Author's note
Author mengucapkan selamat datang kepada MikoRei Week 2016! Semoga author bisa serajin dan sedisiplin tahun lalu perihal mempublikasikan karya setiap hari sesuai dengan tema yang diusung oleh para penyelenggara #slapped. Sekedar pengingat, cerita ini (dan Red Iceberg) ditulis berdasarkan referensi K:Returns of Kings, yang itu artinya akan banyak adegan-adegan atau kejadian yang memang tidak ada di serial aslinya, jadi mohon maaf sebelumnya kalau ada yang bingung pas baca kenapa tetiba Abang Megane mati padahal di akhir season 2 kejadiannya ngga kayak begitu. Well, at last, tanpa berpanjang-lebar, selamat membaca dan selamat menikmati~!
...
Project K (c) GoRa & GoHands
SEVEN SINS' KALEIDOSCOPE ~Zero Grounding Regrets~
Dedicated for MikoRei Week 2016, Day 0
.
'... haruskah ia menyerah? Hanya untuk satu frasa, hidup-bahagia-selamanya, yang belum tentu terjamin di kehidupan reinkarnasinya nanti?'
.
.
.
.
.
.
Selamat datang di ujung dunia
Di hulu sungai menuju alam fana
Akankah kau naik perahuku
Wahai jiwa-jiwa tersesat dalam kelu
.
Munakata Reishi membuka kelopak matanya. Tatapannya bertemu dengan langit seungu anggur yang menaungi. Sementara gemerisik rumput teraba di bawah telapak tangannya. Disusul wangi semilir tanah basah menyelusup indera penciumannya. Ia mencoba bangun, duduk tegak sembari merasakan gerak tubuhnya yang terasa begitu ringan. Seolah melayang. Seolah tak berbobot.
Seolah tanpa raga.
Reishi terdiam. Membisu. Merasakan waktu yang hampa di sekelilingnya.
Detik berikutnya, ia tersadar. Sudut bibirnya kemudian tertarik. Terasa gemetar.
'Ah. Betul juga. Bukankah aku… sudah mati…?'
Sekelebat ingatan muncul satu per satu, layaknya klise film yang diputar mundur di dalam kepalanya. Insiden di Menara Mihashira, untuk kesekian kalinya. Dresden Slate yang dapat diamankannya kembali dari tangan Hisui Nagare sang Raja Hijau, untuk kemudian menyeretnya ke dalam satu permainan, tragedi lain. Bom yang disebar di seluruh kota. Kunci akses untuk mengendalikan Dresden Slate yang digenggam Hisui Nagare. Dirinya yang seolah berada di atas papan catur, berlarian di antara bidak-bidak, mengejar dan dikejar gemuruh hijau menyambar tidak hanya dari atas kepalanya. Membaca gerak lawan sembari menyembunyikan taktik dalam genggaman. Dan ketika pertempuran terakhir kemudian menyarangkan satu peluru di organ vital disertai sengat melumpuhkan sekujur tubuhnya, Reishi tahu malaikat maut tengah mengayunkan sabit untuk menjemput nyawanya.
Meski di tengah gigil dan ngilu melanda, ada merah marun yang mampir di sudut pandangnya yang memburam. Di antara tarikan napasnya yang putus-putus menapaki sisa detik hidupnya, Reishi merasakan bara itu meletup. Seolah sepasang bola mata emas tengah menatapnya. Menunggunya.
.
"Reishi… Reishi tahu? Mikoto… Mikoto ada di sini, bersamaku. Mikoto menjadi kekuatanku. Mikoto bertarung dengan kita semua. Bisakah Reishi melihatnya? Bisakah Reishi merasakan kehadirannya?"
"… sayangnya tidak, Anna…."
.
Tidak. Bukannya ia tidak merasakannya. Reishi tahu. Reishi melihatnya. Emosi yang menggelegak dari siluet dalam kobar marun milik sang raja kecil. Hasrat yang melegakan perih jiwanya. Hangat yang merasuk, membasuh seluruh nyeri di sekujur tubuhnya.
.
"Meski begitu… aku berharap…. "
"Berharap? Reishi berharap apa? Apa yang Reishi harapkan? Reishi, bicaralah padaku…."
