The Magic Of Rain

Main Pairing : Hiruma/Sena , dsb akan mendatang

Rating : PG / Teen (gak berani tinggi2. ak masih SMP. ntar dimarahi Mama XD)

Chapter Summary : Sena menemukan apartemen yang cocok untuknya. Apa itu hanya perasaannya, ada sesuatu yang lain yang ada di apartemen itu?

Disclaimer : Aku gak memiliki semua tokoh yang terlibat disini (menyebalkan! Padahal jika iya, aku bakal -nittttt- *sensor*)

A/N 1st: penulis baru nih. banyak ide sih. Tapi masih nervous untuk nunjukin. Jadinya ngambil ide dari sebuah kisah yang pernah diceritain temenku.


Mamori memiliki sebuah toko buku tua, di sebuah kota yang tua juga. Ia memiliki apartemen sederhana tepat diatas toko bukunya. Tetapi Dia tidak tinggal disitu. bisa dikatakan, Mamori tidak punya cukup keberanian untuk itu. Tidak setelah apa yang telah terjadi dengan orang terakhir yang menempati apartemen kecil dan sederhananya itu. Dia memang bukan tipe orang yang percaya denagn hantu-hantu, tetapi setelah mendengar cerita tentang itu, pemikirannya berubah.

Tapi Mamori sedang, er..bisa dikatakan...sedang kekurangan uang. Dia sangat mencintai toko bukunya. Karena itulah ia tak mau melepasnya hanya karena tidak bisa membayar pajaknya. Dia tahu, bahwa dia harus menyewakan apartemennya kembali. Dengan tidak memberitahu mereka tentang cerita-cerita hantu itu.

Jadi itulah yang dia lakukan.

Orang pertama yang menetap disitu, langsung keluar atau pindah setelah 1 minggu disana. Katanya apartemen itu membuatnya lumayan merinding dan membuatnya menjadi sedikit claustrophobia (phobia tempat tertutup).

Orang kedua menetap sekitar 3 minggu, tetapi keluar setelah panggangan rotinya terbang dan mencoba menyerangnya.

Orang ketiga tidak sampai 2 hari, sudah keluar.

Setelah kejadian-kejadian itu, Mamori memutuskan ia tidak bisa menyewakan apartemennya lagi. Itu memang benar-benar berhantu.

Tetapi setelah itu, seorang anak berambut coklat dengan tinggi sekitar 155 cm dan memiliki mata coklat secoklat karamel yang bernama Sena, berkunjung ke toko buku itu dengan tujuan tertentu.

"Um...Hai," Sena menyapa dengan malu-malu, sebuah brosur di tangannya. "Aku...disini untuk bertanya tentang apartemen itu.." Dia berkata, sedikit lebih percaya diri. Cewek berambut pink dengan mata yang memancarkan kebaikan mengangkat wajahnya dari buku yang tadi ia baca.

Mamori menggeleng pelan, meletakkan bukunya di meja di sebelahnya. "Maaf, tapi aku tidak menyewakan itu kembali.."

Sena mengangkat salah satu alisnya. "Mengapa tidak? Apakah seseorang sudah menetap disitu?"

Mamori mendesah secara pelan, karena Ia mengerti anak lelaki ini tidak akan pergi dengan mudah. "Tidak sih. Tapi meskipun aku memperbolehkanmu , kamu juga tidak akan tahan lama disitu. ."

Sena mulai melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang diberi permen lollipop sebesar telapak tangan. Matanya membesar (dalam cara yang mengagumkan) yang (pasti) membuat ibu tiri sejahat apapun akan membelikannya selusin coklat. "Aku bertaruh aku bisa! Dengar. Aku sedang tidak memiliki pilihan lain. Aku juga hanya memiliki uang yang terbatas. Dan aku, juga belum menemukan tempat menetap . Tempat inilah satu-satunya tempat yang cocok dengan budget ku sekarang ini!" Sena berhenti sebentar untuk mengambil nafas, lalu menambahkan denagn cepat, "Kumohon...?"

Mamori membuka mulutnya untuk menolak, karena satu-satunya hal yang bisa terjadi adalah anak ini akan menjadi gila karena apartemen itu mempermainkan pikirannya. Tetapi mata-mata yang melebar itu, yang membuat warna karamelnya semakin jelas, membuatnya secara tidak sadar menjawab, "Oke...Oke.."Dia sebenarnya ingin sekali menarik kata-katanya kembali. Tetapi lawan bicaranya itu telah memotongnya terlebih dahulu.

