a/n: oke, kalo saya berpindah fandom untuk sementara di sini (selain Fairy Tail), saya mungkin nulis banyak NetherIndo :p saya suka menjelajah fandom -_- DAN TOLONG SELAMATKAN SAYA DARI FIC BERSAMBUNG! SAYA PAYAH!

f/n: ini cerita AU, jadi kalau heran, maaf.

w/n: Italic untuk tulisan Nesia.

warning: OC (Fem!Indo, Male!Malay);nulis nggak sadar; kesalahan ketik & EYD; karakter OOC; kegajean yang sangat parah; .

disclaimer: Hetalia – Axis Powers © Hidekaz Himaruya.


Netherlands mengepalkan kedua tangannya. Bulir-bulir keringat mengalir turun dari pelipis, pipi, leher, bahu, dan menetes jatuh ke lantai melalui kepalan tangannya. Wajahnya menegang. Kerutan dahinya dalam, seakan-akan ingin membelah area hidung menjadi dua. Mulut melengkung ke bawah membentuk suatu jembatan. Syal berwarna merah-putih-biru melingkari leher jenjangnya, menghangatkan salah satu bagian tubuh dari udara musim dingin yang menusuk-nusuk. Tali sepatu botnya tidak terikat; tali itu seperti cacing, bergerak menggeliat ketika diterpa angin. Berkali-kali, dia mengeluarkan kepulan napas kasat mata dari mulut. Rambut yang biasa ditata menghadap ke atas tidak terlihat sama sekali.

Sebuah pisau tajam bergagang hitam tergeletak lima sentimeter dari sepatu botnya. Pisau itu dihiasi dengan merah darah, tampak mencolok di antara hamparan salju putih dan mata pisau perak yang mengkilap terkena sinar matahari. Pohon-pohon pinus berdiri kokoh, daun-daunnya diselimuti salju, mengelilingi pria itu; jika dilihat dari atas, pria itu seperti semut di atas tanah.

Netherlands membungkuk menggali salju dengan tangan telanjang. Krush, krush, krush, krush, krush. Gali, gali, gali, gali, gali. Ketika jari-jarinya merasakan butiran pasir basah, dia mengambil pisau tersebut dan menaruhnya di dalam lubang yang baru saja ia gali, menimbun pisau tersebut, dan menginjak-injaknya agar lubang yang digalinya tertutup dan tampak sama seperti sebelumnya. Tersenyum puas, dia menatap kedua telapak tangannya. Sama seperti pisau itu, tangannya dibaluti oleh darah. Menggosok-gosok kedua tangan, dia kembali mengeluarkan napas dari mulut dan memutar tumit, pergi menuju Timur tanpa melihat sedikitpun ke arah mayat yang bersandar ke batang pohon.

Menikam jantung seseorang dengan emosi meledak-ledak; oh, bukankah itu menyenangkan?

Nesia mengerucutkan mulut. Perempuan itu mengikat rambut hitamnya menjadi konde kecil, beberapa helai dibiarkan menjuntai di sisi wajahnya. Nesia memanyunkan bibir, pensil panjang menggantung di atas bibir manyun tersebut. Iris hitam itu menatap tajam kertas sketsanya, memandangi goresan pensil yang sudah membeku di atas kertas dengan rasa sangat kecewa. Dia merobek kertas itu dari buku sketsanya, mengepal kertas tersebut, dan melemparnya ke tempat sampah, hanya terpelanting ke lantai pualam karena terbentur di bibir tempat sampah tersebut. Mengambil pensilnya, dia mengetuk-ngetuk pelipisnya sendiri dengan pensil tersebut. Benar-benar membutuhkan inspirasi saat ini.

Suara ketukan pisau terdengar di sebelah kamar Nesia; dapur, tempat adiknya, Malay memasak. Nesia mengendus-endus aroma yang masuk ke dalam kamarnya melalui celah pintu dan saliva menetes dari ujung mulutnya. Dia membayangkan apa yang sedang dimasak oleh Malay. Segera dia mengambil kardigan abu-abunya, juga buku sketsa dan pensilnya, dan berjalan ke dapur. Saliva menetes lagi dari mulutnya yang terbuka.

