Just Because

Naruto © Masashi Kishimoto

Genre: Romance & Slice of Life.

Character : Sakura. H, Sasori. A, and others.

Rated : T

Warning : AU, OOC, typo(s), gaje, aneh, bahasa tidak baku, Dan masih banyak keburukan lainnya.

.

.

Don't like, Just don't read!

Happy Reading~


.

.

Chapter 1

.

.


Waktu berjalan begitu cepat, tanpa terasa dan tanpa kita sadari. Kadang-kadang terlintas dalam pikiran 'perasaan baru kemarin ya begitu, eh sekarang sudah begini saja.' Yah beginilah hidup, waktu tidak akan berhenti meski kita memintanya sampai nangis keluar air mata darah sekalipun. Seandainya terlahir sebagai seseorang yang punya kemampuan time control, mungkin waktu takkan pernah dia jalankan, agar dia bisa tetap hidup saat ini tanpa ada perubahan atau lainnya.

Haha konyol sekali.

Haruno Sakura—gadis berambut sewarna dengan makanan manis yang digemari anak kecil—gulali, sedang tertawa mengejek mengenai pemikiran bodohnya tentang 'waktu', 'manusia dengan kemampuan time control', dan tentang ia yang ingin menghentikan waktu. Ia tidak ingat kapan terakhir kali ia bisa se-imajinatif ini. Mungkin saat ia di sekolah menengah pertama saat ibunya menyuruhnya berhenti menonton kartun spons kuning bercelana kotak yang tinggal dirumah nanas dan selalu bermain bersama teman bintang laut pinknya. Ibunya bilang kartun itu kelewat imajinatif, tidak baik untuk Sakura yang saat itu remaja yang sangat rentan terpengaruh apapun. Nanti dia ikut-ikutan kebanyakan ngayal, kan susah jadinya.

Bunyi 'tak'.., 'tak'.. menjadi latar kegiatan nostalgianya. Pantas saja daritadi matanya perih, bukan karena dia sedih mengingat masa lalunya tapi ternyata dia sekarang sedang memotong bawang bombai. Yang sekarang sudah tercacah tidak beraturan karena daritadi dia sedang tidak fokus.

Gadis musim semi itu lalu melirik panci berisi supnya yang ternyata sudah mendidih. Satu menu sudah siap, dia mestinya lebih bergegas menyelesaikan menu makan malamnya yang lain sebelum 'dia' pulang. Bekerja seharian dirumah sakit sudah cukup membuat badannya ngilu karena pegal mondar-mandir mengurusi pasiennya yang sedang ramai hari ini, meski begitu saat sampai dirumah dia tetap harus mengerjakan tanggung jawabnya yang lain. Yaa... salah satunya menyiapkan makan malam, untuk dirinya dan—

"Tadaima."

... Suaminya.

Hhhh. Lupa memberitahu ya, sekarang dia bukan lagi seorang wanita karir yang lajang. Melainkan sudah berubah status menjadi seorang wanita yang telah bersuami—alias menikah.

Sakura cepat-cepat mematikan kompornya, tidak lupa meletakkan pisau yang masih ia genggam ke atas talenan. Tidak lucu jika ia berlari menyambut suaminya dengan pisau masih di tangannya, yang ada dia malah dikira psycopath yang ingin menerjang dan mencabik-cabik laki-laki yang baru masuk ke rumahnya itu. Hiii.

"Okaerinasai."

Senyum manis menjadi pengiring salam sambutannya. Meski begitu hanya punggung laki-laki yang berstatus suaminya yang didapatinya setelah lima menit menunggu dengan senyum yang masih terpatri di wajah cantiknya. Lama-lama pegal juga ini pipinya. Laki-laki yang memiliki warna rambut merah gelap itu melepas sepatu pantofel coklatnya dengan perlahan. Lambaat sekali layaknya orang yang 'hidup segan mati tak mau' sedang beraktifitas. Tidak bersemangat, tidak bergairah. Sedikit jengkel, akhirnya Sakura berjalan beberapa langkah untuk mendekatinya.

"Apa ada masalah?"

Raut khawatir seharusnya bisa ditangkap suaminya jika ia sempatkan waktu satu detiknya untuk menoleh ke belakang. Tapi nihil. Laki-laki yang bernama lengkap Akasuna Sasori itu lantas bangkit berdiri setelah menyelesaikan ritual melepas sepatunya. Tanpa memandang wajah istrinya dia hanya mengatakan, "tidak juga." Lalu melangkah lesu masuk ke dalam rumahnya—salah, rumah mereka. Sakura mengekor dibelakangnya dengan raut bingung.

.

.

.

.

.

Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian wajah Sasori terlihat lebih segar, tidak selusuh tadi—yah meski raut wajahnya masih tetap tak bersemangat.

