summary: Madara yang kalah melawan Konoha, kini dibiarkan hidup namun terkunci dalam tubuhnya yang berusia 12 tahun, dan Sakura—ia harus bersabar dalam menjaga dan merawat laki-laki itu.・madara/sakura/sasuke・[ AR ]
disclaimer : Naruto © Masashi Kishimoto
warnings: AR/OOC/Typhos/Crack Pair/abstract maybe?
Mignionette
: Chapter 1 :
Dedaunan mengetuk sisi luar jendela milik Sakura Haruno.
Iris emerald itu yang tadinya terpejam kini terbuka, sedikit menyipit karena terkena silaunya matahari. Ia mengerjapkan matanya untuk beberapa kali dan menyadari bahwa harinya sudah berganti pagi. Kicauan burung memberi salam pada telinga Sakura tanpa permisi.
Dia terbangun; mengumpulkan kesadaran dalam waktu singkat. Badannnya tergerak malas untuk bangkit, namun teringat akan janjinya mengajak jalan-jalan Naruto dan Sasuke—kedua sahabatnya dalam tim yang sama membuatnya terpaksa berjalan menuju kamar mandi dan mencuci muka.
Sakura tahu ayah dan ibunya tengah keluar untuk membicarakan sesuatu dengan tetangga di sebelahnya. Tidak perlu diintip—karena menemui keheningan di rumah Sakura adalah hal yang aneh jika kau mengenalnya. Rumah berisikan tiga orang itu selalu ramai tiap harinya; entah suara ibunya yang sibuk mengomel, ayahnya yang selalu tertawa menghadapi kelakuan istrinya, dan Sakura sebagai anak mereka yang selalu marah akan perkataan keduanya tentang dirinya yang dianggapnya tak lucu.
Jadi begitu ia mandi dan sarapan, Sakura mengenakan baju yang biasanya dan mengunci pintu rumahnya. Dia sudah memberi pesan lewat kertas yang ia letakkan di meja makan,
'Otou-san, kaa-san, aku mau pergi jalan-jalan sebentar dengan Naruto dan Sasuke-kun. Aku janji tak akan lama, dan kunci sudah aku taruh di tempat biasanya.'
Salam,
Sakura.
.
.
.
"Ohayou Sakura-chan!"
"Hei Sakura."
"Naruto, Sasuke-kun!" Sakura berlari ke arah dua laki-laki dimana Naruto melambaikan tangannya padanya. Mereka berpakaian biasa seperti Sakura—hanya saja Naruto lebih acak-acakan daripada Sasuke.
"Sakura-chan, nanti traktir aku makan Ramen ya!"
"Apa…? Enak saja! Kemarin kan sudah kutraktir!" Sahut Sakura kesal.
"Ayolah, kau kan sahabat terbaikku Sakura-chan! Tidak pelit seperti si teme!"
"Aku masih ada disini, dobe."
"Siapa peduli, teme."
"Dobe."
"Teme."
"Do—"
"Mou ii! Begini saja… kita bertiga lomba lari sampai ichiraku. Dan yang kalah, harus mentraktir keduanya. Tidak ada kecurangan, oke?"
"Hmm, ide yang bagus Sakura-chan! Tapi aku sih nggak akan kalah darimu, teme."
"Hn, jangan mengetesku, dobe."
Ketiganya lalu sudah bersiap-siap, hanya Naruto dan Sasuke saja yang masih saling adu pelototan. Sementara Sakura sudah mulai menghitung—
"Ichi… ni… san—IKOUZE!"
.
.
.
"Cih, sial!"
Sakura dan Sasuke memandang teman bersurai kuningnya yang masih terengah-engah di belakang mereka. Sasuke menampilkan senyum kemenangan dan Sakura hanya geleng-geleng kepala melihatnya.
Ketiganya lalu memasuki tempat tersebut dan Sakura duduk dengan tenang—sementara Naruto dan Sasuke masih terus berdebat tentang perlombaan lari tadi. Sepertinya Naruto masih tak bisa menerima kekalahannya dan menuduh Sasuke telah berbuat curang.
Dari balik poninya, mereka tak tahu ada senyum tipis yang terukir di bibir Sakura.
Gadis itu merasa senang dan bersyukur bahwa mereka bisa bersatu kembali. Ingatannya merekam ulang insiden pertarungan Madara yang melawan Konoha, dan saat itu Sasuke datang untuk membantu mereka. Awalnya ia tidak percaya—tapi melihat sosok Uchiha yang sedang menatap tajam pada Naruto sekarang, dia tahu ini bukan ilusi.