Malay menoleh ke arahnya dan menatapnya dengan tatapan tajam. "Jangan mengotori lantai dapurku dengan air liurmu itu. Menjijikkan!" kata laki-laki berambut cepak itu sambil mendorong punggung Nesia keluar dari dapurnya yang tersayang. "Jangan masuk ke sini sampai jam makan malam. Pokoknya jangan. Pergilah keluar; cari inspirasi di luar sana. Kalau kau melihatku memasak nasi lemak, kau akan mengotori surgaku ini. Keluar!"

Dan, blaam, pintu surga pun tertutup.

Nesia berdecak kesal dan akhirnya berjalan keluar, sekali-kali mengendus aroma nasi lemak buatan Malay.

Air liur pun menetes.

walking on air

one a cup of coffee & a glass of wine

Hujan.

Nesia ingin menggambar suasana Taman Ceddhis, dan tiba-tiba saja hujan. Menjengkelkan.

Nesia menghentakkan kaki dan melindungi buku sketsanya dengan kardigan. Dia tidak mengkhawatirkan keadaan tubuhnya; dia mengkhawatirkan buku sketsanya. Nesia berlari kencang, kepala terputar ke kanan dan ke kiri mencari kafe terdekat. Dia menjejakkan kaki di atas genangan air, terpercik ke segala arah. Cepat, cepat, cepat; hujannya makin deras.

Akhirnya, dia sampai di Kafe Ayu. Dia menghela napas lega dan memandangi seorang perempuan berbalutkan seragam pelayan hitam-putih dengan choker di leher, bando berpita di kepala, dan sebuah celemek berhiaskan motif batik yang juga hitam-putih. Pelayan tersebut tersenyum. "Ah, Mbak Nesia. Senang sekali anda datang ke sini; lama tidak melihat anda."

Pelayan itu mengenalnya karena Nesia memang pelanggan tetap di Kafe Ayu. Nesia terkekeh lemah sambil membuka kardigan, memperlihatkan buku sketsanya, dan mencari-cari pensil di kantong celana jinsnya, hanya mengetahui kalau pensilnya hilang. Pasti terjatuh di tengah jalan! Nesia menggeretakkan gigi dan kembali terkekeh lemah. Kemudian, dia memasang wajah memelas.

Pelayan itu mengangguk mengerti sembari mengeluarkan sesuatu dari laci kayu yang berada di sampingnya. "Pensil dan penghapus?"

Nesia mengangguk dan menerima pemberian pelayan tersebut. Terima kasih, dia menulis di buku sketsanya dan memperlihatkan dua kata itu kepada pelayan tersebut.

"Sama-sama," balas pelayan itu. "Tempat duduk biasa?"

Nesia mengangguk. Dan seperti biasanya, puding keju dan kopi susu.

"Ah, tentu saja, tentu saja. Mari, saya antarkan ke tempat duduk anda," kata pelayan tersebut seraya berjalan. Nesia mengikutinya. Setelah sampai, pelayan itu melenggang pergi dengan anggun, meneriakkan makanan dan minuman yang sudah dipesan Nesia pada koki.

Tempat duduk kesayangannya ini berada di pojok kafe, cocok untuk dua orang. Kursi yang terbuat dari kayu jati ini diukir membentuk sulur-sulur tumbuhan yang indah. Meja juga terbuat dari kayu jati—sayang sekali tidak diukir. Ketika melihat motif-motif sulur tumbuhan itu, Nesia selalu mendapat inspirasi. Bahkan, hobi menggambarnya berawal dari kursi itu. Ajaib sekali.

Sambil mengetuk-ngetuk jari di meja, dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Sepi sekali. Selain dia, pelayan, dan koki, ada sepasang kekasih yang sedang bercumbu mesra. Selain itu, ada nenek-nenek yang tatapannya cukup mengerikan, sedang menyesap cangkir berisi sesuatu—mungkin kopi atau teh. Dia menghela napas panjang dan melihat keluar jendela; tetesan airhujan menghujam bumi. Kemudian, dia tersenyum kecil.

Mengalihkan pandangan dari jendela, dia mulai menggoreskan pensil di atas kertas, membuat berbagai bentuk, dan mulai menggambar. Makin lama, senyumannya makin lebar, puas dengan gambaran yang terlukis di otaknya, yang akan dia realisasikan di buku sketsanya.