Sepasang suami-istri baru tersebut duduk berhadapan-hadapan dalam keheningan menikmati makanan mereka masing-masing. Bagi Sakura rasa penasarannya tidak akan pernah hilang sampai ia mendapatkan jawabannya. Lantas ditengah-tengah aktifitasnya mengunyah daging, ia kembali bertanya pada suaminya.

"Ada masalah ya?"

Sasori tidak langsung menjawab karena dirinya sedang sibuk menikmati sup hangat miliknya. Aah, capek-capek pulang kerja disuguhi makanan nikmat sungguh mantap.

"Ya namanya juga hidup, satu dua masalah pasti selalu ada."

"Oh berarti ada ya?"

Sakura bertanya lagi. Dan Sasori menghentika kegiatan makannya hanya untuk menatap dalam diam wanita didepannya. Oh, untung sekali Sakura adalah makhluk hidup yang peka hingga ia tidak sulit untuk mengartikan sinyal 'diamlah. Dan habiskan saja makananmu' yang diberikan Sasori lewat tatapannya. Sakura lalu kembali sibuk dengan makanannya dan Sasori tidak perlu repot-repot menatapnya lebih lama lagi karena ia tahu istrinya itu pasti sudah mengerti.

Sekedar informasi saja nih, mereka resmi menikah sejak sebulan lalu. Pernikahan mereka digelar dengan cukup mewah meski sedikit dadakan—macam tahu bulat yang digoreng dadakan—gak deng. Hoo, jangan mikir macam-macam dulu saat dengar kata 'dadakan', dadakan bukan berarti karena by accident lho ya. Boro-boro mau melakukan sebuah accident mereka bahkan baru saja saling kenal seminggu sebelum menikah.

Sakura mengunyah nasinya perlahan dengan pikiran yang sedang melayang kemana-mana. Mengingat bagaimana dirinya sekarang bisa berganti nama depan menjadi 'Akasuna' bukan 'Haruno' lagi. Oke, mari kita ingat-ingat lagi apa yang terjadi sebulan lebih seminggu belakangan.

.

.

.

.

Havent Restaurant, 07.25 p.m.

Sakura menghentak-hentakan kakinya yang dilapisi sepatu heels dengan kesal. Ibunya tiba-tiba merusak waktu terbaiknya di akhir pekan—tidur, dan menyeretnya dengan paksa ke sebuah restoran. Ayolah untung-untung dia dapat libur satu hari ditengah aktifitas padatnya di rumah sakit, lalu ibunya malah menghancurkan ekspektasinya untuk bisa merasakan nikmatnya kasur ketika bertemu dengan punggungnya yang sudah mulai kaku.

Huh. Memangnya sepenting apa sih janji temu ibunya itu. Lalu kenapa pula Sakura harus dilibatkan didalamnya. Sebal. Mau melawan takut dicap sebagai anak durhaka jadinya dia toh tetap nurut juga. Sakura berhenti dengan pikirannya lalu sebagai gantinya sekarang ia memandang aneh ibunya, yang sedang lambai-lambai entah pada siapa. Takut orang-orang salah mengira ibunya gila Sakura menghentikan ibunya dari kegiatan lambai-lambainya itu.

"Hush.., ibu apaan sih? Itu pada diliatin orang-orang."

Alih-alih menanggapi putrinya Haruno Mebuki malah melenggang santai ketempat seseorang yang menjadi alasannya melambai tadi. Sakura mau tak mau mengikutinya meski semakin lama perasaan dongkol di hatinya meningkat satu level lagi. Untung orang tua ya Hhhh.

"Aduuh Chiyo baa-san, sudah lama sekali."

Bagai acara temu kangen lainnya cepika-cepiki jadi hal yang wajib dilakukan.

"Iya lama sekali, kapan ya terakhir? Hm, mungkin saat acara pertunangan anaknya Karura ya?"

Sakura tidak tahu ternyata ruang lingkup pergaulan ibunya luas sekali, bukan hanya pada yang sebayanya dia juga ternyata berteman yang lebih tua juga. Satu lagi contoh bahwa pertemanan itu tidak pandang bulu, tidak pandang umur sekalipun. Yang penting cocok.

"Oho~ inikah Sakura-chan?"

Untunglah mereka masih ingat keberadaannya disini. Sakura tersenyum sebagai formalitas dan kesopanan. Jaman sekarang pencitraan menjadi hal yang penting, mau sama siapapun yang penting jaga image dulu yang diutamakan.

Mebuki mencolek lengan atas putrinya, "diam saja. Ayo perkenalkan dirimu."

"Haruno Sakura, salam kenal."

Chiyo baa-san mengangguk-angguk layaknya seorang juri yang sedang menilai. Hee, dikira Sakura lagi daftar lomba nyanyi apa.

"Cantik. Seperti yang ada di foto."

