Disclaimer: 07-Ghost belong to Amemiya-sensei & Ichihara-sensei. Tiashe-chan belongs to me! (*plak*)

Warning:
OC, OOC, Spoiler, Typo, soo onn…!

.

Dengan mata hijau jadenya yang sendu dan indah….

Ia memandang kejauhan, di mana salju bertumpuk-tumpuk menyambutnya

Terbentang luas kerajaan miliknya, ya, miliknya

Angin membelai rambut kecokelatannya

Membuatnya sesak oleh nostalgia yang tak tertahankan

Hmm… tak terasa telah delapan tahun berlalu

Sejak ia kehilangan sahabat terbaiknya, cahaya hidupnya

Dan sejak ia bersama sahabat barunya, bersama-sama menjalani ujian uskup

Dan….

Sejak ia kehilangan Frau

.

Lagi-lagi ia kehilangan…

Sejak ia sel jantan ayahnya bertemu sel telur ibunya

Ia telah ditakdirkan untuk kehilangan banyak

Sejak ia menyaksikan banyak orang tercintanya terbunuh

Ia ditakdirkan untuk menjadi lebih kuat dari lainnya

Walaupun sakit, ia takkan berpaling lagi

Masa lalu tak dapat diubah

Masa depan hanya dapat diprediksikan

Yang ada sekarang hanyalah masa sekarang

Lalu sekarang apa?

Mengubah masa depan dengan tangan ini sendiri, tentunya

Kapitel 1. Chance Meeting
"You are everything for me,"

Normal POV

"Papa, papa!" suara kekanak-kanakkan memanggil dirinya, membuat lamunan Teito buyar. Ia menoleh ke sumber suara yang memanggilnya dan menyunggingkan seulas senyum yang lembut.

Dari dalam pandangan matanya, Teito dapat melihat sesosok anak kecil yang sangat mirip dengannya: Mata hijau jadenya yang besar, rambut cokelatnya, bentuk hidungnya, senyumnya, semuanya. "Ada apa, Schinkel?" nama Weldeschtein Schinkel Raggs diberikan Teito untuk putra tunggalnya, diambil dari nama ayah kandungnya dan Schinkel adalah plesetan dari kata Sichel* (yang lebih dikenal sebagai Zehel)

"Lihat! Schinkel menggambal salju tuk papa! Schinkel kasi satu tuk papa, dan satu tuk mama bial mama cepat sembuh!" ujar Schinkel dengan cadel sambil menyerahkan dua lembar kertas hasil kerja kerasnya.

Senyuman Teito semakin melebar. "Terima kasih banyak, Schinkel. Kamu sungguh berbakat!" komentar Teito sambil menepuk-tepuk kepala putra kesayangannya. "Nanti papa akan memberikan ini pada mama, biar mama cepat sembuh," lanjut Teito mengutip perkataan Schinkel.

Teito agaknya bersimpati pada putra tunggalnya. Seperti Teito dulu ketika masih kanak-kanak, ibunya juga sakit-sakitan, dan ia sangat mengerti itu bukanlah situasi yang menyenangkan. Namun ia belum pernah sekalipun melihat putranya mengasihani dirinya sendiri. Lagi-lagi sama dengan dirinya dulu, seperti melihat refleksi diri sendiri di cermin kaca.

"Telina kasih bayak papa! Oya, apa itu ber…bahat?" Tanya Schinkel dengan polos sambil menatap lekat-lekat ayahnya. Iris hijau jadenya bertemu milik ayahnya yang berwarna senada.

"Mmm… berbakat itu artinya seseorang diberi hadiah oleh Tuhan. Bukannya itu adalah hal yang bagus?"

"Kalau gitu, papa bilang Schinkel dibeli adiah oleh Tuhan?" Tanya Schinkel balik. Matanya berbinar-binar.

"Semua orang diberikan hadiah sejak mereka lahir oleh Tuhan. Bukan cuma orang, tapi binatang dan tumbuhan juga," jawab Teito dengan bijaksana. Berusaha memuaskan rasa haus akan pengetahuan putra tunggalnya itu.

"Hee… bunga juga? Kucing juga? Fulong (yang Schinkel maksud: Fyuulong) juga?"

