Disclaimer: J.K. Rowling
A story about NextGen, new characters added of course. Please read and review for this new story and author XD
WARNING: Banyak OC disini, jadi bagi yang tidak suka banyak OC dan OC yang jadi karakter utama, author nggak maksa untuk baca. Istilahnya don't like, don't read. You've been warned. Cerita ini GEJE bagi orang-orang tertentu... it's okay. Karakter canon seperti Scorpius, Albus, dan lainnya jadi karakter pendukung (sekali lagi saya peringatkan). Dibaca nggak papa, nggak juga nggak papa. Saya nggak maksa, tapi kalau nggak suka dimohon jangan nge flame. Kan saya sudah peringatkan dari awal buat nggak baca, jadi kalau kecewa jangan marah-marah nggak jelas ya :)
"Hore, hore, horeeee!"
Pagi hari tanggal 2 Juli itu merupakan hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seorang anak laki-laki sejak dia tahu betapa bersekolah itu akan sangat menyenangkan. Jika kebanyakan anak tidak seantusias anak laki-laki itu, lain halnya dengan si anak yang bernama Albus itu. Bukan hanya Albus, semua anak dari keluarga sihir pasti menanti-nantikan surat penerimaan dari sekolah sihir di negara mereka.
Ya, keluarga Potter bukanlah keluarga biasa. Mereka keluarga penyihir. Anak-anak mereka akan menerima surat penerimaan untuk bersekolah ketika mereka berulang tahun yang kesebelas. Seperti halnya Albus Potter pada hari itu.
"Aku akan ke Hogwarts!" katanya lagi, masih dengan senyum lebar.
"Kau sudah mengatakan itu ratusan kali," ucap seorang anak laki-laki yang lebih tua, James. "Aku kesini untuk berlibur, bukan untuk mendengar ocehanmu."
"Baru dua puluh kali. Aku masih bisa menghitungnya," Albus mengeles. James mencibir.
"Dan sekarang tinggal giliranku," kata seorang anak perempuan, yang tampak lebih kecil dibandingkan yang lainnya. Dialah si bungsu, Lily.
"Tunggu saja dua tahun lagi," kata Albus, yang diartikan Lily sebagai ejekan. Lily langsung cemberut mendengar omongan kakaknya.
"Jangan tersinggung, Lil. Albus kalau lagi senang memang menyebalkan, padahal sebenarnya dia memang bermaksud menyebalkan," kata James, yang normalnya membuat Albus tidak suka, namun hari itu Albus tidak ambil pusing dengan sikap kakaknya.
"Kita harus mengontak Rose, siapa tahu dia sudah dapat suratnya," kata Albus lagi.
"Hei, dia kan belum berulang tahun!" tegur James.
"Oh iya, aku lupa!"
"Dasar. Keasyikan, sih, makanya lupa keadaan," cibir James lagi.
"Takkan kubiarkan kau merusak mood-ku hari ini," kata Albus santai. "Dengan berangkatnya aku ke Hogwarts, aku bisa dengan mudah mengontrolmu. Kudengar kau suka sembunyi-sembunyi bertemu cewek kelas lima Ravenclaw."
Wajah James berubah seketika. Antara malu, terkejut, dan gugup. "Kau… kau tahu darimana?" tanyanya dengan suara pelan.
"Hihihihii," Albus dan Lily tertawa cekikikan.
"Nah, James, beruntunglah adikmu sudah akan masuk Hogwarts," kata suara wanita dewasa yang lirikan matanya membuat James gugup.
Ternyata saat itu mereka berada di rumah makan bersama kedua orang tua mereka. Orang tua mereka sengaja diam saja, karena, seperti yang sudah dikatakan tadi, Albus sudah bilang kalau dia akan ke Hogwarts setidaknya dua puluh kali.
"Tapi aku kan sudah remaja," bela James pada ibunya.
"Anak tiga belas tahun menyukai gadis remaja lima belas tahun," kata Albus menyindir.
