#The First
Aku berlarian ketaman-taman sekitar. Menikmati hembusan angin musim gugur yang dingin nan menyenangkan. Hari valentine bertepatan dengan musim gugur. Dengan coklat ditanganku, dan mulut ini yang terasa lucu saat menggigitnya.
Negeri Sakura memberikan keindahan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya dan setelah sekian lama aku berdiam diri di rumah. Sejak kecil aku tinggal di Amerika. Hanya beberapa kali kesini untuk mengunjungi nenekku, nenek Chiyo. Kebiasaan disini sangat berbeda sekali dengan Amerika. Penduduknya lebih ramah dan sopan, berbanding terbalik dengan Amerika yang cenderung bebas dan penduduknya cuek-cuek saja. Walaupun, sebenarnya aku juga termasuk orang yang cuek dan tak mau peduli.
Oh ya, namaku Haruno Sakura. Aku sudah berumur 20 tahun. Seperti bunga kebanggaan tanah kelahiranku, Japan. Warnanyapun senada dengan rambutku. Dan sekarang adalah musim gugur, bunga sakura berjatuhan dengan indahnya terterpa angin musim gugur. Aku sangat suka dengan namaku, yang lahir dimusim semi. Awalnya banyak yang mengejek rambutku aneh, tapi aku telah terbiasa dan tak pernah mempermasalahkannya. Walaupun aku sempat mengeluh tentang rambut pink ini.
Karena kelelahan, akupun memutuskan untuk beristirahat dibawah pohon sakura sambil membaca novel kesukaanku Harry Potter. Danaunya begitu indah, dan berkilauan terterpa sinar matahari. Suasana indah menambah mood yang baik untuk membaca. Haahh... senangnya.
Saat asik-asiknya membaca, aku terkejut dengan kehadiran dua anak kecil yang berlarian ketakutan sambil berteriak minta tolong. Aku segera bangkit dan melihat apa yang terjadi. Nampak dua anak kecil tadi dikejar-kejar oleh tiga orang yang cukup mecurigakan. Walau bagaimanapun aku juga harus menolongnya. 'Yosh... ini saatnya menunjukkan keahlianmu Sakura', gumamku pada diriku sendiri.
Aku melangkahkan kakiku cepat menuju mereka.
"Hai, apa aku mengganggu ? aku ingin mengambil anak-anak ini?" sapaku dengan nada mengejek, dan ke dua anak tadi bersembunyi dibalik tubuhku.
"Berikan anak itu! Dia adalah mangsa kami!" ucap salah satu preman tadi.
"Kalau aku tidak mau bagaimana?" tanyaku mengejek, lagi.
"Kau mau mengakhiri hidupmu gadis cantik? Oh.. kalau begitu kita punya mangsa double disini!" salah satu preman tadi berujar, dan preman lainnya ikut mnyeringai.
"Cobalah kalau bisa!" ucapku dingin.
"Kau menantang kami? Baiklah kalau itu maumu!" aku bersiap mengambil ancang-ancang ketika salah satu preman maju menyerangku. Dengan gerakan kilat, dapat kulumpuhkan preman ini hanya dengan sekali pukulan diwajahnya. Melihat temannya jatuh, kedua preman itu dengan geram mulai maju dan menghajarku. Otakku pun tak kalah cepat, aku berlari kearah sisi pohon yang terdekat. Dan dengan sekuat tenaga, dan melayang secara berbalik menghajar kedua preman tadi dengan tendangan kaki. Bisa dibilang ini cara paling ampuh untuk melumpuhkan dua orang sekaligus. Preman yang tadi kupukul wajahnya, mengarahkan sebatang kayu keras dan memukulku pada bagian kaki hingga aku terjatuh. Rasa sakit dan memar tercetak dibetis putihku.
Kedua anak tadi terkejut melihatku terluka. Yang perempuan menangis dipelukan kakak laki-lakinya, mungkin. Tapi dengan cepat aku bangkit. Dengan cepat aku meninju preman itu dan menendang preman lainnya. Aku tampak brutal menghajar mereka, walaupun biasanya malah lebih brutal daripada ini. Sekilas kulirik kedua anak tadi memandang ketakutan padaku.
