Fic VOCALOID saya akhirnya di Publish…
Dalam Fic ini saya memilih pasangan 'Twincest' satu-satunya di VOCALOID, yakni Len and Rin.
Entah kenapa ingin membuat 'song fic multichap' saat beberapa kali mendengar lagu ini…
Saat lagu ini Len terlihat begitu dewasa dan… tambah keren pastinya!
Judul 'Tragedy song' sama dengan judul Fic ini.
Jika ada kesamaan cerita atau pengambilan tema fic dengan Author yang sudah lama mendiami fandom VOCALOID, itu hanya kesalahan kecil semata.
Tidak ada kerja sama dengan Author lain dalam pengerjaan Fic ini.
So, langsung baca saja, ya…
Douzo!
.
.
Di sebuah tempat…
Tepatnya di sebuah kota –dipegunungan –yang damai nan sejahtera, penduduk yang ramah dan anak-anak yang ceria dengan tawanya yang riang selalu senantiasa menghiasi kota kecil tersebut…
Tapi, semuanya itu lenyap secara tidak diduga dan sangat sempurna saat sebuah cerita dengan tragedi melanda kota tersebut, ketika sebuah keluarga di kota itu –yang hanya terdiri dari seorang janda karena ditinggal sendiri karena suaminya telah tiada dengan ke dua anak kembarnya, kedatangan sekelompok orang yang tidak jelas asal-usulnya mengambil salah satu dari anak kembarnya…
Tragedi ini menyebar secara luas di seluruh pelosok kota…
Tragedi ini adalah…
"SYNCHRONICITY"
.
.
.
Don't Like Don't Read (DLDR)
.
.
© VOCALOID
LenRin Fic
.
.
Disclaimer:
Yamaha Corporation
Crypton Ltd.
.
.
Story:
SYNCHRONICITY
Huicergo Montediesberg™
("This story is MINE")
("I'm just borrow the character from Yamaha Corp. and Crypton Ltd.")
.
.
Genre:
Drama, Tragedy, Crime, with a slight Romance of Family
.
.
Rated:
T+
.
.
Warning(s):
GaJe, Abal-abal, Miss Typo(s), OOC, OC, Sampah, EyD dan Diksi ancur, Tidak berbobot, and Many More
.
.
Happy Reading and Enjoy it!
.
.
Synchrony 1
Character's Introducing Prolog
.
Di atas sebuah tebing bebatuan dengan satu pohon besar terlihat seorang anak muda berambut kuning honey blond-nya yang menari-nari ke kiri dan ke kanan dengan lincahnya akibat angin yang berhembus dengan tenang di sekelilingnya, rambutnya yang agak panjang diikat satu ke belakang, walaupun hanya terikat sedikit dari rambutnya, tetapi setidaknya tidak membuat pemuda yang satu ini kegerahan karena panas teriknya matahari walaupun sudah terlindung lebatnya pohon yang rindang.
Dia mengenakan baju berwarna putih dengan kerah tinggi menutupi leher jenjangnya dan tanpa lengan sehingga memperlihatkan bagian lengan dan pundaknya yang putih porselen, ditambah dengan jaket berlengan buntung berwarna hitam legam dengan bulu berwarna cokelat muda –yang terlihat halus- di setiap sisi tudung jaketnya. Dan tidak lupa sebuag ring putih yang melingkari bagian lengan kiri atasnya.
Bagian kakinya yang panjang di tutupi dengan celana kain berwarna putih –yang sama putihnya dengan baju yang menutupi tubuhnya –panjang sehingga menutupi semua kulit putih porselen kakinya. Dan tidak ketinggalan juga sepatu boots yang tingginya hingga di bawah lututnya berwarna hitam ke cokelatan yang mempunyai model tali sepatu yang ia ikat saling bersilangan –hingga membentuk huruf 'x' yang banyak sampai sisi atas boots –di depan tulang keringnya sehingga celana panjang yang ia kenakan sekarang berada di dalam tinggi sepatunya, yang senantiasa menjadi pelindung kakinya kemanapun ia melangkah.
Pemuda ini terlihat sangat menikmati angin yang berhembus di setiap bulu-bulu halus yang menggelitik di bagian wajahnya, matanya tertutup rapat sehingga mungkin orang yang melihatnya mengambil kesimpulan bahwa pemuda berambut kuning ini sedang tertidur dengan polosnya.
