Ebby Story Line :
– Is it My Fault? (Don't hurt me, please) –
Kebahagiaan yang hilang.. akankah kembali?
"Buatkan aku kopi!"
Ia berteriak dari seberang telepon–sedang aku meremas bagian baju yang berada di depan dada berusaha menenangkan jantung yang hampir meloncat keluar dari sarangnya karena mendengar teriakan barusan. Meletakkan gagang telepon ke tempat semula dan cepat melangkahkan kaki menuju pantry.
Segera masuk ke ruang khusus ini dan menyapu seluruh ruangan mencari alat-alat yang kubutuhkan untuk memenuhi perintah yang diberikan kepadaku semenit lalu. Ada beberapa office boy tengah beristirahat; sontak memandangiku yang mulai berkutat di konter dimana bahan-bahan–gula, kopi, termos air panas di tata rapi.
Sebenarnya sudah biasa mereka menemukanku kerepotan di pantry untuk membuat segelas kopi, teh, atau minuman lainnya yang merupakan perintah langsung dari sajangnim. Bos besar kami di perusahaan ini.
"Hyung, biar.. biar aku saja yang membuatnya." Jonghyun menghampiri dengan raut yang ku tahu ia tak enak membiarkanku membuat segelas kopi padahal ada mereka di sini–yang bertugas untuk membersihkan dan melayani para staff.
Para office boy maupun office girl seperti temanku. Mereka selalu memperhatikan dan memberi semangat ketika bertemu. Apalagi sewaktu mendapatiku di pantry. Jujur saja, aku senang. Meski di bagian berbeda, aku tak pernah menyepelekan pekerjaan mereka. Kami adalah pekerja, jadi aku tak boleh bersikap buruk hanya karena bagianku bisa dibilang sedikit lebih tinggi.
Sejak awal aku bekerja, pantry menjadi tempat paling sering ku kunjungi; karena perintah sajangnim.
Aku menatapnya sebentar sembari menunjukkan senyum kecil, "tak apa, aku bisa sendiri."
"Geundae–"
"Selesai." Kataku memotong perkataannya. Aku kembali menunjukkan senyum pada Jonghyun yang kini melihatku prihatin. Yah, tidak apa-apa. Selagi aku bisa melakukannya aku akan menuruti perintah sajangnim. Hanya membuat kopi, bukan masalah besar.
Aku tahu Jonghyun bermaksud baik, tapi bila sajangnim tahu yang membuat kopi adalah office boy maka tamatlah riwayatku. Ia tentu memeriksa cctv pantry untuk membuktikan jika benar aku yang melakukan perintahnya. Aku takut sajangnim marah. Semua yang bekerja di sini tahu bahwa sajangnim adalah orang yang tidak dapat menahan emosi. Aku tidak mau ia memecat orang-orang yang berusaha membantuku.
Mengetuk pintu ruangan sajangnim beberapa kali–bentuk sopan santun–lalu membuka perlahan. Mengintip sebentar melihat apa yang tengah ia lakukan; membaca surat-surat yang kuberikan pagi tadi. Aku masuk sambil menutup pintu kemuidan meletakkan segelas kopi yang ku bawa ke atas meja.
"Permisi, sajangnim." Kataku, untuk sopan santun.
Sajangnim tak menyahut. Tidak aneh. Ia terlalu sering mengabaikan aku. Mencoba tersenyum walau ia tak akan melirikku. Kulihat tangannya meraih pegangan gelas kemudian dengan pandangan masih pada kertas-kertas itu ia menyeduh(?) kopi buatanku. Operasi jantungku mulai meningkat, cemas menanti reaksi sajangnim.
Baru aku meneguk saliva gugup gelas kopi tadi melayang. Cairan hitam panas tersebut sukses mengotori dan menyakiti bagian perutku. Aku merintih kaget serta sakit. Sontak memegangi bulatan besar di tubuhku, mengusapnya pelan guna meredakan hawa panas yang menyebar. Sementara gelas tadi jatuh ke lantai menimbulkan bunyi cukup keras karena pecah.
Tatapan tajam itu kembali mengarah telak padaku. Wajah sajangnim mengeras–pertanda emosinya memuncak. Ke-kenapa? Apa aku membuat kesalahan? Apa kopi yang ku buat tak sesuai dengan keinginannya? Terlalu manis? Atau malah kekurangan gula? Pertanyaan seputar kemungkinan kesalahan yang kuperbuat bermunculan.
Aku takut.
"Kau ingin membunuhku!?" ia bertanya dengan nada tajam, menusuk indra pendengaranku.
Tubuhku menegang. Terlalu terkejut. Detakan jantung dalam dada juga makin tak karuan. Oh, Tuhan.. kenapa lagi? Apa yang telah kuperbuat? Apa kesalahanku? Ada apa dengan kopi yang ku buat? Sudah kesekian kalinya ia membentakku hari ini.
"Jwe-jweisonghamnida.." menunduk takut. Suaraku hampir hilang.
"Gajimu bulan ini akan ku potong sembilan puluh persen!"
Sontak kepalaku terangkat dan memandang sajangnim yang kembali sibuk dengan berbagai map di atas meja. Sembilan puluh persen? Sebanyak itu? Gajiku merupakan nominal paling kecil di perusahaan ini biarpun aku seorang asisten sajangnim. Dan.. dan ia akan memotong sembilan puluh persen? Ke-kenapa dia tega sekali?
