Burung mulai menampakkan suaranya, sedangkan ayam mulai berlomba untuk berkokok ria—tanda bahwa pagi sudah datang. Alarm pun berbunyi—sebelum orang yang memiliki alarm itu melemparnya ke sembarang arah. Selang beberapa menit, telepon berdering. Dengan malas, orang yang melempar alarm tadi mengikat asal rambut hitamnya dan berjalan menuju lokasi telepon tak berdosa yang sedari tadi berdering. Ia segera mengangkatnya dengan wajah sangat muram. Siapa sih, yang meneleponnya pagi-pagi ini? Mengganggu tidur nyenyaknya saja.
"Dengan Indonesia di sini. Jika ini tidak penting, harap—"
"Tunggu, Indonesia! Ini aku, England!"
Uh oh. Ternyata seorang England yang meneleponnya. Perempuan yang dipanggil Indonesia itu pun memutar bola matanya, lalu memasang raut wajah malas.
"England… Kau mau bilang apa lagi? Tentang kau akan mengadakan lomba musik?"
Tepat sasaran.
"Ck, ayolah. Jarang-jarang, lho, kita mengadakan lomba. Oh, siapa tahu kamu bisa menang dan lagumu itu terkenal sampai luar negeri? Menarik, bukan?"
Ah. Benar juga katanya.
"… Iyo, iyo." Indonesia menghela nafas. "Sekarang apa yang bisa kulakukan, hm?"
Disclaimer—
Hetalia – Axis Power © Hidekazu Himaruya
Warnings—
Maybe some typos, OC!ASEAN, OOC, some 'bad' words, bahasa hancur-hancuran, absurd, country name used, dll.
Untuk beberapa kalinya, Indonesia menguap. Rasanya ingin sekali ia pulang ke rumahnya, merebahkan dirinya ke kasur dan terlelap karena hembusan AC 'alami'-nya. Tapi tidak bisa—ini rapat. Dilihatnya beberapa nation lain menguap, mengeluh, makan hamburger—yang itu khusus untuk America.
Saat ini, England—dan Austria sebagai pencetus ide—memanggil para nation untuk mengadakan rapat, karena ia—dan Austria—ingin mengadakan lomba musik. Katanya, sih, untuk mengenal musik-musik dari negara lain.
"—Jadi kira-kira begitu susunannya—HEI! KALIAN MENDENGARKAN TIDAK, SIH?!"
"Iyaa…" Jawab para nation serempak. Minus Greece yang sedang tidur dengan nyenyaknya.
"Nah, bagus. Kalian boleh menyanyikan lagu apapun, asal itu buatan negara kalian. Oh, atau buatan orang lain, asal itu menceritakan tentang negara kalian. Kalian juga bisa membuat lagunya sendiri. Sekarang, rapat selesai."
Dalam hati, semua nation bersorak-sorak senang.
Baru keluar beberapa langkah dari pintu rapat, Indonesia mendengar ada orang yang memanggilnya.
"Indoneshia-san, konnichiwa." Panggil Japan, dengan sedikit berlari kearah Indonesia.
"Oh, Japan. Selamat siang juga." Indonesia tersenyum kearah Japan.
Setelah mensejajarkan jalannya dengan Indonesia, Japan memulai pembicaraan. "Kelihatannya lomba ini akan menarik. Bagaimana menurutmu, Indoneshia-san?"
Indonesia tertawa kecil lalu menjawab, "Ah, menurutku sih biasa saja. Sudah menemukan lagu yang akan kau nyanyikan? Kudengar, kita boleh mencari partner, kan?"
Japan mengangguk. Dan saat Indonesia meliriknya, Japan tersenyum—kecil, tidak selebar senyum America atau Spain setiap harinya.
Terlihat tumpukan berkas-berkas di atas meja yang kecil, seukuran dengan meja belajar. Disebelahnya, televisi menyala dan menyiarkan berita terkini. Beberapa kali Indonesia menghela nafas dan memutuskan bangun dari kursi yang Indonesia sendiri bilang tidak empuk.
