Terhitung enam puluh tahun sudah keluarga Kim dipercaya oleh pemerintah dalam menjaga keamanan pejabat tinggi negara. Tak ada satu pun dari keluarga Kim yang tak tergabung dalam satuan keamanan negara sejak kakek buyut mereka bergabung enam puluh tahun yang lalu. Mereka akan selalu melakukan upaya terbaik mereka untuk menjaga keamanan para aparat pemerintah negara. Mereka dikenal sebagai perisai kehidupan Tuhan.
Karena itulah Seokjin tidak ingin mengacau. Meski dia adalah yang termuda dalam keluarga ini, Seokjin bukan si bungsu yang hanya bisa menyusahkan keluarga. Kakeknya dan ayahnya mengajarkan banyak hal padanya dan profesionalitas termasuk dalam ajaran kakeknya.
Dan karena itu Seokjin tidak akan mundur atau menjadi lemah hanya karena buronan yang harus dia tangkap akibat membahayakan presiden adalah suaminya sendiri. Bahkan dia begitu gencar melacak keberadaan suaminya meski pekerjaan itu seharusnya dilakukan oleh sepupunya.
"Kurasa cukup. Paman dan bibi akan memarahiku jika kau sampai tidak tidur lagi."
"Pekerjaan kita memang tidak mengizinkan kita untuk tidur seperti orang normal, Tae." Seokjin membalas dengan mata yang terfokus pada layar monitor di hadapannya.
"Ya Tuhan, kau itu bukan bagian intelejen Seokjin. Kau bagian keamanan yang seharusnya hanya bekerja mandampingi presiden di siang hari karena malam bukanlah shift-mu."
Seokjin bisa merasakan bahwa sepupunya akan gila sebentar lagi karena dirinya. Tapi Seokjin tidak peduli, biar saja sepupunya jadi gila.
Seokjin menutup mulutnya ketika dia menguap, "Bisa buatkan aku kopi?" tanyanya kemudian.
"KAU BUTUH TIDUR KIM SEOKJIN!" Taehyung menjambak rambutnya frustasi tanpa mempedulikan tatapan aneh rekan-rekan kerjanya. "Kau sudah tiga hari tidak tidur!"
Seokjin menoleh, "Ya, aku tahu," bibirnya menyunggingkan senyum, "Dan aku tidak peduli." lelaki bersurai hitam berucap seraya memutar bola matanya malas. Dia kembali fokus pada layar monitor.
Taehyung mengelas nafasnya kasar, "Astaga... kepalamu itu benar-benar terbuat dari batu."
"Lalu kau? Permen kapas, begitu? Makanya tingkahmu aneh?" Seokjin membalas.
"YYA! Jika saja kau bukan-"
"SSSTT! Aku dapat sesuatu!"
Dan baik Seokjin maupun Taehyung memajukan tubuh mereka untuk melihat apa yang diberikan oleh monitor.
"Mereka itu tidak berpengalaman ya? Bodoh sekali mereka karena menggunakan ponsel." Taehyung menggelengkan kepalanya, seolah prihatin pada nasib adik iparnya.
"Tidak peduli. Ayo bersiap."
Tangan Taehyung refleks menahan Seokjin yang hendak bangun dari kursinya. "Wow, wow, wow... Tunggu adik kecil. Kau mau mengejar mereka? Itu tugas pusat." Taehyung berbisik begitu pelan.
Seokjin menepis tangan Taehyung, "Ada yang salah, Tae. Mereka tidak mungkin sebodoh itu dan kau tahu Namjoon, dia itu mantan ketua tim ini." lelaki itu bangun dan berjalan keluar dari ruang tim intelejen. Satu hal yang Taehyung tahu, orang tua Seokjin- tidak, seluruh keluarga akan memarahinya jika mereka tahu.
"KAU IKUT TIDAK?!"
"KAU TAHU!"
.
.
.
Suasana perempatan yang diawasi dua saudara itu begitu sepi. Hal yang wajar mengingat alam mimpi yang pasti masih memeluk setiap orang pada pukul dua dini hari.
Taehyung melirik adik sepupunya yang tampak begitu serius walau sedang memakan donat. "Kuharap insomnia ditambah kalori dari donat tidak memperlemah kemampuanmu, jika saja sesuatu terjadi."
