"Vampire Story – The Vampire Princess"


Summary : Mary-Amara Sabrina Hausen, adik angkat Castor dari keluarga Hausen, salah satu god house yang merupakan kalangan bangsawan yang dihormati. Gadis cantik dengan rambut lurus sepinggang berwarna putih dan mata berwarna merah ini sekelas dengan 4 cowok yang menjadi sahabatnya, yaitu Teito Klein, Hakuren Oak, Shuri Oak dan Mikage Celestine. Roda gigi dari masa lalu yang sempat terhenti kini mulai bergerak kembali saat Sabrina mulai bermimpi, mimpi yang semakin jelas seiring dekatnya hari ulang tahunnya yang ke-16.


Chapter 1 – Countdown : 3 to 2

Barsburg Academy, perguruan terbaik di negeri ini… begitulah kata orang-orang. Tersebutlah ada 4 orang pemuda yang berteman dan duduk di kelas yang sama, yaitu Teito, Mikage, Hakuren dan sepupunya Shuri. Tidak seperti hari biasanya, pagi itu suasana di Barsburg Academy terasa menegangkan karena 'tamu istimewa' yang akan datang ke sekolah ini. Di dalam kelas, mereka berempat duduk di kursi belakang yang tak terjangkau sinar matahari, tengah membahas tentang 'Mutant'. Karena mulai malam ini, distrik 1 sudah mulai diekplorasi.

Shuri meletakkan Koran pagi ini di atas meja, dimana Teito terlihat asyik memainkan hp, Hakuren sibuk membaca buku dan Mikage meminum yogurt jeruk.

"lihat berita ini? Ditemukan mayat yang 'disantap' oleh Mutant. Karena korban digigit di leher dan darahnya dihisap habis, maka pelakunya 'Mutant' type Humanoid"

"…lalu?" sahut Teito dingin

Mikage menautkan alisnya "lalu? dingin amat reaksimu atas berita ini, Tei-chan~"

"jangan panggil Chan!?"

Shuri memukul meja "kalian kira buat apa aku ngebahas ini? kejadian ini terjadi di Distrik 1, kota kita dan berkat kejadian ini, besok badan inspeksi dari unit 'Black Hawk' bakalan datang ke sekolah kita! Kalau ada Mutant di sekolah kita, siapa aja bisa jadi korban!"

"asal bukan kita yang kena, nggak masalah, kan? untuk apa diributkan?"

"aku setuju dengan Teito" tambah Hakuren

"hoo… kalau begitu, saat kalian disantap Mutant itu, aku nggak bakal nolong" sahut Shuri memalingkan wajah

Tiba-tiba, muncul seseorang di belakang mereka yang kemudian menindih kepala Teito dengan sikutnya, tak lain Frau dengan senyum usilnya "kalau pacarmu yang bakal jadi santapan Mutant itu, apa kau bakalan tetap cuek?"

"Frau! Singkirkan sikutmu dari kepalaku! Sakit, nih!" ujar Teito geram

Frau menyingkirkan sikutnya dan menjitak kepala Teito "di lingkungan sekolah, panggil aku sensei, bocah sialan!"

"kakak adik yang rukun…" pikir ketiga sahabat Teito yang tahu bahwa pak guru mereka ini, Frau Birkin adalah kakak angkat dari Teito Klein yang yatim piatu.

Frau membetulkan posisi Rosarionya "oh iya, barusan aku dihubungi sama si kacamata… katanya, maaf soal yang tadi malam, karena si kacamata yang nutup telepon darimu, gara-gara seisi rumah panik, soalnya si Sabrina…"

"ada apa dengan saya, Frau-sensei?"

Spontan pandangan mata kelima cowo ini langsung tertuju pada sumber suara yang ada di belakang Frau, seorang gadis cantik dengan rambut putih lurus sepinggang dan mata semerah mawar, Mary-Amara Sabrina Hausen, adik Castor Hausen dari klan Hausen.

Teito langsung berdiri dan menghampiri Sabrina "tadi malam kamu kenapa? mukamu pucat banget lagi…"

"nggak apa-apa… maaf, tapi kenapa namaku disebut-sebut, Frau-sensei?"

"ah, ini si bocah sialan, tadi malam ribut gara-gara telponmu terputus dan dia minta aku nanya ke kakakmu" ujar Frau sambil menepuk kepala Teito

Teito menepis tangan Frau "wajar kan? habis bunyi 'bruk' tahu-tahu ada suara keributan dan telpon langsung putus, gimana aku nggak khawatir?"

