Rhyme A. Black
PresenT
A NaruHina Fanfic
Bir
"Cinta itu... seperti Bir. Memabukkan..."
Naruto belongs to Masashi Khisimoto-sensei
WARNING : Alternative Universe, Misstype, OOC, OOC, OOC. Sekali lagi, OOC. Kalau memang ada yang tidak suka dengan ke-OOC-an yang berlebihan, sangat mendewakan OOC, mending balik ajja ya. Jangan sampe nanti ilfil baca nih fic.
~0o0~
I hope you enjoy this story
~0o0~
1... 2... 3... TAKE... ACTION!
~0O0~
Suara jari bertemu keyboard terdengar memenuhi ruangan yang sangat besar itu. Beradu dengan suara roda kursi yang bergesekan dengan lantai. Ruangan ber-AC yang terbagi menjadi beberapa bilik kerja itu dipenuhi oleh suara deringan telepon, percakapan, bahkan mungkin bibir-bir yang mengunyah. Di salah satu bilik kerja yang berada di sudut ruangan serba putih itu terlihat seorang wanita berambut panjang yang sedang berjongkok dan mengutak-atik keranjang sampah. Kelakuan yang sangat kontras dengan aktivitas yang saat ini berlangsung di ruangan itu.
Wajah wanita itu tampak berkeringat, dengan sekali gerakan ia menumpahkan semua isi keranjang sampahnya yang dipenuhi kertas dan bungkus makanan ringan. Tanpa membuang-buang waktu lagi,ia kembali mencari-cari kertas memo—sesuatu yang membautnya membongakr tempat sampahnya— yang tampaknya tidak sengaja ia buang. Mata putih keunguannya memindai kertas-kertas yang sudah lecek dan penuh noda kecoklatan. Mencari-cari kertas memo berwarna kuning yang berisi alamat serta tempat pertemuan dengan klien kerjanya itu.
"Ya Tuhan! Di mana aku menyimpannya? Bisa mati berdiri aku kalau sampai kertas itu hilang. Ya Tuhan... di mana? Di mana?" gumamnya pada diri sendiri sembari terus mencari. Berbagai macam kertas yang sudah menjadi gumpalan-gumpalan itu ia buka satu-satu, bahkan kertas yang sudah robek pun tak luput dari manik matanya yang berwarna putih keunguan itu. Dia tampaknya terlalu serius mencari sampai-sampai ia tidak menyadari ada seseorang pria yang memperhatikannya sedari tadi.
"Kau... sedang mencari apa, Hinata?" tanya pria itu, menyandarkan tubuhnya pada bilik ruangan yang terbuat dari baja.
"Kertas memoku. Yang berisi alamat pertemuanku dengan klien dari Suna. Bisa mati aku kalau kertas itu hilang! Aku pasti akan dimarahi Bos." Jawab wanita yang dipanggil Hinata itu tanpa melihat dengan siapa dia berbicara, tangannnya masih saja sibuk 'membongkar muatan' sedangkan matanya terlalu sibuk untuk dialihkan dari kertas-kertas itu.
"Kertasnya warna apa?" tanya pria itu lagi, sembari berjongkok dan turut mencari di antara tumpukan kertas dan bungkus makanan ringan yang berserekan di lantai marmer.
"K-kkuning!" jawab Hinata yang tanpa disadarinya ada nada takut di dalam suaranya. Masalahnya, pertemuan ini sangat penting bagi perusahaan tempatnya bekerja, dan dialah yang ditunjuk untuk mewakili tempat kerjanya di pertemuan itu.
Selang beberapa menit tak ada suara, Hinata terlalu kalut dengan perasaannya sementara sang pria belum berniat untuk membuka percakapan lagi. Dia—sang pria— melihat ada gumpalan kertas di sudut ruangan yang berada di jangkauannya. Diraihnya kertas itu dan dibacanya dengan seksama.