Gores, gores, gores, gores—

"Wah, gambarmu bagus sekali."

—dan, berhenti. Nesia mendongakkan kepala dan menangkap sosok pria bersyal merah-putih-biru sedang melongokkan kepala masuk ke daerahnya, mengamati gambarnya secara saksama. Nesia mengedipkan mata berulang kali. Dia tak mengenal pria ini; bahkan, dia tak pernah melihat sosok ini di Timur. Aneh.

"Apa ada yang salah dengan wajahku, Nona?"

Seketika itu juga, Nesia menggeleng-geleng cepat. Wajahnya memerah karena malu. Tampaknya dia memandangi pria itu lama sekali.

"Bolehkah aku duduk di sini? Aku sendiri dan, yah, butuh teman bicara," kata pria itu sambil memasang ekspresi jijik ketika melihat sepasang kekasih di Kafe Ayu masih bercumbu mesra—nenek-nenek mengerikan itu sudah pergi.

Nesia mengangguk; dia mengerti betul ekspresi pria itu. Sepasang kekasih itu memang menjijikkan.

Tak lupa ia membuka lembaran baru dan mulai menulis, Tentu saja.

Pria itu terlonjak kaget untuk sesaat sebelum dia duduk. Seketika itu juga, pelayan datang membawakan pesanan Nesia.

"Puding keju dan kopi susu?"

Nesia mengangguk pelan.

Pelayan itu mengalihkan pandangan dari Nesia ke pria itu. "Lalu, Pak, anda mau pesan apa?"

"Ah, ya. Saya pesan anggur. Ada?"

Pelayan itu mengangguk. "Tentu saja ada, Sir. Makanannya apa?"

"Tidak usah. Anggur saja."

"Baiklah kalau begitu."

Pelayan itu pun pergi, meninggalkan Nesia dengan pria misterius itu. Nesia kembali menulis. Jadi, siapa nama anda?

Pria itu mengedipkan mata. Kemudian, tertawa kecil. "Maaf, lupa menyebutkan nama. Namaku Netherlands—Koninjrik der Nederlanden. Salam kenal."

Ah, pria ini penduduk Barat; namanya khas Barat. Pantas saja dia tak pernah melihatnya.

Aku Nesia. Nesia Raya. Salam kenal juga, Sir.

"Ah, tak usah bersikap formal. Panggil saja Netherlands," kata pria itu. Nesia mengangguk.

Baiklah jika itu maumu, Sir. Nesia mencoret kata "Sir" dengan pensilnya. Jadi, Netherlands, apa yang anda lakukan di Timur?

"Mmm. Aku ingin menikmati keindahan Taman Ceddhis. Kata orang-orang, jika menjejakkan kaki di taman tersebut, dosa orang itu akan dibersihkan—benarkah itu?"

Entahlah. Aku juga tak tahu. Aku hanya mengunjungi Taman Ceddhis untuk menggambar suasananya. Di sana indah sekali. Sayang sekali, saat ini hujan.

"Tentu saja. Untuk seniman sepertimu, di sana indah. Aku sempat mengunjungi taman itu beberapa tahun lalu bersama orangtuaku, dan seperti kata-katamu, taman itu memang indah. Siapa yang mendesain taman itu? Apa kau tahu?"

Ya, aku tahu. Kakekku yang mendesainnya. Dia seniman yang hebat, membuatku terkagum-kagum. Selain kursi yang kaududuki saat ini, dialah yang membuatku benar-benar tertarik dengan dunia gambar.

Tepat pada saat itu, pelayan kembali datang membawakan segelas anggur milik Netherlands. Netherlands berterimakasih dan pelayan itu pergi. Netherlands menyesap anggurnya. "Kakekmu yang mendesainnya? Hebat sekali! Bravo untuk kakekmu."

Nesia tersenyum. Ya, bravo untuknya.

"Dan, kursi yang saat ini sedang kududuki ini juga karya kakekmu?"