Memang Sakura awalnya kesulitan untuk bagaimana mendekati Sasuke—tapi seiring berjalannya waktu, mereka mulai bisa berdekatan kembali. Dibantu Naruto yang memang selalu bisa bersosialisasi pada siapapun. Sai juga kadang ikut mengobrol dengan mereka, namun karena sekarang ia banyak melakukan misi dengan Kakashi membuat mereka jarang bertemu.
Dan ia berusaha untuk tidak mengingat masa lalu saat peperangan itu masih terjadi, dia sudah cukup bersyukur Team 7 kembali bersama.
Selain itu, tempat tinggalnya—Konoha—terasa damai. Tidak ada organisasi kejahatan yang menyerang Konoha lagi, macam Akatsuki dan yang lainnya. Tapi memang ada beberapa yang berniat demikian, dan Tsunade tentunya selalu siap memberikan misi dan melacak.
Tapi hal penting yang mereka tak tahu—bahwa seorang Madara Uchiha masih hidup.
.
.
.
"Jadi apa rencana kita besok?"
"Kita? Maksudmu kau mau aku terus menempel padamu, dobe?"
"Apa! Jadi kau mau menempel pada Sakura-chan dan merebutnya dariku?!"
"Ya—tidak, maksudku—"
Lidah pemuda bersurai hitam itu kelu—ia lalu mengalihkan perhatiannya pada deretan toko di sisi kanannya untuk menyembunyikan rona merah di pipinya.
Sakura memukul pelan kepala Naruto, "Kau ini…"
"Aduh sakit tahu, Sakura-chan! Aku kan hanya bercanda!"
"Huh."
Ketiganya mulai berdebat topik lain yang lebih menyenangkan—meskipun Sasuke hanya sedikit saja ikut bicara.
"Bagaimana kalau kita ajak Lee dan yang lainnya menginap di rumahmu, teme?" Usul Naruto sambil menyeringai ke arah mereka berdua.
"Lalu membiarkan mereka termasuk kau mengacak-acak perabotan rumahku? Hell no." Jawabnya datar.
Sakura ikut memberikan pendapat, "Menurutku itu ide bagus, Sasuke-kun. Kita bikin saja pesta atas kedatanganmu kembali ke Konoha."
Dahi Sasuke mengernyit.
"Tuh kan! Sudah kubilang itu ide bagus!"
"Jangan bercanda. Siapa yang mau mengurusi makanan—"
"Ya TENTUNYA KAU, SASUKE-TEME. Kau kan pemilik rumahnya!"
Sasuke menatap heran Naruto, "Aku yang disambut kenapa malah aku yang repot?"
Iris biru mulai membalas pandangannya, "Katanya kau tak mau kami mengacak-acak rumahmu, heh?"
"Tunggu, kita bisa memesan makanannya, Naruto." Sahut Sakura.
"Hmm, baiklah… tapi siapa yang mau bayar?"
"Kita akan bernegoisasi dengan teman-teman, bagaimana? Sasuke-kun… kau tidak keberatan kan?"
Sasuke awalnya tak ingin mengiyakan, tapi lantaran wajah gadis itu yang bertanya sambil tersenyum membuat hati Sasuke akhirnya luluh juga.
Ia menghela nafas, "Baiklah…"
"YOSH! Sekarang ayo kita—"
"FOREHEAD!"
Teriakan Naruto berhenti saat melihat kedatangan Ino yang berlari ke arah mereka sambil memasang wajah serius.
"Ada apa Pig?"
"Kau dipanggil Hokage ke kantornya… sekarang!"
Naruto memotongnya, "Memangnya ada apa?"
"Entahlah, aku juga tidak tahu! Tapi wajah Tsunade-sama terlihat serius sekali!"
"Eh tapi—"
"Sudah ayo Sakura! Aku tak mau dimarahi si nenek-nenek itu lagi!"
"Tunggu sebentar Pig, aku harus—WAAH!"
Sebelum Sakura bertanya lagi, Ino sudah menarik tangannya dan berlari menuju kediaman Tsunade.
.
.
.
Sakura masih tak mengerti mengapa sang Hokage memanggilnya kesini.
Dan sekarang ia sudah berdiri di depan mejanya—ingin bertanya namun Tsunade sudah membuka mulutnya terlebih dahulu.
