Six Reason for Love you
.
Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime
Six Reason for Love You © Shigeyuki Zero
.
Ini adalah fict untuk mengisi gelas inspirasi author yang hampir meledak di kepala. Ada sebuah ide tentang fict romance yang santai, kalem, dan mendebarkan dalam waktu bersamaan. Author ingin membuat kisah manis dan sedikit pelik yang belum pernah dibuat sebelumnya (mungkin)
Mungkin terlihat maksa, saat menulis ini bahkan author belum tahu pairing utamanya siapa..
But, enjoy please..
Warningnya seperti biasa: typo, abal, maksa, mungkin sedikit OOC
Akan ada beberapa sempilan playlist author hehe
.
Levi x Mikasa, Levi x Petra, Petra x Farlan
RnR please
.
.
..
...
"Jika cinta benar-benar membutuhkan alasan seperti apa yang kau katakan, aku akan memikirkannya. Dan mungkin aku hanya akan membuat 6 alasan yang aku pikirkan baik-baik sejak hari ini."
"Kenapa hanya 6?"
"Karena angka 6 selalu mempertemukan kita."
.
.
6 Juni 2016
Hujan kembali mengguyur Osaka. Sudah 2 hari sejak hujan pertama turun, dan jalanan selalu tergenangi air hujan. Ramalan cuaca juga selalu positif memprediksi bahwa hujan akan menemani keseharian manusia sampai malam. Payung menjadi senjata untuk melindungi diri dari mereka.
Tak banyak orang yang menyukai rintik-rintik yang jatuh ke atas kepala itu. Tak banyak juga yang menikmati bau hujan yang menyeruak di tanah saat pertama kali turun. Menjadi orang yang berbeda memang sedikit unik, begitulah Levi Ackerman, pria yang mengabdikan dirinya sebagai seorang guru sastra di sebuah sekolah menengah atas. Pria itu berperawakan lebih pendek daripada pria-pria 32 tahun sepertinya. Dengan mata biru kelabu yang terlihat tajam dalam situasi apapun, dan rambut raven menawan yang selalu rapi, membuat Levi terbilang sebagai pria tampan. Meski sikap dan tutur katanya sangat tak sesuai dengan pribadinya dari luar.
Jika bukan di dalam kelas, Levi akan bersikap seperlunya. Tidak peduli dengan ocehan banyak orang, berkata tajam dan terkesan menyakiti perasaan orang lain, dan meski ia memiliki beberapa sahabat, dirinya tak terlalu peduli dengan masalah pribadi mereka.
Hari ini seperti biasa dirinya berteduh di sebuah cafe tak jauh dari sekolah tempatnya mengajar. Ia hanya duduk sendiri ditemani secangkir kopi ekspreso kesukaannya. Sungguh ia tak memiliki niatan untuk balik menyapa beberapa siswa yang juga memutuskan menunggu hujan disana. Sangat tidak peduli dengan apa yang mereka lakukan di kafe ini –kecuali jika mereka mulai menyalakan rokok dan membuat kegaduhan yang merugikan orang lain.
Sudah hampir 45 menit hujan tak kunjung menurunkan kecepatannya. Perhatian Levi juga tak teralihkan dari gerakan hujan di balik jendela di depannya. Sampai sebuah suara menginterupsinya untuk sedikit melirik ke arah kanan.
Matanya saat itu menangkap sebuah objek yang sudah lama tidak ia lihat di kota besar ini. Seorang wanita, dengan tongkat yang membantunya menunjukkan jalan. Baru pertama kali Levi melihat wanita itu. Dan ia akui bahwa wanita dengan rambut karamel sebahu tersebut terlihat cantik meski sorot mata karamelnya nampak kosong. Ya, kosong karena ia tidak melihat apapun di hidupnya.
Trak trak trak
Suara tongkat yang menyeruak tatkala bersentuhan dengan benda-benda di sekitarnya tak membuat Levi terganggu. Justru ia merasa nyaman dengan suara konstan itu, selain suara hujan yang juga masih ia dengar dengan jelas.
Levi masih memandang si wanita tanpa bermaksud membantunya memilih tempat duduk yang kosong, sampai..
Prang!
Seorang pelayan yang terlihat kikuk tak sengaja menubruk wanita dengan tongkat itu, membuat keduanya terjatuh dan cairan panas dari gelas yang pecah mengenai si wanita tongkat. Wanita itu meringis perih akan luka bakar yang ia dapat di tangan kanannya. Dan akhirnya Levi memutuskan untuk bergerak cepat dan membantunya –meski tadinya ia tidak mau melibatkan diri dengan siapapun-.
