Catatan Perjalanan Nikki
Hello Nikki © Game Dreamer MY
Rating T
General (slight Humor)
Warning: Sedikit berbau bestial lmao jk, Oneshot atau drabble, kemungkinan bakal terus diapdet seiring munculnya ide-ide sepanjang ngegame, random.
.
.
.
14th Map: Copenhagen, Denmark. Task 179.
Inspiration
.
.
.
Momo hanya bisa terpekur diam melihat seekor kucing berbulu cokelat eksotis tertidur di pangkuan Nikki. Apakah Nikki baru saja mencari penggantinya? Atau kucing itu hanyalah kucing jalanan yang kebetulan mencari kehangatan di pangkuan Nikki tanpa sepengetahuan pemiliknya? Yang jelas saat itu Momo hanya bisa ternganga—antara iri atau takjub dengan postur si kucing yang sangat ideal dan menunjukkan keanggunan (bahkan dalam posisi tertidur sekalipun), tidak seperti kucing-kucing jalanan yang malnutrisi, ataupun kucing-kucing bangsawan yang berjalan dengan lemak di sekujur tubuhnya.
"Nikki! Nikki bangun!"
Momo dengan cakar-cakar kecilnya mengguncang dengkul Nikki. Alih-alih mendapat respon, suaranya justru memancing si kucing anggun yang sempat melingkar seperti bola bulu untuk terbangun—menatap Momo dengan iris sebiru dan sedalam laut. Kalung berbandul salju yang menggantung di leher si kucing memantulkan kilau di antara redupnya ruang yang hanya diterangi oleh nyala api di perapian. Momo mungkin kucing metroseks dengan jiwa fashion yang cukup tinggi, jadi ia cukup paham bahwa rasanya pasti takkan menyenangkan jika kalung (yang diasumsikan sebagai kalung kepemilikan) dengan tali berbahan dasar kulit mencekik lehernya.
"Momo—"
Tersentak mendengar suara yang keluar dari pihak seberang, cakar kecil Momo menjauhi tubuh sang majikan, menatap dengan kepercayaan diri nol terhadap kucing anggun yang mulai berdiri dan melompat turun dari pangkuan Nikki. Uh oh—bahkan tubuhnya saja jauh lebih tegap menjulang dibanding Momo dan kaki-kaki pendeknya. Bagaimana bisa Momo berdiri lurus dengan nyali yang sukses dibuat menjadi sisa?
Pun akhirnya, Momo berjalan mundur. Kucing di depannya berjalan mendekat.
"Momo—"
Mengulangi perkataan yang sama. Momo tidak tahu darimana kucing itu tahu namanya. Masih dalam situasi kelu dari pihak yang pendek, lidah si kucing anggun pun terjulur, menjilati bibir yang kering disapu udara dingin. Momo dengan pose kikuknya meneguk ludah.
"Kenapa kamu tahu namaku—miaw?"
"Hm?"
Kucing di depannya hanya terduduk, menggoyangkan ekor, tanda tanya.
"Momo tidak ingat aku?"
Gantian Momo yang terduduk, menggoyangkan ekor.
"Kamu memangnya siapa miaw?"
"Aku sudah lama menyukai Momo meow—" tiga detik dan kucing berbulu cokelat sudah menghapus jarak dengan Momo, mengelus kepalanya pada pipi Momo yang dingin karena terkejut.
"Miaww! Apa yang kamu lakukan!"
Momo terdorong mundur dengan wajah semerah plum. 'Hello kitty eksotis' di depannya bertindak frontal sekali—tidak baik bagi kesehatan jantung, pikirnya.
"Momo tidak suka aku?"
Wajah kucing di depannya layu. Dengan gestur dan gurat kecewa yang sempurna, Momo bisa melihat telinga-telinga lucu si cokelat yang perlahan menguncup. Walaupun begitu, ia masih bersikukuh untuk menghapus jarak di antara dirinya dan Momo, tak membiarkan si pendek untuk berpikir lebih panjang terhadap pertanyaannya.
"T-Tapi miaww—" Momo kegelian dielus spontan di bagian pipi. Jatuh bertekuk lutut dengan kucing anggun yang menyentuhnya, "T-tunggu miaw! kamu membuatku geli—"
Suara dengkurnya terlepas tanpa sengaja. Wajah Momo memerah. Ia sadar buntutnya tak bisa berhenti bergoyang—keenakkan dengan perbuatan si cokelat yang memanjakannya dengan sentuhan.
Tapi Momo berhenti dengan celotehannya, saat kucing yang dimaksud berjalan memutari tubuh Momo, mencari area lain yang lebih sensitif untuk dijamah. Bokong chubby Momo menjadi target pandangan tajam, pun dengan bokong langsing si cokelat yang ikut terekspos di depan mata Momo yang masih suci—
"M-MIAWWWW!" dan membuat Momo tak bisa menahan dirinya untuk tak berteriak, mengambil jarak, menatap dan menunjuk si kucing dengan wajah kecewa sekaligus marah, "Kamu jantan miaww! Kamu menipuku miawwwwww!"