"Tentu," sahut Teito dengan singkat. Ia bermaksud melanjutkan kalimatnya, namun Teito dapat melihat tubuh mungilnya itu gemetaran menahan dinginnya cuaca di luar. "Nah, nah. Ayo kembali masuk! Nanti kalau Schinkel sakit, mama dan papa cemas, lho!" ujar Teito memperingatkan.

"Tak mau…" rengek Schinkel. "Aku mau sama papa… Schinkel cuma mau papa…"

Melihat mimik dan nada suara putranya, hati Teito lumer seketika itu juga. Well, ketika kamu di situasinya dan menemukan seorang anak kecil seimut Teito dan memohon padamu dengan nada memelas, kira-kira apa yang akan kamu lakukan? Aku sih bakal menjawab: " Aah… cayang ini… Jangankan rumah, bulan pun akan kuberikan padamu! (*kiss & hug*)

Kembali ke cerita, Teito akhirnya menyerah. Diulurkannya tangan kanannya, "Prince Weldeschtein Schinkel Raggs, ayo kemari," Schinkel dengan patuh menyambut tangan ayahnya dan masuk ke dalam pelukannya.

"Angat," gumam Schinkel sambil menggenggam erat-erat telapak tangan ayahnya yang sangat besar dibanding miliknya yang mungil. Berdua ,mereka menikmati pemandangan khas Kerajaan Raggs yang hampir selalu bersalju tiap tahunnya dari ketinggian di Puri Raggs.
-ooooooooo000-

Wahrheit Tiashe Raggs (Teito Klein) POV

Dengan perlahan tapi pasti, aku menuruni tangga terjal yang terbuat dari batu marmer itu. Tadi aku telah menyerahkan pengawasan Schinkel ke Labrador dan Castor, jadi kurasa dia akan aman-aman saja. Kurogoh sekali kertas yang kuselipkan dibalik jubah resmi khusus untuk seorang raja kerajaanku, Kerajaan Raggs. Dalam gambar itu, aku dapat melihat butiran-butiran putih berjatuhan, manusia salju, dan pepohonan yang diselimuti salju. Walaupun gambar itu tak lebih dari gambar kasar buatan anak berumur empat tahun, namun di mataku, gambar itu sempurna.

Di ujung tangga itu, terdapat beberapa pintu yang berukiran lambang Kerajaan Raggs. Aku memilih kamar yang paling ujung di sebelah kiri. Untuk waktu yang lama, aku berdiri mematung di depan pintu itu. Keraguan menahanku untuk menjumpai 'dia'.

"Siapa itu?" sesosok suara lirih namun jelas yang berasal dari dalam kamar itu sampai ke telingaku. Aku hampir melompat mendengar suara itu, suara merdu yang sangat kurindukan. Aku mendorong gagang pintu itu dengan perlahan, dan di dalam sana aku menjumpai pemandangan yang sama setiap hari kulihat.

Sesosok tubuh wanita yang ringkih dan lemah. Namun, kemolekan masa lalunya jelas tersisa, aku tahu itu. Entah mengapa, walaupun setiap hari aku mendengar suaranya yang sendu dan merdu itu dan melihat senyumnya yang selalu sukses membuatku berdebar-debar, aku tak pernah berhenti merindukannya. Itulah dia, wanita yang kucintai dari hatiku yang terdalam, Carnellia Lunatique Raggs, satu tahun lebih tua dariku. Luna dan aku menikah melalui jalur formal sehingga ia sekarang menjadi pemaisuriku. Tentu saja aku tak berniat memilki selir-selir. Satu pun tidak.

"Ti.. ashe?"

"Ya, ini aku," sahutku dengan agak merona sembari mendekatinya. Well, mungkin menurutmu ini gila, walaupun sudah enam tahun aku menikahi wanita ini dan bahkan ia telah melahirkan anak kami, aku tak pernah berhenti berdebar-debar dan bersemu merah setiap kali aku mendengar suaranya, melihat senyumnya, atau bertemu mata dengan iris violetnya.

Setelah berhasil yakin bahwa itu adalah aku, Luna tersenyum seperti biasa. Bahkan sejak pertama kali kami bertemu, atau dalam malam-malam kami yang panjang, bersama Frau juga dalam perjalanan mencari kebenaran itu, ia tak pernah berhenti memamerkan senyumnya yang khas. Yang telah merebut hatiku ini.