"Aku akan menemukanmu…" Itulah kata yang membuat bibirnya yang tadi diam sekarang bergerak walau hanya sedikit. Perlahan kelopak matanya membuka seakan ingin menunjukkan bola mata –seperti permata berwarna green pearl –nya yang indah dan tenang.
Lalu dengan gesit dan gagahnya pemuda itu berdiri seakan mamperlihatkan kepada semua badannya yang tinggi nan ideal yang mungkin dapat membuat semua wanita jatuh hati dan laki-laki lain sirik setengah mati. Matanya yang indah dan tenang itu menerawang sejauh-jauhnya dan ia bergumam kecil, "Alunan nada indah itu lagi…" Sekelebat rasa penyesalan, khawatir, dan kebimbangan menjadi satu dalam raut wajahnya.
.
.
.
Dilain tempat –didalam sebuah gua batu –tertangkap sesosok gadis cantik, berkulit putih porselen dan 'mungkin' separas dengan pemuda tadi dan juga mempunyai rambut berwarna sama.
Ia mengenakan gaun ehm… atau sebut saja long dres berwarna putih bersih yang bergantung dengan seutas tali yang tentunya juga berwarna putih di atas pundaknya, terdapat –mungkin –kain tipis dan kecil berwarna putih yang mengelilingi lengan atasnya, yang entah itu sebuah tanda atau aksesoris semata.
Kakinya tidak ia tutupi dengan alas apapun sehingga memperlihatkan kakinya yang mulus tersebut. Terdapat sebuah gelang kaki dengan banyak lonceng kecil di pergelangan kaki sebelah kirinya seakan bernyanyi saat ia melangkahkan kakinya kemanapun ia pergi. Dan terlihat kalung dengan liontin 'G clef' menggantung di lehernya. Dan juga terdapat ring berwarna putih yang berada di lengan kanan atasnya.
Paras mukanya menggambarkan bahwa gadis tersebut sangat lelah, sekilas terdapat kantung mata di bagian bawah matanya. Bola matanya berwarna sama dengan pemuda itu, Green pearl, tetapi terlihat sangat sayu dan tidak cerah, seakan mengatakan bahwa ia sedang menopang beban yang sangat berat di punggung, pikiran, dan badannya. 'Sangat rapuh' itulah yang ada di pikiran semua orang jika melihat gadis itu secara langsung.
"Aku harus tetap bernyanyi seumur hidupku, karena ini semua adalah 'takdirku'…" senyum kecil yang terlihat terpaksa terlintas di bibirnya yang mungil, seperti mengatakan bahwa ucapan di bibirnya lain dengan ucapan, –bukan–teriakan di lubuk hatinya yang paling dalam seperti meneriakan 'Siapa saja… seseorang… tolong aku!'.
.
.
.
'… Seseorang… tolong aku!' Dengan reflek pemuda itu menengok wajahnya ke segala arah, matanya mencari-cari sesuatu yang membuat dia merasa terpanggil. "Apa cuma perasaanku saja ya..?" sambil menggaruk-garukan kepalanya yang tidak gatal itu. "Sebaiknya aku pulang..." kepalanya ia arahkan lurus ke depan kearah Barat mata angin. "Matahari tampaknya juga ingin beristirahat." Senyum terukir di bibirnya.
Dengan perlahan ia menuruni bukit bebatuan tinggi yang tadi ia panjati dengan mulus karena sudah terbiasa. Sesampainya di bawah ia lanjuti dengan berjalan kaki untuk menuju kota tempat tinggalnya dan tempat kelahirannya.
Langkah kakinya terhenti tepat di depan sebuah pintu rumah kecil yang bersih. "Pasti aku bakal dimarahi sama orangtua itu lagi," Sambil memejamkan mata dan menghela nafas panjang pemuda itu pun dengan mantap membuka matanya dan membuka pintu tersebut, Lalu…
SYUUUUTTT!
BRAAKK!
Dengan lincahnya pemuda itu berjongkok seakan sudah tahu apa yang akan menyambut kehadiran ia pertama kali. Buku –ya, buku yang setebal 5cm lebih melayang dan akan mengenai wajah sempurnanya jika ia tidak menghindar untuk mencegah wajahnya terkena lemparan tersebut.
"LEEEENNNNN! DARI MANA SAJA KAU INI! HAH?" teriakan itu bergema ke seluruh rumah tersebut, bahkan mungkin terdengar hingga keluar, bikin malu saja. Teriakan ini berasal dari seorang lelaki yang sudah setengah baya yang terlihat menonjolkan tiga siku di kepalanya –Jika ini adalah sebuah anime –dengan pakaiannya yang lusuh.
