Secret Love

By: Ietsuna G. Ventisette

CG

Cast: Cozart Simon; Giotto (Ieyasu Sawada)

Rated: T

Genre: Angst, Drama, Friendship

Katekyo Hitman Reborn!

©Akira AmanoAmano


[!]

OOC

•••


Pagi dingin yang cerah adalah waktu di mana para pelajar memanfaatkan waktunya untuk sekedar mengisi perut agar kegiatan mereka tak terganggu karena rasa lapar yang menghantui. Termasuk Cozart yang seorang mahasiswa sekalipun.

Cozart tengah memainkan sendoknya di atas sarapannya yang sedari tadi hanya ia mainkan. Matanya fokus pada jam dinding di ruang makan. "Lama," gumamnya lelah. Kalian tahu apa yang sedang Cozart tunggu?

Tiba-tiba suara langkah kaki yang tak asing itu terdengar. Cozart tersenyum ketika mendapati sahabatnya telah berada di depannya. "Cozart, maaf aku terlambat," kata Giotto sedikit terengah karena berlarian sepanjang jalan tadi.

Giotto langsung menarik kursi dan duduk. Mengambil minuman Cozart lalu meminumnya sampai habis. Tak ada protesan dari Cozart. Justru malah ada tawa di sana. Dan dialah orang yang Cozart tunggu sedari tadi. Giotto, sahabat semasa kecilnya. Hingga kini mereka telah satu kampus.

"Tidak biasanya." Cozart langsung membuka pembicaraan. Sarapan yang tadi ia mainkan mulai ia santap. Rasa makanannya lebih terasa. Tak hambar seperti sebelumnya.

Giotto menghela napas lelah. Memang tak biasanya terlambat seperti ini. Terlambat untuk ikut sarapan di rumah Cozart. "Aku bangun kesiangan," sahut Giotto pendek.

Cozart mengangguk-angguk paham. Karena semalaman mereka berbicara di telepon.

Keduanya sangat akrab satu sama lain. Bahkan keduanya sering berbagi untuk berbagai hal. Dari mulai makanan hingga pakaian. Bahkan keduanya tak jarang untuk berbagi kamar. Itu pun hanya karena tugas yang dosen mereka berikan nan serba mendadak.

Dari semua hal yang ada, ada satu hal yang tak pernah bisa Cozart pikirkan dengan akal sehat. Mengenai perasaan. Semua orang punya perasaan. Hanya saja yang Cozart miliki cukup berbeda. Ia memiliki rasa untuk sang sahabat.

Namun tidak demikian untuk Giotto. Dia memiliki tambatan hatinya sendiri. Seseorang yang baru memasuki kehidupannya. Seseorang yang baru itu sebenarnya tak sebanding dengan keberadaan Cozart yang selalu ada di sisinya.

Cozart tak tahu sampai kapan akan terus seperti ini. Menimbang-nimbang rasa dan memikirkan tentang kehidupan sahabatnya. Jika bersamanya, mereka takkan memiliki masa depan. Pikirannya terlalu jauh. Bahkan membuatnya seperti...

"Cozart? Apa kau mendengarkanku?" Erangan pikirannya terhenti kala mendapati sahabatnya tengah bertanya padanya. Membuat Cozart tersentak dari pikirannya.

"Ah, apa yang kau bicarakan?" tanyanya pura-pura tak mendengarkan. Cozart tak mau mendengar nama orang yang disukai sahabatnya. Cemburu. Ya, Cozart cemburu dengan orang itu. Orang yang berhasil menarik perhatian Giotto dalam waktu singkat.

Giotto menghela napas. "Sepertinya kau butuh angin segar." Giotto berhenti menceritakan tentang orang itu. Cozart tersenyum penuh kemenangan. Giotto fokus kembali pada dunia mereka. Dunia persahabatan antara pria dan pria.

Semakin lama Cozart sadar akan cintanya pada Giotto yang bertepuk sebelah tangan. Takkan ada harapan untuknya. Cozart merasa kalah dari seorang perempuan. Padahal dirinya adalah laki-laki.

