Konnichiwa minna – san! Saya mau buat fic lagi, nih :3 But, remember, don't like don't read. Don't forget for Read and Review! :3 #Versigapakebacot

"Detective Conan dan Magic Kaito bukan punya saya."

Disclaimer

Detective Conan and Magic Kaito hanya punya Aoyama Gosho – sensei

Story by Tiramisu–chan30

Author gak becus dalam urusan coretcoretperasaancoretcoret sendiri

Hanya meminjam chara untuk kepentingan khayalan astral

OOC detected

[Detective Conan Magic Kaito] Fanfiction

"Yah, seperti itulah. Mungkin aku akan menembaknya.. nanti." Ujar seorang pemuda pada gadis di sampingnya. "Benarkah? Kalau begitu berusahalah! Kuharap, Asami – san menerima mu!" Gadis beriris amethyst tersebut tampak tersenyum. Pemuda berambut spike itu hanya menggangguk. Setuju akan apa yang telah dikatakan oleh gadis di sampingnya ini.

Mereka terdiam sebentar. "Sejak kapan kau menyukainya, Shinichi – kun?" Tanya gadis itu, sambil memandang pada lawan bicaranya. Yang ditatap hanya cengengesan. "Sejak aku masuk club bola! Dia menjadi manajer club kami. Apa kau tahu, dia itu sangat payah dalam membuat Lemon Pie!" Seru pemuda itu dengan tertawa. Hanya senyuman yang lagi-lagi dibalas oleh gadis yang bermarga 'Mouri' ini. "Ohh, begitu ternyata.." .

If He Knew

Detective Conan and Magic Kaito Aoyama Gosho

Story by Tiramisu – chan30

01.23 PM

Ran's Pov

"Mata ashita, minna!" Sekelompok murid perempuan saling melambaikan tangan di depan pintu kelas. Aku pun mengemas barang-barang ku dan segera keluar kelas. Aku tersenyum dan membalas sapaan teman-teman ku dengan 'Jaa!' atau terkadang 'Bye!". Hanya dua kata itu.

Jujur. Aku masih memikirkan kata-kata pemuda itu. Yang selalu muncul dipikiran dan benakku. Yah, dia. Kudo Shinichi. Dulu, aku sedikit menaruh perhatian ku pada murid paling pintar di kelas. Teman- temanku menjulukinya 'Multifungsi Boy'. Aku tertawa saat mendengar hal itu. Sebelum, ia tau bahwa aku menyukainya, aku dan ia sangat akrab. Kami sering mengobrol. Seiring waktu, dia lebih sering mendiamiku bahkan menjauhiku. Dan ada satu hal yang aku tahu saat itu.

"… Dia tau kau menyukainya."

Lalu? Dimana letak masalahnya?

"… Dan dia mulai menjauhimu. Baginya, kau dan dia itu hanya sebatas teman yang setiap bertemu hanya mengucapkan 'Pagi' atau sebagainya."

Yah. Pemuda aneh yang jika dia tau bahwa ada yang menyukai dirinya, dia akan menjauh atau menyuruhmu untuk menjauh. Dan saat hatiku sudah tidak berpihak padanya, aku dan dia sekarang, duduk bersebelahan. Aku mulai gila sejak aku duduk bersebelahan dengannya. Sifatnya yang kalem itu memang tidak salah. Yang selalu menegur jika aku berceloteh dengan temanku yang lain. Dan yang pastinya, entah kenapa aku tidak bisa menegurnya. Dia pasti bisa mejawabku dan alhasil, aku hanya mendapat malu, bukan?

Aku tersenyum miris mengingat hal tersebut. "Kau manaruh hati padanya, dan dia jauh. Dan sekarang kau sudah beralih ke yang lain, dan sekarang kau dekat dengannya. Sungguh, takdir itu adalah sesuatu yang mengerikan." Batinku sambil terkekeh pelan. Aku pun duduk dibangku samping sekolah. Sambil mengeluarkan kotak bekal ku. Kubuka tutupnya dan kuambil sepotong roti selai coklat tersebut.