Foto? Wah ada yang secara ilegal ngasih foto dia ini. Sakura menoleh ke samping kepada ibu-ibu berambut pirang yang menjadi tersangka utama atas kegiatan ilegal tersebut, siapa lagi kalo bukan ibunya. Ingatkan Sakura mampir ke kantor BNN pulang nanti—lah dikata nyelundupi narkoba kali ah.

"Oh iya dong, bukan putriku kalo tidak cantik. Hahaha.."

Nyonya Haruno berkata dengan bangga.

"Iya-iya, eh duduk dulu. Daritadi berdiri terus."

Untung Chiyo baa-san ingat nyuruh duduk. Kaki Sakura mulai terasa pegal ini.

"Ngomong-ngomong, dimana Sasori-kun?"

"Lagi ke toilet."

Baru Sakura ingin mempertemukan pantatnya pada bantalan kursi yang empuk, sebuah suara menginterupsi kegiatannya itu.

"Nek, maaf aku—oh?"

Jika ini di film-film maka akan ada efek slow motion saat Sakura menoleh lalu mungkin ada juga efek cahaya ilahi yang menyinari wajah lelaki yang baru saja datang, rambut merahnya acak-acakan tak keruan layaknya orang yang baru bangun tidur dalam iklan shampo 'rambutku seperti singa'. Sakura curiga ini dia ke toilet bisa saja bukan buat buang air, jangan-jangan ketiduran.

"Wahh.. Sasori-kun?"

Ibu Sakura semangat empat lima buru-buru menyuruh pemuda itu duduk yang tentu saja diturutinya setelah membungkuk singkat memperkenalkan dirinya terlebih dahulu.

Usut punya usut ternyata pemuda yang bernama lengkap Akasuna Sasori itu ternyata cucu dari Chiyo baa-san. Umurnya lebih tua dua tahun dari Sakura yang artinya laki-laki itu berumur 25 tahun dan dia seorang arsitek yang bekerja di sebuah perusahaan konsultan bangunan. Dan alasan mereka—ibu Sakura dan Chiyo baa-san mengadakan janji makan malam ini adalah untuk mempertemukan mereka berdua—Sasori dan Sakura karena sebenarnya mereka...

"Ha! Dijodohkan?"

Sakura buru-buru menelan spaghetti yang baru saja beberapa detik ia kunyah, untung tidak sampai ia sembur. Mubazir. Buang-buang makanan mahal.

"Kenapa..., tiba-tiba begini?"

"Ini sudah direncanakan dari lama kok, cuma ibu baru hari ini bisa memberitahumu. Gomen nee.."

Mebuki menjelaskan. Raut wajahnya menunjukkan penyesalan. Ia tidak pernah dapat waktu yang tepat untuk membicarakan ini pada putrinya, salahkan jadwal Sakura yang padat. Pergi pagi-pulang malam selalu saja seperti itu. Karenanya saat ada waktu Mebuki langsung mengajak Sakura keluar untuk memberitahukannya tentang perjodohan yang dia buat sekalian langsung lihat orangnya saja.

Sakura melirik pemuda yang duduk didepannya, tidak ada perubahan raut di wajahnya. Ia bahkan masih dengan santai menikmati makanannya. Jika dilihat dari tingkahnya, 'nih orang pasti sudah tahu tentang perjodohan ini' pikir Sakura. Lalu, apa dia sudah setuju?

"Sasori-kun juga sudah setuju, kok."

Mebuki berkata cepat. Setelah melihat putrinya memandangi Sasori begitu lama.

Sakura mengedip-ngedipkan matanya, bukan karena kemasukkan debu. Tapi ia takjub, mungkin ibunya punya kemampuan membaca pikiran kayak dukun-dukun. Wah, harus hati-hati nih. Bisa-bisa ketauan dia sering mikir yang 'begituan' diam-diam—Eh, nggak deng bercanda. Sakura nggak sebejat itu lah.

Tapi masa sih? Masa Sasori setuju semudah itu, apa dia tidak punya pacar? Padahal Sakura pikir dengan tampang yang lumayan oke begitu, satu dua gadis pasti pada ngantri untuknya.

"Jadi gimana? Kamu setuju juga kan Saku."

Bukan sebuah pertanyaan, lebih tepatnya itu disebut pernyataan. Nada bicara ibunya tegas seperti tidak mau dibantah ditambah lagi tatapannya itu, seperti tatapan kucing yang lagi liat tulang ikan incarannya. Tajem.

"Engg... Kalo aku nolak ibu pasti tetep maksa kan?" Sakura takut-takut mengatakannya.

Detik berikutnya Mebuki tersenyum sumringah, paham maksud jawaban putrinya yang sebenarnya mau-tidak-mau tetap harus mau.