Seokjin melirik sepupunya tajam dan dengan hati yang dongkol menjejalkan donat itu ke mulutnya.
"Jika mau bilang saja!"
"Aku tidak bilang begitu! Aish, wajahku jadi kotor..."
Seokjin memalingkan wajahnya, mencoba terlihat tidak peduli pada penampilan Taehyung walau kenyataannya dia sangat ingin menertawai sepupunya itu.
"Seokjin, apa... kau tidak marah pada Namjoon?"
Seokjin terdiam...
Apa Seokjin tidak marah setelah suaminya sendiri mengkhianati negara yang sangat dia cintai?
Apa Seokjin tidak marah setelah suaminya sendiri sedikit menghajarnya ketika melakukan upaya melarikan diri?
Apa Seokjin tidak marah setelah suaminya lebih memilih untuk membantu pengkhianat?
Seokjin marah tentu saja, dia hanya tidak tahu harus menunjukannya dengan cara apa.
"Menurutmu saja." Seokjin menjawab singkat.
"Jika bertemu dengannya, apa yang kau lakukan?"
Seokjin menoleh pada Taehyung dan memberikan tatapan sinis, "Sepertinya itu bukan urusanmu, kakak sepupu."
Taehyung mengangkat bahunya asal, "Siapa tahu aku bisa membantu. Kau bukan satu-satunya yang sudah menikah jika lupa."
"Kau tidak- ITU MEREKA!"
Keduanya segera menunduk. Mata mereka sama-sama tertuju pada dua lelaki yang tengah berjalan beriringan dengan menenteng beberapa kantung belanja. Amarah Seokjin seketika menjalar hingga ke ubun-ubun, namun ditahan olehnya. Seokjin harus profesional, tidak boleh ada perasaan dalam kasus ini.
Taehyung menatap Seokjin, "Kurasa mereka berjalan ke persembunyian mereka. Kita ikuti, lalu setelah kita yakin, kirim koordinatnya pada pusat dan biar pusat yang bertindak." setelah itu membuka pintu perlahan. Seokjin mengikuti langkah kakak sepupunya itu, mereka melangkah perlahan mengikuti dua lelaki yang berjalan dengan santai di tengah malam.
"Tae, kurasa memang ada yang salah."
"Kurasa jug— hmmpph—"
Seokjin refleks menoleh ke belakang dan segera menyerang orang dengan pakaian serba hitam yang menyerang saudaranya.
"LEPASKAN SEPUPUKU BODOH! DAN J— hmpph—"
Sialan..
"Maaf sayang."
Seokjin harap Tuhan mengutuk Kim Namjoon.
.
.
.
Sialan Kim Namjoon, Seokjin benci suaminya itu.
Pengkhianatan ditambah menculiknya, sekarang, dia disekap di motel murahan. Oh bukan itu bagian terburuknya, yang terburuk adalah... MOTEL ITU BENAR-BENAR BERANTAKAN!
Astaga... Kepala Seokjin rasanya akan pecah jika kekacauan yang dia lihat tidak segera dibersihkan.
"Sayang,"
Seokjin memalingkan wajahnya ketika Namjoon duduk di depannya. Jika saja tangan dan kakinya tidak terikat, Seokjin ingin membenturkan wajah yang sayangnya tampan itu ke lantai hingga berdarah-darah.
"Aku tahu kau marah, tapi aku butuh kau untuk mendengarkanku."
"AKU TIDAK BUTUH OMO—"
Grrauk...
Sialan, donat semalam tidak cukup mengganjal perutnya.
"Kau belum makan? Biar kubelikan, apa yang kau inginkan?"
Seokjin menoleh dan menatap suaminya dengan tajam. Berkebalikan dengan Namjoon yang menatap Seokjin penuh rasa khawatir.
"Pesankan apa saja SELAIN PENGKHIANATAN KARENA AKU TIDAK MENERIMA PENGKHIANATAN!" Seokjin memberontak hingga kursi tempat dia diikat bergoyang. Suami Namjoon pihak bawah itu menggeram kesal.
Namjoon menghela nafasnya. Bukan keinginannya untuk mengikat Seokjin seperti itu, tapi dia tidak akan bisa menahan Seokjin jika bagian dari hidupnya itu melawan. Seokjin itu brutal jika sedang berhadapan dengan lawannya, persis serigala di saat berburu.