"Lho? Ran – chan?" Seseorang sedikit mengejutkanku. Menengadahkan kepalaku. Tampak gadis yang berpakaian sepertiku berdiri dihadapanku sekarang. Dia kemudian tersenyum. "Aoko – chan .. sedang apa disini?" dia lalu duduk disampingku. "Ayahku ada urusan dikantornya. Yah, kau taulah. Urusan Kaito Kid." Aoko memasang wajah kesalnya. "Sou." Hanya respon singkat itu yang keluar dari mulutku.

Aoko melihat ke arahku. Dia sedikit menatapku lekat. "Ada apa?" Pertanyaannya sedikit membuatku terkejut. "Apa maksudmu, Aoko – chan?" Tanyaku balik. "Kau tidak biasanya." "Apanya?" aku lagi-lagi menjawab dengan bingung. "Apakah ada yang terjadi? Antara kau dan 'dia', Ran?" dia memanggil namaku tanpa suffix 'chan '. Dan biasanya, Aoko akan memulai acara interogasinya.

"Hah?" Sukses membuatku sedikit tersipu. "Apalah, kau ini. Tidak ada." Aku berusaha mengelak. Tapi, Aoko memegang pundakku dan menatapkan mataku pada iris sapphire – nya. Aku mengerti. Dia menyuruhku untuk jujur.

"Dia.. menyukai orang lain." Ucapku dengan nada yang bisa disebut tidak semangat. Dia memandangku. "Tapi, apa kau tau? Aku senang melihat senyumannya tadi." Aku berusaha tersenyum.

"Jangan tunjukkan senyum itu padaku, Ran." Ucapnya. Hening sesaat. Aku menatapnya terus. "Eh?" Nada bicaraku terdengar kikuk. Aku menatap tempat bekalku. Berusaha tersenyum. Lagi. " Apa kau tau? Mungkin aku ini hanya dianggapnya sebagai teman curhatnya. Dan mungkin aku harus sedikit mengubah 'status'nya dalam hidupku." Pasti. Ucapan itu terdengar berlebihan. "Hei Aoko, kau salah …" aku memotong kalimatku. " … Aku menyukainya."

Hening ketika itu juga. Aoko menatapku lekat. Sedangkan aku menolak untuk menatap iris sapphire seorang Nakamori Aoko. Tidak ada suara yang keluar dari bibir kami. Tidak bergetar sama sekali. Hanya angin yang mewakilkan ucapan kami. Mengisi kekosongan saat itu. Membelai pelan pipiku.

"Tidak, Ran. Aku tidak salah. Kau tidak menyukainya.. tapi, kau menyayanginya." Kalimat itu terlontar mulus dari bibir Aoko. "Itu tidak mungkin. Kau yang bilang sendiri,"

"Kalau seorang gadis merasa cemburu pada gadis lain karena seorang lelaki, maka gadis itu menyukai pemuda tersebut."

Aku mengulang ucapannya padaku 3 hari yang lalu. aku masih ingat betul apa yang diucapkannya. "Tapi, kau tidak seperti itu, Ran!" Ujar Aoko. Aku menatapnya.

"… Dan jika gadis tersebut selalu tersenyum melihat pemuda itu tersenyum walaupun tidak bersama dirinya.. berarti ia menyayangi pemuda tersebut."

Aku terkejut. Lagi-lagi. Beberapa saat kemudian, aku pun mengulas senyumku. "Aoko – chan…" Lirihku. Aku menggenggam tangannya. "Arigatou.." Ucapku. Aoko mengangkat kepalanya. Dia tersenyum miris padaku. Kurasakan ada yang bergetar di saku Aoko. Dia pun mengambilnya. "Halo? Eh? Baiklah." Aoko lalu menutup teleponnya. Beranjak dari bangku tersebut .