Karena Teito berbicara sambil menatap Frau dengan aura 'bahaya', Frau langsung angkat kaki.

"maaf ya, membuatmu khawatir… tadi malam aku memang pingsan gara-gara anemia, tapi sekarang sudah nggak apa-apa, kok"

Meski Sabrina berkata demikian sambil tersenyum, Teito yang duduk di sebelahnya tetap merasa khawatir "beneran? Pas olahraga nanti, mendingan kamu nggak usah ikut kalau masih pusing…"

"cie… overprotektif banget, sih…" seru Mikage sambil bersiul

"ah-hem… pagi-pagi udah panas…" tambah Shuri sambil mengipas-ngipas dengan tangannya

"sudah, sudah… maklum, kan baru aja jadian…" ujar Hakuren sambil tersenyum geli

Teito mengambil ancang-ancang sambil mengeluarkan zaiphonnya "Mikage dan Shuri... kalian berdua, baris satu-satu sini!"

"ogah!" ujar Mikage dan Shuri yang langsung ambil langkah seribu

"tunggu!" seru Teito yang spontan mengejar Mikage dan Shuri (meskipun mereka bertiga cuma keliling kelas ini)

Melihat tingkah laku ketiga temannya, Hakuren menghela napas sambil geleng-geleng kepala "dasar… lulusan dari SD mana sih, mereka ini?"

Sabrina menahan tawa akibat ucapan Hakuren "…hihihi, apa hubungannya?"

Hakuren memalingkan wajahnya dari Sabrina sehingga Sabrina agak bingung. Yah, walaupun Sabrina sudah terbiasa dengan tindak-tanduk Hakuren, sebab di antara keempat teman lelakinya ini memang Hakuren satu-satunya yang kepribadiannya paling sulit dipahami dan tidak bisa ditebak. Memasuki jam pelajaran kedua, olahraga (Volley).


Sabrina's POV…

Sembari menunggu giliranku, aku teringat akan peristiwa yang terjadi di balkon kamarku tadi malam

Flashback begin…

Ponselku bergetar dengan nada dering 'Rihanna - Diamond', pertanda bahwa yang menelponku adalah Teito. Dengan senang, aku menjawab panggilannya

"selamat malam..."

"malam… eng… maaf, apa aku mengganggu?"

Aku tersenyum geli karena nada bicara Teito yang terdengar grogi "tidak, aku senggang, kok. Ada apa?"

"itu… 3 hari lagi kamu ada acara?"

Aku melihat kalender, 3 hari lagi itu… ulang tahunku yang ke-16! "sebentar, kulihat agendaku dulu…"

setelah memastikan jadwalku, aku langsung menjawab pertanyaan Teito "enggak ada, kok"

"begitu? syukurlah…" terdengar desahan napas Teito sebelum ia melanjutkan ucapannya "Bri, aku tahu ini mendadak, tapi… bisakah malam itu kita pergi berdua, untuk merayakan ulang tahunmu bersama-sama?"

Wajahku merona merah dan terasa panas karena senang, tentu saja aku langsung mengiyakan ajakan Teito tanpa pikir panjang. Aku keluar menuju balkon yang menghadap kolam renang rumahku "…lalu, kita mau kemana?"

"Tempatnya terserah kau saja, deh"

Saat aku bersandar di pagar yang hanya sepinggangku, aku mendengar seruan dari bawah

"Sabrina, jangan bersandar di situ! nanti jatuh!"

"nona besar, bahaya!"

Aku melihat ke bawah, ternyata yang berteriak tadi memang kak Castor dan Seilan. Aku hanya melambaikan tangan sambil tersenyum pada kak Castor dan Seilan yang ada di bawah.

"eh, teriakan apa tadi itu?"

"ah, nggak apa-apa. kak Castor memperingatiku karena aku bersandar di pagar balkon kamarku"

Teito tertawa geli "itu karena Castor-san sangat sayang padamu…"

"iya, padahal aku hanya adik angkatnya"

"besarnya rasa sayang nggak ada hubungannya sama saudara kandung atau bukan…"

"iya juga, sih. buktinya kau dan Frau-sensei akrab sekali"

"…nggak usah ngomongin dia, deh…"

Ah, ini pertanda Teito lagi kesal sama kakak angkatnya "…kenapa lagi?"