Sakura menghela napas pelan, menggulirkan pandangannya dan tanpa sengaja terkunci pada bola mata coklat yang ternyata sedang memandanginya. Sejak kapan, Sakura juga tidak tahu. Tapi lelaki berambut merah yang duduk didepannya sedang memperhatikan dirinya rupanya. Intens sekali.

Lalu berikutnya tercetuslah keputusan bahwa mereka berdua akan menikah seminggu dari sekarang dengan alasan, karena Chiyo baa-san yang akan segera pindah ke London dia ingin melihat cucu laki-lakinya menikah dulu sebelum dia pindah. Biar tenang katanya, ada yang ngurusin Sasori. Yaa kalo gitu, cari aja pengasuh ngapain repot-repot cari istri. Hh.

Orang tua. Maunya selalu dituruti, yang jadi anak mau nggak mau ya juga harus nurut. Daripada nanti dikatain anak durhaka.

Yah Sakura setidaknya masih syukur sih pilihan ibunya lumayanlah. Selain dari tampangnya, pekerjaan, bobot-bibit-bebetnya juga jelas. Jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Hanya saja, mungkin mereka harus lebih saling mengenal. Lagian Sakura juga tidak punya pacar. Jangankan pacar, cowok yang lagi dekat dengannya saja tidak ada. Ambisi mengejar karir membuat masalah percintaannya jadi terlupakan.

Dan beginilah jadinya, sudah lewat satu bulan sejak mereka mengikat janji seumur hidup mereka menjadi sepasang suami-istri. Dikarenakan proses pengenalan mereka yang singkat—banget malah. Membuat mereka berdua masih dalam tahap penyesuaian diri terhadap hubungan baru ini.

Chiyo baa-san sudah pindah ke London dan tinggal bersama pamannya Sasori, yang kemarin juga datang menghadiri pernikahan keponakannya sekaligus menjemput Chiyo baa-san. Dia bilang ibunya sudah tua, jadi daripada terus merepotkan Sasori yang sibuk lebih baik dia saja yang mengurusnya disana. Dan karena kekhawatirannya untuk meninggalkan Sasori sendirianlah yang membuat Chiyo baa-san cepat-cepat menikahkannya.

Kadang Sasori kesal juga, dia bukan anak kecil lagi. Masalah hidup sendirian bukanlah sesuatu yang harus dibesar-besarkan. Ia bisa kok menjaga dirinya sendiri. Meski tidak ada neneknya, rasanya dia tetap bisa makan tiga kali sehari, mandi teratur, dan istirahat yang cukup. Dia tidak akan mati walau tinggal dirumah besar ini sendirian. Hah.

Sebenarnya dia pengen nolak tentang ide perjodohan itu, tapi mengingat jasa neneknya yang sudah membesarkannya dari kecil—sejak orang tuanya meninggal karena kecelakaan. Sasori jadi tidak tega. Ya sudahlah, hitung-hitung menyenangkan neneknya saja. Lagipula selama ini tidak ada sesuatu yang berarti yang telah ia berikan. Anggap saja ini caranya untuk membalas semua yang telah neneknya lakukan selama ini, dengan menuruti beberapa keinginannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Sasori."

"..."

"Hey, ayo bangun. Kau akan terlambat ke kantor kalau begini."

Masih tidak ada jawaban. Sakura menggoyang-goyangkan tubuh suaminya yang masih tergulung dalam selimut yang hangat. Ingin hati pergi ke kamar mandi, mengambil se-gayung air dan menyiramkan ke wajahnya. Tapi nyatanya Sakura tidak tega. Nanti bukannya bangun, laki-laki berambut merah itu malah langsung demam. Mengingat akhir-akhir ini cuaca dingin sedang ekstrem.

"SASORI!"

Kesabarannya menipis, ia akhirnya kelepasan berteriak. Tapi yang dibangunkan tidak juga menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Sakura semakin keras mengguncang tubuh suaminya.

Demi apapun. Sasori baru bisa tidur jam tiga pagi tadi. Salahkan pekerjaannya yang menggunung sehingga mengharuskannya untuk begadang agar bisa menyelesaikannya. Dan yang dibutuhkannya sekarang hanyalah waktu lebih untuknya tidur. Tapi wanita yang berstatus istrinya sudah sebulan belakangan ini tidak akan berhenti melakukan aksinya jika dia tidak segera bangun.

Sasori mengerang, membuka matanya setengah untuk menghentikan guncangan Sakura yang semakin menggila. Saking gilanya sampai ranjang mereka sudah berderit-derit minta ampun. Aneh. Ini cewek tenaganya sudah kayak monster.

"Iya, iya. Aku bakal bangun kalo dicium dulu." Kata Sasori asal. Lalu kembali tidur.

Namanya baru bangun, nyawa masih belum terkumpul. Sasori jadi asal saja bicara supaya Sakura berhenti.

Beberapa detik suasana hening. Dan Sasori bersyukur akan hal itu. Sampai mana mimpinya tadi. Ah sampai—

Cup.