"Jaa. Mata ashita." Dia melepaskan genggaman tanganku dan berlari menuju mobil patroli yang berada didepan gerbang sekolah. "Jaa Aoko – chan." Aku melambaikan tangan. Lalu berdiri dan berjalan pulang.

Aku berjalan mengitari taman sekolah. Meghirup sedikit udara segar pagi hari. Musim semi telah tiba. Serbuk sari berterbangan berbaur dengan angin yang menggelitik hidung. Sudah saatnya bunga bermekaran menghiasi pohon-pohon yang sudah setia menemaninya berhari-hari bahkan berbulan atau bertahun-tahun.

Yah, ini sudah 5 bulan sejak 'dia' menembak Asami nee – san. Aku hanya tersenyum sendiri saat mereka ulang kejadian tersebut di pikiranku. Yang benar saja. Mana ada orang bodoh yang tidak akan menerima Shinichi. Termasuk kategori murid terkeren, berasal dari keluarga kaya dan atlet olahraga. Dan tepat sasaran, Asami nee –san tentu saja menerimanya. Tawa dan senyumnya yang mengembang di wajahnya sungguh membuatku bahagia ..

"… dan sakit sekali."

Pandanganku langsung kabur. Kupaksaan untuk tersenyum. Tapi, tubuhku seakan tuli dan tidak melaksanakan perintahku. Tetesan-tetesan bening bergulir di pipiku. Berjatuhan membuat bentuk yang tak bisa kuartikan.

"… dia bahagia. Dan dia tidak ada disisimu .."

Kami – sama…

'Kenapa? Kenapa Engkau buat aku menyukainya.. Bukan .. maksudku, kenapa aku harus menyayanginya? Kenapa? Apakah Engkau memberikanku karma, Kami – sama? Aku mengakuinya. Dan akhirnya, Engkau memberikanku rasa yang sama seperti mereka, bukan?'

"Aku bingung. Apa kerennya Kudo Shinichi itu? Menurutku biasa tidak ada spesial-spesialnya kok. Toh, menurutku semua laki – laki dikelas kita sama saja. Tapi, kenapa banyak sekali perempuan yang jatuh cinta padanya? Huh– aku tidak mengerti perasaan mereka."

Karma. Apakah benar itu yang sekarang kualami? Berjalan diatas jalan karma yang entah sampai kapan aku akan melewatinya.

Menjadi teman curhat tentang orang yang disukainya. Sebenarnya, bukan hal yang kusukai. Tiap hari, dia selalu bercerita tentang perasaannya. Pada mereka. Aku hanya bisa menangis bersembunyi dibalik topeng senyumku.

"Aku sadar. Semua perasaan itu tidak ada yang untukku, kan?"

Itu benar. Dan itulah faktanya.

"Ohayou minna!" Gadis berambut biru kehitaman – Nakamori Aoko akhirnya memperlihatkan batang hidungnya. Hanya mendengar suaranya. Biasanya aku akan menyapanya dengan ceria. Biasanya.

"Are? Dimana Ran – chan?" Bisa kudengar ia mencari kehadiranku. Memang jarang, Nakamori Aoko mencari sosok kehadiran Mouri Ran. Aku makin menenggelamkan kepalaku pada celah-celah tanganku yang kubuat bertumpuk.

Kurasakan ada tangan yang menepuk-nepuk punggungku. "Ran – chan? Ada apa?" Aku terdiam sebentar. lalu menggeleng pelan. "Apa kau yakin?" ia memastikan. Aku makin dalam menundukkan kepalaku. Lalu mengangguk kecil. "Apa yang dia katakannya , Aoko – chan? Dia diam saja sedari tadi." Suara seorang gadis – Keiko bertanya pada gadis yang sekarang berada disampingku. "Aku pun tidak tahu." Jawab Aoko. Mengelus rambutku. "Nee, daijoubu, Ran – chan?" Tanyanya khawatir. Untuk kedua kalinya aku mengangguk. Meyakinkan dengan segala kebohongan. "Sou, kalau begitu. Aku duluan, yah?" Tanpa jawaban dariku, Aoko menjauh. Bisa kurasakan hal itu.