"… janjinya. Untuk datang… menjemputku…."
.
Reishi menemukannya. Suoh Mikoto menepati janjinya.
.
Ia datang padaku.
.
Sudut bibirnya tertarik. Ia kemudian bangkit, berdiri tegak dan mengedar tatap ke sekeliling. Pemandangan padang rumput di tepian sungai berwarna keruh menyapa, sementara kabut tipis melayang dalam rentang radius beberapa meter mengitarinya lantas membatasi jarak penglihatannya. Kedua kakinya perlahan melangkah mendekati sungai tenang itu. Reishi lalu berjongkok di tepi sungai, menemukan bayang wajah serta tubuhnya, terbalut kimono putih, terpantul di atas permukaan air. Tak ada siapapun di sana. Hanya dirinya seorang.
Tak ada. Siapapun.
Senyap yang sekejap melanda. Ia tersadar. Bibirnya yang terbuka. Membisik satu nama.
"… Suoh?"
Tubuhnya yang lantas berdiri. Berbalik kanan-kiri. Mencari.
"Suoh? Suoh!"
Nihil. Tak ada jawaban. Bahkan hanya gaung dari suaranya sendiri yang membalas seruannya.
"Suoh! Kau ada di sini, bukan?! Suoh Mikoto!"
Tidak mungkin. Reishi tahu, tidak hanya dirinya yang tiba di tempat itu. Siluet di balik kobar api yang menjemput di pertarungan terakhirnya itu pun pastilah berada di sana, di tempat yang sama. Sama-sama bersiap untuk melangkah masuk ke dalam pintu reinkarnasi kehidupan selanjutnya.
Meski Reishi tidak bisa menemukannya. Langkahnya yang kemudian memacu. Berlari. Walau dalam bingung dan bimbang. Sementara suasana di sekelilingnya yang tidak pula berubah. Karena sejauh apapun ia mencoba berlari, Reishi akan selalu berakhir di tepian sungai dengan rumput-rumput basah menggesek kakinya. Seolah tempat itu adalah definisi dari kata abadi. Tidak diguliri waktu. Tidak dialiri masa. Seperti ini kah dunia kematian yang akan ditinggalinya? Seorang diri? Tanpa harapan maupun kesempatan untuk dilahirkan kembali?
Satu suara riak air, mengetuk gendang telinganya. Reishi membalikkan tubuhnya. Tatapannnya yang lantas menemukan sebuah perahu kayu, mengapung di atas permukaan tepat di tengah sungai. Perahu itu kemudian mendekat. Menepi ke arahnya. Dan dari atas perahu itu, satu sosok bertudung dari ujung kepala hingga kaki, kedua tangan pucat yang tampak memegang dayung, lantas turun dan menapakkan kaki di atas rerumputan. Sebelah tangan sosok itu yang kemudian terangkat, lalu menurunkan tudung yang menyembunyikan wajah si pemegang dayung.
Detik berikutnya, yang Reishi temukan adalah satu senyum lebar ditemani raut wajah secerah mentari pagi, tersingkap dari bawah tudung hitam sosok itu. Ya. Sorot hangat penuh keceriaan yang semasa hidup seringkali Reishi kutuk di balik senyum sarkasnya sendiri. Kehadiran pemuda bersurai cokelat madu yang kerap menghadirkan percik bara dalam dadanya—yang ironisnya hingga kematian menjemput, Reishi masih belum berhasil memaknainya. Entitas salah satu anggota klan merah, sang pemilik sukma dari klan merah itu sendiri, yang—Reishi yakini—berhasil mendorong seorang Suoh Mikoto untuk menerjuni jurang kematian.
Dan pemuda itu, Totsuka Tatara, kini berdiri di hadapannya.
"Halo, Munakata-san! Kupikir kau dan King telah melewati gerbang reinkarnasi terlebih dahulu. Tapi ternyata, kita bertemu lagi di sini, ya?"
...
.
Selamat datang di akhir dunia
Di tepi sungai masa yang maya
Akankah kau naik perahuku
Atau akankah kau seberangi sungaimu
Wahai jiwa-jiwa meriak masa lalu
.