"Kalau kau sampai jadi playboy disana, kami tak punya pilihan lain selain membawa kau pulang ke rumah," ancam ibunya. Sang suami, yang tahu istrinya hanya bercanda, cuma tersenyum-senyum saja.
"Oh, Mummy Ginny, betapa teganya dirimu padaku," kata James sok memelas, sebab dia juga tahu kalau ibunya cuma bercanda.
"Hahahahaaa," mereka tertawa bersama.
"Tapi benar, James, kami akan membawa kau pulang jika kau jadi playboy disana," kata Ginny lagi, kali ini wajahnya serius.
"Hah?"
Ketiga kakak-beradik Potter memasuki Leaky Cauldron yang pagi itu tampak cukup ramai. Mereka langsung duduk di dalamnya sambil menunggu orang tua mereka yang masih berada diluar.
"Halo para Potter, rupanya sudah ada yang dapat surat dari Hogwarts, ya?" sapa seorang wanita yang merupakan pemilik Leaky Cauldron.
"Ya, dan aku perlu kesini cepat-cepat agar aku tidak kehabisan tongkat yang bagus," kata Albus.
"Itu tak perlu. Kau tidak akan mendapatkan tongkat yang tidak bagus untukmu."
"Wah, coba lihat siapa ini," kata seorang laki-laki agak gemuk mendatangi mereka. "Albus Potter. Sudah mendapatkan suratmu, huh?"
"Ya, Profesor Longbottom. Baru dapat kemarin, dan langsung memaksa ke Diagon Alley keesokan harinya," kata James sambil melirik Albus.
"Memang kau dulu tidak begitu? Bahkan kau memaksa kesini hari itu juga," cibir Albus.
"Itu benar, James. Aku masih ingat itu," kata Hannah, si wanita pemilik Leaky Cauldron sekaligus istri Profesor Neville Longbottom
"Tapi tak usah malu," kata Neville, ketika melihat James berubah wajahnya jadi kemerahan. "Aku yakin Amy dan Jasmine juga akan seantusias kalian. Mereka masih akan ke Hogwarts empat tahun lagi dan mereka memaksa untuk bisa masuk sekarang."
"Ngomong-ngomong soal Amy dan Jasmine, dimana mereka sekarang?" tanya Lily baru bersuara.
"Oh, mereka sedang di Diagon Alley, kurasa," kata Neville.
"Astaga! Kau biarkan mereka begitu saja? Jangan sampai aku mendapat laporan lagi dari para goblin Gringotts kalau mereka diam-diam menyelinap mengganggu para goblin yang sedang bekerja!" kata Hannah agak panik. "Hei, Neville! Cepat susul mereka!"
"Mereka cuma ingin membantu," kata Neville. "Tapi ternyata mereka dirasa mengganggu. Aku akan susul mereka."
Neville cepat-cepat pergi ke Diagon Alley untuk mencari kedua anak kembarnya.
"Oh iya, Al, aku belum mengingatkanmu agar bersiap-siap untuk jadi murid Slytherin," kata James pada Albus. "Mereka pasti akan senang hati menerimamu, sebab kau akan jadi anak Potter pertama yang masuk Slytherin."
"Siapa bilang? Mungkin saja kau tak tahu kalau generasi-generasi Potter terdahulu ada yang Slytherin."
"Hoooo, yang kutahu kau sangat takut masuk Slytherin. Apa yang kau takuti, mungkin akan jadi sesuatu yang bagus untuk dicoba."
Albus sudah akan melanjutkan pembelaannya ketika tanpa disadarinya Harry dan Ginny sudah berdiri di belakangnya.
"Jangan kau kira kami tidak mendengarmu, James. Berhentilah menakut-nakuti adikmu," kata Ginny.
"Mum lama sekali," protes Lily. "Aku sudah akan masuk Diagon Alley kalau saja Mum tak pernah melarangku kesana tanpa pengawasan orang dewasa."