"Ta-tapi.." aku ingin protes, tentu. Hanya karena kesalahan yang tak kuketahui ia memotong gajiku dengan sadis. Dia benar-benar keterlaluan.
"Bersihkan pecahan gelas itu dan keluar dari ruanganku." Ia memerintah tanpa menoleh atau sekedar melirik. Seolah aku hanya seorang pekerja rendahan yang mengharapkan belas kasihan. Tak menghargaiku sedikitpun.
Dadaku sesak. Tiba-tiba saja oksigen yang kuhirup tak ada lagi. Aku ingin menangis. Dia tega sekali padaku. Kenapa hanya aku yang diperlakukan begini? Sampai kapan aku harus menahan sakit yang ia berikan tak hanya pada batin juga tubuhku? Aku sudah tak tahan lagi. Menahan isakan yang terancam keluar aku mencoba berjongkok untuk memunguti pecahan-pecahan gelas di lantai, namun dengan keadaanku sekarang rasanya susah sekali.
Menggigit bibir bagian dalam sebagai usaha pelampiasan sakit yang menyerang perutku ketika berjongkok sewaktu mengambil pecahan-pecahan gelas dan meletakkan di baki yang ku pegang. Setelah selesai aku bangkit berdiri lalu membungkuk pelan meski tak akan ia lihat kemudian keluar dari ruangan sajangnim.
Bulir bening itu langsung menetes saat aku tiba di luar ruang sajangnim. Menangis tanpa suara. Kegiatan yang sangat sering kulakukan semenjak bekerja di sini. Meremat baki yang ku pegang dan berjalan menuju meja yang ku tempati. Hanya berjarak beberapa langkah dari ruang sajangnim. Meletak baki di atas meja dan duduk di kursi yang selalu menjadi sandaran punggungku.
Di sini tak ada siapa-siapa. Hanya kami; aku dan sajangnim yang menghuni lantai ini. Tak akan ada yang melihatku menangis. Dinding yang dapat berbicara pun hanya membisu mengetahui keadaanku. Sakit sekali. Mengingat semua perlakuannya terhadap diriku, tak ada habisnya. Seakan senang aku menderita. Aku masih bisa menerima ia memotong gajiku sebanyak lima puluh persen, tetapi.. kalau sembilan puluh persen..? Mau hidup dengan apa aku? Aku Cuma menumpang di rumah yang kutinggali dan uang yang kupunya sangat terbatas.
Ya Tuhan.. kenapa dia tak berhenti? Tak cukupkah menjadikanku seseorang yang hina? Apakah dia tak puas menyiksaku selama dua tahun..
.
.
.
.
"Annyeong.."
Aku menyapa siapapun yang ku temui di sepanjang koridor. Pamer senyum, bertingkah sok akrab yang kemudian mendapat tatapan heran yang membuatku sadar jika prilakuku sangat memalukan. Tapi, ah.. aku sangat senang. Aku bahagia! Akhirnya bisa menapakkan kakiku di salah satu Universitas terkenal Seoul. Terkenal karena para mahasiswa dan mahasiswinya mempunyai IQ yang tinggi. Di atas rata-rata.
Apakah aku termasuk diantaranya? Ah~ berhasil masuk, berarti iya. Aku senang sekali.
Memandangi halaman di area gedung Universitas yang sangat luas dan di penuhi oleh para penuntut ilmu yang sedang beristirahat, berkumpul dan makan siang. Ramai. Ini benar-benar tempat yang menyenangkan. Aku harus bisa beradaptasi dengan lingkungan di sini. Mendapat banyak teman dan belajar dengan rajin. Aku tak mau menyia-nyiakan uang peninggalan eomma dan kerja kerasku.
Kepalaku mengangguk-ngangguk kala menyusun rencana menuntut ilmu di sini. Aku tidak akan mengecewakan semua orang yang menyayangiku, termasuk diriku sendiri. Hah.. senangnya.
Bibirku tak henti-henti membentuk senyum saat menelusuri kampus baruku ini. Aku ingin berkenalan dengan gedungnya terlebih dahulu, selanjutnya para mahasiswa, kyusungnim, pelajaran dan kegiatan-kegiatan kampus.
Dinding dan pilar-pilarnya terbuat dari bahan bangunan berkualitas tinggi. Di cat berwarna terang namun lembut, biru muda. Semuanya tertata rapi. Letak kelas cukup strategis jadi mudah menemukannya. Aula kampus sangat besar. Mengalahkan lapangan sepak bola yang pernah kulihat dengan mata kepalaku sendiri; tidak dari televisi. Ada café, perpustakaan yang cukup luas, lapangan untuk berbagai macam olahraga bola besar, laboratorium dengan peralatan lengkap dan.. ah! Aku menemukan kolam renang. Uh.. senangnya.
Aku tidak sedang bermimpi 'kan? Mulai saat ini aku akan menuntut ilmu di Universitas DongBang. Appa-eomma, apa kalian bangga terhadapku? Aku berhasil masuk ke salah satu Universitas terkenal di Seoul. Ah, aku ingin sekali membagi kesenanganku ini bersama kalian. Um, berapa kali aku mendengungkan kata senang? Aku benar-benar bahagia.
Sewaktu melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tanganku, mataku membola. Ah, aku terlambat. Padahal tadi sengaja datang lebih cepat, tapi terlalu asik sendiri jadi membuatku malah terlambat masuk. Baiklah, Kim Jaejoong.. semangat! Mengepalkan tangan dan berteriak sendiri dan berlari meninggalkan area kolam renang menuju kelasku.