"Entah sampai kapan aku akan terus seperti ini, Kami – sama."

Aku melihat kearah depan, tepatnya kebarisan laki-laki. Kupandangi sedari tadi sebelah kanan wajahnya. Entah kenapa dia kelihatan keren saat dipandangi dari sudut pandang yang berbeda. Senyumya, matanya dan ..

"Ran – chan!"

Teriakan itu membuyarkan lamunanku. Kualihkan pandanganku kearah samping.

"Aoko – chan. Nani?" Tanyaku dengan nada malas. Jujur saja, dia barusan megganggu salah satu khalayanku paling indah. "Nani? Apa maksudmu? Apakah kau tidak mendengar apa yang kubicarakan daritadi?" Raut wajahku langsung bingung. "Memangnya, apa yang kau katakan tadi?" Dia menepuk jidatnya sendiri. "Oh, Kami – sama, aku ternyata tidak lebih dari seorang teman curhat di matanya." Seakan berdrama, gadis dengan rupa yang mirip denganku ini menatap kearahku.

"Aku bilang, kenapa kita tidak .. eh?" Ucapannya terhenti. Pandangannya lurus kearah depan, seperti melihat kearah tempat 'dia' duduk. Aku melihat kedepan, mengikuti arah pandang gadis tersebut. Belum sempat aku melihat secara sempurna 360o, "Ahh – maksudku tentang hal ituloh," Dia sudah menyambung kembali perkataanya. Aku kembali melihat kearahnya. Dia tersenyum dengan polosnya. "Ng, Aoko – chan?" Menatapku antusias. "Ya?" " Apa maksudmu tadi, tentang 'eh,'?" Tanyaku. "Tidak ada." Jawabnya. "Begitu. Kupikir tadi ada apa-apa." Kataku. Ia menggangguk. "Lalu, menurutmu bagaimana tentang …


"EHH?! DRAMA?!"

Teriakan nyaring itu mengisi kekosogan ruangan saat itu juga. Sadar akan beberapa orang di ruangan itu menutup telinganya karena mendengar teriakan yang sangat nyaring –semi membuat gendang telinga mereka koyak yang tak lain dan tak bukan adalah teriakanku.

"Mouri – san, tidak biasanya kau seperti itu? Biasanya kau pasti selalu menerima apapun yang diputuskan kelompok. Walaupun itu terlalu freak buatmu." Komentar Heiji –kesal. Mukaku masih memerah. Tidak jelas karena tersipu atau menahan keterkejutan ataupun karena matahari sore.

"Ya–yang benar saja! Mana mungkin aku menjadi peran perempuan utama?! Dan kalau bukan saja bukan cerita tentang 'tema itu'.." Aku menekankan kalimatku pada kata yang membuat siang itu terdengar sangat ribut. ".. Mungkin aku biasa saja menjalani perannya. Pertanyaanku, .." Aku langsung menatap mata mereka semua secara bergantian. "..Siapa yang mengusulkan cerita drama ini adalah Heart and Spadedan pemerannya adalah aku dan Shinichi – kun?" Selidikku. Nada mengancam terdengar dengan jelas diakhir kalimat. Berkedip. Mereka secara serentak melihat kearah gadis berambut keemasan, Suzuki Sonoko dan gadis yang sangat familiar di mataku, Aoko. Aku langsung melirik tajam kearah Sonoko. Tapi, dibandingkan dengan Sonoko, tatapan mautku pun jatuh ke Nakamori Aoko.