"Kalian kemana saja?" tanya Hannah pada Harry dan Ginny.
"Kebetulan kami bertemu sepupuku. Kami ingin mempertemukan mereka pada anak-anak, tapi mereka sudah keburu masuk kesini," jawab Harry.
"Dudley Dursley?" kata James.
"Ya. Dan Uncle Dudley bersama keluarganya akan mengunjungi kita sekitar dua minggu lagi. Di rumah kita! Ini bagus, mengingat dia selalu menolak untuk berkunjung ke dunia sihir."
"Ya, memang dia itu orang aneh," gumam Albus.
"Jangan bicara begitu, Al," tegur Harry. "Dia Muggle, wajar saja kalau takut masuk ke dunia yang bukan dunianya."
"Bahkan Dad pun membelanya. Dad terlalu baik," kata Albus lagi.
"Dad tahu dari dulu kalau Uncle Dudley sebenarnya baik. Dad tahu, karena kami sepupu, dan sudah tinggal serumah sejak bayi," kata Harry tegas.
Albus diam, sebab tak ada gunanya memprotes kebaikan hati ayahnya. Sejak dulu selalu begitu.
"Oh ya Han, dimana Neville?" tanya Ginny kemudian.
"Dia mancari Amy dan Jasmine. Aku khawatir mereka mengganggu para goblin di Gringotts lagi."
"Ya, aku waktu itu tahu betapa hebohnya para goblin itu menemukan dua anak itu," kata Ginny menahan tawa.
"Goblin begitu mudah terganggu. Makanya aku khawatir jika mereka menemukan anak-anakku lagi."
"Hati-hati Aunt Hannah, mereka akan memblokir keluarga Longbottom masuk kesana," canda James.
"Tidak, tidak," kata Hannah. "Toh mereka cuma anak kecil. Setelah ini, tak akan kubiarkan mereka mendekati Gringotts tanpa dampingan orang dewasa."
"Kami akan ke Diagon Alley, Han," kata Harry. "Sekalian ke Gringotts. Siapa tahu aku bisa melihat bagaimana Neville dimarahi makhluk yang lebih pendek darinya itu."
"Oh Harry, secara tidak langsung kau mendoakan mereka benar-benar sedang mengacaukan Gringotts," kata Hannah menghela napas panjang, tapi tak urung dia tersenyum.
Diagon Alley cukup ramai oleh anak seusia Albus. Bisa dipastikan mereka sedang berbelanja keperluan sekolah mereka di tahun pertama. Juga ada anak-anak yang berusia lebih tua lainnya. Albus bisa mendengar sekilas, mereka saling menanyakan kabar selama liburan, membicarakan merk sapu quidditch terbaru, atau rencana membuat kejahilan untuk tahun ajaran baru nanti. Untuk yang terakhir ini, Albus mendengarnya langsung dari James, begitu bertemu sahabatnya, Robin Jordan.
Begitu bertemu Robin, James langsung minta izin keluarganya untuk mengobrol sebentar dengan Robin.
"Kalau kau mencari ayahmu, dia akan ke Gringotts. Kalau Mum akan ke toko Ollivander bersama Lily dan Albus. Setelah itu kami akan ke toko buku," ucap Ginny.
Sepeninggal keluarganya, James langsung membicarakan rencana tahun ajaran barunya dengan Robin.
"Kita akan memberikan Kacang Segala Rasa Bertie Bott untuk anak-anak tahun pertama yang masih lugu," kata James sambil menahan untuk tidak terkikik. "Lebih baik kita cari anak yang sepertinya dari keluarga Muggle."
"Tapi James, mencari anak yang berasal dari keluarga Muggle sepertinya susah," kata Robin.