Berkali-kali si pelayan meminta maaf sambil membungkukkan badannya. Dan berkali-kali pula si wanita tongkat mengatakan 'tak apa' dengan nada lembut dan senyuman yang terlihat dipaksakan karena menahan sakit di tangannya. Levi merasa kesal sendiri, setelah membantu si wanita untuk duduk di tempatnya, Levi langsung menatap sangar pada pelayan kikuk itu.
"Tidak bisa kah kau menggunakan matamu dengan baik agar tidak merugikan orang lain?" ucapnya dengan kesal.
Beberapa orang yang duduk di dekat tempat kejadian melirik dengan penasaran akan apa yang terjadi. Ah, menjadi tontonan lagi. Levi membatin.
"Bawakan aku handuk dingin." Lanjut Levi untuk mempersingkat amarahnya.
Selagi si pelayan mencari handuk dingin yang Levi minta, Levi duduk berjongkok di hadapan wanita berparas manis itu. Ternyata di lihat dari dekat manik berwarna karamel itu benar-benar tak menunjukkan cahaya apapun. Baiklah, bukan waktunya Levi terhanyut dengan wanita di depannya. Dengan cepat ia langsung meraih tangan kanan sang wanita dengan hati-hati, memberikan sentuhan ringan yang akan menenangkannya.
"Ano.. maafkan aku telah merepotkanmu.." akhirnya Levi bisa mendengar suara si wanita. Suara yang membuatnya lagi-lagi merasa tenang.
"Tak usah dipikirkan, kita hidup di dunia ini setidaknya untuk membantu orang yang membutuhkan."
Si wanita terseyum hangat, tidak lagi meringis karena lukanya. Tidak mau terlarut lebih jauh lagi, Levi yang kebetulan melihat pelayan membawakan handuk dinginnya langsung bergerak cepat mengompres luka bakar di tangan yang ia genggam.
"Aku tidak tahu harus memberi nasihat apa padamu." Levi bersuara.
Mendengar hal itu senyuman di wajah si wanita mulai terlihat canggung.
"Maafkan aku.. aku belum terbiasa dengan situasiku saat ini."
Levi berhenti bergerak. Banyak terkaan yang muncul di kepala Levi, jawaban sementara akan kondisi si wanita sekarang.
"Sensei, apa anda butuh bantuan kami?" Beberapa siswa yang memang sempat melihat kejadian tadi sudah berada di sekitar Levi.
Ingin sekali Levi mengumpat 'mendokuse na', jika saja mereka bukan murid-muridnya.
"Tak perlu, kalian kembali duduk saja." Dan mereka menurut pada gurunya.
Levi sedikit bernapas lega.
"Kau seorang guru?" Petra bertanya dengan penasaran.
Levi menatap wajah penasaran itu sebelum akan menjawabnya.
"Kau begitu tertarik dengan profesiku?"
"Ya, jika kau tidak keberatan."
Levi menimbang-nimbang akan melanjutkan percakapan ini atau tidak. Karena dirinya bukan orang ramah yang akan langsung akrab dengan orang yang ia temui beberapa menit lalu. Tapi entahlah, seperti ada yang aneh dengan perasaannya yang lebih 'bersahabat' pada wanita ini.
"Dulu aku berkeinginan menjadi guru, tapi aku terjebak di dunia kedokteran karena ayahku. Dan sepertinya aku tetap tidak bisa menjadi keduanya." Lanjut wanita itu karena Levi tak kunjung membalasnya.
Tepat setelah perkataan itu Levi dengar, hujan diluar sana tiba-tiba mereda. Sunyi melanda. Hanya samar-samar suara kesibukan di jalanan dan suara pelanggan yang tak jauh dari sini yang bisa Levi dengar. Ia masih terpaku, dengan cara wanita di hadapannya menyelipkan anak-anak rambut yang sempat menghalangi pipi mulusnya ke balik telinga. Cara yang begitu anggun dilakuan olehnya. Levi akui itu.
"Apa hujannya sudah reda?"
"Ya, sudah reda."
Mendengar jawaban samar Levi, wanita itu perlahan menarik tangan kanannya yang masih digenggam Levi dengan hangat.
"Sepertinya aku harus segera pulang sebelum hujan kembali turun."
Levi bangkit berdiri dan mencoba membantu wanita itu untuk memegang kembali tongkatnya. Tak banyak memang yang Levi katakan padanya, namun banyak yang ia rasakan dalam diam.