Melihatku. Pura-pura bingung. "Ra-Ran – chan, na-nani?" Aoko berujar. Mulut tidak berbicara, mata pun ambil alih. "Apa – maksudmu – hah? – menjadikanku – sebagai – Heart – dan – 'dia' – sebagai – Spade?" meneguk ludahnya. "So-Sonoko – chan! Kan kamu yang suruh agar pemerannya Kudo – kun dan Ran – chan, kan?" Aoko melihat Sonoko. Tampang innocent. "Yah, memang aku pertama kali. Tapi, bukannya saat itu aku bilang kenapa tidak 'Kaito – kun dan Aoko – chan saja yang jadi pemerannya?' Aoko langsung marah-marah. Dan bilang Ran dan Shinichi lah yang akan menjadi pemeran utamanya." Terang Sonoko. Aoko sweatdropped. Aku langsung menatapnya dengan tatapan maut. "Aokoo –" Aku meneriakkan namanya.

"Ahh, ya. Kita berdrama dalam rangka apa?" Tanya Heiji. Mungkin, dia ingin menghentikanku yang ingin memarahi Aoko –secara tidak langsung–. "Eh? Kalian tidak tahu? Apa aku belum bilang? Ah iya!" Aoko menepuk jidatnya pelan lalu memandang semangat kearah kami. "Kita akan berdrama dalam rangka Culture Festival Teitan High School! Acaranya 3 minggu lagi. Karena Ketua kelasnya tidak datang kemarin, jadi akulah yang mencabut undian. Dan karena kesialan yang menimpa atau apa, aku dapat.. yah, ..romance drama." Tutur Aoko sambil meggaruk pipinya yang tidak gatal. Aku langsung menatapnya. Deathglare. 'Dan akulah yang jadi korban kesialanmu, hah?' gerutuku dalam hati. Membuang muka. Aku langsung menarik pergelangan tangannya. Kubawa dia keluar kelas.

"Aoko – chan! Apa maksudmu? Kenapa kau jadikan aku jadi Heart? Ma-mana si 'dia' Pangeran Spade lagi." Aku menatap kearah lain. Lagi-lagi. "Gomen, gomen. Daripada aku yang jadi Putri Heart? Kan tidak ada yang mau jadi Spade. Kalau kamu mah semuanya mau jadi Spade. Daripada aku bingung pilih yang mana, aku jadinya pilih si 'dia' nya kamu. Kupinjam buat bersanding denganmu nanti. Hehe." Cengiran diulasnya. "APANYA?!' Bilang saja tidak mau main peran sama dengan Kaito – kun!" Godaku. "A-APANYA?! Ti-tidak kok! Sudahlah! Ayo, masuk! Semuanya sudah menunggu!" Ujarnya lalu masuk ke kelas. Bisa kulihat semburat merah tipis. Muncul secara tidak wajar di kedua pipinya. Walaupun dia pintar untuk menyembunyikan perasaannya lewat mulut, tapi dia kurang pintar untuk menyembunyikan lewat wajah. 'Dasar.. Aoko.' Aku pun mengikutinya masuk.

"Apa yang kalian lakukan di luar?" Tanya Sonoko sembari duduk di samping heiji. "Tidak ada, kok. Yah, kalian taulah, Ran minta perannya ditukar. Karena dia tidak mau berdrama bersama Shinichi sebagai pemeran utama. " Jawab Aoko. 'Aoko, kau terlalu jujur, astaga.' Batinku facepalm. "Eh? Kenapa? Shinichi, kan itu salah satu teman dekatmu, Ran – chan!" Sonoko menambahkan. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita ambil satu pasangan lain lagi untuk memainkan peran Heart and Spade?" Tawar Heiji. Pemuda berkulit ehemhitamehem tersebut menatap ke arah kami. "Ya! Aku setuju!" Sonoko mengangguk.