"Fighting!"
xXx
"Jo-eun achim.." aku mengintip ke dalam sebuah kelas yang bertanda kelas matematika. Di dalam ada seorang kyusungnim perempuan berdiri di depan kelas. Mungkin menerangkan pelajaran. Karena salamku tadi, kyusungnim menoleh dan memperhatikanku yang sedang memamerkan senyum.
Seperti teringat sesuatu kyusungnim membalas senyum, "ah, kau. Masuklah."
Baiklah, semangat! Aku menghela napas sebentar lalu masuk ke dalam kelas. Seluruh pasang mata segera memandangiku. Membuatku gugup seketika. Jangan pandangi aku begitu.. ah, mereka tak akan mendengar suara hatiku. Ini hari pertamaku di kampus ini, wajar mereka memperhatikanku. Aku berdiri di sebelah kyusungnim.
"Kau daekhangsaeng baru itu?" tanya kyusungnim yang kusambut dengan anggukan. "Ayo, perkenalkan dirimu."
Mengalihkan pandangan ke hadapan para mahasiswa yang juga tengah menatapku. Tenang. Jangan gugup. Kembali kupoles senyum manis sebagai sapaan pada mereka. "Annyeong.. Kim Jaejoong imnida. Aku baru di sini. Kumohon bantuannya." Membungkukkan badan memberi salam perkenalan.
Kyusungnim menepuk bahuku, "kau boleh duduk. Carilah bangku yang kosong."
Lagi, aku mengangguk dan segera mengedarkan pandanganku mencari bangku yang kosong. Ah, aku menemukan sebuah kursi tak berpenghuni di dekat seorang mahasiswi berkacamata. Langsung saja melangkah menuju kursi itu, menaruh tas di atasnya dan mendudukkan diriku. Mengeluarkan perlatan belajar dan memperhatikan kyusungnim yang kembali menerangkan pelajaran.
"Hei."
Suara kecil memporak-porandakan kefokusanku. Menoleh ke arah samping dan melihat mahasiswi berkacamata di sebelahku tersenyum. Aku membalas tersenyum, sebagai sapaan. Tak mau di cap sombong. Ini hari pertamaku. Harus memberi kesan yang baik.
"Ahra imnida." Ia mengulurkan tangannya.
Dibalik kacamatanya aku menemukan sorot teduh yang nyaman. Aku menyambut uluran tangannya, "Jaejoong."
Ahra menarik tangannya dan kembali memperhatikan pelajaran, begitu pula denganku. Aku tak mau ketinggalan, sebab pun aku sudah banyak tertinggal. Aku harus belajar sendiri materi pembelajaran yang tak kupelajari sebelumnya. Ayo-ayo, semangat Kim Jaejoong.
xXx
Ahra menjadi teman baikku di kampus. Dia sangat ramah dan baik. Aku senang bisa berteman dengannya. Dia banyak membantuku di pelajaran-pelajaran yang tak kumengerti, menemaniku berkeliling gedung, menceritakan hal-hal yang menarik seputar kampus dan terkadang mengajakku bergosip. Hei, aku laki-laki. Tapi, ya sudahlah.. daripada aku tak memiliki teman berbicara.
Ya, aku belum berbaur sepenuhnya karena mengejar ketertinggalanku. Pembelajaran di kampusku sebelumnya ternyata tertinggal cukup jauh sehingga membuatku sedikit kewalahan. Tapi, aku akan tetap bersemangat. Aku yang menginginkan ini. Aku harus mencapai cita-citaku. Menjadi seorang pebisnis. Atau chairman–oh, akuntan. Aku punya banyak cita-cita.
Hari ini Ahra membantuku mengerjakan tugas fisika. Jujur saja, otakku memang tak bisa mencerna rumus-rumus yang saling berkaitan dan melahirkan rumus lain. Satu soal saja, rumus yang digunakan bisa mencapai tiga bahkan lima. Ini alasan aku mengejar kuliah di DongBang. Berada diantara orang-orang pintar tentu akan membantuku. Lagipula ini Universitas bergengi, tamat dari sini pasti kesempatan mendapat pekerjaan bagus terbuka lebar.
Aku juga mengambil kelas seni. Bukan untuk melarikan diri, tapi sebagai hiburan. Merilekskan pikiran. Disudut hatiku, aku ingin menjadi pelukis. Meski urusan menggambar aku selalu mendapat nilai sembilan terbalik. Tapi, tetap berusaha menjadi baik, tak salah 'kan?
"Nah, yang ini salah. Seharusnya kau mengalikan gaya dengan kecepatan lalu di bagi delta waktu." Ahra menunjuk angka-angka yang ku tulis di buku.
"Baiklah.." aku menurut. Dia memang pintar fisika. Sejak tadi rumus yang kugunakan selalu salah dan dia memberitahuku dimana letak kesalahan itu. Aku mencoba mengikuti saran Ahra kemudian mulai menghitung perkalian dan pembagian angka. Hasilnya berbeda dengan hasilku sebelumnya. "Lima ratus delapan puluh delapan kilojoule?"
"Yap!" ia menyahut singkat sembari mengambil sebungkus cemilan yang mengintip dari dalam tasku. Ya sudahlah, sebagai ucapan terima kasih.