"ah, tadi sore dia ngejek aku gara-gara aku minum susu biar tambah tinggi sementara dia yang alergi susu malah jangkung banget. Nyebelin, kan?"

Tentu saja aku tertawa geli mendengarnya dan berusaha menahan tawaku mati-matian "oh, iya, yakin kau mau pergi? 3 hari lagi itu, kan… malam bulan purnama, loh... apa aman kita keluar malam?"

"…aku tahu, malam bulan purnama adalah waktu dimana para 'Mutant' itu mencapai kondisi terbaiknya… tapi tenang saja, kalau kau takut, untuk jaga-jaga aku akan bawa pisau perak"

"bukan itu masalahnya, tapi… bukankah kamu biasa nggak enak badan saat malam bulan purnama?"

"kh… pasti si Mr. Ero itu yang ngasih tahu, ya? khusus malam itu, kurasa apapun yang terjadi, aku akan berusaha agar bisa bertahan untuk merayakan ulang tahunmu"

Ah, senangnya bukan main sampai suara jantungku dapat kudengar jelas "…terima kasih. kalau begitu, untuk lebih amannya kita ke tempat yang indoor aja, seperti…" saat aku mendongak ke langit untuk berpikir sejenak dan melihat bulan yang hampir sempurna, keanehan terjadi. Kesadaranku menipis, jantungku berdenyut tak beraturan, darahku panas hingga terasa mendidih, kepalaku pusing

"halo, Sabrina?"

Aku tak ingat apa-apa lagi setelah Teito memanggil namaku.

Sabrina's POV End…


Castor yang melihat ada bayangan dari atas pun mendongak keatas. Ia pun terkejut saat melihat tubuh Sabrina yang terkulai lemas dan terjatuh dari atas balkon "Sabrina!"

Castor berusaha menangkap Sabrina yang tak sadarkan diri sambil tetap menggenggam hp-nya dan… BRUK! Castor tersungkur ke lantai sambil tetap memeluk erat Sabrina.

Seilan menghampiri Castor dan Sabrina "tuan muda! nona besar! Anda tidak apa-apa?"

Castor bangkit dan memeriksa keadaan Sabrina "dia pingsan, tapi untunglah ia tak terluka. aku tidak apa-apa, Seilan. Sekarang, lebih baik kita rawat dia dulu"

Castor melihat hp Sabrina dan memutus telepon dari Teito. Setelah mematikan hp Sabrina dan menyerahkannya pada Seilan, Castor membopong Sabrina ke kamar. Tak lama setelah meletakkan tubuh Sabrina di ranjang, Seilan datang bersama dokter pribadi mereka, Labrador. Castor dan Labrador duduk di samping Sabrina yang mulai sadar.


Sabrina's POV…

Aku membuka mataku dan melihat kak Castor bersama Labrador-san, dokter pribadi kami. Setelah aku menanyakan apa yang terjadi, kak Castor menceritakan kejadian setelah aku pingsan. Lalu, Labrador-san menanyakan padaku apa yang terjadi sebelum aku pingsan. Setelah aku menjelaskan apa yang terjadi padaku barusan, Labrador-san hanya tersenyum dan berkata bahwa aku hanya anemia. Setelah menyuruhku istirahat, kak Castor terus mengelus kepalaku hingga aku tertidur. Aku bermimpi, aku sampai di depan sebuah gereja yang saat ini sedang dituruni salju. Padahal, aku tak pernah datang kemari, tapi entah kenapa, aku merasa aku sangat merindukan tempat ini. aku mendengar suara dari halaman di samping gereja ini. Saat kulihat, ternyata ada seorang pria berambut putih bermata biru berpakaian uskup yang tengah mencari seseorang.

"Milla… Milla…".

Seorang wanita berambut merah bermata merah muncul sambil menggendong seorang bayi "ada apa, Kreuz?".

Uskup yang dipanggil Kreuz itu menoleh ke arah wanita itu "Milla! Sudah kubilang jangan keluar! Cuaca sedang dingin dan kondisimu belum pulih"

Wanita yang disapa Milla oleh Kreuz itu tersenyum "maaf, tapi aku ingin memperlihatkan indahnya salju pada anak ini. lagipula, sudah 40 hari sejak aku melahirkan anak ini, kurasa aku sudah pulih betul"

Kreuz menghela napas "baiklah kalau kau merasa begitu… ngomong-ngomong, karena kita punya pertimbangan masing-masing tentang nama anak ini, bagaimana dengan nama ini?"

