Fandom : Kuroko No Basuke

Pairing : Akakuro

Genre : Drama, Family, Romance, Angst

Rating : T (semi M)

A.N : AU, BoyxBoy, little OOC(maybe)

PROLOG

"Sei-kun, kemari."

Suara lembut dengan senyum menyejukkan. Bocah merah yang berdiri mematung di atas pasir hitam bergetar hebat dibelai suhu sedingin es. Bulan membulat sempurna di atas kepala. Akashi Seijuurou menatap sosok ibunya dalam diam. Perasaan takut luar biasa berubah jadi ketenangan saat tubuhnya ditarik ke dalam pelukan.

"Tutup matamu"

Perintah halus. Akashi menurut. Mata serupa warna delima ditutup perlahan. Hanya kulit dan telinga yang difungsikan. Suhu air pantai yang hangat membelai kulit pale. Ia ditarik ke laut. Menahan diri bertanya lanjut. Ia percaya. Ibunya sedang membawanya bermimpi.

Ya. Memang selanjutnya yang terjadi serupa mimpi di musim panas.

.

.

.

Natsu Ni Hanashi O Nisshoku

(Hajimete no Ai)

Segala rahasia dibalik sosok serupa cahaya matahari. Kuroko ingin menyibak bayangan bulan yang menutupinya.

A Tale of Eclipse In The Summer.

Disclaimer

Kuroko no Basuke belongs to Tadatoshi Fujimaki, but the story is mine.

.

.

.

PART 1

AKASHI SEIJUUROU.

Langit biru berubah oranye. Warna awan mengubas dibeberapa sisi. Matahari bergulir pelan ke sisi barat. Semua indah. Lengkap dengan suara ombak di tepi pantai. Tapi Kuroko Tetsuya malah menatapnya nanar. Orbs biru muda miliknya bergerak-gerak cemas. Seakan berusaha membuat pergerakan sore ke malam melambat.

Sekitar dua jam lalu, situasinya berlawanan dengan situasi sekarang. Teman-temannya masih berada di pinggir pantai, tertawa-tawa mengubur diri di pasir hitam. Sebagian berlarian memecah air. Kuroko Tetsuya memilih membaca novelnya di ujung pesisir. Di balik batu tinggi berwarna abu-abu kusam. Maksud hati ingin mencari ketenangan di alam terbuka, menghindar sejenak tanpa tau akan ditinggal pergi.

Ya, Kuroko ditinggal. Saat halaman ke-415 ditutup, ia tersadar kalau suasana pantai tak seramai sebelumnya. Kuroko beranjak keluar dari persembunyian. Menatap horor lahan parkiran yang kini kosong melompong. Bus biru gelap berslogan SMP SEIRIN raib dari sana. Entah sejak kapan. Kuroko tidak sadar. Dan parahnya, ia tidak membawa apapun selain buku Novel bersamanya. Ransel dan makanan ditinggal di bus.

Kaki kecil gemetaran. Bukannya kedinginan. Tapi ketakutan memikirkan kenyataan bahwa ia harus tertinggal di Kota yang jauhnya 4 jam perjalanan kereta bawah tanah dari stasiun Tokyo. Kyoto. Kuroko tertinggal di Kyoto. Sendirian. Tanpa bekal.

Bukan salah siapa-siapa, masalahnya ada pada diri Kuroko sendiri. Hawa keberadaannya itu sangat lemah. Kuroko juga punya sifat 'penyendiri' yang membuatnya semakin sulit dideteksi. Berkali-kali, kekurangannya yang satu itu selalu jadi penyebab masalah. Tapi kali ini Kuroko mendapat masalah lebih besar.

Berjalan tanpa arah, Orbs biru muda milik remaja 13 tahun bersinar penuh harapan saat melihat seseorang di tepi pantai yang sama. Agak jauh darinya. Orang itu berdiri mematung, menunduk menatap sesuatu. Tampak tak sadar dengan kedatangan Kuroko.

Awalnya begitu.

Tapi saat Kuroko mendekat, Orang itu langsung menolehkan kepala. Ah, warna matanya merah cerah. Sewarna buah delima yang ia sukai. Kuroko tertegun. Tak sadar kalau langkahnya sudah begitu dekat. Tatapan lekat terhubung antar dua iris berbeda warna. Saling tenggelam dalam satu garis lurus. Kuroko Tetsuya mengakui dalam hati. Warna merah adalah warna terindah setelah warna hitam yang ia sukai.