Semalas apapun otaknya untuk digunakan berpikir, Suoh Mikoto tetap tidak bisa mencerna apa yang tengah terjadi saat itu. Setelah melewati alam antara hidup dan mati dalam sebuah pondok mungil berornamen kayu, setelah penggalan terakhir dirinya yang akhirnya terbebaskan (dalam artian dapat ikut mati bersamanya) dari belenggu mimpi dan rasa sakit yang digenggam Munakata Reishi, dan setelah Mikoto berhasil menjemput pria itu untuk sama-sama menyeberangi gerbang reinkarnasi, lalu alam seperti ini kah yang kemudian didapatkannya? Alam kematian kosong. Langit berwarna ungu, rerumputan basah, kabut yang mengepung. Dirinya yang terbangun di tepian sungai. Seorang diri, sementara ia tahu Reishi datang ke tempat itu bersamanya. Sementara tidak peduli sekuat apa kakinya berlari, Mikoto merasa terkurung di tempat yang sama. Seakan ia tidak berpindah selangkah pun dari sana. Tidak pula ia menemukan sosok Reishi.
Meski yang kemudian menyapanya, turun dari sebuah perahu kayu, adalah seorang pemuda berparas ramah yang tidak dikenalnya, lantas membungkuk hormat padanya.
"Perkenalkan, Raja Merah. Namaku Kusuhara Takeru. Anak buah dari Raja Biru, Kapten Munakata Reishi."
Ah, ya. Mikoto pernah mendengar nama itu. Nama yang pernah terselip di antara perbincangannya dengan Reishi, entah di bar ataupun pemandian umum. Nama yang tiba-tiba saja Reishi ungkapkan saat itu, di tengah-tengah pembicaraan keduanya mengenai kecakapan para raja dalam melindungi dan dilindungi anak buahnya. Hanya saja, Mikoto mengingatnya. Ada raut yang tidak biasa yang saat itu menggenangi wajah Reishi. Setitik duka dan rasa bersalah, yang kemudian tertutup oleh topeng keras dan tegas (yang sejujurnya begitu ingin ia bakar tanpa tersisa satu serpih pun) disusul kalimat bahwa Scepter 4 mungkin akan mencapai wujud ideal tanpa kehadiran pemuda itu di dalam sistem tersebut.
Mikoto kemudian mendengus. Nostalgianya yang mengaburkan kenyataan di depannya. Ia lalu menatap pemuda itu. Kepalanya mengangguk. "Aku pernah mendengar rajamu menceritakan tentangmu. Hanya sedikit. Tidak banyak."
Sebuah senyum berbinar lantas membalas kata-katanya. "Benarkah begitu, Suoh-san? Syukurlah. Kupikir Kapten Munakata akan melupakanku begitu saja."
Ia mengangkat bahunya. "Kau adalah orang yang mati setelah melindunginya dari terjangan peluru. Dan laki-laki sepertinya tidak akan pernah melupakan utang budinya begitu saja."
"Hmm…. Rupanya Suoh-san sangat mengenal kepribadian Kapten Munakata, ya?"
Mikoto terdiam. Ada kata-kata pemuda itu yang mengusik pikirannya. Serta lengkung manis di bibir pria muda itu yang begitu mengganggunya. Entah mengapa. Ia kemudian menghela napas. "Lalu, untuk apa kau datang dan menemuiku?"
"Untuk mengantarkan Suoh-san menuju gerbang reinkarnasi," jawab pemuda itu, diikuti sebelah tangan yang lantas menunjuk ke arah alur sungai. "Gerbang reinkarnasinya ada di ujung sungai ini. Anda bisa mencapainya jika menaiki perahuku, dan aku akan membawa Anda ke sana."
"Bagaimana dengannya?"
Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibirnya. Pemuda itu hanya balas menatapnya. Kusuhara Takeru hanya terdiam tanpa menjawab kata-katanya.
Ia menggeram. "Aku datang ke tempat ini bersama atasanmu, Bocah. Dan jangan bilang kau tidak tahu hal itu."
"Aku tahu," jawab Kusuhara pada akhirnya. "Aku tahu, Kapten Munakata juga datang kemari. Meski jika melihat keadaan kalian sekarang, kupikir kalian akan memutuskan untuk melintasi gerbang reinkarnasi sendiri-sendiri."