Untuk beberapa waktu Giotto sadar akan perubahan sahabatnya, Cozart. Giotto tahu perasaan apa yang tengah Cozart rasakan. Jatuh cinta. Tapi Cozart tampak tersiksa. Tak seperti kebanyakan orang yang sedang jatuh cinta. Giotto tak bisa menerka apa pun tentang masalah yang sedang sahabatnya hadapi ini.

"Aku sahabatmu. Kau bisa menceritakannya padaku jika itu bisa membantu."

Cozart tak memberikan respon sedikit pun. Apa Giotto tak sadar sedikit pun tentangnya?

Giotto terdiam menunggu Cozart menjawab pertanyaannya. Hingga kedua mata mereka melakukan kontak satu sama lain.

"Aku tak yakin kau bisa."

Dari kalimat itu Giotto tahu jika yang sedang Cozart hadapi itu sangat berat.

Giotto mengubur dalam-dalam rasa cemasnya. Cozart pasti akan bisa mengatasi masalahnya.

Waktu berjalan terlalu cepat hingga perasaan yang Cozart tumpuk semakin menjadi-jadi. Khayalan intim tentang Giotto bermunculan seakan menjadi asupan cintanya yang tak pernah berbalas. Cozart senang dengan apa yang selalu ia khayalkan? Cozart tak menginginkannya. Yang ia inginkan adalah cinta nyata yang berbalas.

Sangat menyedihkan. Cozart sampai harus menahan diri saat Giotto mulai menceritakan orang yang ia sukai. Senyuman palsu yang selalu mengiringi tawa Giotto saat rasa bahagianya karena orang itu.

"Cozart, kami akan bertunangan." Ungkap Giotto suatu hari saat keduanya tengah mengerjakan tugas.

Tangan Cozart yang sedang mencatat itu tiba-tiba terhenti. Suhu tubuhnya turun drastis. Tangannya bergetar. Relung hatinya menjerit keras di dalam sana.

"Selamat." Cozart tak bisa mengatakan apa pun lagi. Cozart meletakkan pulpennya. Menutup buku catatannya dan tersenyum getir. Sementara pada wajah Giotto sangat bercahaya penuh kebahagiaan.

Giotto, apa kau tak menyadari perasaanku ini? Apa kau yakin dengan pilihanmu? Giotto, lihatlah aku sekali saja. Aku tak ingin seperti ini. Giotto jawablah aku...

"Giotto." Cozart menggenggam tangan Giotto erat. Terasa dingin dan bergetar.

"Cozart, kau sakit?" Giotto malah cemas dengan keadaan Cozarto sekarang. Tangannya menyentuh dahi Cozart. Suhunya normal. Begitu pula dengan wajahnya. Giotto menatapnya lekat. "Cozart, aku ingin kau jujur. Apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa denganmu?"

Cozart sedikit menunduk. "Aku..." Kenapa di saat seperti ini aku malah goyah? Cozart menggeleng pelan. "Aku baik-baik saja."

Aku tak baik-baik saja.

"Bohong." Giotto tahu Cozart berbohong padanya. Sudah bertahun-tahun mereka bersama.

Cozart mengangkat wajahnya. Perlahan wajahnya mendekati Giotto hingga napas keduanya yang bersahutan terasa. Cozart berhenti di titik amannya. Giotto tak terkejut sedikit pun. Tetap diam dalam posisinya. Giotto sadar dengan tatapan Cozart yang berbeda padanya meski hanya beberapa detik saja.

Wajah Cozart memerah dan tiba-tiba tawanya meledak tepat di depan Giotto. Seolah kejadian tadi hanyalah keisengan belaka. Giotto mendengus sebal dan kembali melanjutkan tugasnya.

Ada air mata yang keluar dari mata Cozart. Seolah air mata itu keluar karena tawanya yang tak tertahankan. Sebenarnya air mata itu adalah wujud dari tangisan Cozart. Kesedihannya yang tak tertampung di pelupuk matanya.

Penantian Giotto tiba. Hari itu Cozart tak beranjak dari ranjangnya sedikit pun. Kamarnya yang gelap menambah kesan betapa gelapnya relung hati Cozart. Jam dinding yang seharusnya menempel pada dinding kamarnya tergeletak tak berdaya di lantai kamar.

Jarum detik jam terus berdetak. Waktu terus bergulir. Cozart tak ingin melihat waktu di mana Giotto akan mengikat orang itu dalam tali pertunangan.