"Kamu berkunjung lagi, Tiashe," ujar Luna dengan suaranya yang melemah namun tetap saja merdu di telingaku. Aku menganguk sambil duduk di sisi ranjangnya. "Gimana keadaan Schinkel?"

"Sangat baik, Luna," aku membalas senyumnya. "Oh, ya. Tadi Schinkel memberiku ini," lanjutku sembari menyodorkan padanya selembar kertas dan ia menerimanya. Dengan jelas dapat kulihat pupilnya membesar, dan airmatanya pun tumpah. Perasaanku mulai campur aduk. Aku merasa sebagai ayah yang buruk, melarang anaknya sendiri untuk terlalu sering bertemu dengan ibu kandungnya. Well, aku hanya takut bahwa sosok ibunya yang sakit dan kian memburuk membuat hatinya yang polos patah semangat. Dan kurasa itu bukanlah alasan yang baik.

"Luna… kamu ingin bertemu dengan Schinkel?" kataku hampir seperti bisikan namun cukup untuk dapat terdengar olehnya sambil menyapukan jariku ke pipinya untuk menghapus jejak airmatanya. Aku menarik nafas panjang dengan berat. Padahal aku sudah tahu jawabannya…

Luna menganguk dengan penuh semangat, setidaknya cukup bersemangat untuk seseorang yang tengah sakit keras, dan, well… dengan kemungkinan sembuh yang sangat rendah. "Aku mengerti," sahutku datar.

"Luna, apakah kamu sudah meminum obatmu?" Tanyaku berusaha mengalihkan pembicaraan sambil menggeser sedikit posisi dudukku menjadi lebih dekat pada wanita kesayanganku itu.

"Untuk malam ini, belum,"

"Jadi sekarang kamu harus meminumnya," aku mengambil beberapa botol dari dalam laci meja di samping ranjang. Dari masing-masing botol, aku mengambil sebutir tablet dan mengembalikan botol –botol itu kembali ke dalam laci meja. Dengan perlahan, kutuang air minum dari kendi ke dalam gelas.

"Nah, pejamkan matamu," perintahku pada Luna.

"Tidak, Tiashe. Aku wanita yang bebas, kamu tahu?"

Aku mengalah. Kumasukkan obat-obat itu ke dalam mulutku sendiri dan meminum setengah dari air yang berada dalam gelas itu. Kemudian aku membungkuk di atas ranjangnya, menempelkan bibirku pada bibirnya. Aku menciumnya dengan lembut sambil mendorong obat-obat barusan dan air masuk ke dalam mulutnya dengan lidahku, menunggunya menelan semuanya. Setelah itu, lidah kami saling beradu dengan lembut pula, menyebabkan Luna mendesah pelan. Hingga akhirnya aku berhenti dan menatap wajahnya dari dekat, dekat sekali. Kurasa kamu tak akan mampu membayangkan betapa malunya aku sekarang ini.

"Wajahmu bersemu merah lagi seperti biasa, Tiashe," goda Luna menyadari semu merah di pipiku. Aku hanya pura-pura merengut. "Kau tahu aku tak pernah mau menutup mata saat kamu menciumku karena aku ingin melihat mukamu merona. Tak peduli berapa banyak ciuman kita lakukan, wajahmu tetap saja selalu memerah,"

Aku pura-pura tidak mendengarnya menggodaku. "Nah, sekarang sudah waktunya tidur, Luna," aku membelai rambutnya yang keperakkan dan membungkuk lagi ke ranjang, mengecup keningnya dengan lembut. "Aku mencintaimu, Lunatique," bisikku di telinganya.

Wajah Luna yang semula agak pucat menjadi bersemu merah, yang tak mungkin lepas dari pengamatanku. Well, aku juga bersemu merah. Jadi impas, kan?

"Aku juga mencintaimu, Tiashe, eeh… Teito."

"Hee… kenapa tiba-tiba kamu memanggilku begitu?"

"Mmm… tidak. Cuma sudah lama sekali rasanya terakhir kalinya aku memanggilmu begitu,"

Aku tidak menjawab. Ingatanku kembali ke delapan tahun lalu, saat pertemuan pertama mereka di tengah badai salju…

"Selamat tidur," kataku untuk terakhir kalinya sebelum aku meninggalkan ruangan itu. Dan aku samar-samar melihat senyumnya melebar.