"Terimakasih banyak telah membantuku."
Levi mengangguk pelan, walaupun ia tahu bahwa wanita itu tidak akan bisa melihatnya. Tak lama, sebelum si wanita karamel tersebut berpamitan, ia merogoh saku blezer berwarna khaki yang ia gunakan. Kemudian memberikan sebuah kartu pada Levi. Masih tersenyum ramah dengan pandangan kosong itu.
"Aku tidak tahu kapan bisa bekerja lagi tapi, datanglah ke klinikku jika kau membutuhkannya."
Wanita itu membungkuk dengan sopan, kembali mengandalkan tongkat di tangannya untuk meraba jalan yang akan ia pijak. Dan Levi, masih mematung di tempatnya berdiri tanpa menghalangi si wanita berjalan. Dilihatnya tulisan yang tertera di atas katu pada tangannya.
'Dr. Petra Ral
-klinik Rose-'
Tanpa berpikir panjang, Levi langsung memasukkan kartunya ke dalam saku jas. Melirik sebentar ke arah jendela yang menampakkan cahaya samar dari matahari yang mulai nampak di balik awan-awan kelam, kemudian memastikan waktu yang sudah ia habiskan sebelum pulang ke apartemennya.
16.50
Levi memutuskan untuk membereskan barang bawaannya di meja, sudah waktunya ia pulang. Terlebih karena hujan yang sudah reda ingin ia manfaatkan untuk segera ke stasiun kereta. Hari ini memang cukup melelahkan karena dirinya harus berangkat dan pulang menggunakan angkutan umum, berkat mobilnya yang sedang mengalami perbaikan di bengkel.
Sedikit helaan napas menjadi awal langkah kakinya yang terbalut celana bahan kelam itu. Dan aroma yang menyeruak saat keluar cafe, membuatnya sedikit bernostalgia dengan banyak ingatan yang berkeliaran di benaknya.
.
oOo
.
Levi mengusap jempolnya ke layar ponsel pintar yang sedang ia tatap denga bosan, sedangkan matanya dengan cepat mencerna setiap bacaan yang ia lihat. Posisi rebahannya di sofa empuk itu nampak membuat seorang Levi yang gila kerja terlihat malas. Ternyata hujan kembali mengguyur saat malam datang, menambah kemalasan untuk membeli sesuatu untuk dimakan pada malam hari.
Apartemennya ini terlihat rapi di semua sudut, tak ada satu titikpun yang disinggahi debu. Sebagai seorang pria yang sangat menjunjung kebersihan, ia memang selalu menghabiskan waktu luangnya untuk membersihkan setiap sudut yang kotor disini. Dan kebetulan saat ini semuanya masih terlihat bersih.
Dalam keheningan malam yang masih menunjukkan pukul 8 ini, Levi menghentikan aktivitasnya memandangi layar ponsel saat suara bel pintunya terdengar. Alisnya sedikit berkerut karenanya. Ia tidak ingat terakhir kali ada yang berkunjung ke rumah ini.
Bel kedua terdengar, akhirnya Levi bangkit dari sofa dan berjalan menuju pintu –tidak perlu mengganti pakaian terlebih dulu karena setelan celana santai dan sweaternya sudah layak untuk dilihat orang lain.
Pintu terbuka. Dan sosok yang tadi memencet bel itu sontak membuat Levi membelalakkan matanya. Banyak hal yang tiba-tiba menerjang ingatan. Tubuhnya serasa meti rasa melihat wanita bersurai hitam yang kini berdiri di depannya itu. Napasnya yang sempat tercekat akhirnya bisa ia kuasai lagi setelah sepersekian detik.
"Apa ada menemuiku, Mikasa?"
'anata no koto wasurete mo ii desu ka?'
Wanita bernama Mikasa itu tersenyum sayu. Parasnya yang cantik dan lipstik merah yang melekat di bibirnya itu sudah sangat lama tidak Levi lihat, ah tidak.. hanya perasaan Levi saja. Perasaannya yang mengatakan lamanya waktu untuk menjaga jarak dengan wanita ini.
"Kau tidak mau mempersilahkan aku masuk dulu? Di luar hujan sangat deras."
Levi tak merespon dengan suara. Ia hanya bertindak dengan memberikan sandal rumah yang masih tersedia disana, sebagai tanda Mikasa boleh masuk.