"Sudah kan? Sekarang cepat bangun."

Mata Sasori langsung terbuka lebar. Serangan kejut pagi buta ini namanya.

Siapa sangka Sakura benar-benar menciumnya. Padahal niatnya berkata begitu hanya agar wanita itu menyerah membangunkannya.

Sasori bangkit duduk, memegangi pipi kanannya yang masih terasa hangat. Sambil memandangi punggung Sakura yang semakin menjauh.

Jantungnya tiba-tiba berdetak cepat, seperti saat dia dikejar-kejar anjing tetangga beberapa hari yang lalu.

Wah, ada yang nggak beres ini.

.

.

.

"Sakura, kau lihat kotak hitam yang ada di kamar?"

Sasori menuruni anak tangga. Tangan kanan memegang mantel, bahu kirinya sudah tersampir tas slempang. Tidak pakai dasi, Sasori bilang dia tidak bebas kalau pakai dasi seperti tercekik. Jadi pakaian kantornya hanya kemeja dan setelan jas.

"Kalau tidak salah kutaruh di buffet dekat tv." Sakura berteriak dari arah dapur.

Sasori menaruh mantel dan tas slempangnya asal di sofa selagi ia berjongkok dan meriksa tempat yang dimaksud Sakura. Ketemu. Kotak hitam lebar dengan panjang kira-kira sepuluh centi dan lebar lima centi berada paling atas dari tumpukan kaset film koleksinya.

"Ada?"

Sakura melongokkan kepalanya dari balik bahu Sasori.

"Hm."

Semenjak Sakura tinggal bersamanya, Sasori pikir semua letak benda di rumahnya telah berpindah-pindah. Awalnya dia pikir ada tuyul iseng yang memindah-mindahkan barangnya, tau-taunya itu ulah istrinya sendiri. Awalnya juga dia tidak nyaman saat Sakura mendominasi rumahnya mengatur barangnya sana-sini, tapi setelah melihat hasilnya—hm lumayan. Perabotan yang tadinya cuma diletakkan ala kadarnya sekarang tersusun rapi. Bohong kebangetan kalo Sasori bilang ia tidak suka.

Sekreatif-kreatifnya Sasori menggambar macam-macam bentuk bangunan. Ternyata masih lebih kreatif wanita musim semi itu saat mengatur letak guci, hiasan keramik-keramik kecil, beberapa bingkai foto dan vas bunga. Hingga ruang tamunya sekarang malah terkesan bergaya vintage. Jika tidak melihat betapa sibuknya Sakura di rumah sakit, mungkin Sasori sudah menyarankannya untuk mengambil kerja sambilan, sebagai desainer interior mungkin.

"Memang isinya apa?"

Sakura penasaran dari kemarin saat memindahkannya, ia ingin melihat itu kotak isinya apa. Tapi ternyata tidak bisa dibuka, sepertinya terkunci.

"Bukan hal penting. Hanya alat-alat menggambarku."

"Sou ka?"

Sasori mengambil dua pensil, masing-masing pensil kayu dan mekanik, lalu penggaris lipat. Setelah dirasa cukup ia menutup kembali kotak tersebut dan meletakkannya ke tempat semula. Begini-begini Sasori juga cinta kerapihan.

Kegiatan mereka berikutnya adalah sarapan bersama. Daging asap, telur mata sapi dan roti bakar jadi menu pilihan Sakura pagi ini. Cepat, mudah dan bergizi. Jika Sakura memilih teh hangat dengan aroma melati jadi minumannya, maka Sasori memilih jenis minuman berkafein lainnya yang berwarna hitam pekat—Kopi.

Di pagi yang dingin begini, kasur hangat merayu-rayu dirinya bagaikan gadis-gadis malam yang minta ditiduri(?)—eh. Jadi dia butuh sesuatu yang bisa membuat matanya tidak terus-terusan sepet. Dengan perbandingan 2 : 1—maksudnya dua sendok kopi dengan satu sendok gula, membuat rasa pahit lebih mendominan dari manis. Lagipula dia kurang suka yang manis-manis.

Sakura melirik laki-laki yang duduk didepannya yang sedang sibuk dengan kertas-kertas ditangannya. Teringat kejadian saat ia membangunkan Sasori tadi membuat pipinya tiba-tiba memanas. Pertama kalinya. Ia melakukan hal gila seperti itu tanpa pikir panjang. Rasanya seperti mempercayai jika kerang ajaib bisa mengabulkan permohonan kita. Bodoh.

"Kenapa memandangiku terus?" Sasori berkata tanpa mengalihkan pandangannya pada kertas yang sudah ia gambar semalaman.

Bagai melihat kecoa terbang Sakura tersentak, membuat cangkir teh yang dari tadi ia tiup-tiup sekarang dengan manja menyentuh bibirnya.