Saat aku berbalik, Luna telah tertidur dengan wajah damai. Sejak pertama kalinya kami bertemu, Luna adalah orang yang sangat mudah tertidur hingga sekarang ini. Kubatalkan niatku untuk keluar dari ruangan itu untuk sementara. Aku kembali ke sisi ranjangnya, memandangnya wajah tertidurnya sambil membelai-belai rambut keperakkannya yang lembut dan panjang. Bayang-bayang masa laluku kembali menghantuiku seperti biasa, sejak kematian Frau…

.

Flashback

Hidup Teito berubah seratus delapanpuluh derajat sejak ia bertemu dengan wanita itu. Well, begini permulaan ceritanya…

Itu adalah hari yang paling bersalju sejak Teito dan Frau memulai perjalanan mereka, dan kini mereka berada di distrik lima, di mana Raggs Castle sebagai salah satu GodHouses yang tengah mereka kunjungi satu persatu. Alasannya simple aja, Teito hendak pergi ke Land of Seele dan ia mengumpulkan Cursed Ticket & berkat dari masing-masing GodHouses untuk melanjutkan perjalanan.

Di dalam kabut tebal dan angin yang menusuk tulang di tepi distrik lima, Teito melihat sesosok tubuh yang terkapar tak sadarkan diri. Setelah Teito cukup dekat, ia menyadari itu adalah sesosok gadis muda yang terkapar, bukanlah hewan maupun benda lainnya seperti sangkaannya semula. Mulanya, Teito mengira gadis itu telah meninggal, namun detak jantungnya yang lemah berkata lain.

Segera Teito membawa gadis muda itu pulang ke penginapan tempat ia dan Frau menginap. "Frau! Tolong bukakan pintunya!" seru Teito dari balik pintu kamar penginapan mereka. Kedua tangannya sibuk memapah gadis yang pingsan itu sehingga tak punya cukup tangan untuk membuka pintu juga.

Dengan malas, Frau mengebrak pintunya terbuka. Saat itu sudah larut malam dan ia sedang membaca 'kitab suci' nya. "Bocah, kamu sudah tumbuh besar rupanya!" ujar Frau kemudian dengan mesum sambil mengacungkan jempol melihat juniornya membawa seorang gadis 'malam-malam' ke kamar mereka.

Teito melotot ke arah Frau, namun tak melakukan apa-apa. Ia masuk dan menutup pintu dengan menendangnya agak keras. Well, suhu ruangan yang hangat jauh berbeda dengan kondisi cuaca di luar membuat Teito merasa lebih nyaman sekarang. Teito meletakkan gadis digendongannya ke atas tempat tidur dan pergi mengambil beberapa kitab dari ranselnya yang semula terlupakan di sudut ruangan. Ia mulai membaca.

"Apa yang akan kamu lakukan pada gadis muda itu, Teito?" Tanya Frau dengan nada mencurigakan sambil melambai-lambaikan majalah pornonya.

Teito menoleh ke Frau, "Apa maksudmu?"

"Maksudku itu lhoo…"

Menyadari maksud mesum Frau, ditendangnya kepala Bishop itu dengan keras, sekeras mungkin agar otaknya yang miring itu kembali ke posisi normalnya. "Yah, aku menemukannya di kota tadi. Dia pingsan, jadi kubawa ke sini," tukas Teito dengan ringkas kemudian kembali ke bacaannya. "Jangan coba-coba menyentuhnya, biarkan saja dia siuman."

"Seperti pacar yang melindungi kekasihnya, deh," detik berikutnya, sebuah kitab dengan ketebalan lebih dari dua ribu halaman melayang ke arah mukanya. Untungnya, Frau berhasil menghindar sehingga buku itu menghantam dinding kamar, menimbulkan suara "krak!" yang iroinis.

"Nah, nah. Sekarang kamu mengganggu penghuni yang lainnya," ujar Frau dengan santai.

"Di, diam! Itu juga karena kamu kan! Coba kamu tidak menghindar, pasti kepalamu yang pecah, bukan temboknya!"