"Aku pasti sudah memelukmu jika bukan karena counter yang ada ditengah-tengah kita ini! Sebagai gantinya, berjabat tangan bisa diterima kan, kak?" Katanya dengan senyum lebar menghias raut wajahnya yang sangat terlihat muda. Ia mengulurkan tangannya kepada Mamori untuk berjabat tangan. "Aku Sena."

Saat Mamori berjabat tangan dengan lelaki kecil didepannya itu, ia menemukan sungguh mustahil untuk menarik kata-katanya tadi. "Aku Mamori. Bagaimana kalau aku memperlihatkanmu apartemen itu?"


"Itu sudah terisi dengan barang-barang rumah tangga, untuk sederhananya. Tidak ada TV dan microwave. Tapi kamu bisa membawa milikmu kesana," Mamori berkata saat Ia dan Sena menaiki tangga yang ada di bagian belakan toko buku. "Aku sudah mencoba merapikan bagian-bagian terbesar kamar. Tetapi mungkin kau bisa membersihkannya lebih. karena aku terlalu sibuk untuk membersihkannya secara detail."

Sena hanya mengangguk, matanya tertuju pada beberapa benda (yang tidak seharusnya) tertempel di dinding layaknya sebuah foto. Yang tidak lain adalah berbagai macam senjata api (asli). Mereka terlihat mengkilat meski di sekitar situ tidak terlalu banyak cahaya yang meneranginya. Membuat mereka nampak indah tetapi menyeramkan pada saat yang bersamaan. Matanya berhenti pada senjata yang berukuran besar. Warnanya silver dengan sedikit goresan-goresan di sekitar body nya. Tapi masih terlihat berfungsi dan berbahaya. Bentuknya silindris. Tali berwarna hitam menggantung dibawahnya (yang Sena tebak, untuk memudahkan pengguna membawanya dengan pundaknya).Itulah yang namanya Bazooka. Baru waktu ini Sena melihat senjata besar itu dengan nyata. Dan Ia berpikir betapa bahayanya benda-benda semacam itu ada di tempat seperti ini.

"Senjata-senjata ini milikmu, kah? " Sena bertanya, mencoba menyembunyikan perasaan ngerinya bahwa pemilik apartemen ini adalah seorang wanita yang bertampang baik tapi nyatanya adalah phsyco.

Mamori menghentikan langkahnya dan melihat kebelakang. Ia terlihat ragu sebelum ia menjwab, dengan suara yang kecil nyaris seperti bisikan. "Itu milik Hiruma Youichi. Mohon jangan sentuh mereka.."

"Hiruma Youichi," Sena mengulang nama tersebut untuk diri sendiri dalam bisikan, hanya untuk merasakannya di bibirnya. Ia tersenyum, lalu melanjutkan langkahnya keatas. Mamori secara otomatis mengikutinya. Ia terlihat sedikit aneh ketika mereka telah mencapai pintu apartemen yang sudah dituju.

"Pintunya sedikit macet, kadangkala," Mamori berkata sambil memasukkan kunci ke lubang kunci yang ada di pintu. "Tidak terlalu susah untuk membuatnya terbuka kok. Jadi jangan khawatir!" Ia melanjutkan, memutar kuncinya lalu daun pintunya. "Kamu hanya butuh memberinya sedikit dorongan." Ia meletakkan kedua telapak tangannya di permukaan pintu dan mendorongnya. Pintu itu terbuka dengan suara yang lumayan nyaring dan hembusan angin.

"Whoa!" Sena terdorong mundur beberapa langkah karena dorongan angin tadi. "Apa itu?"

Mamori tidak menjawabnya. Membuat Sena sedikit terkejut. Mamori hanya mendorongnya untuk membuka pintu itu lebih lebar dan berjalan kedalam. Lalu menahannya untuk mempersilahkan Sena masuk.

Sena mendapati sebuah jendela terbuka saat ia melangkah masuk. tirainya yang berwarna merah gelap berkibar ria diterpa angin.

"Ah.." Mamori berjalan mendekati jendela itu untuk menutupnya. "inilah sumber angin yang tadi. tidak perlu khawatir!" Mamori memberikan senyuman malaikatnya, tetapi terlihat kosong bagi Sena. Sena, membuang pikiran negatifnya dengan pikiran positifnya. Bahwa Mamori hanya terlihat nervous saja. "Ayo, aku akan memberimu grand tour!"

Apartemennya...hmm...bagus. Dan tua, seperti semua benda yang ada di gedung ini. Tapi Sena tidak terlalu memikirkan itu. selama mereka masih bekerja dengan baik sehingga Ia tidak perlu menelepon si 'ahli listrik' setiap minggu.