"Ouch... Panas, panas...,"

Sasori dengan cepat mengambil alih cangkir teh yang masih panas dari genggaman tangan Sakura. Kalau sampai tumpah bisa gawat, bisa-bisa tangan atau mungkin pahanya ikut-ikutan melepuh.

"Makanya hati-hati, jangan malah ngelamun." Ia memberikan beberapa lembar tisu. "Lagian, mikirin apa sih? Atau lagi ngebayangi gimana rasanya menciumku tadi?" Sasori tersenyum remeh.

"A—apaan sih?"

Sakura jadi salah tingkah, cepat-cepat membereskan sarapannya yang bahkan belum tersentuh. Sasori tertawa dari belakang ia bisa melihat telinga gadis itu sudah semerah rambutnya. Gadis ini, mudah sekali ditebak.

Satu lagi rutinitas baru yang ia sukai. Menjahili Sakura.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

"Apa-apaan ini? Dimana nilai seninya, tidak ada estetika sama sekali. Kau dulu lulus nyogok ya? Tak bisa diharapkan."

Pagi-pagi sudah mencecar orang dengan kata-katanya yang pedas nan tajam, setajam silet—Itu orang tadi pagi makannya apa sih? Satu ton cabe? Atau sekarung silet? Atau mungkin saat baru bangun tidur dia terpleset di kamar mandi, terjengkang. Yang membuat saraf-saraf di kepalanya tegang semua. Duh.

Shimura Sai. Laki-laki berkulit pucat seperti mayat melemparkan lembaran yang diberikan bawahannya. Deadline sudah didepan mata tapi semua bawahannya tidak ada yang becus, disuruh membuat gambar rancangan bangunan saja tidak bisa. Dia kadang heran bagaimana bisa mereka masuk perusahaan ini. Kerja saja tidak ada yang beres.

Seisi kantor sudah paham betul, bagaimana watak dari Direktur mereka yang satu ini. Laki-laki berambut klimis bak iklan shampo itu sudah kehilangan kendali atas ucapannya, atau mungkin ia sudah menyerah melakukan filtrasi untuk segala kata yang keluar dari mulutnya. Para bawahannya menjulukinya si lidah tajam. Meh. Bodo amat. Emang dia peduli.

Demi menjamin kelangsungan hidup bersama, ada sebuah aturan tak tertulis yang dibuat entah sejak kapan mulai berlakunya. Yang pasti, tidak ada seorangpun yang boleh berbicara, berurusan apalagi membuat masalah dengan seorang Shimura Sai di tanggal-tanggal penghujung bulan. Jangan coba-coba. Atau kau akan merasakan kata-kata hujatan yang berlipat kali lebih menusuk dari nyinyiran para netizen jaman now. Membuat mental siapa saja yang mendengarnya langsung down, beberapa mungkin memutusukan bunuh diri setelahnya. Kenapa? Karena di tanggal-tanggal segitu deadline pekerjaan sedang mepet-mepetnya. Untuk itulah tanggal terakhir disetiap bulan selalu menjaddi tanggal keramat di Perusahaan Konsultan Bangunan Hebi.

"Ada lagi hah? Ada lagi yang mau menyerahkan sampah seperti ini padaku?"

Si bawahan berambut coklat membungkuk singkat lalu pamit keluar dari ruangan atasannya. Dalam hati dongkol setengah mati. Kalau bukan karena sesuap nasi, dia tidak akan sudi dihina-dinakan disini. Ergg... Terkutuklah mayat hidup yang merangkap jadi atasannya itu.

Sai meraih telepon kabel di mejanya untuk menghubungi sekretaris didepan ruangannya.

"Dimana Sasori? Suruh dia kesini."

"Hai'."

Melihat kalender yang bertengger manis di meja membuat kepalanya berdenyut, mungkin migrainnya kambuh. Hari ini tanggal 28. Selain karena telah memasuki fase tanggal tua dimana seluruh pekerjaan sedang membludak, hari ini juga hari terakhir deadline menentukan rancangan bangunan untuk proyek baru mereka. Jika ia tidak direpotkan oleh schedule lain mungkin ia sudah turun tangan menggambarnya sendiri. Tapi masalahnya, untuknya bernapas saja sulit saking banyaknya hal yang harus ia kerjakan.

Sibuk dengan pikiran dan apa yang ia ketik di laptop hitamnya. Sai bahkan tidak menyadari seseorang telah berdiri hampir lima menit didepan mejanya.

"Ekhem.."

Matanya beralih dari laptop ke laki-laki berambut merah.

"Memanggilku?"

"Ya. Dan kau tahu apa yang aku mau."

Sasori menyerahkan beberapa lembar kertas grafik yang sudah ia copot dari bukunya.

