Disclaimer: All characters belong to Hajime Isayama. But this story purely mine. I don't take any material profit from this work. It's just because I love it.

Warning: drabble, canon, miss typo(s), and other stuffs.

Note: stok jumbling july ehehehe. rasa-rasanya sayang kalau gak dipublish c;


you're (not) my today and all of my tomorrows

.


Levi tak pernah berharap terlalu banyak pada hidupnya. Sejak kecil, semesta sudah melatihnya untuk tidak menaruh tinggi-tinggi ekpektasi—atau, orang-orang lebih senang menyebutnya harapan. Ia tak pernah memikirkan masa depan, ia tak pernah punya mimpi, ia tak pernah menggantung cita-cita.

Terlebih, ketika ia bergabung pada pasukan pengintai. Ia hampir lupa apa itu mimpi, apa itu cita-cita, apa itu harapan. Harapan. sebab tak ada lagi. Harapan mereka lebur menjadi satu akan tujuan—membawa umat manusia kepada kemenangan. Meski Levi tak mengerti, untuk apa dirinya melakukan ini, untuk apa, tapi kemudian ia menyadari tak akan ada pilihan lain. Hidup telah membawanya ke sini. Kepada orang-orang yang kemudian disebutnya tak takut mati.

Namun—sekali saja.

Sekali saja ia bertemu Hanji Zoe, segalanya seolah tak sama lagi. Levi mengenalnya sebagai mata empat tukang mimpi. Hanji selalu berkata; "Akan kubuat titan menjadi teman kita!", "Agar kemudian aku bisa menjadi ilmuwan terbaik!", "Kita bisa melakukan ini, membawa umat manusia pada kemenangan tertinggi!" dan Levi menganggap itu semua omong kosong, tak berarti.

Namun, hanya beberapa saat saja. Sebab optimisme yang diuar wanita itu semakin hari semakin pekat dirasa. Ia bicara semakin banyak, matanya mengatensi semakin banyak. (SInarnya, sinarnya berkilau semakin terang). Semakin lama. Semakin lama. Dan Levi tak sempat memikirkan, bahwa ketika itu, ia sudah menciptakan satu harapan yang disimpannya tanpa sadar. Harapan itu tercipta tanpa Levi sempat memilah, mengira-ngira apakah terlampau jauh, terlampau tinggi, atau malah tak berarti.

'Mungkin, tidak terlalu buruk jika suatu hari titan punah, atau setidaknya, bisa berteman dengan manusia. mungkin memang baik, jika umat manusia berhasil mencapai kemenangannya. Mungkin, tak salah jika aku menginginkan sisa kehidupanku berbeda dari ini. Mungkin lebih tenang, lebih sepi, lebih berarti. Mungkin dimulai dari membangun sebuah kedai teh. Dan menjadi peracik teh terbaik di kedainya sendiri. Mungkin juga, dengan satu orang lagi. yang mengerti, yang paham bahwa hidupku kini berarti. Yang tetap tak akan takut mati. Yang mungkin, mungkin, mungkin—'

(Tawa Hanji membayangi pemikirannya)

'—mungkin yang punya lebih banyak mimpi.'

"Cih," Levi mendecih dalam uar-uar sinis. Levi tak pernah memikirkan tentang harapan, tapi barusan, ia benar-benar melakukannya.

Tapi, memang, ide kedai teh tak terlalu buruk. Levi tahu hanya itu satu-satunya passion yang ia punya. Mungkin harapan selanjutnya bisa ia koreksi, ia bisa hidup sendiri, tanpa seorang lagi mendampingi.

Kalaupun ada, itu bukanlah sosok yang tetiba datang menyusup ke pikirannya. Yang tawanya masih bisa levi dengar dari sini, meski wanita itu jauhnya bermeter-meter di luar sana.

Kalaupun ada—itu pasti bukan dia.

Itu pasti bukan Hanji Zoe.

.

.

.

(Padahal, itu memang Hanji

Selalu Hanji.)

.

.

.

[]