"Terima kasih Ino, kau bisa pergi sekarang."
Sahabatnya itu lalu membungkukkan badannya dan berjalan keluar dari pintu ruangan Tsunade.
Setelah keadaan menjadi tenang, Sakura akhirnya bertanya.
"Anoo shisou… sebenarnya ada apa sampai-sampai saya dipanggil kesini? Apa ada misi?"
Tsunade kini mengangkat wajahnya dari tumpuan tangannya dan menatap Sakura dalam. Wajahnya mulai berubah serius—sama seperti saat Ino memanggilnya tadi.
"Ya, Sakura. Kau memang punya misi."
Sakura menunggu penjelasannya.
"Sebenarnya aku tak mau memberikan ini tapi—uh, tak ada cara lain." Sorot mata Hokage perempuan itu menatapnya lekat, "Sakura… apa kau masih ingat dengan Madara Uchiha…?"
Gadis itu mengangguk pelan—bagaimana bisa ia melupakan si monster penghancur Konoha itu?
"Dan apa yang kau ketahui dari dirinya…?"
Dia terdiam sebentar, berpikir ulang.
"Umm… tidak banyak. Aku hanya tahu kalau dia pendiri Klan Uchiha, yang selalu menjadi saingan Hokage pertama—Hashirama Senju. Dia berencana menghancurkan Konoha dan saat pertarungan itu—ia dikabarkan…" Sakura berujar tak yakin, "… mati."
Hening yang membalas perkataannya.
"Tidak, Sakura… dia—" Tsunade menggigit bibir, "…. Dia masih hidup."
Sakura mengangkat alis, "Apa…?"
"Setelah dia mengatakan bahwa ia menyerah, aku dan Kage lainnya mengadakan pertemuan. Dan kami memperdebatkan apakah Madara lebih baik dibunuh atau dibiarkan hidup—dan keputusannya sangat menghebohkan."
Pemilik rambut harum manis itu tetap mendengarkan.
"Kami memutuskan agar membiarkannya hidup, karena dirinya mungkin masih berguna untuk masa depan Konoha. Tapi tentu saja kami tak mau dia mengkhianati—karena itulah, kami menempatkan jiwanya di tubuhnya yang masih berusiakan anak-anak."
"Dia masih punya kekuatan yang lama—namun aku khususkan agar ia tak bisa menggunakannya untuk saat ini. Dia mungkin berwujud anak kecil—tapi jiwanya—"
"Shisou, bisa kau langsung jelaskan misi yang ingin kau berikan padaku?"
"Uh, ya… misimu itu adalah—" Tsunade berdeham, "Merawat Madara Uchiha dan menjaganya."
Sakura lantas menjerit, "APA?!"
"Sakura, kau hanya perlu memulihkan beberapa organ tubuhnya yang masih rusak dan mungkin sekaligus menginterogasi-nya. Kau hanya perlu datang kesini, menuju ruangannya dan merawatnya. Itu saja."
"Tapi Shisou—"
"Sakura, hanya kau yang bisa menyembuhkannya. Kau masih punya chakra yang kuat, dan pengetahuanmu sudah luas."
Sakura menelan ludah, "Aku—"
"Jangan membantah, Sakura. Oh ya, rahasiakan misi ini dari siapapun. Jangan sampai ada yang tahu." Tsunade mengeraskan suaranya—memberitahu bahwa ia tak bisa dibantah.
"Tapi shisou—"
"SAKURA!"
"B-Baiklah…"
Tsunade membuang nafas pelan, "Terima kasih. Kakashi, aku tahu kau ada diluar. Masuklah."
Sakura menoleh ke arah suara pintu dibuka dan mendapati sensei-nya sudah menunggu sambil melipat tangannya.
"S-Sensei…"
Sosok itu tersenyum dengan mata tertutup, "Jangan khawatir, Sakura. Aku akan menemanimu."
.
.
.
"Ini… ruangannya?"
"Ya."
Sakura menelan ludah—kakinya sedikit bergetar saat sudah mencapai depan pintu. Kakashi yang mengantarnya pun sebenarnya merasa bersalah karena tak berhasil menang argumen dengan Tsunade. Sebagai seorang guru, ia juga khawatir dengan keselamatan muridnya yang satu ini.