"Apakah... kertas yang ini?" tanya pria itu sembari meyerahkan kertas memo kuning yang sudah terkena noda makanan.
"Coba kuli—" kata-kata yang meluncur dari bibir Hinata terhenti seketika begitu mengetahui siapa yang membantunya mencari kertas memo itu. Bibirnya bergerak-gerak namun tidak mengeluarkan suara sedikit pun. Matanya yang agak sipit itu membulat karena kekagetan yang amat sangat.
"Hm?" pria itu menyodorkan kertas memo itu sembari tersenyum. Dengan agak gemetar, Hinata mengambil kertas memo itu. Gerakannya cepat—atau terlalu cepat saat meraih kertas memo yang sudah berpindah tangan itu sehingga Hinata terlihat menyentakkan tangan pria yang baru saja membantunya itu.
Mencoba mengabaikan rasa berdebar-debar yang menghampirinya dengan cepat, ia segera membaca memo singkat itu. Ia mendesah lega begitu mengetahui bahwa itu adalah memo yang sedang ia cari-cari. Matanya kembali melirik ke samping tempat pria itu berada, yang masih menatapnya dengan pandangan ingin tahu. Ia melempar senyum canggung dan cepat-cepat berdiri meraih tas Calvin Klein-nya. Rasa gugup dan juga detak jantung yang secara aneh semakin cepat membuat Hinata tanpa sadar meremas kertas memo yang ada di tangan kirinya itu.
"A-aa...aaku harus ppergi. T-ttterima kkasih, Nnn... Naruto!"ujarnya agak memekik sembari membungkuk-bungkukkan badannya dan secepat kilat berbalik berjalan menuju lift. Namun, belum berapa langkah ia berjalan, dia kembali berbalik dan segera masuk kembalik ke bilik kerjanya dimana pria yang bernama Naruto itu masih berdiri di depan pintu masuknya. Naruto yang heran dengan sikap Hinata hanya tersenyum canggung dan begitu pula Hinata membalasnya. Wanita yang berambut panjang sebahu itu dengan cepat mengambil beberapa file yang ada di atas meja kerjanya dan berjalan kembali menuju lift tanpa menoleh lagi.
Begitu sampai di depan lift, Hinata menekan tombol lift dengan tidak sabaran. Tangan kirinya meremas bagian ujung file yang sedang ia peluk itu. Matanya terpejam erat dan degup jantungnya juga tak mau reda dari kerja cepatnya memompa seluryh darah ke pipi putih wanita itu. Begitu lift terbuka dia segera masuk dan menekan tombol angka satu.
'Mengapa aku begitu bodooohhh? Dia pasti menganggapku aneh! Dia pasti menganggapku sebagai nenek tua yang sudah pikunnn! Haduh! Kenapa kertas memo ini harus hilang? Kenapa harus dia yang menemukannya?'
"Kenapaaa?" tanpa sadar ia malah meneriakkan isi hatinya di dalam lift. Tangannya terkepal dan raut wajahnya begitu gusar. Bagaimana ia bisa santai bertemu kliennya kalau diawal hari ini dia sudah mengalami kesialan yang berlipat ganda?
Weitsss... bertemu Naruto itu kesialan?
Coret kembali kalimat yang sebelumnya. Bertemu Naruto itu adalah sebuah anugerah. Sebuah kesempatan yang berbanding 1 :. sebuah kesempatan langkah karena ia bisa berdekatan dengan Naruto tanpa harus sesak napas dan berkunang-kunang (baca : pingsan karena over excited).Tapi mengapa? Mengapa mereka bertemu dengan keadaan yang begitu mengenaskan bagi Hinata?
"Mengapaaaaa?" tanpa sadar, untuk yang kedua kalinya ia kembali bereriak di dalam lift. Kakinya mengehntak-hentak dan dia menjambak rambutnya sendiri. Kegusaran memenuhi hatinya kini, dan otaknya terus saja merapalkan kalimat-kalimat penyesalan.