"Gomawo~" aku bersorak senang dan menuliskan jawaban di buku. Masih ada beberapa soal lagi. Aku kembali menyibukkan diri sementara Ahra mulai mengemil snack yang kubeli sewaktu berangkat ke kampus. Pelajaran terakhir tepat pukul sebelas siang, kami masih punya waktu setengah jam.
xXx
"Jadi, bagaimana agar kita bisa mendapat lebih banyak waktu?" tanya Park kyusungnim setelah selesai menjelaskan materi. Mencoba menggali daya pengamatan dan ingatan kami.
Aku yang sejak tadi memperhatikan tahu jawabannya langsung mengangkat tangan. Park kyusungnim memperhatikanku dengan raut bingung. Kenapa? Tak lama kemudian dia menggerakkan kepala menyuruhku menjawab.
"Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan agar mempunyai waktu lebih. Pertama, membuat jadwal. Supaya bisa mengatur waktu untuk setiap kegiatan. Kedua, sinkronisasikan waktu. Samakan jam yang ada di sekitar. Membuat daftar kegiatan yang sudah dan belum di lakukan. Memilah kegiatan yang akan dilakukan hari ini dan besok. Memanfaatkan waktu transisi. Lakukan tugas yang paling tidak menyenangkan terlebih dahulu.
Menulis problem di kertas, kenapa mengganggu dan cari solusi. Tahu kapan berhenti dan berpindah ke kegiatan berikutnya. Tidak menunggu suasana hati yang pas. Bersikap fleksibel dan yang terakhir gunakan waktu istirahat sebaik mungkin untuk menghilangkan kelelahan." Jelasku panjang lebar.
Park kyusungnim terdiam. Menatapku tak percaya serta kelas menjadi hening. Apa aku baru saja membuat mereka bosan karena ocehanku yang memakan waktu lama?
"Bagaimana kau bisa menjelaskan dengan rinci?" Park kyusungnim bertanya di sela keheningan yang melanda.
"Aku mencatatnya."
Raut muka tak percaya kembali menghiasi wajah Park kyusungnim, "kau mencatat penjelasanku?"
Aku mengangguk. Tidak mengerti.
"Kau bisa melakukan dua hal di waktu bersamaan." Tersenyum, "sebelumnya tidak ada yang bisa menjelaskan serinci itu. Kau hebat sekali." Menepuk tangannya beberapa kali mengundang teman-teman sekelasku ikut melakukan hal yang sama.
Diam. Mulutku mengatup sementara hawa panas menjalari wajahku. Aku yakin mukaku memerah karena pujian Park kyusungnim dan tepukan tangan teman sekelasku menambah kembang hidungku. Aku malu sekaligus senang. Boleh 'kan sedikit berbangga hati atas apa yang kulakukan? Aku tak menyangka. Syukurlah aku bisa melakukan sesuatu yang baik di mata orang lain. Ini berkat kebiasaanku yang suka mencatat penerangan seonsaengnim. Aku pun mengembangkan senyum malu kepada mereka semua.
.
.
.
.
Park kyusungnim sudah keluar dari kelas karena jam mengajar telah usai. Aku merapikan alat-alat tulisku dan memasukkan ke dalam tas. Tak ada pelajaran lagi hari ini dan aku memiliki kegiatan lain di luar kampus. Membantu orang yang kutumpang tinggal membereskan rumahnya. Ya, aku menumpang tinggal di rumah seseorang. Aku tidak punya keluarga lagi. Kedua orang tuaku sudah meninggal dan mereka sama-sama anak tunggal.
Tidak banyak yang mereka tinggalkan. Uang tabungan untuk biaya hidupku yang kugunakan membiayai kuliah di sini. Aku juga sebenarnya bukan berasal dari Seoul, melainkan sebuah kota kecil di pinggiran ibu kota. Beruntung masih ada yang mau menampungku di sini. Aku sangat beruntung.
Sewaktu bangkit berdiri dan beranjak, tanganku ditarik seseorang yang tak lain adalah Ahra. Dia tersenyum, "cukhae, Jaejoong-ie."
"Um! Gomawo." Aku membalas bersemangat disertai senyum tulus.
"Cukhae."
Suara seseorang yang tidak ku kenal. Membalikkan badan dan menemukan seorang lelaki berdiri di belakangku. Dia.. ah, wajahnya tampan. Tersenyum padaku yang membuatnya kelihatan makin menawan. Hum, aku laki-laki yang mengangumi laki-laki lain? Apakah akan terdengar aneh? Tapi aku tidak bohong. Sekali lihat pasti akan mengatakan dia tampan.
Mata kecil dengan sorot tajam, hidung mancung dan bibir penuh berbentuk hati. Ah.. aku juga lihat sebuah titik hitam kecil di sudut bibirnya. Dia memiliki kulit yang kuidam-idamkan sejak dulu, kecoklatan yang tampak seksi. Sayang sekali aku dilahirkan dengan kulit putih pucat. Apa aku perlu berjemur di pantai? Tapi bagian yang tak terkena matahari tidak berubah, membuat kulitku jadi belang. Ah, apa yang kupikirkan, sih?
"Hei!" pria itu melambaikan tangan di depan wajahku. Membuyarkan lamunanku tetang berjemur di pantai hanya mengenakan celana hawai yang akan membuat tubuhku berbelang.
"A-ah.. ne, gomapta." Balasku.
Ia mengulurkan tangan, "Jung Yunho imnida."
