Ini adalah fic pertama Farore tapi tidak pernah Farore upload ke ...
Dan karena ini yang pertama jadi kata-katanya sangat tidak baku...
Ini cerita tentang Caim dan teman-temannya dengan perspektif baru..
Gwen disini adalah OC. Oiya, sejujurnya Farore belum pernah memainkan Drakengard 1 jadi tidak begitu tahu, selama ini Farore tahu dari youtube, wikipedia, dan flashback drakengard 2. Jadi bila ada yang kurang jangan segan-segan memberitahu ya...
Walaupun prolognya dari Drakengard 2 tapi cerita ini bersetting di drakengard 1...^^
I do not own Caim and friends, drakengard belongs to Square enix and Cavia
Happy reading!
Sincerely,
Farore Rayzes
"Before I was born, a war broke out between the Empire and the Union. Many people bled and the world marched toward destruction. Lost lives. Sacrifices. The all consuming blaze. The world saved. Caim, the soldier who lost it's voice. Angelus, the red dragon. They were the event of eighteen years ago."
Itu adalah prolog dari sebuah kisah favoritku. Menceritakan tentang seorang dari Royal Family yang memimpin pasukan 'Union' untuk berperang melawan 'Empire', sebuah kerajaan asing yang bertindak kejam pada rakyatnya. Sang protagonis, Caim, adalah orang yang gigih melindungi tanah kelahirannya. Dia hidup berdua dengan adik perempuannya yang terkasih, Furiae serta sahabat baiknya, Inuart.
Mereka bertiga berjuang bersama. Tapi, keberuntungan tidak berpihak pada mereka. Caim yang sekarat, berlari ke istananya untuk menyelamatkan Furiae. Tapi, tubuhnya tak kuasa untuk berlari. Untuk menyembuhkan dirinya yang sekarat hanya ada satu cara. Membuat sebuah "pact" dengan makhluk lain. Caim, memaksa seekor naga merah yang juga sekarat untuk membuat "pact" dengannya. Untuk mencapai tujuan masing-masing, mereka setuju. Tapi, setiap "pact" pasti ada harga yang harus dibayar untuk pihak manusia. Dan harga yang harus dibayar oleh Caim, adalah "suara". Sekarang Caim yang ramah berubah menjadi orang yang dingin. Dua makhluk yang sudah menjadi "pact partner" bila salah satu mati, maka pasangannya juga akan mati. Sekarang, ia terbelenggu pada lingkaran kematian. Bukan hanya itu, semakin lama terlihat pengkhianatan dalam diri Inuart. Hati Caim bertambah beku. Lalu, seakan belum cukup, ia dihadapkan pada adiknya yang tersayang, yang sekarang menjadi boneka tak berjiwa. Angelus, sang naga merah yang kini menjadi belahan jiwa Caim, tersegel. Meninggalkan Caim hidup, selamanya. Dia hancur. Tak ada tempat untuk kembali, tak ada orang yang terkasih, tak akan ada lagi senyuman. Yang tersisa hanya air mata beku yang mengiringi melodi keabadian.
" Kamu gak bosen-bosen ya, Gwen! Udah berapa kali coba, kamu ceritain kisah itu! Bosen tau!" seorang gadis berseragam putih abu-abu menggerutu kesal. Cewek berambut pendek sebahu itu menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Bajunya dikeluarkan, terlihat sekali bahwa ia adalah orang yang selalu melanggar peraturan. Tapi manusia tidaklah dinilai dari penampilan luar. Norma, gadis tomboy ini adalah gadis yang baik, yang selalu ada untuk sahabatnya.