"Apanya yang kenapa, Nona Hinata?"
Jreng...
Dari sebelah kanannya terdengar suara sopran ala nenek sihir. Dengan gerakan patah-patah Hinata menolehkan kepalanya dan dilihatnya seorang wanita yang memakai kacamata bergagang merah sedang menatapnya dan tersenyum dengan sinis. Belum sadar situasi, Hinata hanya melempar senyum canggung pada wanita yang baru saja menegurnya. Wanita itu meliriknya dari atas sampai ke bawah dan mendapati bahwa rekan kerjanya itu berpenampilan sangat berantakan. Bukan Hinata sekali dan malah terlihat sebagai anak muda yang frustasi karena putus cinta. Rambut berantakan, blouse yang miring dan raut wajah yang penuh dengan kesuraman.
"A-aaa..."
Belum sempat Hinata mengeluarkan kata-kata yang bsia ia jadikan alasan, wanita yang menjabat sebagai kepala bagian keuangan itu memotong perkataan Hinata sembari mengibaskan rambut merah panjangnya. "Kau ingin bertemu klien dengan penampilan buruk seperti itu? Euuuhh... aku khawatir klien kita akan lari sebelum melihat proposalmu."
Ting...
Save with the bell. Ungkapan yang tepat karena lift berdenting dan tanda panah diatas pintu menyala dan menunjuk di angka satu. Begitu pintu lift terbuka, Hinata segera keluar sebelum wanita itu kembali mengeluarkan kalimat-kalimat pedas. Namun...
"Oh iya, Nona Hinata," panggilan wanita itu membuat Hinata menghentikan langkah. Hmm, dia memang tidak bisa mengabaikan orang lain, "lain kali janganlah berteriak-teriak di dalam lift. Lift ini bukan milikmu seorang."
Setelah mendengar rekan kerjanya berbicara seperti itu, Hinata menoleh kembali ke dalam lift dan didapatinya tiga orang pria paruh baya sedang menatapnya tajam. Hinata kaget dan dengan tergesa-gesa membungkuk-bungkukkan badannya untuk meminta maaf. Selang beberapa detik, ia segera berjalan menuju pintu keluar. Di dalam hati ia terus saja merutuki rentetan kebodohan yang telah ia lakukan sepanjang hari ini. Kegelisahannya bertambah tatkala mengingat ia hampir saja terlambat untuk menemui kliennya. Hinata mempercepat langkahnya sembari berdoa semoga saja kliennya juga terlambat.
Ingin rasanya ia mengumpat, namun itu bukanlah sifat 'Hinata Hyuuga'. Maka jadilah ia merutuki dirinya sendiri, menyumpahi dirinya sendiri karena telah bersikap memalukan hari ini. mana lagi Naruto melihatnya mengacak-acak tempat sampah seperti seorang pemulung. Sekali lagi, pria tampan bermata biru itu melihatnya bertingkah laku seperti PEMULUNGGG!
"Dia pasti menganggapku aneh! Bodoh! Pikun!" gumamnya pada dirinya sendiri.
"Hinata!" terdengar suara seseorang memanggil-manggil namanya, namun tampaknya Hinata terlalu asyik dengan rutukannya sampai tidak menyadari ada orang yang memanggilnya.
"Aku bodoh, pikun, tolol, bodoh... bodoh... bodoh..."
"Hei, Hinata!"
"Pikun, aneh, bodoh, pikun..."
"Hei, Hina—Awasss!"
"Aku bod—" BRUKKK!
Tabrakan dengan pintu kaca pun tak terelakkan lagi. Saking tenggelamnya ia dengan rutukannya—yang berlebihan, tampaknya— ia tidak sadar bahwa ia telah berjalan lurus ke depan tanpa memperhatikan kaca setebal 3 senti itu. Hinata jatuh tersungkur, file-file yang dibawanya berhamburan di sekitarnya, belum lagi rasa sakit yang langsung menjalar dengan cepat di sekitar dahinya karena baru saja mencium pintu.