Jika bisa, Cozart ingin menghentikan semua ini. Merengkuh Giotto dalam dekapan eratnya. Menjadikan Giotto miliknya untuk selamanya.

Mata merah kompasnya meredup ketika menyadari waktunya telah berlalu. Sudah tak ada harapan lagi. "Aku menyerah," desah Cozart.

Aku pengecut. Aku tak bisa berbuat apa pun untuknya. Aku lemah.

Cozart memberanikan diri melihat jamnya di lantai. Semua akan berubah. Takkan ada lagi kebersamaan itu. Tawa dan semua hal yang terjadi saat masih bersama.

Mata kuning keemasan Giotto terus mengedarkan pandangannya. Tak terlihat batang hidung dari Cozart. Apa dia lupa? Tidak mungkin Cozart melupakan tentang hari pentingnya ini.

Giotto agak kecewa dengan tak hadirnya Cozart dalam acara pertunangannya. Tapi Cozart akan selalu menjadi sahabatnya sampai kapan pun.

"Sayang sekali," desah Giotto kecewa.

Pagi yang sama dengan hari yang berbeda. Dalam hening Cozart menyantap sarapan paginya meski selera makannya kurang. Hatinya masih berharap lebih jauh. Apakah paginya akan kosong setelah ini? Cozart tak bisa membayangkannya sama sekali. Perasaan yang menyiksa itu sebenarnya ingin ia menyirnakannya. Namun sulit. Sangat sulit. Tak seperti rumus-rumus yang selama ini bisa ia jabarkan meski rumit sekalipun.

"Cozart."

Suara yang tak asing itu serasa nyata. Cozart mengangkat wajahnya dan menemukan Giotto tepat di depannya dengan senyuman cerahnya. "Sarapan?"

Giotto mengangguk dan duduk di kursi yang selalu ia tempati. Bersebarangan dengan Cozart.

"Aku kecewa padamu." Giotto memakan roti bagiannya yang selalu tersedia di sana.

Akulah yang lebih kecewa padamu, Giotto. "Kau ingin hadiah dariku?"

Giotto mendengus sebal. "Dipernikahanku nanti, kau harus datang."

Giotto, kau malah akan semakin menyakitiku. "Aku akan datang untuk sahabatku." Aku ingin merebutmu darinya.

"Kunantikan itu." Giotto tersenyum kembali dan menikmati sarapannya. "Dan kuharap kau bersama seseorang di sana," lanjutnya.

Seseorang yang kuinginkan adalah kau, Giotto. "Semoga saja." Kau segalanya bagiku.

Pagi Cozart mungkin akan sama seperti pagi lainnya. Menikmati sarapan bersama sang sahabat.

Sampai kapan pun aku akan terus mengharapkanmu, Giotto. Meski kau telah berdua di sana. Aku akan tetap menantikanmu. Aku takkan mengenal waktu. Malamku hanya untukmu...

"Kita pergi."

Tangan Giotto yang menggenggam tangannya takkan pernah ia lupakan. Kehangatan tangan Giotto akan selalu berbekas dihatinya.

Langkah kaki keduanya yang beriringan menuju kampus adalah tempat berbatas untuk kebersamaan mereka. Sebagai sahabat sejati.

Hanya waktu yang meler yang bisa membuat Giotto menggenggam tangannya. Sama sepertinya yang terlambat menyatakan cintanya. Lebih buruk lagi jika Giotto tak memiliki sedikit pun ruang untuknya. Tapi jika Giotto tahu, bukankah itu lebih baik meski dibenci sekalipun? Seandainya saja Cozart lebih berani menjunjung perasaannya ketimbang persahabatannya.

Biarkan perasaannya yang terus tumbuh itu menjadi rahasia cintanya. Cukup dirinya yang tahu isi hati dirinya yang sejati. Cozart tahu kehidupan cintanya akan terus tersakiti. Namun itulah perjuangan yang bisa Cozart pupuk. Demi yang terkasih. Giotto seorang. Cozart yakin dengan apa yang ia lakukan.

•••

•Fin•


Thanks for reading minna-san!

Ciao!

[Ietsuna G. Ventisette]