"Ampun...ampuni kami, !" ucap preman tadi sambil sujud-sujud karena bonyok habis kuhajar.
"Dengarkan! Lain kali, cari cara yang lebih baik dari ini. Aku akan melihat kalian berhasil nanti!" kataku tersenyum. Preman itu mengangguk dan meminta maaf padaku.
"Kami berjanji, akan mencari usaha yang baik!" ucap preman itu sungguh-sungguh.
"Baiklah, jika kalian ingkar, kalian akan kuhadiahi tinju yang lebih parah dari ini." Ujarku dingin, lalu tertawa hambar. Preman itupun berlalu dan pergi.
Aku melangkahkan kakiku menghampiri kedua anak tadi. Aku melangkah dengan terpincang. Akupun tersenyum sambil menatap mereka.
"Apa kalian tidak apa-apa?" tanyaku dengan lembut. Merekapun mengangguk tanda iya. Aku tersenyum tulus menatap mereka lagi. "Tenanglah, mereka sudah pergi. Kenapa menangis adik kecil? Nee-chan ada disini melindungimu. Jadi jangan takut ya..." sambungku lagi.
"Nee-chan hebat sekali..." puji anak laki-laki itu, walau terkesan dingin. Aku tersenyum mendengarnya. "Apakah aku bisa seperti Nee-chan?" sambungnya lagi.
"Tentu bisa, kamu kan laki-laki jadi harus bisa lebih hebat dari nee-chan. Ngomong-ngomong siapa namamu adik kecil?" jawabku sambil tetap tersenyum.
"Aku Hikari, dan ini adikku Sancai, !" jawab anak laki-laki tadi.
"Nah, aku Sakura. Panggil saja Sakura-nee. Hikari ,Sancai kalian harus pulang. Ini sudah semakin sore. Orang tua kallian dimana? Nanti nee-chan akan mengantar?" ujarku sambil merangkul pundak mereka.
"Kami tidak tau, tadi kami tiba-tiba diculik oleh orang tadi..." jawab Sancai lirih.
"Kami tadi sedang berjalan-jalan ditaman bersama orangtua kami, tapi preman itu ingin menculik kami dan minta tebusan kepada orang tua kami. Aku tidak tau kenapa, selalu ada yang mengincar kami, hingga orang tua kami mencarika bodyguard dan menjaga kami. Mungkin kekayaan orang tua kami yang cukup terkenal." Jelas Hikari sambil menatap sedih adiknya. Ini seperti film yang ekstrim. Dan anak tak bersalah harus jadi korbannya.
"Kaya dan terkenal ya... apa nama marga keluarga kalian?" tanyaku
"Uchiha ..."
Aku tidak pernah mendengarnya, memang juga baru sampai di Jepang. Hehe... . aku segera membuka ponsel ku dan mencari keberadaan distrik Uchiha dengan internet. Ternyata memang sangat terkenal. Yang aku bingungkan bagaimana anaknya mudah lolos dari pengawasan mereka? Ah, bodo amat. Lebih cepat mengantar anak ini, lebih cepat aku keluar dari masalah.
"Baiklah, nee-chan tau distrik kediaman Uchiha. Sekarang nee-chan akan mengantar kalian pulang.!" Ujarku tersenyum pada mereka.
"Benarkah? Terima kasih nee-chan." Ujar Sancai sambil berjingkrak memelukku.
Dalam perjalanan menuju distrik Uchiha, kami menaiki angkutan umum dan mulai berjalan di komplek jalan 'Sharinggan' yang cukup aneh bagiku. Selama berjalan aku membelikan mereka eskrim dan mengganti pakaian mereka yang terlalu mewah. Bocah laki-laki berumur delapan tahunan itu tampak nyaman-nyaman saja dengan pakaian sederhana begitupun adiknya yang sekitar lima tahunan. Hanya untuk mengurangi perhatian jika menggunakan baju semewah itu dan dapat dikenali pula. Bisa-bisa aku yang dapat masalah. Baru sehari disini sudah berkelahi dengan preman, bagaimana dengan hari selanjutnya. Hahaha...