" Biar aja! Ini adalah kisah kesayanganku semenjak 7 tahun yang lalu!" aku melempar pandanganku. Saat ini kami duduk di kantin sekolah, sambil menyedot segelas es kelapa. Gwen, sebaliknya adalah orang yang sensitif dan penurut. Ia rela melakukan apa saja, walaupun hal itu merugikan dirinya sendiri tapi bila itu bisa membuat orang yang terkasih baginya bahagia maka hal itu memang sudah wajar dilakukan. Gadis ini juga berambut pendek sebahu tapi lebih bergelombang, pakainnya rapi dengan semua atribut sekolah terpasang.
" Emang apa spesialnya sih? Itu kan Cuma cerita fantasi biasa. Tentang pangeran berkuda putih yang menyelamatkan dunia dari para monster. Banyak kali yang begituan di pasar." Ejek cewek tomboy itu, sambil cengar-cengir.
" Apa? Enak aja! Ini bukan cerita murahan yang gampang ditemuin di pasar! Dan dia gak bermaksud menyelamatkan dunia, Caim Cuma melindungi apa yang berarti baginya. Tapi, Ia justru dikhianati, dan ditinggalkan." Aku mendekatkan wajahku pada Norma. Ia menarik kepalanya menjauhi wajahku.
" berlebihan deh! Aku malah gak suka cerita sedih kayak gitu." Norma mengatakannya sambil melihat jam tangan hijau army-nya. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore.
" Iya, aku juga merasa cerita ini terlalu sedih. Caim harus menerima beban terlalu banyak. Bahkan sampai akhir cerita dia masih gak dapat kebahagiaannya. Kenapa pengarangnya begitu kejam pada tokoh karyanya sendiri?" aku menatap langit yang menghitam sambil menghela nafas. Kedua tanganku menopang daguku yang berat
" Mana aku tahu! Ngapain mikir begituan." Balas Norma sambil memasukkan barang-barangnya yang bercecer dimeja kantin ke dalam tas hitamnya.
" Biar aja sih, Norma! Suka-suka aku! Kalau aku yang jadi pengarangnya, maka walaupun sedikit aku bakal ngasih Caim harapan, kebahagiaan, dan happy ending. Hhehe." Aku membayangkan bila aku berada disana, disamping Caim, maka akan kuberikan semua yang ada didiriku padanya. Tanpa sadar senyuman tersungging di wajahku. Tapi awan masih mendung.
" Iya,ya,ya... dasar maniak" Norma beranjak dari kursinya.
" Terserah aku dong..." aku masih tetap duduk dan mendongak ke Norma yang sekarang sudah lebih tinggi dariku.
" Whatever lah! Balik yuk! Kayanya mau hujan. Udah gelap banget." Kata Norma sambil mengenakan tasnya. Lalu pergi tanpa mempedulikan sahabatnya yang masih meneguk es di gelasnya.
" Ah, iya. Udah jam 3." Aku juga beranjak dari kursi kantin, dan lari nyusul Norma yang udah jalan duluan.
Di depan gerbang sekolah, aku memandang langit gelap. Langit yang biru tertutup oleh awan hitam. Mengingatkanku pada kepulan asap dari sang naga merah, yang amarahnya mampu membuat langit cerah menjadi suram. Norma memanggilku, membuyarkan lamunan seorang gadis yang belum dewasa. Yang masih belum mengerti arti "kebahagiaan" dan "kepedihan". Aku masuk ke dalam mobil jemputan, Norma dan aku duduk dibelakang. Sekali lagi aku memandang langit hitam dari kaca mobil, yang membuatnya terlihat makin gelap. Langit yang gelap seakan memperingatkan bahwa takdir dari seseorang dapat berubah hanya dalam kedipan mata. Dan kemudian langit menangis hebat, disertai jeritan-jeritan yang menggelegar. Tertegun aku, mengingat pertama kali aku membaca kisah Caim. Sama seperti langit ini, aku menangis hebat.
Sekian Chapter 1!
Aduh, bahasanya sama sekali tidak baku ya...
Maklum, ini fanfic pertama Farore...
Kritik dan saran akan diterima dengan senang hati...^^
Sincerely,
Farore Rayzes