Aku tengah menikmati fatamorgana. Ya, aku terpesona. Juga iri. Kenapa aku tidak setampan dirinya? Uh.. tanganku menyambut ulurannya. Jung Yunho. Baiklah, aku akan menyimpan baik namanya dalam otakku.
Tiba-tiba sesuatu merusak pemandangan indahku. Sebuah telapak tangan kecil mampir di depan mata menghalangi penglihatan yang sedang kunikmati. Aku tersadar dan menoleh. Mempelototi Ahra tanda tidak senang tindakannya, tetapi ia malah membalasku dengan menyipitkan mata lalu menggerakkan sedikit kepala menunjuk suatu arah. Aku tidak mengerti jadi kuabaikan saja dan kembali memandangi laki-laki di hadapanku.
Namun ekspresi pria itu berubah. Dia mengernyit. Kerutan di keningnya kembali membawaku ke alam nyata. Aku terlalu lama mengagumi wajahnya. Uh, pabo. Memalukan sekali, Kim Jaejoong. Segera kuayunkan tanganku yang masih bersalaman dengannya. "Ki-im Jaejoong."
Yunho melepaskan tangannya, memberikan senyum kecil lalu pergi meninggalkanku dan Ahra di dalam kelas. Mataku masih mengikuti pergerakan lelaki itu yang makin menjauh dan akhirnya menghilang setelah melewati pintu.
"Kau sangat memalukan." Ujar Ahra sambil menepuk wajahku.
"Hash. Appo." Aku merajuk. Mengusap bagian yang ditepuk Ahra, "habisnya, dia tampan sekali."
Ahra mencibir, "semua juga tahu itu."
Melihat mulut yeoja itu maju beberapa senti membuatku gemas. Langsung kucubit kedua pipinya membuat ia terkejut kemudian meronta meminta dilepaskan. Aku tertawa melihatnya memasang wajah kesal. Ah, Ahra memang gadis yang lucu dan menggemaskan.
xXx
Aku baru tahu jika Yunho adalah mahasiswa popular.
Ha.. kemana saja kau, Kim Jaejoong? Aku terlalu sibuk dengan duniaku. Mengejar ketertinggalan, bermain dengan Ahra sehingga tak mengetahui apapun di sekitarku. Yunho tak hanya terkenal karena wajah tampan, tetapi prestasinya yang sering mengharumkan nama DongBang University. Ia termasuk mahasiswa pintar. Ku dengar ia sering mememangkan kompetisi. Pasti dia sangat bangga atas piagam-piagam yang ia terima.
Kapan aku seperti itu? Mendapat piagam, memenangkan kompetisi.. sepertinya sangat jauh.
Yunho juga dikenal ramah. Pantas saja dia mau mengucapkan selamat padaku kemarin. Dia layaknya manusia sempurna. Tampan, pintar dan ramah. Pasti bahagia sekali menjadi temannya. Aku ingin menjadi temannya agar bisa terciprat otak jenius miliknya sekaligus mengabadikan wajahnya dalam ingatanku. Dia sangat tampan, aku tak bisa menjelaskan kenapa aku terus menerus memuji ketampanannya.
Aku menyukainya. Tapi bukan suka dalam arti kata yang lain, hanya suka. Lagipula siapa yang tak menyukainya? Satu hal lagi, aku lelaki. Dia pun lelaki. Memuji Yunho terlalu sering sudah sangat aneh untukku, apalagi memiliki perasaan berlebih. Hei, aku masih normal. Masih suka perempuan. Ah, sudahlah..
Hari ini kudengar pemberitahuan akan dilangsungkan acara prom night pada malam minggu nanti. Para tamu diwajibkan membawa pasangan. Aku tidak perduli karena tak berniat hadir. Sedangkan Ahra sangat bersemangat sekali sampai mengajak seorang mahasiswa datang bersamanya. Kalau tidak salah ingat, laki-laki itu bernama Choi Seunghyun.
"Kau harus ikut."
Dan kini ia sedang memaksaku untuk ikut, "mian, tapi aku tak biasa dengan acara-acara seperti itu. Aku malas."
"Kenapa? Apa karena kau belum punya pasangan?" ia bertanya dengan muka cemberut.
"Itu tidak penting. Aku tak akan datang." Kataku mempertegas. Aku benar-benar tak punya niat untuk datang. Malas sekali. Lebih baik aku di rumah. Menikmati teh hangat buatan Uhm halmoni.
Ahra memegang lenganku, "kalau begitu, aku akan mencarikanmu pasangan!"
"Hah?" aku belum sempat memprotes, gadis ini menarik tanganku. Astaga. Apa dia tak mengerti? Aku tidak ingin datang. Acara seperti itu bukan kesukaanku. "Ahra-ya.."
Dia tak menyahut. Terus menarik tanganku ke gerombolan mahasiswi di taman kampus. Ukh, ini sama saja mempermalukanku. Meskipun berontak, ia tidak perduli sama sekali. Orang-orang yang kami lewati pun memandang aneh.
"Hai.." sapa Ahra pada mereka.
Mereka menoleh. Memperhatikan kami. Diantara semua mahasiswi ada seseorang yang ku kenal dan aku mempertanyakan keberadaannya di sana. Kenapa dia berada di kumpulan anak perempuan? Oh, aku lupa dia popular. Pasti para perempuan ingin mengajaknya ke prom night.
"Apa diantara kalian ada yang belum punya pasangan untuk prom night?"