Milla melihat kertas yang disodorkan oleh Kreuz "nama yang bagus sekali"

Kreuz tersenyum lega melihat Milla menerima nama itu sambil tersenyum "syukurlah kau suka, karena nama ini merupakan gabungan dari nama yang telah kita pikirkan bersama. Pasti dia akan tumbuh menjadi gadis yang cantik, sama sepertimu"

Milla hanya tersenyum mendengar perkataan Kreuz.

Sabrina's POV End…


Labrador mengajak Castor berbicara di kamarnya "kau dengar apa yang terjadi pada Sabrina sebelum ia pingsan, Castor?"

"…dia jadi begitu beberapa saat setelah ia melihat bulan purnama"

Labrador menghela napas "…sepertinya aku memang harus memberitahumu"

"soal apa?"

"ramalanku mengatakan, darah ' The Princess' kaum kita mulai bangkit"

Castor terkejut "apa!"

"sst… hal ini masih rahasia, jadi tolong kau beritahu Sabrina kalau pingsannya dia kali ini karena anemia"

Castor berusaha tenang "…baiklah, lalu apa kau sudah beritahu 'Queen' soal ini?"

"belum, sebab bisa saja ramalanku kali ini salah dan aku berharap begitu, apalagi mengingat hal yang akan terjadi jika Sabrina tahu siapa dia sebenarnya".

Flashback end…

Back To Normal POV…


Guru olahraga, Lloyd-sensei memanggil mereka satu persatu "tim putri, Sabrina, Ouka, Gyokuran, Ohruri dan Kikune melawan tim putra, Wieda, Teito, Hakuren, Shuri dan Mikage"

Ouka menepuk bahu Sabrina "Sabrina, giliran kita"

Sabrina tersadar dari lamunannya dan berdiri "ah, iya"

Ouka mengamati wajah Sabrina "kamu sakit, ya? mukamu pucat dari tadi pagi"

"nggak apa-apa, kok. Tadi malam aku anemia ringan, itu aja…"

Meski Sabrina meyakinkan bahwa ia tidak apa-apa, Ouka tetap cemas "ya udah, kalau nggak sanggup, nanti biar aku minta ijin pada sensei, ya"

Setelah semua anak yang dipanggil oleh Lloyd-sensei menempati barisannya masing-masing, mereka semua bermain dengan baik.

"…Sabrina…"

Sabrina mencari sumber suara itu dan ia tak menemukan siapapun yang memanggilnya, hingga ia menyadari bahwa suara itu muncul dari dalam kepalanya.

"Sabrina, awas!"

Sabrina menoleh ke depan saat mendengar teriakan Ouka yang disebabkan bola Volly itu melaju menuju Sabrina. Sabrina menutup matanya karena mengira akan terkena bola Volly itu. Saat bola Volly itu hampir mengenai Sabrina, Teito berhasil menangkisnya dan menoleh ke belakang "kamu nggak apa-apa, bri?"

Sabrina membuka mata dengan tatapan lega sekaligus terkejut "…Tei…"

Tiba-tiba… BRUK! Sabrina pingsan dan Teito menggenggam tubuh Sabrina sebelum tubuh Sabrina jatuh ke lantai "Sabrina!"

Murid lain pun terkejut dan Teito membopong Sabrina "Lloyd-sensei, saya ijin ke UKS dulu!"

"boleh saja, tapi karena guru UKS sedang pergi, kamu harus menjaganya"

Teito menoleh ke arah Kikune yang mengurus absen kelas "…Kikune"

"udah, pergi sana… biar kami yang urus" sahut Hakuren selaku partner Kikune

Teito tersenyum lega "makasih ya, bye-bye!"

Saat Teito beranjak pergi, "Teito, jangan nyerang Sabrina pas dia pingsan gitu, lho" teriak Mikage

"jangan samakan aku dengan si Mr. Ero itu, dong!" sahut Teito yang dibalas dengan gelak tawa anak lain

Shuri berbisik pada Hakuren "eh, nggak apa-apa tuh?"

"apanya?"

"maksudku, ngebiarin si Sabrina sama Teito itu, lho…"

Hakuren menutup mata dan membuka matanya sambil menghela napas "memang kenapa? kalau hal ini kuanggap sebagai masalah, sudah kuganggu sebelum mereka berdua jadian"

Saat Hakuren menjauh, Shuri hanya menatapnya dari kejauhan "dasar nggak mau jujur".


Ketidakjujuran terkadang menyakitkan, terkadang membahagiakan…