"Aaaah, merepotkan!"
Indonesia merebahkan tubuhnya ke kasur. Tugas negaranya sudah selesai, dan yang belum ia lakukan adalah memilih lagu yang akan ia tampilkan di lomba musik itu. Well, sebenarnya belum selesai, sih, tapi tidak ada salahnya bersantai sebentar, 'kan? Sekalian berpikir untuk lagunya, tentu saja.
'RIIING! RIINGG!'
Telepon. Lagi.
"Indonesia sedang sibuk. Harap—"
Terdengar suara 'ehem' dari seberang sana. "Indonesia, ini aku, Netherlands."
Indonesia agak terkejut mendengarnya. Hei, tidak salah? Jarang-jarang Netherlands meneleponnya. Ia kan terkenal hemat. Atau lebih tepatnya, pelit.
"Nether? Tumben sekali kau meneleponku. Ada apa?" Tanya Indonesia dengan sedikit curiga.
"Ini soal lomba besok—maksudku, beberapa hari lagi. Aku penasaran, lagu apa yang akan kau nyanyikan."
Oh, Netherlands, apakah kau tidak sadar bahwa Indonesia belum menemukan lagu yang pas untuk ia nyanyikan? Belum lagi kostum dan tata panggungnya. Banyak masalah yang ia hadapi setelah pulang dari rapat yang diadakan England tadi. Dari bertengkar dengan Malaysia soal mana yang suaranya lebih merdu, mendapat omelan dari boss-nya karena telat—Indonesia menonton (lagi) film di bioskop untuk menjernihkan pikiran—dan sekarang mendapat tugas negara yang menumpuk yang harus segera diselesaikan. Benar-benar melelahkan…
"Belum. Ada ide?" Kata Indonesia pasrah, diiringi dengan helaan nafas panjang di seberang sana.
"Sudah kuduga. Bagaimana kalau kau menyanyikan lagu daerah atau nasionalmu? Kelihatannya akan bagus."
Suasana menjadi hening. Hanya terdengar suara angin dan binatang-binatang malam, serta suara televisi yang Indonesia setel tadi.
"Oi, Indonesia? Indonesia—"
Tiba-tiba muncul bohlam diatas kepala Indonesia. "Ide bagus! Thanks, Neth!" Seru Indonesia, hampir berteriak.
"Tung—"
Dan dengan itu, sambungan telepon terputus. Di tempat jauh disana, Netherlands sendiri mendecak kesal karena teleponnya terputus begitu saja.
Pagi-pagi sekali, Indonesia sudah terbangun. Ia segera menyiapkan pakaian yang akan ia kenakan lusa malam nanti, beserta persiapan-persiapan lainnya. Ia tersenyum, lalu berlari menuju dapur untuk mengambil makanan.
"Kira-kira, yang lain menampilkan apa, ya…" Kata Indonesia sambil memakan sarapannya.
"Ada apa, Indonesia?"
Indonesia melirik ke sebelahnya.
"Tidak. Hanya sebuah lomba. Mau membantuku, Ririn[1]?" Tanya Indonesia sambil tersenyum.
Orang yang dipanggil Ririn tersenyum, "Tentu! Apa yang harus kulakukan?" Lalu menarik tempat duduk disebelah Indonesia, mengambil roti di depannya.
Indonesia mengambil pose berpikir. "Kau bisa—"
Musik? Cek. Lagu? Cek. Baju? Cek. Tapi kelihatannya ada yang kurang…
Suara?
.
.
.
Ah, soal itu, sih, urusan nanti.
Pikir Indonesia dalam hati.
Ah, ditambah dua kalimat lagi bisa jadi pantun, lho.
"Suaraku memang pas-pasan sih… Apa latihan dulu, ya?" Indonesia memegang dagunya, mencoba berpikir.