Jujur, jantungku berdetak kencang saat ini. Semoga saja mereka semua sudah punya pasangan jadi aku tak perlu repot datang ke prom night. Tapi, tunggu dulu. Mereka bekumpul mengelilingi Yunho, bermaksud mengajak pria itu. Hah.. aku diam. Mengalihkan perhatianku tak mau melihat Ahra mempromosikanku seenaknya.
"Aku ingin mengajak Yunho oppa." Salah satu dari mereka menjawab. Uh.. aku ditolak terang-terangan.
"Aku juga ingin mengajak Yunho oppa." Timpal yang lain.
"Hei, aku yang terlebih dahulu mengajak Yunho oppa."
Baiklah, ini tidak menyenangkan. Sementara aku ditawarkan, mereka malah memperebutkan Yunho. Tidak adil.
"Enak saja! Yunho oppa akan menjadi pasanganku."
"Tidak! Oppa.. oppa akan pergi bersamaku 'kan?"
"Menjauhlah, Minzy. Aku yang akan menjadi pasangan Yunho oppa."
Uh.. aku sama sekali tak mendapat perhatian. Yah, Jung Yunho. Kau menang. Aku pun sebagai lelaki sampai mengagumimu. Wajar kau menjadi bahan perdebatan kepemilikikan para gadis.
"Aku akan menjadi pasangan Jaejoong."
Eh? Seluruh perhatian kami beralih pada Yunho yang kini menatapku sembari tersenyum. Ap-apa-apaan itu? Berkata begitu di hadapan para gadis? Pasanganku? Si Jung ini bercanda?
"Kenapa? Tidak ada larangan aku menjadi pasangan Jaejoong, bukan? Kami datang sebagai pasangan teman." Katanya mengklarifikasi pernyataan yang kuanggap lelucon tadi.
Memang tidak ada larangan. Pengaturan pasangan itu juga tak menyebutkan gender. Tapi, tetap saja. Akan aneh bila kami datang bersama sebagai pasangan. Meski katanya pasangan teman. Ah, kepalaku mendadak pusing. Di sebelahku Ahra tampak menyengir tak enak. Aku menyipitkan mata bermaksud menghardiknya.
"He he.. yang terpenting kau punya pasangan dan datang." Ia berbisik.
"Tapi, oppa.." para gadis menunjukkan wajah memelas mereka. Kasihan sekali. Seandainya mereka memberi perhatian sedikit padaku, pasti dua diantara mereka memiliki pasangan. Aku dan Yunho. Tapi mereka lebih memilih memperebutkan laki-laki itu.
"Mianhae.."
Ini memalukan.
xXx
Baiklah. Aku terpaksa datang ke acara prom night. Hanya dengan sweater coklat dan celana jeans hitam. Pakaian berwarna gelap yang sangat kontras dengan kulitku. Ah, aku tak ingin berpenampilan berlebihan. Cukup tampil biasa saja, mengingat aku pun tak minat datang kemari.
Masuk ke dalam aula kampus yang besar ini dan langsung disuguhi pemandangan remang-remang, namun aku masih bisa melihat aktivitas para hadirin. Suara musik bergema memenuhi ruangan. Ini acara prom night atau disko? Aku risih. Mengedarkan pandangan mencari sosok Ahra atau siapapun yang mungkin ku kenal.
Aku tidak datang bersama Yunho; meski ia mengatakan akan menjemputku, aku menolak. Rasanya aneh. Apalagi tatapan ingin tahu teman-teman yang lain jika melihat kami. Aku sangat yakin mereka akan berpikir, apakah tak ada gadis cantik yang bisa diajak Yunho? Kenapa malah datang bersama seorang namja? Apa mereke.. ugh, tak usah dilanjutkan.
Lelah berjalan ke sana kemari namun akku tak menemukan Ahra. Akhirnya memilih duduk di salah satu kursi di pinggir ruangan. Semuanya tampak menikmati acara. Mungkin hanya aku yang berpikiran langsung pulang setelah beristirahat beberapa menit. Awas saja gadis itu. Ia yang memaksaku datang, dia pula tak menampakkan batang hidungnya di depanku.
"Minum?"
Suara berat khas seorang pria menyapa indra pendengarku. Menengadah dan menemukan seorang lelaki tampan berdiri di hadapanku. Mengenakan kemeja yang dilapisi sweater–aku tak tahu warna apa karena disini kurang pencahayaan dan celana panjang hitam. Menambah kadar tampan wajahnya. Dia tersenyum seraya menyodorkan sebuah gelas yang berisi air, ah aku tak tahu. Menyandar pada kursi dan menerima gelas yang ia berikan.
Yunho duduk di sampingku. Aku meneguk air yang baru kutahu adalah sirup rasa melon. Uh, ini menyegarkan. Kebetulan sekali memang aku sedang lelah. Ah, ternyata dia pria yang perhatian.
"Gomawo." Kataku setelah menghabiskan sirup dan meletakkan gelas kosong itu ke atas meja di dekatku.
"Your welcome." Suaranya sangat pelan tapi aku masih bisa mendengarnya.
Tak ada pembicaraan diantara kami. Tentu saja, kami hanya saling mengenal nama. Cuma beberapa kali mengobrol, itu juga karena sesuatu hal yang bisa dibilang basa-basi semata. Aku memperhatikan mereka semua dimana musik yang mengalun berganti menjadi lembut. Cocok pengiringan dansa. Mereka yang berpasangan mulai berdansa. Oh, romantis sekali.