"Dan mereka adalah, Kaito – kun dan Aoko – chan!" Teriak Sonoko sambil menunjuk Aoko. Wajah Aoko kembali memerah. "A-APA?! Ti-tidak! Aku kan sutradara! Aku tidak akan main peran itu." Tolak Aoko. Tentu saja wajahnya masih saja merah. "Benar juga. Gimana, nih. Yang cocok, kan hanya pasangan yang dua itu." Kata Sonoko. Tampangnya seperti detective yang berfikir tentang kasusnya. "JANGAN SEENAKNYA MUTUSIN DONG, SONOKO!" Teriak Aoko dan aku bersamaan. Mukaku makin panas dari detik ke detik. Aoko? Melebihiku. "Ah ya! Satu pasangan lagi!" Menjentikkan jarinya. Lagi-lagi gadis berambut keemasan ini. ".. Heiji – kun dan Kazuha – chan!" Teriak Sonoko sambil tunjuk-tunjuk Heiji. Beda dengan kami, semburat yang muncul sangat tipis, hampir tipisnya, sampai-sampai rona merah itu bersembunyi di balik gelapnya warna kulit lelaki berlogat Kansai ini. "Hah? Kazuha? Si Ahou itu? Bisa-bisa drama ini kebakaran gara-gara si bodoh itu." Komentar Heiji. "Kazuha.. maksud kalian Toyama – san itu, kan?" Tanya Aoko. "Iya, yang dari kelas 2 – A." Jawabku. "Kazuha, kan pacar Heiji!" Ujar Sonoko. "Pacar? Jangan ngelantur, ah!" Ujar Heiji. "Halah, tidak usah tsun, lah kamu Heiji!" "Tsun apanya?!"

"Lagipula, Kazuha itu dari kelas sebelah. Dia tidak mungkin ikut drama kita. Kelasnya pasti punya acara lain." Heiji berkata kemudian. Nada bicaranya kalem. Benar-benar kalem. "Benar juga." Sonoko mengkerutkan dahinya. Lalu mukanya berubah menjadi sangat, sangat menyebalkan. "Kok kau tau, sih Heiji? Aku saja tidak tau tentang hal itu." "Ya-ya, semua orang pasti tau tentang hal itu!" Elaknya, memalingkan wajah, menyembunyikan rona pipinya. "Halah, kamu kok tsun saja, sih Heiji." Sonoko mencubit-cubit pipinya. "Sudah kubilang, aku tidak tsun!"

Dan, adegan Sonoko yang tengah menggoda Heiji yang tidak diperlukan dalam cerita ini pun terus dilanjutkan.


"Kimi to no koi ni koi o shiteru dakede.."

Kulantunkan lirik pertama lagu itu. Earphone tergantung di telingaku, nada-nadanya menari dalam pikiranku lembut. Kututup mataku. Kucoba untuk merasakan setiap vibra suara yang sekarang sedang mengalun di pikiranku .

"Kimi ni zenzen kyoumniai uso you are my perfect guy.."

"Tuk tuk.."

Kurasakan ada yang menepuk pelan pundakku. Kupalingkan wajahku untuk melihatnya. Pemuda berambut spike yang kukenal dengan sangat baik.

"Shinichi – kun? Ada apa?" Tanyaku. Dia tersenyum. "Tidak ada," ia duduk disampingku. Merilekskan persendiannya. "Kau belum pulang, Shinichi?" Tanyaku sambil membuka satu earphoneku. "Sebentar lagi mungkin . Kau, Ran?" Tanyanya. Balik. "Sama sepertimu." Jawabku tersenyum. "Kau lagi dengar apa?" Tanpa seizinku, diraihnya earphone yang menggantung tadi. Lalu dipasangkannya ke telinga kanannya. Tak terasa, mukaku sedikit memanas. Aku segera memalingkan wajahku.

Shinichi yang tadinya sibuk mendengarkan lagu yang kusetel itu, melihat kearahku. Wajahnya sedikit memperlihatkan kebingungan. "Kau kenapa? Mukamu merah." Tanyanya. "I-ini karena matahari sore, kok." Jawabku. Berbohong. "Benarkah? Syukurlah, kupikir kau sakit tadi." Katanya. "Te-terima kasih atas kekhawatiranmu." Ucapku sedikit gugup. Ia hanya mengangguk.