Sembari meringis menahan sakit, ia segera berjongkok untuk mengumpulkan barang-barangnya. Tak jauh di belakang terdengar suara sepatu hak tinggi yang terburu-buru menghampiri Hinata.
"Kau iniii!"wanita itu turut berjongkok, namun Hinata telah selesai mengumpulkan file-filenya sehingga ia menegakkan tubuhnya kembali sambil berkacak pinggang dan memelototkan mata birunya itu pada Hinata yang menatapnya dengan pandangan kikuk.
"Aaa... ada apa, Ino?"tanya Hinata sambil mengusap-usap keningnya, mencoba meredakan rasa perih yang masih bertahan di sana.
"Dasar! Kau ini, dari tadi kuteriaki kenapa tidak menoleh, hah? Di mana kau simpan pikiranmu?"
"Mma... maaf..."
"Hahhh, sudahlah. Eh, sebentar aku dan yang lainnya mau ke bar. Kau ikut ya? Tenang... hari ini Sakura yang traktir. Diakan, baru saja naik pangkat. Ikut yaa, Hinata?" pinta wanita yang bernama Ino itu. Rambutnya yang panjang diikat ekor kuda berayun-ayun saat ia meminta kepada Hinata. Dengan gayanya yang cenitl ia mengerjap-ngerjapkan matanya agar Hinata tertarik untuk ikut dnegannya kali ini. karena, selama ini setiap Hinata di ajak ke bar, ia selalu saja tidak mau.
"Tttapi, aaku tidak bisa minum, Ino..." tolak Hinata.
"Haaah, ayolah! Kapan lagi kita bisa kumpul bareng-bareng. Sejak kita semua masuk di perusahaan ini, kita sama sekali belum berkumpul bersama. Ayolah, hinataaa..."
"Tttapi... aku..."
"Tidak ada tapi-tapian. Kau harus ikut. Titik."
"Ino, aku..."
"Kau tidak boleh menolak. Lagi pula, kau bisa memesan Coca-Cola di sana."
Pesan Cola di Bar?
"Ino, aku harus bertemu klienku sekarang." ucap Hinata cepat sebelum Ino nyerocos terus dan tidak memberikannya kesempatan berbicara sedari tadi.
"Kau tidak bol—HAH? Bbbertemu klien? Yang dari Suna itu?" tanya Ino terkaget-kaget. Hinata mengangguk dan hendka meninggalkan Ino, namun Ino malah menahannya kembali.
"Kau... Kau ingin bertemu klien dengan penampakan seperti ini?"
Penampakan?
"Ino... aku harus..."
"Tunggu sebentar!" Ino langsung merongoh tasnya. Dikeluarkannya sisir dan juga bedak padat lalu diserahkannya kepada Hinata. "Pakai ini di perjalanan, kau tidak boleh bertemu klien dengan penampilan seperti ini. Rambut acak-acakan... haduh, kenapa tampangmu suram begini? Apa nanti kata klien kita kalau kau menghampirinya dengan aura-aura mengerikan begini?"
"Ino..."
"Sudah pergilah. Tapi ingat! Pulang kerja sebentar kau ikut dengan kami. Sana.. hush-hush... pergilah. Yang baik-baik ya, teman. Bye-bye..." usir Ino sambil mendorong pelan bahu Hinata. Hinata hanya menghela napas panjang lalu berjalan keluar kantor untuk menyetop taksi.
Mengapa ia harus ke Bar bersama Ino? Mengapa temannya itu... selalu saja memaksanya ke tempat mengerikan itu? Hah!
~0o0~
Menurut Hinata, setelah melewati hari yang melelahkan, setelah menyelesaikan semua pekerjaan yang menumpuk di kantor, harusnya kegiatan yang enak untuk dilakukan adalah pulang ke rumah, berendam di air panas, menikmati makan malam, dan tidur. Namun, yang dilakukannya sekarang malah duduk di mobil bersama lima teman kantornya menuju bar yang entah apa namanya.
