Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: drabble, au, miss typo(s), and other stuffs.

Note: another nulis random draft.


you're just to good to be true

.


Sore itu, Levi tersenyum kecil. Hanji yang membelakanginya tak menyadari itu.

"Hujan. Panas. Pancaroba. Kamu tahu, nggak, flu akan datang ke orang-orang yang punya imunitas tubuh rendah. Dan seingatku ...," Hanji berbalik, melempar handuk kepada kepala hitam Levi. "Imunitas tubuh kamu, tuh, lebih lemah dari aku, lho, Levi!"

Hanji mendekat, menyelimuti kepala Levi dengan handuk, mengusap pelan setengah keras, membuat wajah Levi memanas dan melupakan gatal-gatal yang muncul di area hidung. Menahan bersin.

"Jangan hujan-hujanan," Hanji mengujar lagi, masih mengusap di kepala, kini, sedikit lebih lembut. "Kalau kamu sakit, memangnya siapa yang repot?"

Levi menoleh kepada jendela kamarnya, gelap, pudar. Matahari tak lagi kelihatan. Selain rintik-rintik hujan yang menyembunyikan, waktu senja yang habis juga mengambil alih warna pada langit di sana.

"Sudah mau malam." Levi mengucap. "Jangan terlambat."

Usapan di kepala Levi berhenti. Kini Hanji menatapnya, membawa matanya sejajar pada kelabu Levi. Mata cokelat itu melebar, membawa sedikit jenaka di bias-bias terangnya. "Jawab dulu, jangan hujan-hujanan lagi."

Levi memutar mata. Seolah tak ingin menjawab, namun tak memiliki pilihan lain.

"Hm-hm."

Hanji tersenyum lebar. Mengecup pipi Levi sekilas—terlalu cepat. "That's my boy!"

Setelahnya, hanya ada langkah cepat yang terlampau semangat menjauh dari kamar. Langkah tak teratur dan terlalu jauh. Langkah yang tak akan pernah bisa Levi kejar.

Sayup-sayup, ia mendengar suara Hanji yang berceloteh lewat telepon.

"Aku sudah siap, Pangeran! Iya, iya, aku tunggu di rumah Levi, ya. See you, Erwin."

Levi menatap jendela lagi. Hujan hampir berhenti. Mungkin, ketika Erwin sampai nanti, hujan sudah benar-benar berhenti.

Levi terkekeh. Ketika hujan memilih mengguyurnya yang ingin cepat bertemu Hanji (sebab jika terlambat, Hanji pasti sudah pergi, ia tak akan sempat bertemu), hujan lebih memilih berhenti ketika Erwin yang akan datang menemui Hanji.

Bukankah sudah jelas, siapa Pangeran-nya di sini?

.

.

[]