Aku pun terseyum. Lalu menyandarkan punggungku pada sandaran kursi yang sekarang kami duduki. Aku menyejajarkan poisisiku di sampingnya. Kami, mendengarkan lagu dalam satu Mp3 sekarang. Lagu-lagu itu terus berlanjut.

"Omong-omong, kudengar dari Nakamori - san, kelas kita dapat drama, ya?" Kata Shinichi. Aku membuka mataku. "Ya." Jawabku singkat. "Sou, dan aku jadi pemeran utama yang laki-laki." Ucap Shinichi. "Benarkah?" Aku melepaskan earphone di telinga kiriku. "Iya, dan Nakamori - san tidak memberitahuku tentang judul drama. Padahal, kan aku yang menjadi salah satu pemeran yang utama. Apa kau tahu tentang judul atau tema drama kita?" Tanyanya melihat wajahku. "Y-ya, aku juga tidak tahu." Aku memustuskan untuk tidak memberitahunya. Bisa-bisa aku blushing lagi."Ohh begitu, apa yang ada dipikiran, nona sutradara itu, sih? Haah." Ia menghela napas.

Rona kemerahan berbalut dengan birunya warna yang bersembunyi di balik luasnya langit yang membentang. Mengisyaratkan bahwa pada saat itu, sang surya akan meninggalkan kami. Bulan perlahan menampakkan wujudnya yang akan menerangi gelapnya malam. Tidak terasa, sudah setengah jam kami disini. Memperhatikan terbenamnya matahari.

Kulihat dia beranjak dari tempatnya duduk. "Ran, aku duluan, yah. Jaa." Ujarnya lalu meinggalkanku yang masih terduduk. Memperhatikannya. Tediam dalam hening. "Y-ya." Balasku. Walaupun aku yakin dia tidak akan mendengarnya.

Aku pun beranjak. Seperti menyusulnya. Kusimpan earphoneku kedalam tas sekolah. Beranjak melewati jalan setapak. Langkahku tiba-tiba terhenti. 'Sepertinya ada yang harus kulakukan, sebelum aku sampai di rumah.' Batinku. Sambil mengingat apa yang harus kulakukan itu. 'Ah iya! Makan malam!' Aku pun berlari ke arah sebaliknya. 'Bisa-bisa ayah kelaparan kalau tidak kumasakkan makan malam.' Aku pun berlari ke arah warung yang biasa kusinggahi sebelum pulang. Untuk membeli bahan-bahan masakan. 'Mudah-mudahan belum tutup.' Harapku sambil mempercepat jalanku.

"If He Knew.."

"Ran, .."

"Shi-Shinichi?"

"Maafkan aku."

"Maaf? Maaf untuk apa?"

"Aku tidak bisa."

"Tidak bisa? Tidak bisa untuk apa?"

"Aku tidak bisa.."

"A-apa? Apa maksudmu, Shinichi?"

"Aku harus pergi.. Maafkan aku, Ran."

"Ti-tidak. Shi-Shinichi!"

"Hah!"

Sebuah teriakan yang menyambut pagi. Sadar akan apa yang telah terjadi di alam nyata dan di alam mimpi tersebut. Aku mengatur kembali napasku. Kulihat kearah beker yang menunjukkan pukul enam pagi lewat lima puluh sembilan menit tersebut.

"Apakah aku bangun semenit lebih cepat dari biasanya?" Kataku pada diri sendiri. Kuambil beker tersebut dan kusetel agar tidak berbunyi pada pukul tujuh lagi. Karena aku telah membuka mataku terlebih dahulu. Kuambil handuk merah jambuku sambil kulingkarkan di leher. Langkahku menuntunku ke kamar mandi. Terhenti. "Yang tadi itu.. mimpi?"

