-oO-TamaSa-Oo-

Disclaimer: Marvel

Rated: T

Pairing: STony (Steve x Tony) and others

Warning: Boyslove, AU, (really) OOC,Maybe typo(s)

Don't like, don't read!

-oO-TamaSa-Oo-

Steve membetulkan posisi dasinya sekali lagi, meskipun sebenarnya ia tahu tidak ada yang salah dengan dasinya. Ia menatap gedung tinggi di depannya sekali lagi, masih setengah ragu antara tetap masuk ke dalam atau tidak. Ia sudah mendengar dari orang-orang di sekitarnya bagaimana sulitnya melamar pekerjaan di perusahaan ini, apalagi kalau belum memiliki pengalaman kerja apapun sebelumnya. Yaaahh… sebelum ini dia memang pernah bekerja sambilan di minimarket Mr. George, tapi bisakah itu disebut pengalaman kerja? Kalau bukan Mr. George yang memaksanya mencoba melamar di sini , mungkin dia tidak akan ada di sini. Astaga. Kemana perginya semangat yang menggebu-gebu kemarin, kenapa sekarang kepercayaan dirinya hilang tak berbekas begini?

Mungkin karena penasaran dengan tingkah Steve yang dari tadi hanya mondar-mandir di dekat pintu masuk gedung, seorang pria tinggi besar berseragam security mendatanginya. Kedua tangannya berkacak pinggang, keningnya berkerut, hanya dengan sekali lihat semua orang akan tahu, pria itu tidak suka dengan tingkah Steve.

"Can I help you?" Steve termenung sesaat, menatap pria itu dengan sedikit merasa bersalah.

"I'm sorry. Saya hanya ingin melamar pekerjaan di sini."

"Tapi saya lihat dari tadi anda hanya mondar-mandir di depan pintu masuk. Tidakkah anda menyadari apa yang anda lakukan sudah mengganggu orang-orang yang ada di balik pintu sana?" Steve menoleh ke arah pintu. Dia bisa melihat dua resepsionis menatapnya dari dalam dengan tatapan penasaran.

"Maaf…," gumamnya tanpa sadar.

"Ya, akan saya antarkan anda ke dalam. Mungkin itu lebih baik." Steve sedikit malu ketika mendengar kalimat pria itu barusan. Tapi mau bagaimana lagi, dia tidak tahu apapun soal tempat ini. Dan salahkan sifat pemalunya yang tidak ketulungan.

Pria itu berjalan menuju resepsionis, dan Steve mengikuti di belakangnya. Beberapa saat dia mengobrol dengan salah satu wanita di sana, kemudian dia mengajak Steve menuju lift.

"Anda hanya perlu naik menuju lantai 5, menemui bagian personalia. Kebetulan di sana sudah ada beberapa orang yang sedang melamar pekerjaan juga." Steve memperhatikan dengan serius semua perkataannya. Tepat ketika pintu lift terbuka, dia menepuk bahu Steve dan bergumam "good luck" padanya. Steve tersenyum sopan, mengucapkan terima kasih dan bergegas melakukan sesuai perkataan sang security.

Steve menghela nafas lega ketika keluar dari gedung. Tes wawancaranya berjalan lancar tadi, bahkan cukup bagus. Steve sangat optimis dia akan lolos dan diterima bekerja di tempat ini. Ah, dia akan menemui pria baik yang sudah membantunya tadi. Steve terus melamun membayangkan tingkah anehnya tadi sebelum masuk ke gedung ini hingga tidak menyadari kalau seorang pria sudah berdiri di hadapannya. Pria itu sedang sibuk dengan smartphonenya hingga sama-sama tidak menyadari ada orang di depannya. Saat Steve sadar, dia tidak sempat menghindar. Mereka bertabrakan, cukup keras karena hidung Steve sampai ngilu. Handphone pria itu terjatuh cukup keras, dan Steve yakin tidak mungkin handphone itu masih utuh. Pria itu mengeluh kesakitan, mengelus-elus keningnya.

"Sorry, mister..," Steve menunduk minta maaf, membantu mengambilkan HPnya yang terjatuh.

"Shit! Kau buta? Jalan ini kurang luas hingga kau sampai menabrakku?" Pria itu menggerutu kasar. Merebut handphonenya yang ada di tangan Steve dengan cara yang tak kalah kasar. Kemudian mengelus-elus keningnya yang sedikit memerah. Sebenarnya hidung Steve juga agak nyeri, tapi ia tahan. Pria itu masih terus menggerutu dan mengumpat, dan akhirnya berlalu pergi meninggalkan Steve tanpa mengucapkan maaf atau apapun. Steve menggeleng-gelengkan kepalanya, sudah biasa dengan kelakuan orang-orang kaya yang seperti itu. Setengahnya dia berharap semoga jika nanti dia diterima kerja di perusahaan ini, dia tidak ditempatkan di ruangan yang sama dengan pria tadi.

