Love Isn't Deaf
Disclaimer: bukan. punya. saya.
WARNING: gaje
Chapter 1: Introduction
.
.
Twilight High School adalah sekolah dengan akreditasi yang bagus dan terletak di Twilight Town. Tak pernah diragukan lagi, sekolah ini juga sekolah yang memiliki anak-anak berbakat yang kreatif, tergantung apa mereka bisa atau tidaknya.
Salah satunya adalah siswa kelas duabelas bernama Roxas Ames, yang disukai para gadis di sekolahnya karena skillnya dalam bermain gitar, akustik maupun elektrik. Namun, karena sifatnya yang lebih suka menyendiri dan bertingkah sesuka hati, ia lebih sering terlihat berjalan-jalan di luar kelas, alias dihukum.
Roxas memang jago di bidang musik, namun ia tidak suka sejarah, fisika, terlebih lagi menggambar.
Sepupunya, Sora Kerns sering tertawa apabila melihat hasil gambar Roxas walaupun beberapa kali Roxas sudah memperingatkannya agar tidak tertawa. Karena ia merasa terlihat lemah kalau seperti itu.
Hari ini adalah dimana Roxas dihukum oleh guru sejarah, Miss Lockhart karena tidak menyimak pelajarannya yang sudah ia terangkan susah payah. Mau tak mau, Roxas keluar dari kelasnya. Toh, Roxas memang dari awal berniat begitu.
From: Sora
To: Roxas
Hei, Riku baru saja mengirim pesan padaku. Kau kena hukuman lagi?
Roxas mendesah sambil berdecak kesal. Astaga Sora dengan kepolosannya. Bukankah anak itu sendiri juga tahu kalau Roxas sendiri paling tidak suka sejarah, dan sering dihukum di kelas itu?
Terlebih lagi, Riku dengan sifatnya itu. Sampai kapan orang itu mau melepas sifat mengadu pada sepupunya?
Roxas menutup ponselnya sambil berjalan melewati lorong sekolah. Well, sebaiknya aku mengisi waktuku di ruang musik saja, batin Roxas. Ia sering ke ruang musik apabila ia dihukum oleh guru mata pelajaran yang paling dilemahinya. Alasannya adalah ia suka menenangkan dirinya di sana berjam-jam sambil bermain alat musik kesayangannya, gitar.
Sambil mengambil langkah menuju ruang musik, Roxas mulai mendengar suara alunan lembut dari arah ruangan itu. Semakin Roxas mendekati ruang musik, semakin terdengar suara alunan itu. Terdengar seperti piano, batin Roxas. Ia mendekati pintu ruang musik sambil melihat siapa yang bermain di dalam dari kaca pintu.
Akhirnya terlihat. Seorang gadis berambut pirang dan kulit yang pucat bermain piano itu sambil tersenyum lemah. Gadis itu memainkannya dengan lembut seakan-akan ia ikut terbawa dengan lagu yang dibawakannya.
Roxas membuka pintu perlahan, lalu masuk ke dalam ruangan dan mendekati gadis itu, mengamatinya baik-baik. Belum pernah ia melihat anak ini sebelumnya. Apa dia anak baru?
Setelah beberapa menit Roxas mendengar lagu yang dimainkan sang gadis, senyum merekah perlahan di wajah Roxas. Permainan anak ini bagus, batin Roxas. Namun, senyumnya menghilang begitu bunyi piano tersebut memelan perlahan-lahan. Roxas menaikkan alisnya bingung, apa ia menyadari keberadaanku?
Tidak lama kemudian, gadis itu bermain lagi. Mulut Roxas menganga lebar melihat jari-jari gadis tersebut menari-nari di atas tuts piano dengan cepat, saling mengejar satu sama lain. Nadanya semakin keras, temponya semakin cepat. Namun, permainannya itu masih terdengar indah. Indah, tapi sedih.
Dapat Roxas lihat dari poni rambut sang gadis. Wajahnya yang semula senyum, menjadi sedih. Sedih, sampai membuat hati Roxas tergerak. Gadis itu sangat menghayati permainannya. Sangat dalam. Nada yang dimainkan semakin keras, seakan-akan gadis itu meluapkan emosinya ke tangannya yang terus bermain di atas tuts piano dengan cepat dan semakin cepat.
Cepat, cepat, dan cepat sekali. Roxas dapat melihat wajah gadis itu mulai berkeringat, napasnya memburu, dan matanya membulat sangat lebar. Khawatir akan apa yang terjadi nanti, Roxas menepuk pundak gadis itu lalu berteriak, "Berhenti!"
Sang gadis menghentikan permainannya dan menoleh melihat siapa yang mengunjunginya. Mata birunya terkejut melihat Roxas dan langsung beranjak dari tempat duduknya.
"Pelan-pelan. Kau tidak perlu menekan dirimu untuk bermain seperti itu. Bisa-bisa jarimu terputus semua," Roxas berkata sambil menghela napas panjang.
Butuh waktu sekitar lima detik kemudian, gadis itu berkata, "Oh! Ya, maaf. Eh.. Aku sedikit.. terbawa.."
Kenapa lama sekali menjawabnya? batin Roxas. Lalu ia menyadari ada sedikit keganjalan dari gadis itu. Logatnya, cara berbahasanya. Sedikit berantakan, dan tidak teratur.
"kau anak baru di sini?" tanya Roxas.
Gadis itu menganggukkan kepalanya tidak lama kemudian lalu berkata sambil menggerakkan jari-jarinya seperti memberi sinyal, "Ya. Aku anak baru. Namine Vasquez."
"Roxas. Roxas Ames," sahut Roxas sambil menjabat tangan Namine dan menatapnya penasaran. Lalu suatu benda berhasil menangkap perhatiannya. Benda kecil yang melekat di telinga Namine. Meski transaparan, namun mata Roxas masih sehat.
"...Aku tidak pernah bertanya seperti ini pada orang yang baru kutemui, tapi..," Roxas menunjuk ke arah telinga Namine, "apa itu yang ada di telingamu? Bluetooth headset?"
Namine menyibak rambutnya ke belakang telinganya, memperlihatkan benda yang melekat di telinganya sambil berkata, "Oh! Alat ini? Ini alat bantu."
Roxas semakin bingung. Alat bantu?
Menangkap ekspresi bingung Roxas, Namine menghela napas sambil berkata dengan nada yang lemah dari sebelumnya, "..Aku.. tunarungu."
Kali ini Roxas terkejut. Bukan karena gadis ini tidak bisa mendengar jadi dia terkejut melainkan bakat yang dimiliki gadis ini.
Bagaimana dia bisa bermain piano tadi dengan lancar padahal dia... tunarungu?
A/N: I'm home, yo
Yak, setelah istirahat ini akhirnya saya bisa ngluarin fic yang ini walaupun cuma awal dan masih dikit dikit banget.
Dan oh ya! fanfic saya yang CSDB itu masih ada epilognya dan sengaja belum saya buat fic itu jadi complete, statusnya masih in-progress saya memang suram (jder)
Fic kali ini memang beda dari yg seblumnya tapi sama-sama romance haha
jadi bagaimana? Mind to Review? (aku ciyus lho)