Saking lamanya berpikir, Indonesia sampai melompat kaget mendengar suara bel dari luar. Ia segera berlari menuju pintu rumah dan membukanya.
Dan betapa kagetnya ia bahwa orang yang ada di depannya adalah seorang personifikasi dari Belarus.
"Be— Belarus? Ada apa, ya?" Tanya Indonesia—berusaha bersikap formal, walaupun sebenarnya ia takut—sambil tersenyum
Belarus melirik Indonesia tajam. "Nii-san memintaku untuk mengambil alat musik milliknya dari tempatmu. APA YANG KAU LAKUKAN DENGAN ALAT MUSIK NII-SAN?!" Belarus mulai mengeluarkan aura hitamnya, yang membuat Indonesia merinding sendiri.
"A— Aku hanya pinjam sebentar saat itu. Aku ingin mengembalikannya, tapi kelihatannya Russia sedang sibuk, jadi—"
"KAU LUPA MENGEMBALIKANNYA! TIDAK BISA DIMAAFKAN! A—"
"STOP!"
Indonesia menghela nafas lega. Ia akan aman sementara sekarang. Dalam hati, Indonesia berterimakasih kepada—
"Kalian ini sedang apa, sih? Berisik. Mengganggu orang yang sedang lewat saja."
—Romano?
"Lho? Romano, sejak kapan ada di sini?" Indonesia terkejut. Rasanya, ia tidak melihat Romano daritadi, deh.
"Hanya jalan-jalan. Ini alat musik milik Russia yang kau cari, Bel." Romano melempar alat musik tersebut kearah Belarus, dan langsung ditangkap oleh Belarus.
"Tsk. Awas kau, Indonesia." Lirik Belarus sinis kearah Indonesia, yang langsung merinding—lagi.
Dan dengan itu pun Belarus pergi, meninggalkan Romano dan Indonesia sendirian.
"Dasar idiot. Kau juga salah, tau."
"Iya iya, aku tahu." Indonesia menghela nafas. "Ada apa? Aku tau kau kesini bukan hanya untuk jalan-jalan."
"Intinya, aku ingin kau mengajariku bermain gitar."
Suasana menjadi hening.
Indonesia mengangkat kedua tangannya, seperti orang yang baru ditangkap polisi. "T— Tunggu. Aku bukan gitaris handal, lho. Kenapa tidak minta… Err, England? America?"
Romano memutar bola matanya. "Cih. Yang ada aku malah akan ditawari makan scone dan hamburger." Indonesia mengangguk mengerti. "Maka dari itu, aku minta kau, Indonesia, untuk mengajarkanku bermain gitar."
"Tapi.. Belajar gitar itu butuh waktu yang lama, lho. Memangnya cukup?" Indonesia terdiam sebentar. "Kecuali kalau kau sudah hafal kuncinya…"
Romano mengangguk. Tunggu, buat apa ia mengangguk?
.
.
"—JANGAN BILANG KAU SUDAH HAFAL KUNCINYA?!" Indonesia berseru dan menunjuk muka Romano yang dengan cueknya mengangguk. "KALAU BEGITU, UNTUK APA KAU MINTA BELAJAR PADAKUUUUU!"
Yang hanya dibalas dengan kata, "Berisik." Dari Romano.
Terdengar suara alat musik dimainkan, yang berasal dari rumah Indonesia. Orang berambut coklat ber-ahoge itu memainkan lagunya dengan lancar. Disebelahnya, perempuan dengan rambut yang diikat satu itu mengoreksi permainan gitarnya, jika ada yang salah.
"Kalau sudah begini, sih, seharusnya kau tidak usah minta belajar padaku."
Romano—yang memainkan gitar itu, dan sekarang sedang meminum teh, menoleh. Ia mengambil sesuatu dari kantungnya dan melemparkannya ke Indonesia—yang langsung menangkapnya. Romano sendiri memberi tatapan 'itu-tanda-terimakasih-untukmu' dan memalingkan wajahnya.