Mata Shimura Sai menyipit menelisik gambaran yang ada pada kertas tersebut. Garis, arsiran, coretan, bentuk, estetik, ia memperhatikan segala hal—ah terlalu berlebihan. Dia tidak sedang menjadi juri kontes seni disini. Ia lalu memandang orang yang lebih muda dua tahun darinya dengan tatapan sinis.

"Apa? Masih tidak puas? Itu memang baru sketsanya aku tidak sempat untuk membuat yang lebih detail, tapi kau pasti sudah mengerti apa saja fungsi dan kegunaan dari komponen yang kugambar. Nilai estetik? Oh kurasa juga sudah ada didalamnya."

Lancang sekali. Akasuna Sasori satu-satunya orang yang bisa berkata sepanjang itu dengan Sai hari ini, dengan nada yang menantang lagi. Wah. Ngajak berantem nih orang.

Sai mendengus keras. "Heh, berani sekali kau. Aku butuh cetak birunya segera."

Mendengarnya Sasori tersenyum miring. Itu artinya rancangan yang dibuatnya diterima.

"Kalau bisa besok." Sai berkata lagi.

"Hah. Besok?"

"Kenapa? Tidak senang?"

"Itu artinya kau benar-benar tidak memberiku istirahat ya? Aku sudah begadang semalaman untuk menyelesaikan ini. Memang aku robot."

Bukannya Sasori kelebihan hormon adrenalin sampai dia bisa seberani itu. Tapi jika selalu dituruti orang seperti Sai itu akan semena-mena selamanya. Tidak perlu khawatir meski jabatannya lebih tinggi dari Sasori, tapi Sai tidak akan semudah itu bisa memecatnya.

Lagipula mereka itu sudah saling kenal lama. Sai itu kakak kelasnya waktu SMA, senior Sasori di klub seni. Meski cuma setahun di SMA tapi ternyata mereka ketemu lagi saat kuliah, di fakultas yang sama dan sama-sama ngambil UKM yang sama juga. Mungkin ini yang dikatakan orang-orang jodoh—dih. Amit-amit punya jodoh kayak Sai yang ada setiap hari dia muntaber gara-gara denger kalimat pedesnya. Kasian. Siapapun istrinya nanti, dia pasti cewek yang paling sial sesemesta ini.

Meski begitu, mereka cukup 'akrab'. Akrab banget malah sampe-sampe kalo papasan mereka saling nyapa dengan hinaan. Jadi jangan salah kalo Sasori itu udah kebal sama Sai. Hinaan mah makanan sehari-hari, udah kebas itu telinganya.

"Hoo, jadi kau mau istirahat begitu? Kau kira aku santai-santai saja?"

"Beri aku waktu."

"Berapa lama?"

"Lusa."

"Oke. Lusa."

Lah. Setujunya cepat sekali. Sasori bahkan belum mengeluarkan taktik negosiasinya. Tahu begini mestinya minta seminggu tadi.

.

.

.

.

.

"Ululu~ pengantin baru. Pagi-pagi muka udah ditekuk. Kenapa? Jatah tadi malem kurang?"

"Ino gila! Apaan sih?!" Tangan Sakura sudah terangkat untuk memukul, tapi ia urungkan. Lupa kalau ditangannya masih ada satu buah cup cake.

Yamanaka Ino tertawa renyah. Sahabat karib Sakura. Mereka selalu satu sekolah dari TK, sudah berteman sejak dari masih zigot. Layaknya lalat yang terjebak di kertas perangkap, mereka berdua saling lengket tak terpisahkan.

Sebelum ke rumah sakit Ino menelponnya untuk bertemu. Akhirnya mereka memutuskan untuk bertemu sekaligus ngobrol-ngobrol di kafe yang dekat dengan rumah sakit Tokyo. Sekedar melepas rindu, Ino ditugaskan keluar kota oleh kantornya selama sebulan. Terakhir mereka bertemu saat hari pernikahan Sakura, itu pun cuma sebentar. Karena waktu itu Ino sedang buru-buru untuk keberangkatan dinasnya.

"Bagaimana kabar kalian? Sudah 'begituan'?" Ino menaik turunkan alisnya.

"Memang harus ya laporan denganmu?"

"Ya harus dong. Dulu saja kau selalu cerita padaku, mulai dari bangun tidur sampai ke tidur lagi."

Sakura mendecak. "Itu kan dulu."

"Oh begitu. Sudah punya suami, jadi lupa sama sahabat."

"Bukan begitu, Inoo. Hanya saja, menurutku itu terlalu... Memalukan untuk diceritakan."

"Haduuh.. kau ini." Gadis pirang bermarga Yamanaka itu melipat tangannya didepan dada. "Ini sama aku lho. Bahkan sampai SMA kita masih sering mandi bareng."