"Oh, itu mudah," ucap James. "Mereka pasti kebingungan sendiri waktu di stasiun nanti. Hei! Itu tidak perlu. Coba kita lihat disini. Anak kira-kira berusia sebelas tahun dan kelihatan tidak terbiasa dengan lingkungan sihir. Kita hapal wajahnya, lalu sesudah di atas Hogwarts Express nanti, kita jalankan aksi ini."
Mereka mencari-cari di sekitar mereka, barangkali menemukan anak yang dimaksud. James begitu serius mencari incarannya sambil berputar-putar, hingga tanpa sadar badannya menabrak seseorang.
"Ouch!" kata suara seorang anak perempuan.
"Oh, maaf," kata James sambil berbalik menatap si anak perempuan. Anak itu mengelus-elus tangannya yang terantuk James.
"Tidak apa-apa, aku tadi terdorong orang lain," kata si anak.
James memerhatikan anak perempuan itu. Ia kelihatan seperti semuran Albus kalau tidak lebih muda sedikit, berambut dan bermata hitam, berwajah lumayan unik tapi cantik, dan, ini dia! Dia memakai pakaian Muggle!
"Siapa namamu? Tahun pertama?" tanpa sadar James bertanya.
Anak itu agak kaget ditanya nama. Namun kemudian dijawabnya, "Ya. Panggil saja Al."
Al? Seperti nama panggilan Albus saja, batin James.
Al kelihatan agak bingung dengan kondisi di sekitarnya. Ia berusaha melongok ke depan, samping, dan belakang. Ia sepertinya sedang mencari sesuatu. Wajahnya cemas dan agak ketakutan
"Kau mencari siapa?"
"Seorang guru Hogwarts menemaniku kesini. Tapi kami tiba-tiba terpisah. Aku harus mencarinya," katanya sambil bersiap-siap berbalik.
"Apakah kau Muggle-born?" tanya James refleks, namun Al tidak tertarik menjawab pertanyaan James. Ia lebih memilih untuk mancari guru Hogwarts-nya.
James teringat cerita ayahnya, yang dulu ketika pertama kalinya ke Diagon Alley diantar oleh Hagrid. Sepertinya Al berasal dari dunia Muggle. James akan berbalik mendatangi Robin yang sudah mulai menjauh darinya (karena terlalu semangat mencari mangsa) untuk mengabarkan tentang Al, ketika tiba-tiba bayangan wajah Al yang cemas tadi muncul di benaknya. Sepertinya ia belum akan menjadikan Al mangsanya…
"Bagus, Mr Potter. Kau mendapatkan tongkat dengan inti yang sama dengan tongkat ayahmu, bulu Phoenix," kata Felicius Ollivander, yang mewarisi toko tongkat sihir Ollivander dari ayahnya, Garrick Ollivander.
"Aku ingat karena ayahku sangat kagum dengan Harry Potter," kata laki-laki yang berusia kira-kira setengah abad itu. "Sampaikan salamku padanya, ya."
"Tentu, Mr Ollivander. Sayang sekali, ya, Mum, Rose belum mendapatkan suratnya. Tapi aku tidak sabar untuk menunggunya belanja keperluan sekolah bersama."
Albus kelihatan senang sekali karena akhirnya dapat menemukan tongkat yang cocok setelah cukup lama mengubek-ubek isi toko, sama seperti ayahnya dulu. Ketika tongkatnya sudah selesai dikemas, Ginny membayar tongkat sihir Albus.
"Terima kasih, Mr Ollivander," kata Ginny sambil membawa kedua anaknya keluar dari toko. Mereka keluar bertepatan dengan masuknya seorang anak perempuan berpakaian Muggle bersama seorang laki-laki berpakaian penyihir. Albus ingin memberitahu ibunya bahwa ada anak seperti anak Muggle memasuki toko itu, namun ibunya masih sibuk berkutat memasukkan uang kembalian ke dalam dompetnya.
Ketika Ginny, Albus, dan Lily berada toko buku, James baru kelihatan batang hidungnya.