Pemuda berambut kuning itu –yang dikenal ternyata bernama kecil Len ini diam sebentar dengan tampang stoic-nya. "Hah? Ada apa?" Dengan santainya Len menjawab atau mungkin lebih tepatnya bertanya kembali teriakan pertanyaan yang lelaki itu lemparkan.
"AKU BERTANYA KEPADAMU , SEKARANG KAU MALAH MENJAWAB PERTANYAANKU DENGAN PERTANYAANMU? APAKAH ITU SOPAN?" teriak sang kakek yang volume teriakannya sudah diperkecil sedikitnya dua oktaf.
"Hah? Nggak." Dengan santainya ia menjawab dengan tampang seperti tidak mempunyai dosa dan dengan tegapnya ia berjalan mendekati kakek-nya tersebut. "Maafkan aku, Kek. Aku pulang telat." Len membungkukan badannya sedalam-dalamnya si hadapan kakeknya.
Terdengar helaan nafas panjang sang kakek, dan dengan rasa iba kakek tersebut mengulurkan tangannya ke atas punggung 'cucu'nya untuk menegakkan kembali badan-nya yang membungkuk. "Kamu ini Len… Dari dulu nggak pernah berubah. Kau tahu? Kakek khawatir setengah mati, takut jika ada apa-apa yang terjadi padamu." Mata sang kakek menatap mata indah Len sangat dalam sehingga menggerakkan hati Len untuk memeluk kerabat dekat satu-satunya itu.
GREP! Dipeluk seerat-eratnya kakek-nya yang sudah tua itu. "Tenang saja, Kek… Aku sekarang sudah tumbuh menjadi Pemuda yang pemberani dan kuat seperti keinginan kakek. Aku akan selalu melindungi kakek dan…" Len berhenti sebentar untuk mencari-cari kata yang tepat samba melepaskan pelukannya dari sang kakek, "A… Aku bisa melindungi diriku sendiri." Senyuman tulus Len terukir jelas di bibirnya, tetapi pancaran mata-nya menyatakan hal yang berbeda dari maksud senyumannya itu.
Kakek-nya yang merasa aneh dengan pernyataan kalimat terakhir Len, tambah merasa khawatir dibuatnya. "Kau tak pandai berbohong Len… Apa yang kau sembunyikan dari kakek?" Tanya sang kakek yang dimana kalimat terakhirnya seperti menginterogasi Len.
"Hahaha… tidak ada apa-apa kok, kek. Sudah ya, aku…" saat Len bangkit berdiri dan mulai melangkahkan kakinya kearah tangga menuju ke lantai atas, tiba-tiba…
GREP!
"Kau tak ingin menceritakan semuanya kepada kakek-mu ini, Len?" tangan kanan sang kakek memegang tangan kiri Len yang secara reflek Len juga membalikkan badannya kearah sang kakek.
"Aku bukannya tidak ingin menceritakannya, kek… Hanya saja sekarang kurang tepat untuk berbagi dengan kakek." Tepat seperti pernyataan sang kakek, Len tidak pintar berbohong, wajahnya sangat mengekspresikan berbagai perasaan yang berkecamuk di dalam dada dan pikirannya sekarang.
"Haahhh… baiklah jika sekarang kau tidak ingin berbagi bercerita kepada kakekmu ini." Tangan sang kakek dengan perlahan melepaskan genggamannya pada tangan Len. "Tapi ingat ya… Berjanjilah pada kakek bahwa suatu hari nanti kau akan menceritakan apa yang sedang kau pikirkan sekarang ini." Kakek pun tersenyum kepada Len, cucu satu-satunya itu.
"Tentu. Suatu hari nanti aku akan menceritakan semua nya pada kakek." Len membungkuk singkat sekali lagi, lalu berjalan menaiki tangga ke lantai dua rumahnya yang dimana terdapat kamar tidurnya.
Mata kakek tersebut hanya bisa melihat punggung cucunya itu yang sedang menaiki tangga dengan tampang wajah yang merasa iba. "Semoga saja kau tidak berusaha untuk mencari tahu tentang masa lalumu, Len…" gumam pelan sang kakek lalu pergi menuju kamarnya.