Percakapan konyol mereka terhenti ketika dilihatnya pendatang baru itu mulai siuman. Teito beringsut-ingsut mendekati gadis itu yang masih berbaring untuk melihatnya dengan lebih jelas.

Luna mulai siuman. Dikerjap-kerjapkannya matanya, ketika dilihatnya seorang anak lelaki menatapnya dengan mata hijau jadenya yang indah itu. Detik pertama ketika kesadaran merasuknya, ia melompat bangun dan menjauhi anak lelaki itu.

Teito mendapati dirinya tengah menatap mata violet gadis muda itu yang indah, namun dipenuhi kesedihan yang mendalam. Detik berikutnya, gadis itu melompat menjauhinya. "Si, si, siapa kalian?"

"Ah, kami? Aku Teito Klein, dan orang bertampang penjahat ini Frau, kami sama-sama adalah seorang uskup,"

Frau menjitaknya, "Bukan itu yang gadis ini maksud, bodoh!" bentaknya pada juniornya. Soal wanita? Dia emang udah ahlinya! "Kami tidak akan mengapa-apakan anda, kok, nona. Saya adalah sekutu bagi seluruh wanita di dunia.

Kali ini giliran Teito yang menjitak Frau, "Justru kamu membuatnya ketakutan, bodoh!"

"Aku tak mungkin membuat wanita ketakutan tahu!"

"Bakka. By the way, siapa nama anda, nona?" Tanya Teito berpaling ke gadis muda yang pemberani itu. Well, sepemberani apapun seorang wanita, ia pasti akan was-was menemukan dirinya terbangun di kamar yang penuh dengan laki-laki!

"Kalian… uskup?" Tanya gadis itu balik, tak menghiraukan pertanyaan Teito.

"Tentu! Ini buktinya! Sahut Teito sambil menunjukan Bishop Passnya pada kenalan barunya.

"Senang berkenalan denganmu, err… Bishop Teito dan Bishop Frau. Aku Lunatique. Tapi, pertama-tama, mengapa aku berada di sini?"

"Kami menemukanmu pingsan di kota di distrik lima, jadi kami membawamu kemari," jelas Frau dengan penuh percaya diri.

"Aku, bukan kita," koreksi Teito.

"Whatever!"

"Nah, jadi Luna. Sekarang sudah larut malam dan di luar badai salju, jadi kurasa sebaiknya kamu menginap di sini saja. Di sini ada dua ranjang, jadi aku bisa tidur di lantai untuk malam ini," tukas Teito sambil menatap lekat-lekat pada Luna. Saat Luna melihat ke dalam mata hijau jade milik Teito, ia merasakan sesuatu yang aneh.

"Kamu Tia.. she?"

Teito dan Frau sama-sama terkejut. Tak mempercayai pendengaran mereka. Bahkan Frau yang biasanya tukang ngomong itu pun jadi cengo, mendengar ucapan spontan gadis muda bernama Lunatique itu. "Ya, aku Wahrheit Tiashe Raggs. Siapa kamu?" sahut Teito setelah keluar dari keterkejutannya. Frau hanya diam saja, mendengar pembicaraan kedua remaja di depannya.

Nah, nah. Sekarang giliran si cewek itu yang mukanya jadi cengo. "Tiashe-chan? Kamu lupa aku? Aku Carnellia Lunatique Barsburg!"

"Rasanya nama yang kukenal…" gumam Teito tak jelas. Saat yang bersamaan pula, pecahan-pecahan ingatannya kembali. "Ah, kamu anak perempuan bergaun biru pastel yang dulu mengajak aku bermain ketika kalian mengadakan kunjungan ke Raggs itu?"

"Yep! Sepuluh poin untuk Tiashe-chan!" seru Luna sambil tersenyum lebar. Saat itu, Teito masih tak merasakan apa-apa mengenainya (Teito bukanlah orang yang mudah jatuh cinta, tapi kalau sudah jatuh cinta, cinta mati). "Nah, nah. Karena sekarang aku aman bersama Tiashe-chan, jadi aku bersedia menginap dengan kalian!"

Teito dan Frau terdiam (walaupun Frau dari awal emang terdiam sih). Tak disangka, sekarang Teito telah membawa serigala ke dalam kumpulan domba. Gadis itu adalah anggota keluaraga Kekaisaran Barsburg, orang terakhir yang ingin dilihat mereka berdua selama perjalanan mereka itu.