Nesia menggeleng pelan. Bukan, bukan. Kursi yang kau duduki ini bukan karya kakekku; kakekku hanya tertarik dengan dunia arsitektur. Tapi, sungguh, kursi di hadapanku saat ini memang indah. Entah kenapa aku tertarik dengan kursi itu. Hanya saja... yah, mengagumkan. Makanya tempat ini adalah tempat favoritku. Selain kedua kursi ini, aku suka pemandangan di sini. Dan, lagipula, aku memang suka tempat yang penduduknya jarang; saat menggambar, konsentrasiku tidak terganggu.

Netherlands mengangguk-angguk sendiri. "Masuk akal," katanya, sementara Nesia meminum kopi susunya.

Oh, ya, soal pujian tadi, terima kasih. Sebenarnya aku tidak mau memperlihatkan gambarku pada orang lain selain adikku. Tapi, berhubung kau sudah mencuri pandangan gambarku, kau jadi orang kedua.

"Aku orang kedua? Orangtuamu atau kakek-nenekmu tidak?"

Tidak. Mereka mati saat perang antara Barat dan Timur masih berlangsung.

Pernyataan itu mengundang rasa keheranan masuk ke dalam diri Netherlands. "Mati? Lalu, bagaimana caranya kau melihat karya-karya kakekmu?"

Karya-karyanya tersimpan dengan baik di ruang bawah tanah rumahku. Pertama kali aku menemukannya, semuanya berantakan: folder-folder berisi desain bangunan buatan kakekku berserakan di tanah, lukisan-lukisannya menumpuk di pojok ruangan, alat-alat menggambarnya juga tercecer di sana-sini, debu dan pasir juga menutupi. Pokoknya berantakan! Butuh sekitar lima jam untuk membuat ruang bawah tanah itu rapi. Lalu, aku menemukan suatu lukisan berukuran mungilmungkin sekecil telapak tangandi bawah meja kayu Kakek. Lukisan itu indah sekali, menenangkan hatiku dengan warna biru langit yang indah. Di bawah langit tersebut, terlukis rerumputan hijau. Bunga dandelion terbang terbawa angin. Lukisan itu benar-benar indah. Aku membayangkan bisa berada di tempat seperti itu; pasti lebih indah dari lukisannya.

"Yeah. Aku juga sudah bisa membayangkan lukisannya seperti apa." Gelasnya sudah habis.

Oh, ya, omong-omong, ini jam berapa, ya? Di sini bukan tempat yang strategis untuk melihat jam..., dan aku lupa memakai jam tanganku, juga membawa ponselku.

"Oh, yeah. Tentu saja," kata Netherlands. Dia melirik ke arah jam tangannya. "Jam setengah tujuh."

Nesia melenguh kaget. Ya ampun! Adikku pasti sedang menunggu saat ini! Ah, jangan sampai aku melewatkan nasi lemaknya! Tidak apa-apa, 'kan, kalau aku meninggalkanmu sendirian di sini?

"Yep. Tidak apa-apa. Lagipula, aku ini pria; tentu saja bisa menjaga diri sendiri," ucap Netherlands.

Terima kasih banyak! Semoga Tuhan memberkatimu. Nesia melirik keluar jendela. Hujan juga sudah reda. Ah, leganya. Oh, ya, Taman Ceddhis juga dapat dinikmati saat malam hari, loh. Sungguh. Kau bisa mengunjungi Taman Ceddhis!

"Terima kasih atas pemberitahuannya, juga sudah menemaniku bicara. Menyenangkan sekali."

Sama-sama.

"Sebagai gantinya, biarkan aku membayarkan makanan serta minumanmu ini."

Apa? Tidak, tidak, tidak. Aku bisa membayar makananku sen

"Tolonglah. Ini hanya sebagai rasa terimakasihku."

Netherlands memasang wajah memelas, meluluhkan hati Nesia, dan pada akhirnya, perempuan itu menghela napas. Baik, baik. Bayar, ya! Senang sudah berbicara denganmu, Netherlands. Semoga suatu saat nanti, kita akan bertemu lagi.

"Tentu saja. Senang berbicara denganmu."

Nesia melambaikan tangan tanda perpisahan; Netherlands membalas lambaian tersebut

Kemudian, Nesia pergi, meninggalkan Netherlands dan sepiring puding keju yang sama sekali tidak ia sentuh.

Kita akan bertemu lagi, Nesia Raya.