"Ohayou, minna!" Sapaku, seceria mungkin. Sonoko tersenyum lebar di sampingku. "Sonoko – chan? Tidak biasanya kau datang bersama Ran – chan." Ujar Keiko. Gadis itu membetulkan letak kacamatanya. "Tadi, kami bertemu di jalan. Jadi, aku ajak dia." Jawab Sonoko. Keiko mangut-mangut. Lalu tatapannya dialihkan ke diriku. "Ngomong-ngomong, Aoko belum datang." Ucap Keiko . "Bukannya biasanya dia selalu datang setelah kita, Keiko – chan?" Tanyaku balik. Senyum kuulas lembut. " Iya, sih." "Aku duluan, yah? Mau letak tas." Kataku padanya. "Ah, maaf! Silakan." Aku pun berjalan ke tempat dudukku.

Kuletakkan tasku. Kulihat ke belakang. Kudapati– seperti biasanya, dia sedang mengobrol dengan temannya. Itu biasanya. Tapi hari ini. Iris amethystku langsung bertemu dengan sapphire indahnya.

"Shi-Shinichi?" Seketika aku tergagap. Tidak bisa kurasakan. Dan itu adalah hal yang pasti. Mukaku pasti seperti kepiting rebus. Wajah kami sangat dekat.

Dia menatap mataku. "Ran, jangan-jangan kau..?"

To Be Continue..

Hisashiburi, minnasan! Apa kabar, nih? Btw, masih ingat saya, kan? Author gadungan yang suka tinggalin akun. Dan sekarang dilupakan. Hiks.. hiks.

Baiklah, stop riwayat hidup. Ini adalah fic kedua saya di fandom Detective Conan. Dan atas permintaan, tokoh utamanya harus Mouri Ran dan kekasihku, Kudo Shinichi. Kyaaa~ | Kay : Ehem, bukan dia, thor? | Han : Iya, jangan kamu khianati dia! | Author : Dahel :'V Siapa maksud kalian, bukan di-dia ko-kok! / /abaikan.

Oh ya, cerita ini request dari temennya Author. Tepatnya temen deket sedeket deketnya author, tapi bukan nempel. Dan alur ceritanya, sebagian diambil dari kehidupan nyata temen deketnya author dan si doi /hajared. Kehidupan temen deketnya author, yah. Bukan authornya. Nanti salah menafsirkan, di kira author yang punya cerita kehidupan. Jangan sampai hal tidak diinginkan kita semua terjadi/elu.

Dan ini juga fic request keduaku. Yang pertama 'Kenapa Kau Begitu Pemalu'. Pairnya juga ShinRan. Tapi, author udah angkat tangan betul lanjutin ituh fic. Kalimat ancur, bahasa diluar EYD, OOC akut, dan banyak sekaleh typoh beterbangan. Rencananya di discontinue, tapi masih pertimbangan. Menurut pembaca bagaimana? Apakah fic KKBP itu layak untuk dilanjutkan? Saran dan jawaban tolong ke kotak review~..

Udah panjang banget astagah. Makaseh yang maseh kuat baca author note ini dengan sabar dan penuh ketabahan serta penghayatan/halah. Makasih buat yang udah baca. Tinggalkan jejak kalian, yah. Di kotak review. Saran dan komentarnya. REVIEW okeh? Apapun reviewnya, saran, komentarnya, saya terima dengan lapang dada, Yang penting HALAL /thor.

Notes; Special thanks buat temen author, si Kay dan Han. Baik banget udah mau support biar fic ini di publish. Walaupun saya selalu bilang, 'iya ; nanti ; entar, deh ; besok kayaknya ; sebulan lagi.' Baru hari ini saya bisa publish. Dan untuk temen-temen semua yang baca fic ini. Seneng banget kalian udah mau baca dan mereview! Lafuall!

Tiramisu – chan30