Ia duduk di depan, di samping Ino yang berda di belakang kemudi. Sementara Sakura, temannya yang berambut pink; Tenten, temannya yang beretnis Tionghoa, serta Temari, temannya yang bekerja di bagian marketing duduk di kursi penumpang. Semuanya tampak bahagia kecuali Hinata yang terus saja memaku pandangannya ke luar jendela mobil.
"Hei, Hinata. Ada apa?" tanya sakura.
Hinata berbalik ke belakang dan melihat teman-temannya tengah menatapnya, terkecuali Ino yang masih berkosentrasi dengan mobilnya.
"Err.. tidak apa-apa kok."
"Kau yakin?" kali ini Tenten yang bertanya, pandnagan matanya menyiratkan rasa khawatir pada temannya yang dulu satu SMA dengannya itu.
"Iya. Mungkin, aku hanya banyak pikiran saja."
"Tenanglah Hinata. Di sana nanti, kau pasti bisa dengan bebas melepaskan rasa penat yang ada di kepalamu itu..." kata Ino melirik sekilas pada Hinata. "Sudahlah, kau itu terlalu serius bekerja. Santailah sedikit..."
Hinata hanya mengangguk saja, dan mencoba tersenyum pada teman-temannya. Bagaimana pun juga, ia tidak boleh merusak suasana bahagia teman-temannya ini dengan rasa penat yang merundungnya.
Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka sampai ke tujuan mereka. Ino memelankan laju mobilnya, dan memarkirnya di depan gedung yang dibagian pintu masuknya dihiasi dengan lampu neon berwarna-warni. Di atas pintu masuknya terpasang papan yang juga dihiasi lampu dengan bertuliskan RED BOOM. Setelah turun dari mobil, mereka berlima segera menuju pintu masuk yang dijaga oleh dua orang sekuriti berbadan kekar dan berpakaian hitam-hitam ala orang berkabung. Ino melemparkan pandangan centil dan melambai kepada dua orang penjaga pintu masuk itu. Dan dengan sigap keduanya membukakan pintu masuk untuk mereka.
'Apakah harus bersikap genit begitu untuk bsia masuk ke sini? Apa pria yang masuk ke sini juga harus seperti itu?' pikir Hinata lugu.
Setelah itu, mereka berlima melewati lobi panjang yang bernuansa ungu gothic dan berhiaskan lampu disko menuju ruangan lain d seberang sana. Begitu memasuki pintu masuk kedua, suara hinggar binggar musik langsung menyambut mereka berlima. Hinata yang nota benenya belum pernah ke bar sama sekali spontan langsung menutup kedua telinganya. Lampu disko yang berputar-putar dan bumbungan asap rokok, membuat matanya silau dan ia hampir saja terbatuk-batuk. Suasananya agak remang-remang karena hanya ada sedikit pencahayaan yang di sediakan.
"Kita ke pojok sana!" ucap Ino agak keras, mencoba meningkahi suara scrathing yang dimainkan DJ di atas panggung. Hinata dan yang lainnya hanya mengangguk saja lalu mengikuti Ino yang mencari tempat duduk.
Akhirnya, mereka menemukan tempat yang nyaman. Sebuah sofa merah yang terbuat dari beludru menjadi sasaran hempasan tubuh mereka berlima. Tak lama setelah itu, seorang waitress datang menghampiri mereka. Ino, dan yang lainnya memesan minuman dengan nama yang terdengar asing di telinganya sementara ia sendiri bingung mau memesan apa, karena seumur hidupnya—setidaknya sampai saat ini— lidahnya belum pernah mencecapi bagaimana rasanya minuman berkadar alkohol tinggi.
Melihat Hinata yang kebingungan, Ino membantu temannya itu memesan minuman. Ditambahkannya Cola Ice pada daftar pesanan mereka dan waitress itu pun berlalu. Hinata menghembuskan napas lega, dikiranya Ino telah melupakan janjinya.
