Cast:
Park Jihoon
Bae Jinyoung
Lai Guanlin
And another character will be revealed along the story
Rate: T+
AU/GS/Hurt/Comfort
Length: Chaptered
Disclaimer: saya hanya meminjam nama. Jalan cerita murni khayalan saya. Apabila ada kesamaan unsur, seperti keterangan tempat dan waktu, mungkin kita berjodoh. Eaak :'D
Note: disini aku bikin Jihoon, Hyeongseob, Seonho, dan Daehwi seumuran. Lalu Guanlin seumuran dengan Euiwoong dan Haknyeon. Jinyoung seumuran dengan Woojin dan Samuel. Warning! Aku bikin genderswitch untuk Jihoon, Hyeongseob, Seonho, dan Daehwi. Dan semuanya udah aku bikin 17+ ya umurnya karena cast anak kuliahan. Cast lain akan muncul sesuai alur cerita~
Typo(s) everywhere /mian/ aku sudah cek berkali-kali namun maafkan yaa kalo masih ada typo(s) bertebaran /bow/
.
.
Happy Reading!
.
.
©xxhajin
Just You, Yes You!
Chapter 1
.
.
Hari ini merupakan hari yang cukup penting. Saking pentingnya, seorang gadis perempuan manis bersurai panjang berwarna light brown itu tidak bisa diam. Ia terus menghentakkan kakinya ke lantai sambil terus menekan tombol hijau di ponsel yang ada di genggamannya. Ia dari tadi mencoba menghubungi sahabat sedari kecilnya itu, namun hasilnya nihil. Tidak ada sahutan.
"kumohon angkat telponku, Ahn Hyungseob! Aku bersumpah akan mengambil kembali liptint dan cushion warna pink kesukaanku yang kau minta kemarin. Huft!"
Gadis berpipi tembam itu terus berbicara monolog sedari tadi, jemarinya yang imut menggenggam erat ponselnya, sambil tetap mencoba menelepon sahabatnya kecilnya, Hyungseob.
Bagaimana hari ini tidak menjadi hari yang penting?
Hari ini adalah pengumuman penerimaan mahasiswa baru di universitas ternama di Seoul. Kemarin malam, Hyungseob berjanji akan bangun pagi sekali dan ke rumah Jihoon untuk bersama-sama melihat hasil seleksi masuk ke universitas tersebut.
Namun sekarang? Hanya sang pemilik rumah yang sudah siap. Jihoon bahkan sudah meminta maid di rumahnya untuk menyiapkan banyak kue, sandwich dan minuman di kamarnya. Ya, sapa tau jika mungkin Hyungseob dan dirinya akan kelaparan ketika menunggu hasil seleksi diumumkan. Bahkan Jihoon meminjam 1 notebook dari ruang kerja ayahnya agar sahabatnya yang cantik dengan rambut hitam sebahu itu tidak perlu repot-repot membawa laptop dari rumahnya. Untung saja ayahnya dan beberapa karyawannya sedang bekerja di kantor hari ini, tidak sedang bekerja di rumah seperti biasanya. Jadi ada notebook menganggur, sehingga bisa Jihoon pinjam.
Jihoon yang kelelahan menghubungi sahabatnya pun memilih untuk merebahkan diri. Pikirnya, masih ada 4 jam lagi sebelum hasil itu diumumkan, ia akan menunggu sahabatnya dengan tiduran di bed size king kesayangannya. Kemudian ia melepas sandal rumahnya dan menaikkan kedua kakinya ke kasur empuk itu sambil berangan-angan.
Aku diterima tidak ya di jurusan ekonomi.
Ya, Jihoon sejak lama sudah menginginkan untuk meneruskan sekolahnya di bidang ekonomi. Alasannya, ia ingin membantu appanya ketika ia sudah besar nanti. Maklum, appa Jihoon merupakan seorang CEO perusahaan global di Korea Selatan. Jihoon punya dua saudara kandung, ia yang termuda. Dua kakak laki-lakinya sedang berada di luar negeri. Anak pertama Tuan Park, Park Minhyun, sedang menempuh gelar doktornya di Amerika. Dan anak keduanya, Park Daniel, sedang sibuk mengembangkan bisnis Fashion Outfit yang ia gagas bersama kekasihnya, Ong Seongwoo.