Tanpa Steve sadari, belakangan dia akan sangat menyesal pernah berurusan dengan pria yang ditabraknya tadi.


Semua pegawai tahu, betapa menyebalkannya pemilik Stark Enterprises. Anthony Edward Stark. Angkuh, sombong, mulut pedasnya itu benar-benar kolaborasi yang pas untuk bos sepertinya. Hal itu pula yang membuat semua tidak berani membuat masalah dengannya. Menyapa saja mereka enggan, kecuali jika memang keadaan memaksa. Mengingat mood sang Bos Besar yang lebih sering buruk ketimbang baiknya, tak ada yang terkejut ketika melihat Anthony yang baru datang di kantor justru malah marah-marah, termasuk Pepper Potts, CEO Stark Enterprises.

Tony terus menggerutu, hingga akhirnya ia duduk di sofa panjang di ruangan Pepper. Pepper menghentikan membaca laporannya di meja kerjanya, kemudian duduk di samping Tony. Sedikit penasaran apa lagi yang baru dialami si playboy ini.

"What's wrong?" Pepper menyodorkan sebuah minuman kaleng pada Tony, yang diterima dengan cepat.

"Handphoneku rusak."

"Bagaimana bisa?"

"Seorang pria menabrakku."

"Atau sebaliknya…"

"Aku sedang menerima telepon penting!"

"Ya, jika yang kau maksud telepon penting adalah ajakan kencan dari gadis-gadis cantik di luar sana." Pepper memutar matanya. Tony dan playboy-nya, apa lagi?

"Kencan-kencan itu… aku hanya sedang berusaha mencari menantu yang pas untuk ibuku. Memangnya salahku kalau ternyata tidak ada yang cocok dengan ibuku?" seringai Tony, membela dirinya sendiri.

"Tidak akan ada yang cocok dengannya. Dia bahkan sudah mati jauh sebelum gadis-gadis itu lulus sekolah!"

"Kau mengatakan itu seolah aku playboy pedofil! Kejam sekali kau ini..."

"Aku belajar bermulut kejam darimu," Pepper beranjak dari duduknya, kembali ke meja kerjanya. Lebih baik melanjutkan pekerjaannya, daripada meladeni Tony. Pria itu terkadang membesar-besarkan masalah kecil. Handphone rusak seharusnya tidak jadi masalah kan, kalau kau bahkan sanggup membeli pabriknya? Atau jangan-jangan ada sesuatu dengan pria yang menabraknya tadi…

"Kau mungkin ingin aku mencari tahu tentang pria itu?" Pepper menawarkan sebelum dia diperintah Tony. Tony tertawa kecil, sedikit geli karena Pepper sangat mengenalnya sampai tahu apa yang ada di pikirannya.

"Biar Jarvis yang melakukannya."

"Kau sepenasaran itu padanya?"

"Aku tidak pernah melihatnya sebelum ini, apakah dia pegawai baru?"

"Entahlah, aku tidak begitu peduli pada hal-hal kecil seperti itu. Yang aku tahu semua harus berjalan dengan baik. Lagipula secara spesifik itu bukan tanggung jawabku."

"Allright. Aku akan suruh Jarvis mengatasinya."


Sudah ketiga kalinya Steve menolak tawaran rekan-rekan kerjanya untuk makan siang di restoran terdekat. Dia lapar, tapi dia sudah membawa bekal dari rumah tadi. Terlihat seperti anak playgroup memang. Steve tidak tahu bagaimana situasi kantornya sekarang ini, tidak tahu bagaimana respon rekan-rekan kerja padanya, akan sangat canggung sekali jika dia ikut mereka. Masih ada banyak waktu untuk mendekatkan diri dengan mereka. Steve tidak sadar, para wanita di sekitarnya sudah gemas ingin menyentuhnya lantaran melihat wajah tampan dan badan kekarnya. Beberapa bahkan sudah membanding-bandingkannya dengan Mr. Anthony.

Ini hari pertama Steve bekerja. Ya, dia diterima bekerja di Stark Enterprises. Suatu keajaiban bukan? Dia dihubungi oleh pihak perusahaan 3 hari setelah melamar pekerjaan, dan seminggu kemudian ia sudah bekerja di tempat ini. Rasanya bangga sekali bisa memakai kemeja formal dan dasi panjang seperti ini, bukannya seragam minimarket seperti yang ia pakai sebelumnya. Dia benar-benar berterima-kasih pada Mr. George karena sudah membantunya selama ini. Meskipun posisinya hanya sebagai staf magang biasa, tapi ia bersyukur sekali. Yang penting ia akan bekerja keras di sini.