Indonesia melihat 'sesuatu' yang dilempar Romano. Yang ternyata adalah kue. Jarang sekali Indonesia melihat Romano menyimpan kue dan memberikannya kepada orang lain. Yang sering Indonesia lihat, adalah Romano yang memakan tomat—yang Indonesia yakin bahwa itu pengaruh dari Spain—dan pizza, yang memang makanan khas dari Italia.
"Ah, Kue! Terimakasih, Romano. Jarang-jarang melihatmu memberi kue kepada orang lain— ups…" Indonesia menutup mulutnya dengan tangan, menyangkal kata-kata yang barusan keluar dari mulutnya.
Romano—masih memalingkan wajahnya kearah lain—berbisik, "Itu karena kau sudah membantuku, bodoh…"
Indonesia tersenyum melihatnya. Dasar tsundere akut, pikinya.
"Itu juga karena kau sudah hafal kuncinya. Apa kau akan menyanyikan ini bersama Italy?"
Sedikit melirik kepada Indonesia, Romano menjawab, "Iya. Memang kenapa? Jelek?"
Indonesia tersenyum lebar. "Tidak! Justru kebalikannya. Lagu ini bagus! Kurasa akan cocok dinyanyikan oleh orang sepertimu dan Italy." Ia pun memberi dua thumbs up kepada Romano, lalu mengedipkan matanya.
Yang tentu saja, langsung memerah mukanya. Sambil memalingkan wajahnya, ia menggumamkan kata seperti 'Chigiii!' atau 'Bastard!' dengan pipi menggembung.
D'aww, so cute.
Indonesia yakin, jika Spain di sini, ia akan langsung berteriak 'BUHYOOO~!' dan langsung memeluk Romano.
'Grazie, Indonesia…'
Malamnya, Indonesia memakan kue yang diberi Romano ditemani secangkir susu yang panas. Ah, hangatnya. Ia melirik keluar jendela, dimana hujan mengguyur dengan deras. Kelihatannya akan menjadi musim hujan yang cukup panjang, pikirnya. Ia mengambil kue dan memakannya lagi, sambil mengganti channel televisi. Karena tidak punya bahan tontonan yang bagus, berita tentang banjir melanda daerah-daerah ditontonnya untuk menghilangkan rasa bosannya. Banjir yang menyebabkan dirinya flu akhir-akhir ini. Well, Indonesia tidak terlalu memusingkan soal itu. Toh, sekarang memang musim hujan, 'kan?
Ia melirik keluar jendela lagi. Berharap ada tontonan bagus di luar rumahnya itu. Mengambil satu kue lagi, dan meminum susunya lagi. Ia bosan. Berniat mengganti channel televisi lagi, ia mendapatkan handphonenya berdering, tanda ada telepon masuk. Ia melihat handphonenya, dan mendapati Singapore meneleponnya. Sedikit bersiul, ia menjawab panggilan Singapore.
"Ada apa Sing? Butuh bantuan kakakmu yang hebat ini?" Menyengir, Indonesia mengambil kuenya lagi.
"KAK INDON! KAK MALAY HILANG! BRUNEI JUGA!"
Kue yang dipegang Indonesia terjatuh.
.
.
"HAH?!"
.
.
TBC.
[1] Itu OC saya. Ehehehe. (?)
Author's note:
HALO! SAYA AUTHOR BARU DISINI! *lambai lambai* /ngapainlo/
Pendek, ya? Ehehehe. Otak saya lagi error, sih. *peace* (?)
Aneh, ya? Maklum, deh. Sebenarnya saya sendiri gak pinter bikin cerita, sih w /teruskenapabikin/
Jadi, kalau ada kesalahan atau apapun... Mohon beritahu saya, ya! :3 Lewat review tentunya. /modus /ditendang
Regards,
kemirii.
(edited.)