Anak pertama Tuan Park sangat-sangat peduli dengan pendidikannya. Selesai menempuh S1 nya, Minhyun langsung mengambil S2 dan bahkan setelah gelar keduanya berhasil diambil, ia sekarang baru saja memulai pendidikan di S3 nya. Tuan Park tentu sangat mendukung keinginan anaknya, maka dari itu ia tidak berat hati untuk membiarkan Minhyun lebih memilih untuk menyelesaikan pendidikannya dulu daripada membantunya mengurus perusahaan. Namun Minhyun sudah berjanji kepada appanya, ketika semua pendidikannya sudah selesai nanti, ia akan membantu untuk mengurus perusahaan.
Lalu, anak kedua keluarga Park ini adalah Park Daniel. Ia sering tidak berada di rumah karena urusan bisnis clothingnya yang digarap bersama kekasihnya, Ong Seungwoo. Jarak umur Daniel dengan Jihoon 3 tahun, tapi ia sudah dewasa sekali. Ia sangat menyayangi Jihoon. Setiap malam, ia akan menyempatkan diri untuk video call dengan Jihoon. Meskipun hanya sekedar tanya apakah adik perempuannya itu sudah makan atau belum. Daniel sudah dari umur 15 tahun tertarik dengan dunia fashion, bahkan ia meminta ayahnya untuk mengikutkan ia kursus khusus. Tak lama kemudian, Daniel membuka brandnya sendiri. Hingga kini sudah 1 tahun semenjak ia mengembangkan bisnisnya di luar negeri. Ayahnya mengerti, jiwa Daniel tidak untuk mengurus perusahaan. Maka dari itu, ia memperbolehkan Daniel untuk tidak mengikuti jejak ayahnya, daripada perusahaan nanti jadi bangkrut, kan?
Oh iya, Jihoon belum diceritakan. Anak ketiga Tuan Park, yang paling cantik dan paling manis, Park Jihoon. Baru saja masuk kuliah tahun ini. Dan satu-satunya yang tidak punya pasangan di keluarga Park. Semua kakak laki-laki Jihoon sudah punya pasangan sendiri-sendiri. Jihoon saja yang belum. Eh, tapi! Kabarnya Jihoon sudah dijodohkan dengan anak rekan Tuan Park, namun Jihoon menolak. Ketika Jihoon berumur 10 tahun, ia dipertemukan dengan seseorang yang katanya calon jodohnya itu. Perawakan anak laki-laki yang ternyata lebih muda dari Jihoon tersebut memiliki badan tinggi menjulang dan kulit seputih bengkoang bahkan terlihat lebih putih lagi ketika terkena sinar matahari. Begitu tau anak laki-laki yang akan dijodohkan dengan Jihoon itu, ia tidak bersemangat. Kenapa? Tanyakan saja pada Jihoon.
.
.
Flashback ON
Oh appa, ayolah! Dia hanya duduk dan diam saja sedari tadi. Dia bahkan menundukkan kepalanya seperti mencari mainan mobil-mobilan di lantai. Aku mengajaknya berbicara, namun ia hanya merespon dengan kalimat ya atau tidak. Aku tidak suka! Lalu mengapa dia lebih muda dari aku appa. Aku kan perempuan! Harusnya aku yang lebih muda! Huft.. Pokoknya aku tidak mau dijodohkan dengan anak itu, kumohon appa...
Tuan Park bingung setengah mati. Bagaimana tidak, dia pasti tidak enak hati untuk menyampaikan kabar pada rekannya bahwa anak gadisnya ini tidak mau dijodohkan. Namun, Tuan Park tidak tega untuk memaksa Jihoon menyetujui perjodohan tersebut. Ditambah Jihoon yang besar tanpa kasih sayang ibunya, karena ibu Jihoon sudah meninggal ketika ia masih belum genap berumur satu tahun, Tuan Park sangat overprotektif dan sangat menyayangi anak gadisnya ini.
Untung saja, keluarga rekan Tuan Park memaklumi bahwa Jihoon menolak untuk dijodohkan dengan anak laki-laki semata-wayangnya itu. Mereka paham mungkin Jihoon hanya belum terbiasa dengan anak lelakinya. Juga barrier bahasa mungkin menghambat komunikasi anaknya dengan Jihoon.
Flashback OFF
.
.