"Apa yang kamu lakukan di sini, Carnellia Lunatique Barsburg? Bukannya kamu anggota keluarga Kekaisaran Barsburg?" Tanya Teito dengan hati-hati, diliriknya Frau dengan padangan penuh arti.

"Aku kabur dari rumah 3" sahut gadis itu dengan enteng, seolah itu adalah hal yang normal terjadi dalam kehidupan sehari-hari. "Memangnya kenapa?"

Teito mengernyitkan keningnya, tak mungkin gadis ini tak tahu mengenai kejatuhan Kerajaan Raggs dan bahwa sekarang apapun yang berhubungan dengan Raggs Kingdom dimusnahkan. Tetapi mengapa ia bersikap biasa-biasa saja seolah tak pernah ada apa-apa yang terjadi? "Kamu tahu tentang kejatuhan Kerajaan Raggs, Luna?"

Lunatique menganguk.

"Nah, jadi sekarang aku adalah buronan," lanjut Teito terpotong di tengah kalimatnya, menunggu reaksi gadis itu.

"Lalu kenapa? Bukannya Tiashe tetaplah Tiashe?" Tanya gadis itu dengan polos sambil menatap Teito dari dekat, dekat sekali. Saat matanya yang hijau jade itu bertemu dengan mata violet gadis itu, Teito bersemu merah dan refleks ia beringsut menjauh sedikit.

"Lalu kenapa kamu kabur dari rumah?" lanjut Teito mengalihkan pembicaraan. Gadis pelarian ini kelihatannya agak kumal, dan sepertinya uang dan makanan yang dibawanya habis sehingga ia pingsan. Beruntung Teito menemukannya, atau kalau tidak besok ia akan menjadi mayat beku.

"Karena aku muak tinggal di sana. Akupun heran kenapa Ouka bisa bertahan di sana," sahut Luna dengan muram. "Jadi Tiashe sedang dalam pelarian ya? Kita sama dong! Aku ikut yaa…?"

"Kalau nona memaksa, ehm… saya izinkan deh," sahut Frau secepat kilat.

Teito segera menendang kepala Frau, "Kau Bishop mesum! Aku pun heran kenapa kau bisa menjadi bishop!"

Frau merangkul Teito. "Wooi, ini kesempatan kita. Bukankah memasukkan orang pihak 'sana' menjadi sekutu kita adalah hal yang bagus? Lagipula kan bagus kalau sekali-kali kamu pacaran," bisik Frau dekat telinganya.

Dhuak!

Frau terbanting ke dinding oleh Zaiphon Teito. "Well, kamu boleh ikut dalam perjalanan kami, Luna."

"Sungguh? Thanks Tiashe-chan!" Luna memeluk Teito hingga mereka berdua kehilangan keseimbangan dan jatuh ke atas ranjang dengan posisi 'vulgar'. Astaganaga, wajah Teito semakin memerah dan ia menjauhi gadis itu.

"Sekarang waktunya tidur, Frau, Luna," ujar Teito mengalihkan pembicaraan. "Kamu juga Frau, hentikan kebiasaanmu membaca majalah porno!"

"Ya, ya. Saya akan tidur, lagipula ngantuk nih," sahut Luna. Ia membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur yang semula milik Teito dan langsung terlelap.

Frau tidak mempedulikan teriakan Teito, tetap melanjutkan bacaannya. "Kalau kamu belum lihat yang beginian, kamu tak akan jadi dewasa tahu. Mau lihat? Kupinjam, deh…"

"Tidak."

"Kalau begitu kamu ingin berbagi ranjang denganku?"

"Tidak."

"Atau kamu ingin berbagi ranjang dengan nona itu?"

"Tidak."

"Kalau begitu…"

"Segera matikan lampu dan tidur, Frau," ujar Teito dengan gusar menghadapi kekonyolan seniornya. Frau tidak menjawab, ia hanya meletakkan majalahnya asal-asalan dan pergi mematikan lampu.

"Masa remaja itu indah, ya," gumam Frau sambil menguap.