Mikoto semakin tidak mengerti. Otaknya terasa semakin panas untuk dipaksa mencerna segala kata-kata yang terlontar dari mulut Kusuhara. "Aku tidak mengerti. Jelaskan padaku."
"… jika kukatakan bahwa Kapten Munakata saat ini tengah berdiri di samping Anda, Anda akan mempercayainya?"
Terbelalak. Kepalanya yang sontak berpaling. Meski ia tidak bisa menemukan siapapun di sekelilingnya selain sosok Kusuhara Takeru. Tatap tajamnya kemudian melayang, mengancam meminta penjelasan.
"Anda tidak bisa melihat Kapten Munakata, sebagaimana Kapten pun tidak bisa melihat maupun menyadari keberadaan Anda, karena kalian berdua sama-sama memiliki tembok ego yang membuat kalian tidak terlihat satu sama lain."
Mikoto terdiam. Menunggu. Sementara Kusuhara lantas mengangkat tangan, menggaruk belakang kepala.
"Bagaimana menjelaskannya, ya? Singkatnya begini. Baik Anda maupun Kapten Munakata, sama-sama memiliki hal yang tidak pernah kalian utarakan satu sama lain. Hal yang terpendam itu, sayangnya, lambat-laun membentuk rasa penyesalan yang kemudian terbawa hingga ke alam kematian ini, lalu berubah wujud menjadi sebuah kekuatan yang menghalangi pandang kalian berdua. Karena jika kalian tidak memiliki penyesalan ini, baik Anda maupun Kapten Munakata seharusnya bisa melihat arwah-arwah lain di sini, duduk-duduk di tepian sungai menunggu perahu menjemput, atau bahkan Anda juga bisa melihat betapa ramainya sungai di depan Anda ini, penuh dengan perahu-perahu dan arwah-arwah yang berlayar di atasnya."
Penjelasan yang diterimanya dari Kusuhara semakin membuatnya tidak mengerti. Meski Mikoto mampu merasakan satu hal. Beban yang terasa menyeruak di dadanya. Penyesalan? Apakah memang benar begitu? Apakah memang ada kata-kata yang tidak pernah diucapkannya, yang lantas membutakan seluruh inderanya, memerangkapnya layak kotak kaca raksasa, sehingga ia tidak lagi bisa melihat apa yang sebenarnya ada di sekelilingnya?
"Lalu… apa yang harus kulakukan?"
Kalimat yang terbisik rendah. Meluncur dari sudut benak terdalamnya. Karena Mikoto tidak bisa membiarkan segala penantiannya berbuah sia-sia. Ia tidak akan pergi dari tempat ini tanpa tangannya menggenggam tangan itu sekali lagi. Mikoto tahu. Ia berjanji bahwa ia tidak akan melepaskannya lagi.
Satu senyum di wajah Kusuhara Takeru, yang kali ini terasa begitu tulus. "Aku menantikan pertanyaan itu, Suoh-san." Pemuda itu lantas beringsut, menggeser langkahnya, memperlihatkan MIkoto pada pemandangan di seberang sungai. Matanya menyipit. Ia hanya dapat melihat tepiannya, meski tidak dengan apa yang ada di sana.
"Di sisi lain sungai ini, adalah masa lalu Anda dan Kapten Munakata. Sekarang, Anda memiliki dua pilihan. Pilihan pertama adalah dengan mengarungi sungai ini, memasrahkan diri pada arusnya, hingga Anda akan tiba dengan sendirinya di gerbang reinkarnasi, seorang diri tanpa Kapten Munakata. Dan pilihan kedua adalah dengan menyeberangi sungai ini. Anda akan berjalan dengan kedua kaki Anda, dengan seluruh kekuatan Anda, bertemu dengan masa lalu Anda, menghadapi segala penyesalan Anda untuk meruntuhkan tembok ego itu. Anda akan membutuhkan usaha yang begitu besar untuk melewatinya, dibandingkan Anda hanya duduk diam di atas perahuku, namun di ujung perjalanan Anda, Anda akan tiba di depan gerbang reinkarnasi, dan… jika Anda beruntung, Anda akan melewatinya bersama-sama dengan Kapten Munakata."
Alis Mikoto terangkat. "Jika beruntung? Apa maksudmu?"