"Aku tidak berniat menipumu meow—aku suka Momo."
"Tapi aku jantan miawww!"
"Aku tahu meow—aku tetap suka Momo, meoww,"
.
.
.
.
.
"MIAWWWWWWW."
Momo melompat refleks dan menyadari cakarnya menembus dalam pada dress selutut yang Nikki pakai pagi itu. Nina menjitakinya tanpa pikir panjang, tak menerima alasan 'panic attack' Momo karena mimpi yang dianggapnya tidak asik. Bagaimana pun juga, seburuk-buruknya mimpi hanyalah mimpi, tidak seperti gaun bolong Nikki yang wujudnya realita.
"Sudah-sudah, kasihan Momo lihat, bulunya sampai berkeringat." Seperti biasa, Nikki yang pengertian hanya mengelus dan menenangkan Momo yang nyawanya masih belum terkumpul sempurna. Amarah Nina menjadi setengah alasan yang membuat wajah syok Momo bertahan lama, kala itu.
"Kucing blegug dasar! Kalau mau lompat lihat-lihat dulu dong—itu kado Nikki dariku tahu! Jadi bolong begitu gara-gara kamu!"
"Kamu benar-benar tidak punya simpati miaw! Aku habis mimpi buruk miaww!"
"Masa bodo dengan mimpi buruk kucing blegug!"
"MIAWWWWW!"
Nikki terpaksa menjauhkan Momo untuk sementara dari kakaknya, yang terlihat siap kapan dan dimanapun menghadapi Momo dengan tangan telanjang.
Kucing seputih susu teronggok di pundak Nikki dalam posisi nungging layaknya karung beras mini, kaki-kaki yang menggantung tak bisa diam, dan kepala membelakangi wajah asam Nina.
"Turunkan aku Nikki! Turunkan aku dan biarkan aku cakar muka Nina sebentar!"
"Kamu tidak boleh begitu, Momo!"
Menghela napas, Nikki yang berpapasan dengan tamu seperjalanannya, Brown, di lounge hotel yang mereka singgahi, membalas sapaan pagi kemudian sebagai wujud kesopanan.
"Ah, tuan Brown, selamat pagi."
"Tadi kudengar ada keributan kecil. Kenapa?"
"Oh—itu. Momo panik karena pagi ini mimpi buruk, katanya." Nikki tertawa renyah, memberi celah bagi Momo yang sejak awal tergotong di pundak, untuk melompat turun dan berdiri di atas meja makan yang menjadi destinasi majikannya untuk sarapan. Wajahnya masih cemberut, melipat tangan di dada dan duduk bersila, memalingkan muka. Brown duduk mengekor di meja yang sama, sedang Nina masih sibuk mengurusi pakaiannya di dalam kamar—mungkin akan menyusul untuk sarapan, tak lama lagi.
"Mimpi buruk eh?" Brown bergumam, belum menyentuh gelas kopi yang teronggok kosong minta diisi, "Aku jadi ingat semalam juga bermimpi,"
"Mimpi buruk juga?"
"Tidak, mimpi indah—" sambut Brown sambil menatap sebuntal mahluk di atas meja yang belum memerhatikannya, "Bisa dijadikan inspirasi untuk menulis buku baruku~"
"Oh ya? Seperti apa mimpinya?"
Momo yang lapar hanya bisa menggigiti taplak meja, menunggu sarapan yang tak kunjung tiba bonus ceracauan para manusia yang tidak menarik baginya—
"Aku mimpi Momo menjadi manusia."
Dan sukses membuat gigi kecil Momo nyangkut di taplak dengan sebaris kalimat, "M-Miaww! Gigiku miaww!"
Nikki tertawa antusias, Brown hanya menggosok belakang kepala, malu-malu, dan Momo menyipit setengah lelah dengan kelakuan rekan seperjalanan yang disinyalir ada kelebihan rasa terhadap mahluk bergenus felis.
"Mau kubantu Momo-chan?"
"Tidak perlu miaw!" desisnya kencang—mendorong Brown secara verbal. Masih dalam posisi tolol menarik-narik taplak yang seperti daging alot di giginya.
Momo hanya bisa berharap, agar Nikki yang biasanya tidak peka, untuk segera membantunya melepaskan diri dari jerat taplak, tanpa harus diminta. Plus, tak memancing Brown yang sedang senang untuk menceritakan mimpinya dengan lebih detail. Karena dilihat dari frekuensi tatapan Brown yang lebih intens dibanding biasanya, Momo yakin sekali bahwa mimpi tersebut bukanlah sekedar mimpi biasa.
"Aku ingin dengar bagaimana wujud manusia Momo ehe~"
Senyum terakhir Nikki membuat Momo melambai dari realita. Dan menyambut mimpi buruk yang selanjutnya.
.
.
.
.
.
Das Ende
A/N: Hello Nikki membuat gue makin taq sehat. Semenjak sinterklas oenyoe Brown muncul di map Finland, gue fix kalap tiap liat karakter laki yang satu ini fanboying ke Momo si kucing bantet.