"Apa maksudmu?" jawab Teito dengan suara malas. Dulu ketika ia menjadi budak tempur, ia sudah sering tidur di lantai, sehingga tak masalah baginya kalau harus tidur di lantai satu atau dua hari.

"Per-cin-ta-an."

"Aku tak peduli, bishop mesum,"

"Aku yakin, cepat atau lambat kamu akan jatuh hati padanya," sambung Frau sok tahu.

Teito tak menjawab, dia sangat yakin dia tak akan jatuh cinta pada gadis itu. Namun lagi-lagi dugaan Frau benar.

-0000000000000000000000000-

Normal POV

"Tiashe… Tiashe-chan!"

Teito mendengar seseorang menyebutkan namanya berulang kali. Dengan ngantuk, ia mengerjap-kerjapkan matanya. "Lu… na?"

"Ini aku, bakka. Dan kenapa kamu tertidur di sini?"

Teito akhirnya sepenuhnya terbangun dan menyadari dirinya tertidur di samping ranjang Luna. Lebih dari itu, ia tertidur menggenakan jubah kebesarannya yang tebal dan panas. "Astaga! Hari ini ada kunjungan informal ke Kekaisaran Barsburg!" Teito melompat dari kursinya.

"Sekarang baru pukul empat subuh, Tiashe. Jadi kurasa kamu tak perlu terburu-buru," sahut Luna menenangkan suaminya itu. "Apa maksudmu dengan kunjungan informal ke Kekaisaran Barsburg?"

"Oh, ya. Itu… Kerajaan kita sedang dalam masa pemulihan hubungan dengan Kekaisaran Barsburg," sahut Teito ragu-ragu sambil kembali ke posisi duduknya tadi. Walaupun rasanya tulangnya agak aneh setelah tertidur dengan posisi tidak nyaman itu. "Kamu mau ikut?" tawar Teito pada Luna. Bagaimanapun juga, Luna adalah anggota keluarga Kekaisaran Barsburg, dan sudah tujuh tahun lebih ia tak kembali ke sana. Terakhir ia kembali hanya untuk mengonfirmasikan pernikahannya dengan Teito.

"Boleh?" Tanya Luna balik dengan ragu-ragu.

"Boleh," jawab Teito membungkuk ke ranjang sambil mencium bibir pujaan hatinya. Ia menjilat bibir Luna, meminta masuk. Luna membiarkan cowok kesayangannya itu menjelajahi mulutnya dengan lidahnya dan hangat dan basah dan ia melingkarkan lengannya ke punggung Teito. Ciuman kali ini begitu panas dan penuh perasaan. Lama kemudian, mereka berhenti sebentar untuk menarik nafas dan kembali melanjutkan ciuman mereka.
(Well, sepertinya Teito sangat menyukai French Kiss, ya.)

"Kau yakin?" bisik Teito sambil agak terengah-engah sehabis menyelesaikan ciumannya.

"Yakin apa?" sahut Luna dengan keheranan."Lihat, wajahmu memerah lagi,"

"Wajahmu juga memerah, tahu. Maksudku kamu yakin, hendak turut ikut ke Kekaisaran Barsburg?"

"Tentu, mengapa tidak? Aku sudah lama tidak kembali ke rumah dan bertemu dengan satu-satunya saudara tiriku, Ouka," sahut Luna dengan yakin tanpa menghiraukan komentar Teito mengenai semu merah di pipinya.

"Bagus. Sekarang aku akan menyuruh Lilac mengurus keberangkatanmu ke Barsburg. Oya, terus kita akan berada di sana selama dua minggu,"

"Makasih banyak, Tiashe-chan!"

"Jangan panggil aku 'Tiashe-chan'!" kata Teito sambil memalingkan muka. Melihat Luna tersenyum tadi membuatnya wajahnya semakin panas dan memerah.

"Kalau begitu Teito-chan," sambung Luna menggoda pria kesayangannya yang pemalu.

"Nah, sekarang aku bersiap-siap untuk berangkat dulu, dagh!" ujar Teito dengan agak terburu-buru. Dikecupnya bibir Luna dengan singkat dan ia keluar dari ruangan.