Tawa kecil kemudian terdengar dari Kusuhara. "Anda tentunya tidak akan bertemu dengan Kapten Munakata jika Kapten memilih pilihan pertama untuk mencapai gerbang reinkarnasi, Suoh-san."
"Dan kau tahu pilihan mana yang akan dia diambil?"
"Jika Suoh-san mengenal isi hati Kapten Munakata, Anda akan tahu pilihan apa yang akan Kapten ambil. Meski perlu kuingatkan satu hal, Suoh-san. Perjalanan menyisiri tepi sungai bukanlah perjalanan yang mudah. Dan Anda yang sekarang ini telah terlepas dari kuasa Anda sebagai Raja Merah. Anda tidak akan memiliki kekuatan para raja untuk melindungi diri Anda. Yang akan menyelamatkan Anda… hanyalah kekuatan yang dimiliki diri Anda sendiri."
Menyinggung senyum di bibir, Mikoto mengangguk. Bahkan setelah dirinya dinyatakan mati dari dunia pun, rasa sakit tetap membara dalam dadanya. Membakar apa yang tersisa dari jiwanya yang tertinggal dalam kenangan seorang Munakata Reishi. Maka apalah artinya perjalanan melelahkan sedikit lagi, jika itu bisa melepasnya dari belenggu sesalnya.
Jika perjalanan itu bisa membuatnya kembali melangkah, beriringan dengan sosok sedingin langit malam yang tidak urung mengusir segala penatnya, maka….
"Jadi, pilihan mana yang akan Anda ambil, Suoh-san?"
"Aku…."
...
"Sepertinya King sudah menentukan pilihannya, Munakata-san."
"Tanpa menunggu keputusanku terlebih dahulu? Orang barbar itu benar-benar…."
Gelak tawa Totsuka Tatara lantas menggema di gendang telinganya. "Karena King tahu pilihan mana yang akan kau pilih."
"Ho? Dan jalan yang diambilnya itu, adalah…?"
"Kau pasti tahu jika hatimu benar-benar mengenal hatinya, Munakata-san."
Reishi mendengus. Ya, tentu saja. Hubungannya yang ia jalin bertahun-tahun dengan laki-laki serampangan itu memang mengajarinya begitu banyak hal. Memaksanya untuk mengenal ribuan jalaran emosi yang bahkan tidak bisa terdefinisi. Memintanya berkompromi dengan idealisme dan mimpi-mimpinya. Mengajaknya untuk berbagi beban, bukan hanya sebagai raja, melainkan beban sebagai sesama anak manusia. Mengetuk pintu hatinya. Melelehkan ego setinggi gunungan es di benaknya dengan hasrat merah marun menggelora itu.
Meski di akhir hayat laki-laki itu, ada hal yang tetap tidak Reishi mengerti. Hal yang kemudian membawanya pada satu kesimpulan pahit. Bahwa pada akhirnya, ia tetap tidak bisa memahami sosok Suoh Mikoto sepenuhnya. Seutuhnya.
Maka, haruskah ia menyerah? Haruskah ia mendustakan perih menyengat dalam dadanya, lalu melangkah maju tanpa menghiraukannya? Haruskah ia lari, bersembunyi dari ribuan rasa dan kata yang tidak pernah terbebas dari pita suaranya, yang kini berbalik menghimpit benaknya? Dan jika kesempatan kedua itu memang ada, haruskah ia meruntuhkan segala tembok egonya? Hanya untuk seluruh inderanya mampu menemukan sosok itu kembali? Hanya untuk satu frasa, hidup-bahagia-selamanya, yang belum tentu terjamin di kehidupan reinkarnasinya nanti?
Menghela napas. Reishi membetulkan letak kacamatanya sembari menatap Totsuka.
"Kalau begitu, tunjukkan aku jalannya, Totsuka-kun. Dan kau tahu jalan yang mana yang tengah kumaksud."
.
Selamat datang di antara dua dunia
Di hilir sungai hidup dan mati adalah nyata
Silakan naik ke perahuku
Dan kuantar kau selami palung hasratmu
Wahai jiwa-jiwa berkelit dalam bisu
.
...
.
p.s. Terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk membaca, dan ditunggu komentar serta kritik-tidak-pedasnya~! XD