Aku sempat mendengar gumaman Hikari 'lebih baik jika menjadi orang biasa saja'. Pikirannya sudah dewasa ternyata. Kulihat dia memandang penuh arti pada segerumbulan anak yang sedang bermain bersama dengan ceria tanpa beban. Aku berhenti berjalan dan menepuk pundak Hikari. Ia menoleh, "Kau tidak boleh seperti ini, kau harus bersyukur karena tidak ada anak sesempurna dirimu. Karna kau itu harus kuat, oke?!"
"Aku hanya ingin setenang mereka Nee-chan, mereka tanpa khawatir ada yang mengincar nyawanya setiap saat!"
"Kau sudah ditakdirkan menjadi orang yang seperti ini, kau tau? Banyak yang iri padamu, tai mereka tak tau sulitnya dirimu. Dan kau iri pada mereka, tanpa tau kesusahan mereka. Bukankah semua sudah ditentukan? Tadi Nee-chan kan sudah bilang, karna itu kau harus kuat, oke?"
Ia tersenyum dan mengangguk sebagai jawaban. Sepertinya ia bertekad dalam hatinya. Sancai yang mendengar percakapan kamipun langsung memelukku dan minta digendong. Dasar anak kecil.
"Itu ... itu..itu lumah kami nee-chan." Sancai berteriak sambil memamerkan bangunan megah di setiap kanan jalal. Kalau bagiku sih ini bukan rumah, tapi istana bangsawan. Huft ... dasar terlalu kaya. Aku, Hikari, dan Sancai yang berda digendongan punggungku melangkah ke gerbang rumah itu. Penjaganya terlihat syok dengan kehadiranku dan bocah uchiha yang cukup terkenal ini. Tapi setelah itu, ia membuka gerbang juga.
Kesan pertama adalah 'WOW' . Beberapa tatanan taman depan yang terlihat begitu rapi. Air mancur yang indah dan beberapa lampu di sekitarnya dan juga tempat minum untuk burung-burung yang berada di sudut taman. Walaupun sangat mewah tapi ini bergaya tradisional Jepang.
Saat sampai didepan pintu, aku memencet bel dan dibukakan oleh seorang wanita cantik berambut panjang, mungkin ibunya. Aku menyapanya dengan ramah.
"Salam Nyonya, saya kesini ingin mengantarkan Hikari dan Sancai." Sapaku
"Nenek..." Hikari dan Sancai langsung memeluk wanita itu. Ternyata neneknya. Dan wanita itu balas memeluknya.
"Ya ampun.. kalian darimana saja, tadi ibumu bilang kalian diculik."
"Nee-chan ini menyelamatkan kami." Ucap Sancai
"Terima kasih ya... mampirlah dulu, sebagai ucapan terima kasihku telah menyelamatkan cucuku." Ujarnya sambil tersenyum tulus.
"Ayoolah nee-chan..." akupun tak mampu menolak rengekan anak-anak tadi. Apalgi melihat pupy-eyesnya sancai. Tch, menyebalkan.
"A... iya deh. Terima kasih Nyonya, maaf merepotkan." Ujarku tersenyum.
"Silahkan masuk.." ucapnya ramah. Aku mulai masuk rumah itu dengan sedikit gugup. Pasalnya aku tak mengenal ini keluarga apa. Hah? Yang benar saja. "Jangan sungkan... anggap saja rumah sendiri. Cucuku jarang menyukai orang yang pertama kali dikenal, tapi mereka langsung menyukaimu. Pastilah kamu orang baik.." tutur wanita tadi yang mengerti kegugupanku. Aku hanya mengangguk gugup.
Ruang tamunya mewah sekali. Kalau diluar bergaya tradisional, berbeda sekali kalau didalam. Yang didalm malah terkesan modern dengan barang mahal dan gaya khas Eropa. Sampai diruang tamu, wanita tadi memanggil pelayan untuk memberikan jamuan.