Dengan asal Mikasa melepaskan sepatu boots miliknya, memakai sandal rumah yang tersuguh untuk kaki yang terlindung kaos kaki hitam. Ia berjalan menuju tempat Levi berada, ruangan cukup besar dengan perabot bergaya modern yang tertata rapi seperti biasa. Ya, biasa. Karena sebelumnya pemandangan ini juga yang rutin ia lihat.
Saat Mikasa dipersilahkan duduk, Levi mengiringi dengan dituangkannya teh panas untuk Mikasa. Tanpa maksud bersikap baik dan meminta harapan pada wanita yang jelas lebih tinggi darinya itu.
"Apa yang membawamu kemari?" Levi mengawali, tanpa basa-basi.
'You were my first, after all'
Mikasa tampak menyenderkan kepalanya pada sofa, lebih nyaman. Matanya juga menerawang entah kemana. Aroma teh yang tersaji sedikit membuatnya tertarik, namun tak cukup untuk menggerakkan tubuhnya yang merasa nyaman dengan posisi ini.
"Entahlah.. kakiku tiba-tiba membawaku kemari."
Jawaban yang didapatkan Levi tentu tak membuatnya puas. Tapi a berhenti, berhenti untuk bertanya dan begitu peduli dengan apa yang dipikirkan wanita ini. Berhenti untuk seperti dulu.
Kembali hening. Keduanya larut dalam pemikiran sendiri. Levi yang duduk di sofa single lebih memilih memandang jendela yang sengaja tidak ia tutup dengan gorden, menampakkan pemandangan hujan di malam hari. Sedangkan Mikasa, masih menengadahkan kepalanya dengan tatapan menerawang jauh ke masa lalu.
Suara hujan dan denting jam yang menggema. Meski biasanya Levi memang tidak banyak bicara di rumahnya, ia benci dengan situasi ini. Benci bila orang yang turut berdiam diri bersamanya itu adalah Mikasa, orang yang dulu pernah singgah dan pergi dalam hidupnya.
"Nee Levi.. apa aku terlalu kejam meninggalkanmu?"
Mata Levi langsung tertuju pada orang yang menanyakan hal itu. Tanpa emosi.
"Kenapa kau bertanya?"
"Karena aku.. selalu merasa bersalah akan hal itu."
Levi kembali mengalihkan pandangannya. Ia tidak mau berharap apapun dengan situasi ini.
"Kau tidak semestinya menyesali pilihanmu." Sela Levi akhirnya.
Mikasa kali ini duduk dengan tegap. Tangannya yang lengang mulai ia tautkan bersama, menghangatkan diri. Entah ruangan ini yang terasa dingin, atau sikap Levi yang tak ia kira sebelumnya.
"Kau masih ingat tentang janji kita kan? Bahwa jika kita berpisah.. tidak akan ada permusuhan diantara kita." Mikasa menerawang.
"Aku ingat. Karena itulah aku tidak mengusirmu keluar saat ini kan?"
Senyuman samar terlihat di wajah Mikasa. Nada bicara pria ini selalu membuatnya tenang setajam apapun. Selalu membuatnya tenang 2 tahun terakhir, dan 4 bulan sudah ia melupakan ketenangan yang ia miliki.
"Kau tahu? Aku selalu ingin melepaskan apa yang masih tersisa tentangmu, tapi aku terlalu naif untuk melakukan itu." Mikasa berkata.
"Aku mulai bisa membaca maksud pembicaraanmu."
"Aku tahu aku terlalu egois untuk mengatakan keinginanku bersamamu lagi, tapi bisakah? Kau membukakan 'pintu' itu lagi untukku?"
Levi menutup kedua maniknya. Larut dalam banyak pemikiran liar yang menyita otaknya. Pilihan yang tersuguh di depan matanya tak bisa ia putuskan dengan cepat. Jika menyangkut perasaan ia akan menjadi pria yang lamban. Beberapa detik berlalu dengan cepat. Dan mata biru kelabunya kembali menangkap objek yang sebenarnya tidak ingin ia lihat saat ini.
"Aku juga memiliki ego untuk menjaga harga diriku kan? Kau sudah melukainya sekali, dan aku ingin menjaganya saat ini."
Tampak raut kekecewaan di wajah Mikasa, yang dengan cepat langsung bisa ia perbaiki lagi dengan senyuman seperti biasa.
"Tapi kurasa untuk pertemuan sebagai 'teman' tak masalah." Tambah Levi, membuat Mikasa lebih menambah makna senyuman di wajahnya.
.
oOo
.
-To be continued-