Niatnya sih begitu… awalnya. Sampai ada kejadian begini esoknya…

Steve terburu-buru menuju lift untuk menuju lantai bawah. Teman-temannya sudah menunggu di café depan gedung kantornya untuk makan siang. Dia masih mengerjakan tugasnya yang hampir selesai tadi, jadi memutuskan untuk menyelesaikan tugasnya dulu, baru kemudian menyusul temannya. Steve terkejut bukan main ketika pintu lift terbuka. Seorang pria sudah ada di dalamnya. Bukan gendernya yang Steve permasalahkan, tapi Steve ingat betul wajah pria itu. Pria yang pernah menabraknya tempo lalu, dan kemudian malah marah-marah tidak jelas. Pria itu meliriknya tajam, tapi Steve yakin dia pasti masih ingat betul siapa Steve. Dengan ragu Steve masuk ke dalam, memencet tombol menuju lantai dasar. Sambil menunggu dia memperhatikan hal lain apapun, yang pasti bukan pria itu.

"Kau pegawai baru?" Steve tersentak mendengar pria itu menyapanya duluan. Dia hanya mengangguk.

"Selamat datang, kalau begitu."

"Thank you. Steve," Steve mengulurkan tangannya mengajak berkenalan, "Steven Rogers". Pria itu menatap Steve dengan aneh, tapi tetap membalas menjabat tangannya.

"Anthony."

Setelah itu selama beberapa saat tidak ada percakapan apapun di antara mereka, sampai Anthony mengucapkan sesuatu yang membuat Steve terpancing.

"Smartphoneku rusak Rogers."

"Ya?"

"Karena kejadian waktu itu."

"….."

"Kurasa kau harus mengorbankan gaji pertamamu bulan ini untuk mengganti handphoneku."

"Apa maksudmu?"

"Haruskah aku mengulangi kata-kataku tadi?"

"Kau yang menabrakku, bung. Gadgetmu rusak itu karena kesalahanmu sendiri, bukan kesalahanku," nada bicara Steve mulai naik saat mengucapkannya. Anthony kini menghadapnya, menatapnya dengan gaya belagu.

"Aku tidak pernah salah, Kids! Kau yang salah!"

"Terserah kau! Tapi aku tidak akan menanggung kesalahanmu!"

"Kau tidak tahu kau sedang berurusan dengan siapa," gumam Anthony membuang muka. Masih dengan gaya belagunya.

"Bahkan meskipun aku tahu siapa kau, itu tidak akan berpengaruh apapun padaku. Kau bersalah," gumam Steve. Tiba-tiba Anthony menarik kerah Steve dengan kasar, dan mendorongnya ke dinding lift. Ketika tangan kanan Anthony terayun hendak meninju Steve, Steve menahannya. Dan dengan cepat ia membalikkan keadaan. Balas mendorong Anthony, menahan tangan Anthony dengan kedua tangannya. Ia hendak menendang perut Anthony menggunakan lututnya sebelum-

TING!

Pintu lift terbuka. Di mana sudah ada banyak orang yang menunggu di depan pintu lift. Terkejut memperhatikan mereka, yang jika dilihat dari sudut pandang mereka terlihat seperti… dua pria yang baru bercumbu di lift. 'Damn!' umpat Steve dalam hati.


Pepper mendatangi Tony yang sedang bersantai di depan televisi dengan wajah tegang. Membuat Tony yang tadinya tidak ingin menanggapi Pepper seperti biasa, jadi membatalkan niatnya. Begitu Pepper berdiri di depannya, ia berkacak pinggang.

"Katakan kalau yang kudengar tadi salah!"

"What?"

"Katakan kalau gossip yang kudengar di antara para pegawai itu salah!"

"Memangnya gossip apa?"

"Apa kau sudah kehilangan stok wanita-wanita seksi untuk kau kencani sampai akhirnya kau putus asa dan memutuskan mengencani pria?"

"Ap- Hell! Bagaimana kau bisa berpikiran seperti itu Potts?!"

"Masalahnya itu yang kudengar dari desas-desus!"

"Aku baru tahu kalau kau suka menggosip sekarang," Tony memutuskan tidak menanggapi Pepper dan melanjutkan menonton rekaman serial TVnya. Pepper berdecak, dan akhirnya duduk di sebelah Tony. Menyadari tindakannya yang bodoh, karena belum apa-apa sudah bertanya yang tidak-tidak pada Tony. Beberapa saat mereka terdiam. Tony masih fokus dengan TVnya, sedangkan Pepper memperhatikan Tony dengan seksama, mencari-cari tanda apakah Tony ada bakat gay atau tidak. Tentu saja hal itu membuat Tony jadi tidak nyaman.