"Pemerintah merencanakan sesuatu yang buruk dan Yoongi sebagai sekretaris tahu persis rencana itu."
Seokjin berdecih. Bagus sekali suaminya itu, melarikan diri bersama suami pihak bawah orang lain.. Jika Seokjin bisa lepas dari ikatan ini, akan Seokjin pastikan Namjoon tidak bisa berjalan enam bulan kedepan.
"Cadangan pangan kita menipis sedang rakyat terus berkembang biak sehingga ada kemungkinan kita mengalami kelangkaan bahan pangan nantinya. Mereka berniat melakukan genosida bagi rakyat miskin dan sebagian rakyat menengah."
Usaha melepaskan diri Seokjin terhenti dan lelaki itu mematung. Melihat itu keberanian Namjoon untuk mendekati Seokjin muncul dan dia membelai lembut kepala Seokjin.
"Akan ada banyak orang tidak bersalah yang mati. Yoongi berusaha menyerang presiden dengan harapan jika presiden mati dan digantikan oleh wakil, rencana akan diubah. Karena wakil sebenarnya tidak setuju dengan keputusan presiden."
Nafas Namjoon terhela, "Aku tahu kau marah karena aku lebih memilih untuk mengkhianati negara yang kau cintai, tapi negara yang kau cintai akan menjadi tempat pembunuhan orang-orang tidak bersalah. Aku tidak bisa membiarkan itu, sayang."
Tatapan Seokjin melembut dan matanya mulai berkaca-kaca. Perlahan, dia mulai terisak dan membuat Namjoon panik setengah mati.
"A-apa, hik—, mereka akan, hik—, membunuh bayi dan anak kecil?"
Namjoon mengangguk berat. Kenyataan yang pahit memang, negara yang dulu dia cintai akan berubah menjadi negara yang tak tahu belas kasih.
"Mereka tidak salah..." lirih Seokjin.
Namjoon menyeka air mata Seokjin. Hati Namjoon terasa nyeri melihat suaminya seperti itu. Karena inilah dia selalu berusaha sekuat tenaga membahagiakan Seokjin selama tujuh tahun pernikahan mereka dan sekarang dia gagal.
"Karena itulah aku melakukan ini."
"K-kalau begitu, aku ikut."
Namjoon menggeleng tegas. "Aku hanya ingin berdamai denganmu, aku tidak—"
"AKU IKUT!"
"Tidak Seokjin."
"NAMJOON!"
"AKU BILANG TIDAK!"
"Wow, wow... Kenapa kalian bertengkar?"
Park Yoongi masuk dengan wajah kesal dan menatap pasangan yang terlihat sedikit tegang.
"Ubah rencana, Hoseok akan tinggal di sini untuk memastikan Seokjin aman."
Seokjin menendang lutut Namjoon yang berada dalam jangkauan kakinya yang diikat. "Kau kira aku ini anak kecil yang butuh pengasuh?! Aku ini pasukan tim Alpha, Joon!"
"TAPI KAU TETAP ISTRI—"
"SUAMI!" Seokjin menyela.
Namjoon lagi-lagi menghela nafasnya, "Kau hidupku. Jika kau terluka aku tidak bisa apa-apa." pandangannya sedikit mengabur akibat air mata yang menggenang.
Seokjin memajukan kepalanya, menempelkan dahinya dengan dahi Namjoon dan matanya terpejam. "Aku janji aku akan baik-baik saja."
"Berjanjilah."
"Aku janji."
"Baiklah, sudahi adegan keju basah ini." Yoongi memutar bola matanya. "Sepupumu sebentar lagi akan lepas dari ikatan dan aku tidak yakin Hoseok bisa menahan serangannya meski Taehyung orang intelejen."
Seokjin mengecup bibir Namjoon sebelum memundurkan tubuhnya.
"Park Yoongi, kau berhutang tiga puluh sembilan ribu won padaku untuk macaron yang Jimin beli untuk mengurangi stress akibat kehilanganmu."
Yoongi memijat pelipisnya dan menghela nafasnya frustasi. "Lelaki itu benar-benar..."
.
.
.
Terinspirasi dari Captain America; Civil War..
TBC atau END tergantung kalian.. :)
Makasih untuk kalian yang membaca :)
Maaf kalau ada typo :(
Have a nice day! Peace.