Oh! Itu Ahra. Dia sedang berdansa dengan Seunghyun. Aku mencibir mereka. Dasar pasangan sok romantis. Pasti sengaja tak muncul di depanku karena ingin menghabiskan malam ini berdua. Aku tentu mendukung hubungan mereka. Haa.. aku kapan memiliki kekasih?
Sedikit demi sedikit pening mendera kepalaku. Pandanganku mengabur. Semua yang kulihat berbayang dan bergoyang-goyang. Tubuhku pun rasanya lemas. Menyentuh keningku dan memijat guna mengurangi pusing yang kurasakan, namun tak berpengaruh. Malah makin pusing. Aku mengangkat kepalaku mencoba menenangkan diri. Ah.. kenapa ini?
Belum selesai dengan keadaanku yang tiba-tiba, ku rasakan tubuhku terangkat. Apa seseorang menggendongku? Siapa? Sialnya aku tak bisa melihat dengan jelas. Badanku tak dapat digerakkan dan semua diperparah ketika kesadaranku mulai menghilang.
xXx
Kepalaku masih sakit saat aku terjaga. Mengerjapkan mata beberapa kali agar penglihatanku kembali. Saat ingin menggerakkan tangan seperti ada sesuatu yang menahan. Keningku mengerut. Ada apa? Aku mengedarkan pandangan mengamati tempatku berada. Sebuah ruangan yang cukup gelap, hanya lampu meja yang menyinari. Sewaktu akan menggerakkan tubuhku, baru kusadari apa yang terjadi.
Kedua tangan bahkan kakiku diikat di pilar tempat tidur. Aku meronta, bergerak asal, tapi malah membuatku merasa sakit. Tali yang digunakan untuk mengikat kaki dan tanganku menggesek kulit. Mungkin sudah memerah.
"Ssh.. ke-kenapa ini? Kenapa aku diikat seperti ini?" aku berteriak panik. Menelusuri ruangan ini lagi hingga matamu menemukan pemandangan ganjil di sudut ruangan.
Seseorang berdiri di sana. Aku tak bisa melihat wajahnya karena cahaya lampu hanya menerangi sampai bagian dada. Aku takut. Ada apa sebenarnya? Kenapa aku diperlakukan begini?
"Ka-kau.. apa yang kau lakukan!? Lepaskan aku!"
Orang itu berjalan mendekatiku. Sayangnya wajah tersebut masih ditutupi gelap. Dia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana hitam yang ia kenakan. Ia mendengus sinis.
"Kenapa kau lakukan ini padaku? Siapa kau? Lepaskan aku.." aku mencoba menggerakkan tangan dan kakiku. Tak ada hasilnya. Tali-tali itu terikat kuat.
Dia tertawa. Tawa yang terdengar mengerikan dan membuatku takut. Ada apa ini? Siapa dia? Apa salahku? Kenapa dia mengikatku begini? Kenapa dia malah tertawa? Kenapa dia melakukan hal ini?
Dia berjalan mendekat. Cahaya lampu menyinari wajahnya dan seketika mataku membulat sempurna. Kaget bukan main. Bibir yang pernah menyunggingkan senyum manis untukku kini memiring sinis dan sorot tajamnya memancarkan kebencian. Secara tak sadar aku menelan saliva, takut. Jantungku berpacu cepat. Apa yang dia lakukan padaku?
"Yu-Yunho.." gumamku tak menyangka dengan apa yang kulihat.
Senyumnya melebar.
"A-apa yang kau lakukan? Le-lepaskan aku. Ku mohon.."
"Kalau aku tidak mau?"
Mulutku seakan terkunci ketika mendengarnya. Apa maksudnya? Dia tidak mau melepaskanku? Kenapa? Dia berjalan makin mendekat. Menunduk sehingga wajahnya hanya berjarak beberapa senti dari mukaku. Aku menatapnya takut. Dia mau apa?
Matanya menatapku tajam. Ku lihat amarah dalam tatapan tajamnya. Aku masih bertanya-tanya, ada apa sebenarnya?
"Yunho.. apa yang akan kau lakukan? Kenapa kau mengikatku begini?"
Senyum sinisnya kembali tercipta, "kenapa? Seharusnya kau tahu jawabannya. Kau yang menginginkan ini."
Apa? Aku menggeleng, "apa maksudmu? Aku tak menginginkan apapun."
Sorot tajam itu menusuk ulu hatiku. Aku menjerit sakit saat tiba-tiba ia menarik rambutku. Menutup mata berusaha menahan sakit, tapi dia makin menarik rambutku. "Akh! Yunho.. ku mohon. Lepaskan.."
"Aku tak akan melepaskanmu begitu saja." Aku membuka mata, menatapnya. Memohon. "Orang yang membuatku menjadi nomor dua."
Hah?
"A-apa maksudmu?"
Dia melepaskan tangannya dari rambutku dan beralih mencengkram dagu. Kuat sekali. Seolah ingin menghancurkan wajahku. Jari-jarinya menusuk kulit. Sangat sakit.
"Sejak kau menjawab pertanyaan Park kyusungnim, semua orang mulai membicarakanmu. Para kyusungnim pun. Dan kudengar mereka menginginkanmu menjadi kandidat untuk kompetisi yang akan diadakan sebulan lagi."
Kemarahan terpancar jelas dari matanya. Tapi aku tak mengerti. Bukan aku sedang mencerna kalimatnya, tetapi.. apa sebenarnya dia inginkan? Lalu kenapa jika aku ditunjuk? Kenapa dia marah? Waktu itu dia memberikan selamat padaku.
