Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: drabble, canon, miss typo(s), and other stuffs.

Note: another another nulis random ehehe. and it's eruhan! daripada sayang cuma dipendam dalam box status :") happy reading!


all we have is now

.


"Erwin, pernahkah kau berharap dilahirkan di masa-masa lain? Mungkin, di mana tidak ada para titan di dalamnya. Juga kita tidak terjebak dinding. Atau, kita bisa pergi ke mana pun sejauh yang kita mau tanpa takut diserang kematian."

Mulanya, Hanji tak mengerti mengapa tetiba ia ada di sini. Di ruangan Erwin, bicara dengannya seolah perang sudah berakhir. Debu-debu di atas meja Erwin mulai menebal, terlalu lama ditinggalkan, senasib dengan tumpukan buku dan dokumen yang terdapat di sisi-sisinya. Kala itu, sore hampir datang, Erwin tengah menumpu dagu dengan tangan tunggalnya yang tersisa, mata birunya memeta Hanji, seolah mencari-cari sesuatu di sana, mungkin jawaban, atau mungkin bukan. Hanya saja, Hanji merasa, inilah waktu di mana ia bisa menatap mata sebiru lautan itu sedekat ini.

"Bukankah, Hanji, kematian itu akan selalu hadir satu paket dengan kehidupan? Meski aku, dan kau, tidak lahir sebagai pembela umat manusia seperti sekarang, kita tak akan bisa lari dari kematian, toh?"

Hanji menyipitkan kedua sienna-nya. "Maksudku, tidakkah kau menginginkan kematian dengan cara yang lebih manusiawi?"

Erwin lama tak menjawab. Matanya yang tajam memandang lurus pada permukaan meja yang masih berdebu, mencari dasar-dasar baru meski yang ia temukan hanya ketaksaan. Meski Erwin ingin bertanya-tanya, mengapa Hanji datang ke sini membawa topik sensitif alih-alih berteriak abnormal sebagaimana kasualnya ia ketika meminta penelitian titannya disetujui lebih lanjut. Tapi, mungkin sore ini memang berbeda. Sore ini akan menjadi sore yang lebih tenang, dan penuh akan pemikiran, masa depan, penyesalan. Penyesalan.

"Tidak ada yang lebih manusiawi dibandingkan mati demi kemenangan umat manusia, Hanji."

Hanji mengangkat kacamatanya, membiarkan netranya memburam untuk sesaat dan bertanya-tanya akan penyebab buramnya-karena likuid yang hampir pecah, atau karena kacamatanya yang dilepas? Tapi dari sini, ia masih bisa melihat binar-binar di mata Erwin.

Dan senyumnya.

Senyumnya yang selalu di mata. Membawa kenyamanan serta semangat baru bagi para umat manusia. Ia bahkan masih bisa menjadi sangat berguna meski dengan satu tangan; ia masih menjadi komandan yang baik, yang berwibawa, yang tegas. Ia masih bisa melakukan segalanya.

Maka, Hanji tak sempat berpikir apa-apa lagi ketika ia mencondongkan sedikit tubuhnya, menarik tangan tunggal Erwin, menggenggamnya erat di kedua tangannya.

"Kalau begitu, Komandan," Hanji tersenyum lebar. "Izinkan aku membuatkan satu automail untukmu?"

Erwin kehilangan ekspresi, tapi sepersekian detik berikutnya, ia tarik tangannya dari genggaman Hanji.

"Kenapa tiba-tiba?"

"Supaya ... aku bisa berguna tanpa harus menghadapi kematian."

"Hei ...,"

Hanji menyeringai. "Supaya kau bisa menggenggam tangan sekaligus mengacak rambut seorang wanita secara bersamaan."

"Jangan coba-coba membuat konspirasi denganku, ya, Buntaichou."

Yang terdengar setelahnya adalah tawa, senja yang mulai nampak, dan usapan Erwin di rambut cokelat Hanji.

.

Tapi

Yang kemudian Hanji sesali, automail yang ia janjikan kepada Erwin tak akan pernah jadi, bahkan hingga akhir napas sang komandan itu.

.

[]