"silahkan duduk, ... oh ya, siapa namamu nak?"
"Sakura.. " jawabku sebisa mungkin tidak kikuk.
"wahh... cantik seperti bunga kebanggaan Jepang. Rambutmu warnanya juga sama... Waah.. kau cantik sekali!" pujinya
"Ah aa. Anda berlebihan nyonya," aku tersenyum malu.
"Tidak usah malu.." ,
"Nenek –nenek, tadi Sakura-nee menghajal pleman dengan hebat. Semuanya kalah." Ucap Sancai, akupun mendelik dan meletakkan jari telunjuk dibibir supaya dia diam.
"Benar nenek.. tapi Sakura-nee terluka. Tapi dia kuat nek, Hikari ingin seperti nee-chan.." haduhh... wanita tadi tersenyum mendengarkan penuturan cucunya. Sedang Sancai terus berceloteh dengan Hikari tentang bagaimana aku sedang menghajar orang yang jahat bagi mereka.
"oh ya, aku Mikoto Uchiha.., mari diminum jamuannya..." aku mengangguk dan mengambil secangkir teh yang disediakan. Kami berbincang masalah kehidupan muada dan darimna asalku. Akupun heran kenapa bisa seakrab ini? Toh besok juga bagai angin berlalu.
Tiba-tiba seorang laki-laki berambut panjang dan berkuncir masuk dan dengan wajah ngos-ngosan bersama wanita cantik memandang sedih.
"Okaa-san, aku dan Hana tak bisa menemukan Hikari dan... Sancai Hikari, Bagaimana kalian bisa disini?" laki-laki tadi terkejut melihat bocah yang aku yakin itu anaknya saling beradu mulut. Dan sang wanita langsung memeluk kedua anak itu dengan haru. Hingga Sancai meneriakkan kata "Kaa-chan..."
"Tenanglah Itachi, mereka selamat. Semua berkat Sakura-chan ini ... makanya lain kali kau jangan bodoh meninggalkan anakmu bermain sendiri." Ucap bibi Mikota sambil menepuk pundak anaknya itu. Sekialas orang yang disebut Itachi itu melirikku dan kembali melirik ibunya. Dan bibi Mikoto hanya mengaguk.
"Terima kasih banyak telah menyelamatkan anak kami.. Aku Itachi Uchiha, salam kenal.. dan itu istriku Hana, Hikari dan Sancai adalah anak-anakku..." ucapnya ramah sekali tak kalah ramah dengan ibunya.
"Salam kenal Tuan.. saya Sakura," ucapku dengan tersenyum
"Apa yang bisa kulakukan untuk berterima kasih padamu?"
"Ah tidak usah, saya senang bisa menolong. Tadi Hikari juga ... EEEhhhh?!" aku terkejut ketika seseorang memelukku.
"Terima kasih banyak, kalau tidak ada dirimu pasti aku akan kehilangan anakku..." ternyata wanita itu Hana, istri Itachi. Akupun tersenyum lembut menanggapinya.
"ah.. bukan apa-apa. Saya senang bisa membantu!" ucapku balas memeluknya.
"Tadi hikari bilang kau terluka dipukul kayu, masih sakit kan? Dan kau juga menggendong Sancai? Ya ampunn.. kau ini. Aku sangat berterima kasih"
"Ahh.. tu, nanti aku akan mengobatinya, Sancai juga tidak berat kok.. jadi aku tidak apa-apa Nyonya.."
"Itachi... kau ini ! Cepat obati Sakura, dimana kemanusiaanmu sebagai dokter hah?" bentak istrinya pada suaminya itu .
"Ah.. tidak usah,..saya..."
"Tak apa Sakura, ini sebagai balas budi kami.." Akupun hanya bisa menurut.
#ohayoo.. gomen-nee ceritanya jelek . cuma sorang yang lagi bosen dan pengen gabung di ffn. Kritik dan Saran_sangat dibutuhkan..