"Tenang sajalah, aku tidak akan membiarkan kau, temanku yang paling lugu ini mabuk. Hahaha,,," ujar Ino pada Hinata yang hanya mampu mengangguk saja.
Sembari teman-temannya berbincang-binca, Hinata menyapukan pandangannya pada tempat yang begitu asing baginya. Orang-orang yang datang ke tempat itu berasal dari golngan umur yang berbeda. Sebagian besar berpakaian perlente, sementara sebagian lainnya berpenampilan ala anak muda. Ada yangd atang berkelompok, berpasang-pasangan, atau sendirian. Sebagian dari mereka tampaknya datang untuk bersenang-senang, sementara yang lainnya datang untuk melepaskan frustasi. Musik yang dimainkan DJ pun makin keras dan menhentak, seolah-olah mengundang setiap orang untuk menggoyangkan tubuh mereka di lantai dansa.
Sakura saja, yang walaupun sedang duduk sudah mulai menggoyang-goyangkan badan dan mengetuk-ngetukkan kakinya ke lantai. Ruangan yang remang-remang itu mulai dirayapi dengan asap rokok yang mengepul, membuat Hinata yang tidak terbiasa dengan hal itu terbatuk-batuk. Untunglah waitress segera datang membawakan minuman mereka. Sakura, Tenten dan Temari masing segelas Wine, Martini, dan Coktail. Sementara Ino mendapatkan segelas besar Bir. Ia sendiri pun diberikan segelas sedang Cola Ice.
"Hmm, aku sudah tidak sabar untuk segera turun berdansa." Ucap Sakura sambil menyeruput Wine-nya.
"Hei, Sakura... apa kau yakin mereka akan datang? Shikamaru kan tidak suka tempat yang seperti ini." tanya Temari
"Sudahlah, Sai pasti akan merayu mereka semua untuk datang, kau tenang saja. Iya kan, Ino?"
Ino mengangguk dengan semangat. Disesapnya sedikit bir yang ditambah dengan es batu itu.
"Mmm... mereka? Memangnya siapa lagi yang mau datang, Ino?" tanya Hinata terheran-heran. Menatap temannya yang begitu menikmati suasana tempat remang-remang ini.
"Sasuke dan kawan-kawan. Naruto juga ada loh..." goda Ino. Sontak, Hinata pun terkaget. Bulu romanya meremang, matanya membulat dan berharap agar ia salah mendengar ucapan Ino. Ruangan ini terlalu berisik, jadi pasti ia salah mendengar ucapan Ino.
"Sss... sii...siapa?" tanya Hinata lagi, berharap agar apa yang didengarnya barusan itu benar-benar salah. Namun Ino malah tersenyum padanya dan memberikan pandangan menggoda.
"Naruto! Ah... kau ini!" ucapnya, menyambar bahu Hinata pelan.
"Nnn... Naruto?" ada getaran dalam suara Hinata. Badannya menegang, dan tangannya mulai berkeringat. Diremas-remasnya tangannya guna menghilangkan rasa gugup yang mendera. Jantungnya mulai berdetak-detak tak karuan bahkan hanya karena mendengarkan nama pria itu saja. "Nnnnaa..Naa... Narut...to?"
Senyum Ino makin lebar, dan angukkannya pun makin semangat. Dia merasa senang, karena berhasil menggoda sahabatnya yang pemalu itu. Lagi pula, ia juga dengan sengaja tidak berkata apa-apa saat mengajak Hinata ke sini.
Mungkin saking gugupnya, Hinata sudah tidak memperhatikan apa-apa lagi. Hinata langsung saja menyambar gelas yang ada di hadapannya dans egera meminumnya sampai tandas. Alisnya yang tajam berkerut-kerut merasakan asam yang tak terkira masuk ke dalam tenggorokannya. Teman-temannya yang melihat hal itu hanya mampu memelototkan mata dan menahan napas sampai cairan hitam kecoklatan yang ada di dalam gelas itu habis tak tersisa.