Triiing... triiing
Jihoon menoleh pada benda persegi panjang berwarna silver dengan logo apel yang terletak di meja nakas tepat di sebelahnya. Dengan cepat ia meraih benda tersebut dan mendecak kesal ketika membaca nama yang tertulis di ponselnya.
"ya? Kau dari mana saja?"
"mianhae, Jihoon-ah. aku lupa mengatur alarmku. Hehehe. Tapi aku sekarang udah siap kok, mau ke rumahmu setelah ini"
"jadi sekarang kau baru saja mau bersiap-siap ke rumahku. Astaga, Seobi! Sudah jam berapa ini! Kemarin kau janji jam 6 pagi kan. Huh!"
"ehehe mianhaeyo... tadi malam aku nonton drama dulu sih. Terus ketiduran dan lupa mengatur alarm"
"aissh kau pasti mendahuluiku menonton drama yang kita tunggu itu, kan? Sudah cepat kesiniiii"
"araseo araseo, aku akan mengejar bus setelah ini. 15 menit lagi aku sampai. Dan—"
"Dan apa!"
"ih kau sedang pms ya! Aku mau bilang, dan juga tolong penjaga gerbang rumahmu untuk membukakan gerbang ya. Bel rumahmu masih tidak berfungsi kan? Aku tidak mau tenggorokanku sakit karena berteriak seperti kemarin"
"oh iya aku belum bilang appa kalau bel rumah rusak hehehe. Araseo, cepat kesini! Dah kututup ya!"
Pip. Sambungan telepon pun tertutup
.
.
Di sebuah tempat lain, tepatnya di balkon kamar, ada seorang laki-laki berparas tampan sedang melihat frame foto berukuran persegi di tangannya. Ada gambar seorang anak perempuan, berumur 10 tahunan sedang tersenyum di frame persegi yang mulai berwarna putih gading—saking lawasnya—itu. Setiap laki-laki tersebut merindukannya, ia akan melihat foto itu dan bertanya-tanya sambil melihat bintang malam. Namun, tidak harus menunggu malam, karena tampaknya sekarang sinar matahari menemarinya dan siap mendengarkan curahan hatinya.
Kau dimana sekarang, Park Jihoon? Masih ingat denganku atau tidak? Aku penasaran bagaimana parasmu sekarang. Pasti sangat cantik. Aku masih menunggumu.
Ia sesekali tersenyum geli setelah bermonolog sendiri. Ia geli membayangkan bagaimana bisa dirinya ketika berumur 9 tahun menyukai anak perempuan menggemaskan berambut panjang yang bahkan belum dikenal sebelumnya. Lebih gelinya lagi, tidak ada yang bisa menggantikan posisi anak perempuan itu—Park Jihoon—di hatinya, meskipun sudah hampir 10 tahun waktu berlalu. Ia menyesal karena dulu tidak sempat banyak mengenal tentang Park Jihoon. Ya karena tiba-tiba saja kedua orang tuanya tidak pernah lagi menemui keluarga Jihoon.
Tok.. Tok.. Tok..
"Tuan muda Guanlin... ada teman-temanmu di depan"
Ya, Lai Guanlin. Laki-laki yang berparas tampan dan bersurai hitam legam dengan kulit putih yang kontras dengan warna rambutnya bak pangeran-pangeran di cerita Disney.
"ne, Kim ahjumma. Suruh masuk saja mereka". Sahutnya dari dalam. Kim ahjumma sebenarnya adalah kepala maid di rumah Guanlin. Namun ia sudah bekerja hampir 20 tahun, sejak Guanlin kecil tepatnya. Karena hal itu, hubungan keluarga Lai Guanlin dengan Kim ahjumma sudah seperti keluarga sendiri.
Ia kemudian meletakkan frame foto Jihoon yang ia pegang tadi di sisi tempat tidurnya. Kemudian ia mengambil jaket dan menenteng notebooknya. Ia dan temannya berjanji akan melihat hasil itu bersama. Langkah Guanlin agak terburu, ia sudah tak sabar. Senyum miring khasnya pun terukir di bibirnya ketika melihat dua manusia—Euiwoong dan Haknyeon—sedang asyik duduk di sofa rumahnya sambil meminum jus jeruk.
"oho! Tumben kalian datang tepat waktu" Sapa Guanlin pada temannya itu.
Euiwoong meletakkan gelas kaca transparan berisi cairan kental berwarna kuning tersebut, kemudian raut wajahnya berubah. Menjadi agak mendung.
