Italian)
Ciao: Halo (Italian) taulah ya
Finalmento ho potuto ottenere voi: Akhirnya aku bisa mendapatkanmu. (Italian)
a/n:
Akhirnya ini benda rampung hahaha.. Lebih tepatnya sih; akhirnya ini benda di upload. Udah berapa abad ini dibiarin? Abisa saya gak yakin sih. Maaf ya kak Yuna TwT
Maaf bikin Ogiwara dan Akashi seabsurd gini. Apapulaaa! #headdesk
Yah flame ditunggu! saya yakin ini benda banyak kekurangan TT Grammar ancur, typo dimana-mana, OOC lagi huaaa #berguling
HUAAAA! LOVI! KOK KAMU BADASS AMAT DISINI?! #abaikan