"Grmmphhh..." Hinata mengerjap-ngerjapkan matanya yang dirasanya agak berkunang-kunang sehabis minum. Dilihatnya teman-temannya itu sedang menatapnya dengan pandangan terkejut dan tidak percaya. "Aaada... apa? Hei, Ino apakah... Cola yang dijual di sini itu rasanya seperti cuka? Cola ini asam sekali rasanya..." uja Hinata sambil mengangkat gelas besar yang baru saja ia habiskan isinya.
"H-Hi... Hinata..." panggil Tenten yang mulai tergagap-gagap seperti Hinata, "Yyya... yang barusan kau minum itu... Bbbirrr..."
"Appaa..?" tanya Hinata yang mulai merasa pusing dan berkunang-kunang.
"BIR!" ucap teman-temannya serempak.
"Bir ya? Hmm... rasanya... lumayan juga, hehehe..." tampaknya Hinata mulai kacau dibawah pengaruh alkohol yang masuk ke perutnya dengan jumlah yang sangat banyak itu. Spontan, ia langsung berdiri dengan terhuyung-huyung dan meneriaki pelayan. "Hei! Pelayaaannn... aakuuu pesaan lagi! Satu gelasss... ah, buukan. Limmmaaa gelasss besar bbir—"
"Hinata!" Ino langsung meneriakinya dan menariknya untuk duduk. Sakura langsung saja menggeser duduknya untuk lebih dekat dengan Hinata dan mengelus punggung yang dipenuhi hamparan rambut panjang Hinata. Teman-temannya mulai merasa khawatir karena mereka tahu, sesedikit apa pun kadar alkoholnya, Hinata paling tidak bisa minum dan akan langsung mabuk.
"Haduhhh... bagaimana iniii?" tanya Tenten yang mengibas-ngibaskan ttangannya mencoba meredakan kepanikan yang menyerang mereka. Hinata tidak tahan dengan alkohol. Ia tahu itu. Ia bisa disate Neji kalau tahu sepupunya itu mabuk.
"Ituuu... Apaa, eh? Apakah ituuu birr jugaa? Eh?" tanya Hinata yang berusaha memfokuskan pandangannya menunjuk pada segelas Cocktail yang ada di depan Temari. Dengan gerakan cepat, Hinata berusaha meraih gelas itu namun dengan sigap Ino dan sakura menahannya agar tidak bisa bergerak lagi.
"Ayolah, Hinata... masa' segelas bir saja membuatmu mabuk, sih?" timpal Temari yang tampaknya paling tenang diantara teman-temannya yang lain.
"Siapa yang mabuk? Aku ini tidak mabuk tahu!" Hinata mulai meracau. Dihempaskan tangan Ino yang mencekalnya sedari tadi. Ia mulai merasakan gerah dan panas di dalam tubuhnya, napasnya mulai tak beraturan dan ia merasa tak nyaman dengan tangan-tangan yang menahannya.
"Hei, Innnooo... mana pria-pria itu? Hee? Mana si Naruto itu? Haaa... akuuu ingn menyatakan cintaku padanyaa, hahaha..." sambung Hinata lagi.
"A...APAAA?"
Ino dan lainnya makin panik. Teman mereka yang satu ini pasti sudah benar-benar di bawah pengaruh alkohol. Hinata mau menyatakan cinta? Yang benar saja! Berdekatan dengan Naruto saja ia hampir pingsan. Mereka telah berteman sejak masa SMA mereka, dan mereka sangat tahu Hinata. Meskipun sudah berumur 20 tahun, dan telah memendam perasaan cintanya begitu lama, Hinata sama sekali tidak pernah, benar-benar tidak pernah bisa mengatakan perasaannya yang sesungguhnya pada Naruto. Jadi, tentu saja Ino dan yang lainnya panik! Okelah, mereka memang sangat berharap agar Hinata punya sedikit keberanian untuk berbicara pada Naruto. Namun, bukan, bukan dibawah pengaruh minuman seperti ini.