"Kau jatuh cinta padaku lagi he?" gumam Tony, mengejutkan Pepper yang sedang melamun.

"Dalam mimpimu." Tony tertawa kecil, masih belum terbiasa dengan mulut kejam Pepper yang sekarang. Dia dulu adalah gadis yang lembut, tidak seperti Romanoff yang sekali tidak suka dengan tingkahnya akan langsung menonjoknya. Sangat aneh sekali mendengar kalimat sarkastis keluar dari mulutnya.

"Memangnya bagaimana gossip yang beredar?" tanya Tony akhirnya, merasa penasaran dengan gossip yang beredar tentangnya kali ini.

"Kau bercumbu dengan salah satu pegawai pria di lift."

"WHAT?!"

"Kau bercumbu. Dengan salah satu pegawai. Pria. Di lift."

"Aku tidak meminta kau untuk mengulangi kata-katamu Pepper. God… gossip macam apa itu? Itu namanya menghancurkan harga diriku! Aku harus tahu siapa yang menyebarkan gossip murahan itu. Akan kupecat dia!

"Aku tak tahu. Aku masih terkejut mendengar itu semua. Tapi… kau tidak ingat dengan siapa saja kau berada di lift berdua? Maksudku-"

"Aku tahu maksudmu. Hari ini aku tidak begitu sering masuk lift, dan sekalipun aku masuk lift selalu ramai-ramai. Kecuali… oh, shit! Aku ingat! Pegawai baru itu!" Tony langsung bangkit berdiri. Dengan tergesa mengambil handphone barunya yang ada di meja, kemudian pergi tanpa berpamitan pada Potts dan tanpa mematikan TVnya yang masih memutar serial Friends kesayangannya. Dari tadi ia lupa karena sibuk dengan pekerjaannya, tapi terimakasih pada Pepper yang sudah mengingatkannya. Ia akan mencari seluruh data pribadi pegawai baru itu, meskipun itu akhirnya ia harus membongkar data bank perusahaan. Bukan hal yang sulit untuk jenius macam Tony. 'Awas kau, bocah' geram Tony. 'aku akan memberimu pelajaran!'


Steve merinding. Ia memperbaiki letak selimutnya, kemudian pelan-pelan berbaring di kasur kecilnya. Ia tahu, esok ketika ia berangkat bekerja masalah besar akan menantinya, mengingat apa yang sudah terjadi tadi siang antara dia dan Anthony. Ya, Anthony Stark. Steve merutuki kebodohannya. Kenapa ia bisa begitu tolol mencari masalah dengan pria itu. Hell, bahkan dia adalah pemilik perusahaan. Salahkan saja pria itu, yang dengan keras kepalanya tetap tidak ingin disalahkan. Lagipula dia kan pemilik perusahaan besar, orang kaya yang bahkan bisa mengisi bak mandinya dengan ribuan smartphone mahal, kenapa hanya karena handphone rusak saja dia meminta ganti pada Steve yang bahkan masih berstatus pegawai magang? Uang dari mana coba?

Steve awalnya terkejut ketika semua orang memandang dirinya dan Anthony begitu keluar dari lift. Antony pun tak mengucapkan kata-kata apa lagi, hanya berlalu pergi sambil memperbaiki jasnya yang sedikit berantakan. Setelah itu pun semua berjalan tenang, sampai seusai makan siang. Semua kembali ke kantor, termasuk Steve. Kembali berkutat dengan dokumen dan laporan. Sampai akhirnya ribut-ribut di dekat pintu ruangan Steve yang membahas bagaimana Steve dan Mr. Stark bisa terlihat para pegawai lain seolah habis bermesraan di lift. Steve tidak peduli apa gossipnya. Ia hanya peduli siapa Anthony sebenarnya, Astaga… Stark? Pemilik perusahaan? Bagaimana dia bisa lupa dengan wajahnya, sementara wajah pria itu selalu terpampang di layar televisi dan halaman depan surat kabar?

Steve menceritakan semua yang terjadi, sebenarnya, pada Johny, rekan kerja yang duduk di sebelahnya, Johny juga terkejut, tak percaya Steve akan bertindak segegabah itu. Johny hanya memberikan saran singkat nan konyol padanya.

"Hanya satu cara agar kau tidak dipecat, bung. Buat dia mengagumi dan jatuh cinta padamu, pasti dia takkan jadi marah dan memecatmu."

Steve hanya melongo. What?

To be continued…

-oO-TamaSa-Oo-

Ini fanfict pertama saya, maksudnya yang serius ingin saya kerjakan sampai selesai. Komentar dan saran anda akan sangat saya butuhkan. So, review plis