Dia makin mencengkram daguku, "aku yang selama ini mendapat kemenangan, kenapa dengan mudahnya digantikan oleh anak baru sepertimu!?"
Pertanyaanku terjawab.
Oh, Tuhan. Tolong aku. Sakit sekali. Aku bahkan tidak tahu menahu. Semua berjalan seperti biasa, tak ada yang menyampaikan padaku jika aku ditunjuk menjadi kandidat kompetisi. Ah, dia mungkin salah paham. Mungkin saja itu hanya pembicaraan ringan. Tidak benar-benar serius. Aku hanya ingin menuntut ilmu.
"A-aku.. t-tak pernah i-ingin melakukannya. Pe-percayalah.." kataku berusaha menahan sakit di sekitar dagu.
"Kau pikir aku percaya?" dia menatapku. Menjauhkan tangannya dan berdiri tegap masih dengan tatapan mengerikan itu. "Kau harus membayarnya."
"A-apa?"
Sekejap dia sudah berada di atas tubuhku. Menduduki perut. Sekarang dia asik memperhatikan wajah juga tubuhku. O-oh, tidak. Aku tahu apa yang ada di pikirannya. Tatapan mata itu, aku mengerti. Jangan lakukan itu. Aku mohon jangan lakukan..
"Ti-tidak. Ja-jangan! Ku mohon. Jangan. Yun!"
xXx
Mataku terusik oleh sesuatu yang sangat mengganggu. Kugerakkan tangan dan mengusap-usap mataku dan membukanya perlahan. Ternyata cahaya matahari yang masuk melalui tirai yang terbuka yang mengganggu tidurku. Ketika mereganggkan badan, kurasakan seluruh tubuhku sakit. Membuatku meringis. Apalagi dibagian bawah; saat bergesekan dengan kain sprei, otomatis aku menjerit kesakitan.
"Ugh.. uh.. ssh.." aku mengusap bagian belakang tubuhku berharap mengurangi perih yang mendera.
Dan penglihatanku menangkap seseorang sedang duduk mengangkat salah satu kakinya dengan tangan terlipat di dada tengah memandangiku. Beberapa detik kemudian aku tersadar. Karena terkejut aku refleks duduk di atas tempat tidur yang kembali membuatku melengkingkan erangan sakit. Aku tak kuat. Air mata yang entah kapan terkumpul muncul di ujung mataku.
Dia berdiri dari kursi dan beranjak menghampiriku. Duduk di pinggir ranjang dengan tampang mengerikan, "pagi sayang.." katanya.
Membuang muka. Aku tak ingin melihatnya. Apalagi setelah apa yang telah dia lakukan padaku. Malu, sedih, marah, kecewa serta ketakutan bercampur aduk dalam diriku. Aku tak akan bisa melupakannya. Dia lelaki brengsek. Salah bila aku sempat mengaguminya.
"Ayo, lihat ini."
Dia menarik kepalaku agar menuruti perintah. Mau tak mau mataku tertuju pada sesuatu di tangannya. Mataku membesar. Sebuah handycam dimana layarnya sedang memutar rekaman yang kutahu ada aku di dalamnya. Aku yang merintih, mendesah dan menangis. Tubuhku terpampang jelas, sementara wajah orang yang berada di atas tubuhku tak terlihat sama sekali.
Di-direkam?
Yunho kembali menarik kepalaku untuk melihatnya, "aku akan menyebarkan ini jika kau tak mengikuti semua perintahku. Paham?!"
Duniaku hancur. Cairan bening itu mengalir begitu saja. Yunho pergi setelah mempoles senyum mengejek kepadaku. Hatiku serasa ditusuk ribuan jarum. Sakit sekali. Aku tak kuasa menahan tangis. Dia.. kejam. Apa hanya karena yang ia katakan semalam, lantas membenciku? Kenapa? Haruskah dengan begini? Dia membenciku.
Yunho.. kau kejam!
~xXXx~
Hai, semua..
Ah, maaf sebelumnya karena muncul tiba-tiba, padahal dulu aku bilang mau berhenti. Ya, jujur aja aku memang berhenti. Tapi beberapa minggu ini notif FFn masuk ke emailku. Terima kasih yang masih mencariku dan menanyaiku lewat PM. Aku merasa disayangi sama kalian he he
Aku memunculkan cerita lagi, bukan berarti aku comeback. Aku ingin membuat salam perpisahan. Dulu 'kan aku menghilang begitu aja. Hapus semua FF, juga ngelarang yang pengin nyimpan FFku.
Maaf ya..
Tapi untuk FF ini, kalau kalian mau simpan. Aku ijinin kok^
Hasrat menulisku masih belum hilang, meski sejak aku menyatakan berhenti, aku betul-betul berhenti nulis dan jadi sider ha ha..
Untuk yang nanyain Heart, You Are Mine, Silent Angel dan FF-FF lainnya.. semua bakal ku rombak jadi straight original fiction. Untuk sekarang masih You Are Mine yang berhasil ku rombak dan ku posting di wattpad. Ada yang mau main? Cari BibiSong
Ada yang berminat review?
Aku kangen kalian semua~ dan untuk mengobati rinduku juga rindu teman-teman, aku bakal publish beberapa FF lagi di sini. Sebagai salam perpisahan dan kalian boleh simpan FFnya^
Sampai jumpa di chapter berikutnya..