"Menyatakan cintaku, hahaha..." Hinata berdiri lagi, walaupun tidak tegak dan mulai meracau. "Hei, apa kalian tahu? Betapa aku sangat mencintai Naruto? AKU SANGATTT MENCINTAINYA!"
"Hii...Hinata... tenanglah, di sini ada banyak orang.." cegah Tenten, mencoba meraih tangan Hinata dan menyuruhnya duduk. Orang-orang yang berada di dekat mereka sudah memperhatikan mereka sedari tadi.
Namun Hinata menepis tangan Tenten, mengangkat tangannya dan menyuruh agar teman-temannya itu diam sementara ia melanjutkan racauannya. "Memangnya... siapa yang mengatakan kalau di sini tidak ada orang, Tenten? Hmm? Aku sengaja tahu! Sengaja... agar semua orang tahu... betapa aku saaaangggat cinta pada Naruto. Apa kalian tahu, he? Sejak kapan aku mencintainya?sejak taman kanak-kanak! Kalian tahu! Taman kanak-kanak... oh, bukan... bukan sejak taman kanak-kanak. Tapi sebelum aku dilahirkan ke dunia ini aku sudah mencintainya! Oh, betapa lamanya aku mencintaimu, Naruto Uzumaki! Sejak dulu, secara diam-diam aku selalu meperhatikannya. Tapi apa... apa? Dia bahkan tidak tahu perasaanku padanya.
"Memang benar perkataanmu itu, Ino. Dia terlalu bodoh untuk menyadari perasaanku. Dia sangat... sangat sangat tidak peka terhadap perasaan perempuan sepertiku. Dia itu sudah dibutakan oleh cintanya pada Sakura, teman pink kita ini, hahaha... dia tidak melihat ada aku yang rela memberikan apa saja untuknya demi cintanya padaku. Dia tidak pernah melihatku! Dia tidak pernah memperhatikanku! Tidak pernahhh..."
"Hi...Hinataa..." panggil Ino dengan suara yang bergetar, matanya memberikan pandangan takut dan memohon pada Hinata. Hinata balas menatapnya dengan tidak fokus. Ino melirik bagian belakang Hinata dan memberikan kode dengan dagunya agar Hinata menoleh ke belakang.
"Kau kenapa, eh, Ino? Sedang senam leher ya?"
"Iiii...it..ittuuu...ituu... di belakangmu.." tunjuk Ino dengan gemetar ke arah belakang Hinata. Sakura dan yang lainnya menatap ngeri ke belakang Hinata. Dengan terhuyung dan berusaha menahan agar tubuhnya dapat berdiri tegak, Hinata membalikkan badannya. Dan didapatinya...
Naruto sedang menatapnya. Lekat-lekat.
~0o0~
TO BE CONTINUED
Ahoyyy! Rhyme kembali lagiiii...dengan fanfic yang err... entahlah.
Oh Iya teman-teman NHLku tercintaaa... apa kalian ingat sesuatu untuk bulan Juli nanti? ingat? Ingat? Ingat?
Tanggal 7 Juli nanti kita akan merayakan HTNH/NHTD's Second Year! Yuhuuu...
Jadi siap-siap, ne. Cek-cek kotak PM akun FFn masing-masing karena akan ada undangan untuk HTNH di sana. Atau kalian bisa baca mengenai HTNH di...
www . naruhinalovefamily . proboards . com (spasi dihilangkan)
jangan sampai ketinggalan ya, NHL! Ayooo kita semarakkan HTNH tahun ini!
YEAAAHHH!
Weiiitsss, narsiez dikit gak apa yaphz?
NaruHina,
The Greatest Pairing... Ever After...
(Tidak suka, bos? Bakar laut... Wuahahahah)