"Guanlin-ah, menurutmu kita bertiga akan diterima?"
Yang ditanya hanya mengendikkan bahunya. Sebenarnya ia juga penasaran, rasa takut dan khawatir juga ia rasakan. Namun entah, kali ini ia tidak mempunyai firasat buruk. Mungkin saja, diterima.
Kemudian Haknyeon menginterupsi, "ya kalau kita bertiga tidak diterima, kita coba tes lain saja. Atau minta orang tua kita homeschooling, kalau ya... itu keputusan terburuk"
Ya ya ya. Orang tua Guanlin, Haknyeon dan Euiwoong sempat menyuruh mereka untuk bersekolah di rumah saja. Toh semua fasilitas tinggal sebut sudah terpenuhi. Maklum saja, orang tua mereka semua adalah pengusaha sukses di Korea Selatan, kecuali orang tua Guanlin yang basis usahanya ada di Taipei. Namun mereka menolak usul orang tua mereka dan meminta untuk bersekolah normal—di universitas—seperti anak-anak lain pada umumnya.
.
.
Tidak bisa disembunyikan lagi. Jantung siapa yang tidak akan berdegup kencang jika kurang dari semenit lagi hasil pengumuman akan keluar di layar berukuran 12 inch tersebut.
"ya! Kau sudah memasukkan nomor pendaftaran dan password dengan benar kan?" tanya Hyungseob. Jihoon menjawab dengan anggukan kecil sambil menggigit ujung waffle vanilla di tangannya.
Hyungseob yang paling tak sabar disini. Lihat saja jari manis sebelah kanannya hanya berjarak 1 cm dari tombol enter di papan keyboardnya, sudah siap menekan dan melihat hasilnya.
Detik pun berjalan lambat.
"yak! Sudah jam 10!" teriak Hyungseob. Ia lalu menoleh ke arah Jihoon dan mendapati waffle vanilla yang ada bekas gigitan Jihoon di ujungnya itu terlempar ke sembarang arah.
Sedetik setelah menekan tombol enter, Jihoon shock. Badannya kaku seperti baru saja terkena sihir. Tidak percaya. Rahangnya turun.
Dan... pasti ada teriakan setelah ini.
"YAAAAKKKK! AHN HYUNGSEOB AKU DITERIMA DI JURUSAN MANAJEMEN"
Teriak Jihoon dan tak lupa merangkul sahabat kurusnya itu erat setelah ia melihat tulisan berwarna hijau di notebooknya. Yang dipeluk masih diam, membulatkan matanya dan tidak berkedip.
"yak! Seobi!" usak Jihoon sambil menggoyang-goyangkan bahu Hyungseob.
Hyungseob pun masih membulatkan matanya. Kemudian gumaman kecil lolos dari bibirnya disertai teriakan selanjutnya. Ia juga sudah menekan tombol enter kok.
"AKU DITERIMA DI FAKULTAS EKONOMI JUGA!"
Kedua sahabat itupun berpelukan.
Tak lupa Hyungseob yang juga sudah berteriak sambil meneteskan air matanya. Senang bukan main rasanya, karena mereka berdua sefakultas.
Jihoon yang menyadari sesuatu langsung melepas pelukannya.
"kau mendaftar di jurusan ilmu ekonomi?!" tanyanya berteriak.
Ia mendecak heran. Seingatnya Hyungseob ingin masuk jurusan ilmu gizi. Namun hal itu bukan masalah.
Hyungseob tertawa pelan. Ia sebenarnya tidak sengaja. Namun ia lebih memilih untuk mengambil waffle vanilla—yang masih utuh, bukan bekas gigitan Jihoon—yang telah disiapkan maid di rumah Jihoon.
Ia menggigit waffle itu.
"oh! Tumben rasanya enak sekali. Biasanya agak lebih manis dari ini"
Jihoon mendecak sebal. Hyungseob tidak menjawab pertanyaannya.
"aku meminta maid untuk menyipakannya agak gurih, dan mengurangi gula. Oh ayolah, berat badanku sudah naik 3 kilo gara-gara menganggur setelah kelulusan SMA, Seobi. Kalau kau ingat, kau belum menjawab pertanyaanku"
Hyungseob memilih menyelesaikan waffle vanillanya.