Apartemen itu simpel tapi indah baginya. Lantainya terbuat dari kayu yang masih bagus meski termakan waktu. Tempat itu terdiri dari beberapa ruangan. Ruang utama, 1 kamar tidur, dapur beserta ruang makannya, dan kamar mandi. Desainnya begitu terlihat dari jaman 'abad 20-an'. Segalanya ditentukan berwarna gelap yang sebagian besar di padukan dengan warna merah atau hitam. Mungkin untuk sesaat, terlihat suram dan menyeramkan. Tetapi...

Ia menyukai ini.

"Aku suka tempat ini!" Sena memberitahu Mamori saat wanita itu bertanya tentang opininya mengenai tempat ini. "Tempat ini...menarik, secara aneh. Tapi...menarik!"

Mamori mengangguk, tanda ia mengerti. "Aku tahu maksudmu. Tempat ini...bisa dibilang..nyaman.."

"Yeah. Tempat ini juga terasa...menenangkan." Sena diam untuk beberapa saat, menikmati keindahan kamar. "Jadi, bisakah aku menandai perjanjiannya, Mamori-san?"

"Tentu. itu ada di lantai bawah."

Mamori sudah memulai langkahnya untuk keluar dari kamar saat Sena berkata "Aku ingin melihat-lihat satu kali lagi. Bawa saja keatas dan aku akan menunggu itu boleh.."

Mamori diam sejenak, tangannya telah menggenggam daun pintu. terlihat seperti ia akan protest beberapa detik lagi.

Dia mengejutkan Sena saat ia hanya mengangguk. "Okey. Aku akan segera kembali," Ia berkata sambil melangkah keluar dan menuju kebawah. Sena mendengar setiap langkah Mamori di tangga hingga suaranya hilang. menandakan Ia telah sampai di lantai bawah.

Sena berjalan beberapa langkah mendekati jendela, jendela yang tadi terbuka saat ia pertama kali masuk ke kamar ini. Ia menarik tirai merah yang tebal dan lembut ke samping supaya ia bisa melihat ke luar jendela.

Pemandangan di luar jendela sungguh mengejutkan. ia melihat sebuah hutan lebat beberapa meter dari apartemennya. di dekatnya ada sungai jernih yang mengalir. Beberapa pohon kecil tumbuh di dekat sungai tersebut. Diikuti dengan bermacam-macam bunga indah yang mekar dengan subur disekitarnya. Tetapi, matanya terbelalak begitu mendapati banyak tulang belulang yang sudah termakan usia yang tergeletak di sekitar area sungai. Noda-noda gelap yang terlihat begitu coklat dan kusam menyebar di batang-batang pohon terdekat membuatnya langsung menutup tirai jendela itu untuk menutupinya dari pemandangan yang dipikirnya indah tadi.

'itu darah bukan sih?' ia berpikir, ketakutan. 'mengapa ada banyak rangka-rangka hewan?'

Ia menelan ludah dengan berat karena sanking terkejutnya. Dan sebuah hembusan angin menyapu poni rambutnya.

Sena berkedip beberapa saat. Lalu berfikir. 'Angin?' Ia melihat sekeliling ruangan, mencari jendela yang terbuka. Tetapi sebelum ia menemukan satu, langkah-langkah Mamori di tangga membuatnya menghapus pencariannya. Dan meyakinkan dirinya sendiri bahwa tadi hanya imaginasinya. Alias tadi tidak ada angin.

Mamori melangkah masuk, senyum tulus terpampang di bibirnya. "Ini dia. " Katanya, menyodorkan sebuah lembaran kertas berisi perjanjian dan peraturan, serta sebuah pena.

TBC


A/N 2 : review? :p krn masih baru, butuh masukan. Tapi jangan kasar2 yah! XD masih SMP. Hatinya masih halus - O_O (apanya.. -_-)

btw, informasi ni. Aku pendatang baru untuk dunia fanfiction sekaligus anime sekaligus boys love. (Ga juga sih. aku sempet nulis2 juga. Tapi fandom nya bukan dari Jepang. Melainkan amerika. Jadi maaf kalau cerita ini, jalan kehidupannya gak nge-Jepang. mengetahui habit jepang sama amerika jauh banget. XD Dan aku juga ga punya cukup experience sih dalam dunia per-jepang-an. Alias ntar aku Gak bakal pake bahasa jepang meski hanya se-inchi.

THANKS in advance. Hhahha! ;D