Ino ini, hal seperti itu saja tanpa malu ia umbar-umbar. Dengan suara yang keras lagi, semua orang yang ada di kafe ini jadi memandang mereka dengan tatapan heran. Malu Sakura punya kawan model begini.

"Tolong ya Ino-pig. Yang itu tidak usah dibahas."

"Heeh. Tidak perlu malu, santai saja. Santai~"

Untung mereka bukan lagi di rumah sakit, kalau tidak udah Sakura geret si Ino ke ruang operasi. Biar dia jahit itu mulut embernya.

"Jadi?"

"Hm?"

"Ya jadi hubungan kalian sudah sejauh mana?" Ino gemas.

"Oh. Masih stuck disitu-situ saja."

"Masa?"

"Serius. Padahal aku sudah berusaha untuk terbuka, aku selalu menanyakan keadaannya tapi dia masih belum mau cerita apa-apa padaku." Keluh Sakura pada akhirnya.

Ia lalu menghela napas, mengingat hubungannya dan Sasori. Sudah satu bulan tapi masih belum ada perkembangan apapun. Jangankan mau saling kirim pesan, ngasih tahu kabar masing-masing saat diluar. Di dalam rumah saja interaksi mereka kelewat minim, cuma saling sapa dan basa-basi singkat 'sudah makan?' lebih parah daripada orang asing. Padahal mereka sudah jadi suami istri lho. Su-a-mi-is-tri.

"It's okay, Saki. Sekali-sekali cewek yang lebih agresif. Lanjutkan saja." Ino mengepalkan tangannya untuk menyemangati sahabatnya. "Cowok itu, kalo di halusin terus-terusan pasti luluh juga lama-lama. Percaya deh."

"Masa?"

"Iya udah, percaya aja sama aku—sang penasihat Cinta~" ada efek cahaya dan angin sepoi yang menerpa wajah gadis Yamanaka saat mengatakannya.

"Hoo. Lalu kenapa sampai sekarang kau masih jomblo?"

Ting!

Aura Ino seketika berubah suram. Kata-kata menyakitkan sepanjang masa hidupnya. Kenapa—kau—jomblo?

Jomblo.

Jomblo.

Jom—

Arrrrggghhh...

Bagai menoreh garam diatas luka. Sungguh perih.

Ino menusuk-nusuk cheese cake miliknya dengan garpu, tak sesemangat tadi. Sakura yang melihat perubahan drastis sahabatnya sedikit merasa bersalah, cuma sedikit. Dia keceplosan mengatakan kata-kata keramat gadis pirang berumur dua puluh tiga tahun itu, salahkah tingkahnya yang sok tahu itu. Bikin kesal saja. Agresif katanya? Huh, emang Sakura cewek apaan.

Predikat 'tak laku' sebenarnya kurang tepat untuk disandangkan pada Ino. Gak banget malahan. Banyak kok cowok yang ngantri buat jadiin dia pacar bahkan istri. Tapi, sifat terlalu perfeksionis dan pilih-pilih miliknyalah yang membuat tidak ada satupun cowok yang cocok dimatanya. Kalau ditanya bagimana tipe idealnya, satu gulung tisu toilet juga masih kurang panjang untuk menjabarkan bagaimana 'cowok-sempurna-idaman' yang sering di imajinasikan Ino itu. Dasar bocah halu ckck.

Sakura sering menasihatinya untuk tidak terlalu pilih-pilih. Tapi Ino selalu ngeyel. Ya enak kalau masuk telinga kanan keluar telinga kiri, setidaknya masih ada yang nyangkut. Lah ini mantul, gak masuk sama sekali. Sejak saat itu Sakura nyerah buat ngasih pencerahan.

"Ino," Sakura menepuk bahu sahabatnya. "Hidup ini indah~" kali ini wajahnya yang diterpa efek cahaya ilahi entah datang darimana.

Ino melongo. Sakura dimatanya sekarang bagaikan bapak-bapak yang sering ngasih motivasi di channel tv satu.

Kemudian Sakura berdiri, menepuk rok tosca selututnya yang kusut. "Kita bicara lagi nanti. Aku harus ke rumah sakit, jaa ne." Lalu pergi menuju pintu keluar.

Meninggalkan Ino yang hanya menghela napas lelah sambil melirik tehnya yang sudah dingin. Ini tadi niatnya dia yang mau ngasih nasihat untuk hubungan sahabatnya itu. Eh malah dia yang jadi gegana (gelisah galau merana) mikirin nasibnya sendiri.

Hidup ini indah? Hhh. Jangan bercanda.

Indah dari hongkong.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

TBC—

.

.

.

.

.

.

.

.

.

A/N: Hallo~ kali ini gue kembali dengan pair favorit gue se-semesta ini hhe. Coba-coba buat yang series gini semoga ada yang suka yhaa..

Kritik dan sarannya saya terima dengan senang hati:) see you in next chap.

Palembang, 02-01-19.