Di dalam kamarnya, Len menghempaskan tubuhnya di atas kasur yang empuk dan memandang lurus keatas dan langit-langit kamarnya yang menjadi batasan terawangannya. "Entah kenapa... belakangan ini perasaanku jadi aneh, dan tadi aku bermimpi melihat sesosok gadis –yang berambut sama denganku, tapi hanya terlihat punggungnya saja," Len menghela nafasnya yang kesekian kalinya sambil memejamkan matanya sejenak. "Aku ingin mandi dulu…" ia bangkit dari kasurnya lalu langsung bergegas ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya.
CSSSSSHHHHH!
Bunyi air hangat jatuh ke atas lantai kamar mandi saat ia memutar keran shower tersebut, dan sekarang air tersebut sukses membuat lantai yang tadi kering itu basah seketika.
Rambut dan tubuhnya yang sekarang tidak tertutupi sehelai kain pun perlahan dijelajahi oleh air yang mengalir dari atas kepalanya, atau lebih tepatnya shower.
Air tersebut seperti sedang membantu Len melepaskan segenap pikiran yang sedari tadi ia pikirkan dan juga senantiasa merenggangkan ototnya yang menegang.
'Mimpi… perasaan aneh… suara minta tolong… alunan nada… satu hal yang pasti, aku seperti tidak asing mendengar suara-suara itu…'
DEG!
Reflek untuk kesekian kali lagi, pupil mata Len mengecil dan kelopak matanya membuka selebar-lebarnya, jantungnya berdebar hebat tak karuan, kepalanya pusing sehingga Len hampir kehilangan keseimbangan badannya jika ia tidak mencoba memegang tembok di sekitarnya dengan cepat.
"Hah… hah… hah…" Uap air panas keluar dari mulut Len yang sedang berusaha mengatur nafas dan deru jantungnya yang semakin tidak beraturan. Dan berusaha untuk mencari keran untuk mematikan showernya yang masih terus membasahi tubuhnya yang mulai sedikit gemetar dan panas itu.
Perlahan hembusan nafas Len menjadi agak normal dan deru jantungnya tidak berdetak cepat seperti sebelumnya. Sepertinya Len sudah dapat mengendalikan tubuhnya.
"Aku harus mencari tahu! Harus!"
Ucap Len sambil memakai handuk dan bergegas meninggalkan kamar mandi –saksi bisunya –untuk mengenakan pakaian tidurnya, beristirahat yang cukup dan bangun di pagi hari dengan tanpa kekurangan tidur untuk mencari tahu apa yang ingin ia ketahui.
.
.
Di suatu ruangan dalam goa batu yang ditemani dengan cahaya hijau muda yang terang menembus ke dalam goa tersebut terlihat seorang wanita yang mengenakan topeng yang menutupi mata di wajahnya. Ia berdiri entah apa yang dilihat di depannya sembil memegang sebuah tongkat berwarna kuning emas dengan beberapa hiasan menggantung diatasnya.
Rambutnya yang panjang sewarna dengan cahaya yang berada di sekelilingnya yaitu hijau muda terang diikat dua oleh pita berwarna hitam dan merah. Mengenakan baju seperti gaun berwarna hitam dan abu-abu, tetapi memiliki model yang unik, dan sepertinya pakaian khusus.
"Bernyanyilah sampai kau tak mampu lagi untuk mengalunkan nada dari mulutmu, sedikitpun." ucap wanita berambut sangat panjang itu dengan tampang datarnya.
~Synchronicity~
Tsutzuku
To Be Continued…
Jakarta, 26 Desember 2011 (12.01 WIB)
Curcol and Bacot's Room :
Bagaimana fic VOCALOID saya ini?
Membosankan? Menyedihkan? Mengecewakan?
Ini adalah fic Kedua saya setelah NARUTO yang saya publish di FFN.
Semoga dapat menemani anda dalam melepas Stress setelah membaca fic ini.
Tidak tahu apa yang harus dibicarakan kaena tidak ada bahan yang ingin dibicarakan.
Akhir kata,
Terima kasih kepada Silent Readers(SiDers) yang telah membaca fic ini, semoga dapat berkenan di hati para penghuni fandom VOCALOID sekalian.
Anda dapat mengkritik, menyarankan, atau apalah kepada saya.
Jika berkenan, boleh meminta Review nya?
Review anda sekalian sangat berarti demi kemajuan dan masa depan fic ini.
Thanks for Reading 'Synchronicity'!
Sampai jumpa di 'Synchrony' berikutnya!
(Jika menurut anda fic ini tidak jelek)
Sorry for all miss typo(s)!
Signature,
Huicergo Montediesberg