Ia melihat ke arah Jihoon yang tatapannya masih menuntut untuk diberikan jawaban.
Hyungseob mendesah. "aku salah pencet, Jihoon-ah"
Jihoon membulatkan matanya. Namun belum sempat ia protes, Hyungseob melanjutkan pembicaraannya.
"aku memang memilih ilmu gizi di pilihan pertama, dan kesehatan di pilihan kedua. Namun aku salah memencet. Setelah ini sungguh aku akan meminta ayahku untuk menyumbangkan beberapa komputer di SMA kita dulu. Komputer yang aku gunakan waktu kita dulu memilih universitas sangat-sangat membuatku marah"
"jaringan internetnya tidak tersambung dengan baik, Jihoon-ah. Helloooo, sekarang sudah 2017 dan sekolah kita masih menggunakan komputer yang lelet begitu. Karena itu aku salah pencet dan baru saja menyadarinya ketika lembar berkas pilihan universitasku tercetak"
Hyungseob membuka ransel putihnya dan mengeluarkan sebuah kertas dari file map bermotif kelinci.
Jihoon mengikuti arah pandang Hyungseob.
"jadi ya ini hasilnya" Hyungseob menunjuk ke kertas tersebut, diikuti Jihoon.
Jihoon yang masih tidak percaya mengambil kertas tersebut dari tangan Hyungseob. Ia kemudian membelalakkan matanya.
"hah? Pilihan satumu jurusan ekonomi di fakultas ekonomi dan malah pilihan keduamu adalah ilmu gizi?"
Hyungseob mengangguk mengiyakan. Ia kemudian menyedot pelan susu coklat di tangannya.
Jihoon alih-alih bersedih, ia malah tersenyum kemudian melemparkan kertas itu sembarangan. Sepertinya Jihoon suka melempar, tadi saja wafflenya dilempar entah kemana. Sepertinya setelah ini ia harus memanggil maid, karena mungkin banyak semut akan mengerubungi kamarnya.
"aku sungguh senang masih bersama-sama terus denganmu, Seobi! Yayyyy" Jihoon bersorak senang dan memeluk Hyeongseob erat.
"kau harus membantuku. Karena what the... aku tidak tahu sama sekali tentang ekonomi!"
Jihoon tertawa cekikikan sambil menggoyang-goyangkan badan sahabatnya itu di pelukannya.
"arraseo. Arraseo. Kita akan survive bersama"
.
.
.
Di tempat lain, 3 manusia sedang tersenyum puas. Mereka senang karena tidak perlu berbicara kepada orang tua masing-masing tentang homeschooling. Ya, karena mereka semua diterima di satu fakultas yang sama.
"ya! Lai Guanlin! Kenapa kau ambil jurusan itu?"
Yang ditanya hanya tersenyum. Namun sepertinya ia ingin juga menjawab.
"lalu siapa yang meneruskan bisnis appaku kalau aku tidak belajar bisnis manajemen?" jawab Guanlin tegas.
Haknyeon dan Euiwoong senyum-senyum sendiri. Seingat mereka, Guanlin lebih menyukai hal yang berbau teknik. Tapi hal tersebut adalah hal yang bagus. Guanlin adalah anak tunggal, ia nantinya akan meneruskan bisnis appanya. Sedangkan Euiwoong dan Haknyeon keduanya memiliki hyung, dan orang tua mereka masing-masing tentu memperbolehkan memilih jurusan ekonomi karena 100% berhubungan dengan bisnis appa mereka.
Tiba-tiba Guanlin teringat Jihoon.
Jika Jihoon tidak ikut program percepatan sekolah, sekarang ia pasti juga menjadi mahasiswa baru. Guanlin bisa menyusul 1 tingkat lebih dulu karena ia ikut percepatan, sehingga kalau sekarang Guanlin baru saja jadi mahasiswa, pasti begitu juga dengan Jihoon.
Secercah harapan tiba-tiba datang. Senyum di bibir Guanlin mengembang, membuat sang pemilik menaruh harapan besar.
.
.
TBC
Annyeong Haseyo Reader-nim! ^^
Ini merupakan FF pertama aku yang berani aku publish:') aku bakal senang sekali kalau reader-nim mau mengomentari FF aku ini ^^ Sampein komentar kalian di kolom review yaa~
Review dari para reader-nim sangat berharga untuk author^^
See You On The Next Chapter~