"Dagh…" bisik Luna. Huh… Ia kembali kesepian dalam kamarnya yang walaupun nyaman tetapi sepi. Entah bagaimana, walau Luna hampir setiap hari bertemu dengan Teito, namun ia selalu merindukan cowok itu setiap kali ia tak ada di sisinya. Ia begitu merindukan mata hijau jadenya yang besar, rambut kecokelatannya yang indah, senyumnya, bibirnya yang hangat dan lembut, semuanya.

-000000000000000000000000000-

"Castor, selama aku pergi ke Kekaisaran Barsburg, tolong aku mengurusi pemerintahan, ya," ujar Teito sambil menyiapkan semua barang yang dibutuhkan untuk keberangkatannya hari ini. Semalam ini lupa sama sekali untuk menyiapkannya (karena terlalu sibuk dengan urusan percintaannya). Sementara ia bersiap-siap, Mikage yang kini telah sebesar seekor anjing dewasa ukuran besar itu bergelung di kakinya, tertidur.

"Ya, kalau anda mengizinkanku membuat boneka-boneka lagi, Yang Mulia Raggs," sejak Castor menduduki posisi penting di pemerintahan, ia dilarang Teito untuk mebuat boneka lagi. Dan itu sangat mengganggu baginya.

"Silahkan," sahut Teito mengalah. Memang sih, bukannya ia suka melarang, tetapi jadwal mereka hampir selalu penuh tiap harinya, sehingga tak ada waktu senggang untuk bersantai-santai.

"Terima kasih banyak, Yang Mulia,"

"Anda ingin bunga, Yang Mulia?" Tanya Labrador menawarkan minuman khasnya. Teito menganguk pelan.

"Ini, minumlah," Teito menerima gelas yang disodorkannya, menyaksikan bagaimana sebiji bibit bunga dalam air dapat bertumbuh menjadi bunga secepat itu.

"Terima kasih, Labrador. Tapi bisa nggak kalian jangan terlalu kaku memanggil namaku di saat yang pribadi?" protes Teito sambil mencicip sedikit isi dari gelas itu.

"Kalau begitu, Tiashe-sama," sahut Castor.

"Begitu lebih baik," tanggap Teito. Ia telah menyelesaikan persiapannya sehingga sekarang ia hanya perlu mengecek agendanya bulan ini dan membuat laporan kilat bersama dengan Castor sebelum berangkat pukul sepuluh pagi ini.

Seusai menyelesaikan laporan kilatnya itu, Teito membangunkan Mikage dan mengajaknya jalan-jalan, masih belum mandi maupun ganti baju. "Mikage," sapa Teito.

"Ada apa, Teito
?" jawaban menggema dalam kepala Teito. Fyuulong itu telah belajar berbicara dan terbang. Walaupun begitu, ia telah menjadi semacam bodyguard pribadi Teito. Ke mana Teito pergi, di sanalah ia berada. Bahkan pada saat rapat petinggi kerajaan sekalipun, ia menjaga pintu masuk dan menunggu selesainya rapat.

"Nanti kita akan pergi menemui Ouka dan Kururu," tukas Teito sambil mengelus-elus kepala sahabat terbaiknya itu. "Jadi sebelumnya kita jalan-jalan dulu, yuk!"

"Tiashe-sama, anda belum mandi sedari tadi pagi," tanggap Labrador dengan cemas melihat 'kenakalan' raja muda itu.

"Tak usah cemas, Labrador. Kami tak akan lama, kok," sahut Teito sambil tersenyum simpul. "Yuk, Mikage!"

"Oya, Castor, Lab. Nanti ingat bangunkan Schinkel jam delapan nanti. Ia juga harus bersiap-siap!" perintah Teito sebelum ia keluar dari ruangan itu.

"Sesuai keinginan anda, Tiashe-sama," sahut Castor dan Labrador serempak.

Mikage dengan patuh mengikuti Teito. Sesampainya di ambang pintu ruangan, ia berbalik ke arah Castor dan Labrador, dan mendengus seolah berkata: "Tentu saja aku lebih penting daripada tetek bengek begitu!"
.

.

.

.
To be continued…

Nah, nah. Cerita ini membuatku tak tidak semalaman. Lagipula aku harus membuat chapter kedua untuk ceritaku yang lainnya juga. Sampai jumpa di ceritaku yang selanjutnya!

Review or not review. That is the question.

Well, I think I'm overdoing with my newest ideas in my mind!

See ya!