"Aku sedang berada di dekat sini, jadi aku coba cek kesini kalau-kalau kalian sudah disini," kata James sambil menunjukkan senyum seringai khasnya.
"Dan itu tidak sia-sia, James. Kau lama sekali. Wajar saja kalau kami sudah membeli tongkat sihir," kata Albus.
"Aku tidak dapat membayangkan kejahilan apa saja yang kau rencanakan tahun ajaran baru nanti, James," kata Ginny sambil geleng-geleng kepala.
"Tidak banyak, Mum. Masih dalam batas wajar," katanya sambil terkekeh. "Oh, itu Dad!"
"Ayo anak-anak, lekas selesaikan belanja karena Dad akan mentraktir kalian makan es krim!" kata Harry.
"Jangan khawatir, Mum, aku akan terpilih masuk Slytherin. Keluarga kita sudah turun temurun berada di Slytherin, bukan?" ucap seorang anak laki-laki berambut pirang-putih ketika memasuki toko jubah Madam Malkin. Seorang anak perempuan yang sedang membeli jubah sekolah tahun pertamanya mendongak ke arah si anak laki-laki.
"Mum akan sangat bangga, Nak. Tapi jangan dipikirkan. Slytherin itu tidak mutlak," kata sang ibu.
"Tidak. Seorang Scorpius Malfoy akan masuk Slytherin. Madam, tolong untuk seragam murid tahun pertama."
Madam Malkin menghampiri anak bernama Malfoy itu untuk mengukur ukuran jubahnya. Meteran yang dijulurkan Madam Malkin bergerak dengan sendirinya mengukur ukuran tubuh si Malfoy. Lalu sebuah pena-bulu akan menulis sendiri ukuran yang ditunjukkan si meteran.
Lalu Madam Malkin mendekati anak yang lainnya. "Nah, tunggu sebentar, Nak, aku akan membawakan jubah untukmu," kata Madam Malkin kepada si anak perempuan. Saat itu toko cukup sepi, hanya ada beberapa pengunjung.
"Oh, aku lupa, Scorpius. Aku harus ke Gringotts sebentar," kata Mrs Mallfoy sambil buru-buru keluar. "Kamu tunggu disini, ya. Mum akan kembali."
Scorpius hanya geleng-geleng kepala melihat ibunya. Kemudian ia menoleh kepada anak di sebelahnya. Ia mengernyit memandang penampilan Muggle si anak perempuan.
Kemudian Scorpius bertanya, "Tahun pertama?" yang dibalas anggukan.
"Sudah tahu ingin masuk asrama mana?"
"Tidak," jawab anak itu pendek.
"Muggle-born?"
Si anak perempuan hanya mengernyit mendapat pertanyaan seperti itu. Sudah dua kali ia ditanya seperti itu oleh dua orang yang dijumpainya di tempat aneh ini.
Tiba-tiba datang penyihir laki-laki dewasa menghampiri si anak perempuan. Ia berkata, "Hei, kau sudah mendapatkan jubahmu?"
Tepat setelah itu Madam Malkin kembali sambil membawa setumpuk jubah dan seragam baru.
"Anda baru datang, Profesor?" tanya Madam Malkin pada si penyihir dewasa. "Kemana saja Anda? Anak ini kelihatan cemas. Tapi sudah kukatakan, jangan cemas," kata Madam Malkin sambil tersenyum pada si anak. Ia memberikan bon kepada si penyihir untuk dibayar.
"Wajar saja, tadi kami sempat terpisah. Dia kelihatan bingung sekali. Oh ya, ini uangnya, dan terima kasih."
Si penyihir membawa si anak perempuan meninggalkan toko Madam Malkin.
Profesor? Batin Scorpius. Apa dia guru Hogwarts? Lalu siapa anak itu? Apa dia anaknya? Namun kenapa dia berpenampilan Muggle begitu?
Uh, dan lihatlah, anak perempuan itu pergi dengan hanya melirikku dengan ujung matanya. Menyebalkan!
TBC...