Kakashi tahu Tsunade dan yang lainnya sudah menyegel kekuatan Madara, tapi tetap saja—ia tak bisa memastikan. Bayangkan saja—Sakura harus menjaga seorang Madara Uchiha—shinobi yang bisa dibilang terkuat setelah Hokage pertama. Dan untuk menumpaskannya saja butuh lautan petarung. Sementara Sakura, seorang medic-nin yang masih berumur 16 tahun sudah harus bersama lelaki itu untuk beberapa bulan.
"Sensei… sensei kembali saja bersama Naruto dan Sasuke-kun."
Kakashi mengerjapkan matanya, "Kau yakin, Sakura?"
"Ya." Jawabnya pendek, "Aku akan berusaha."
"Kau yakin? Aku bisa masuk dan membantumu kalau kau mau."
"Tidak perlu, sensei. Lagipula sensei baru pulang dari misi kan? Istirahatlah dulu…"
Kakashi menggaruk pelan belakang kepalanya, ia memang kelelahan setelah menjalankan misi yang diberi Tsunade.
"Oh ya sensei—nanti tolong beritahu Naruto, aku minta maaf karna tak bisa ikut merencanakan pesta untuk Sasuke."
"Pesta untuk Sasuke?"
"Um, ya… aku juga sebenarnya tidak tahu pesta apa yang dimaksudkan Naruto. Tapi dia berencana mengajak teman-teman."
Lelaki itu mengangguk pelan, "Hmm… baiklah."
Kakashi lalu menepuk kepala Sakura, "Kau muridku, Sakura. Kau harus bisa, oke?"
"Um!"
.
.
.
Sakura mendengar langkah Kakashi yang semakin menjauh, dan saat itu juga ia menghela nafas berat.
Dia sejujurnya takut; khawatir dengan dirinya sendiri.
Ia harus merawat musuh terbesar Konoha.
Menjaganya.
Astaga.
Sakura tak bisa membuang waktu disini—ia sudah diinstruksikan oleh Tsunade bagian-bagian apa saja yang harus ia sembuhkan hari ini. Setelah itu ia bisa bebas—lagipula ia harus mempersiapkan pesta untuk Sasuke dengan teman-temannya.
Karena itu, ia harus cepat.
Dengan gemetar, jemarinya meraih kenop pintu dan memutarnya ke kiri, berusaha untuk menimbulkan suara sekecil mungkin. Jantungnya berdegup kencang seiring detik yang kian menanti.
Dibukanya pintu itu perlahan—dan yang menyambutnya adalah sebuah ruangan berdinding krem dan satu tempat tidur serta meja kecil dan satu kursi. Tapi yang lebih mengejutkan Sakura adalah sosok anak kecil yang tengah berbaring disana.
Dia terlihat muda—rambutnya yang terbilang acak dan hampir menutup salah satu matanya itu tidak terlalu panjang. Baju yang ia kenakan adalah baju berwarna hitam, sepadan dengan warna celananya. Beberapa bagian tubuhnya yang terekspos terbalut perban, dan matanya—
Matanya—
Matanya terbuka sedari tadi dan menatap Sakura dengan pandangan tajam. Iris matanya berwarna hitam biasa, bukan sharingan maupun rinnegan.
Tatapannya kelam; dalam; seolah terganggu dengan kedatangan Sakura.
Dan Sakura merasa dirinya membeku disana—
Dia tak tahu harus melakukan apa.
.
.
.
[ to be continued ]
A/N
Sebenernya saya nggak berani bikin cerita yang semi-canon begini, lantaran saya cuma nonton Naruto sekilas doang—dan nggak ngerti dengan istilah2 semacam kekkei genkai, etc. Tapi saya usahakan biar nyari tahu, heheh.
Oh yah, sama sebelumnya mau minta maaf sama beberapa readers yang request lewat PM maupun comment untuk bikin fic MadaSaku yang M-rated. Mungkin kapan-kapan ya? Habis udah masuk bulan puasa sih, hehe ^^v
Tolong jangan tanya saya tentang jutsu apaan yang bikin Madara bisa jadi anak kecil, itu ngibul dan cuma sekedar imajinasi saya aja. Cerita ini emang kelewat aneh—dan kelewat ngibulnya (…). Btw, Blameless chapter 3 sedang dalam proses, heheh :D
Untuk informasi, Sakura = 16 tahun, Madara (tubuhnya /?) = 12 tahun.
Dan terakhir, terima kasih yang sudah mau membaca! Tinggalkan kritik maupun saran kalian di kotak review, onegai?
Selamat menjalankan ibadah puasa bagi yang beragama Islam!
Salam hangat,
E-cchi aka Euphoria