"Hei." Si remaja merah terlebih dahulu sadar. Menyeringai kecil, membuat Kuroko terbangun dari lamunan. Wajah flat andalan spontan diperlihatkan. "Kau siapa?"

Kuroko mengerjap. Mencoba mengingat alasan mengapa ia memutuskan untuk mendekati remaja asing ini. Tidak ada. Kuroko tak ingat mempunyai alasan kecuali rasa lega ketika menemukan orang selain dirinya yang masih berada di sekitar pantai meskipun hari sudah gelap.

"Halo, namaku Kuroko Tetsuya" Bungkukan salam kenal, Kuroko sudah biasa melakukannya. Tapi remaja didepannya malah menaikkan alis heran. Tampak kaget disuguhi pemandangan bocah biru muda bertingkah sangat formal di pertemuan pertama.

"..Akashi Seijuurou" Jawab remaja merah. Perlahan tubuhnya memutar mengahadap Kuroko. "Ada apa Tetsuya?"

Kebiasaan. Akashi mengacuhkan delikan heran yang diperlihatkan Kuroko setelah menegakkan badan. Ia memang suka memanggil orang lain dengan nama depan. Kuroko mencoba mengabaikan.

"Maaf, aku tadi terlalu lega. Jadi menghampirimu kesini" Ujar Kuroko jujur. Akashi masih kurang paham.

"Lega? Karena?"

"Aku murid SMP Seirin, dari Tokyo." Oh wisatawan. Batin Akashi. "Aku ditinggal busku. Hmm. Mereka tidak sadar meninggalkanku disini. Maaf. Apa Akashi-kun punya ponsel? Aku ingin meminjamnya untuk menghubungi kaa-san-"

"Tunggu sebentar" Menginterupsi, Akashi melipat tangan di depan dada. Memandangi bocah biru langit di depannya setengah tak percaya. "Kau ditinggal? Bagaimana bisa?"

"Itu tidak penting, Akashi-kun. Aku janji akan menjelaskannya setelah ini. Tapi sekarang aku benar-benar butuh ponsel untuk menghubungi orang tuaku."

"Maaf Tetsuya. Tapi sekarang banyak sekali perampok yang mempunyai modus unik untuk melakukan kejahatan. Kau mengerti maksudku, kan?"

Senyum meremehkan dari si kepala merah. Dahi Kuroko mengerut tidak terima. "Aku bukan perampok Akashi-kun." Hardiknya tajam.

"Kita baru kenal sekarang, Tetsuya"

Akashi benar, Kuroko mengakui. Jika saja sekarang ia bukan dalam kondisi darurat semacam ini, Kuroko tidak akan pernah berfikir untuk mengemis. Tapi ini bukan kotanya. Di pantai sangat sunyi. Matahari sudah tenggelam beberapa menit yang lalu. Hanya ada dirinya dan Akashi Seijuurou disana. Kuroko tidak memiliki pilihan. Ia tau itu.

Satu helaan nafas berat, Kuroko menarik kembali fikirannya barusan mengenai keindahan warna merah setelah hitam. Merah itu menyebalkan. Semenyebalkan seringaian orang didepannya sekarang.

"Lalu bagaimana aku bisa membuktikan kalau aku bukan orang jahat? Aku serius butuh bantuan Akashi-kun. Ranselku tertinggal di bus. Aku mohon."

Menarik. Bukan puppy eyes atau sejenisnya. Tapi Akashi benar-benar berfikir kalau mata didepannya ini serupa mata binatang imut bernama kucing. Biru besar, tatapan setengah memohon setengah menghardik. Akashi tertawa dalam hati. Tertarik untuk menjahili.

"Kau memohon kepada orang asing? Aku bisa saja orang jahat loh, Tetsuya."

"Tidak mungkin."

"Sok tahu."

Kuroko mendengus. "Aku yakin."

"Tau darimana?"

"Akashi-kun punya rambut warna merah mencolok."

Akashi memandangi juntaian poni di tengah matanya. Gagal paham. "Kenapa dengan rambutku?"

"Penjahat tidak mengenakan cat rambut seperti itu. Biasanya mereka pakai warna yang lebih gelap."

"Kata siapa? Dan Tetsuya, Ini bukan cat rambut."

"Oh.. Kata buku Novel ini." Kuroko mengangkat Novel setebal 640 halaman di tangannya. Dilihat dari sampulnya yang berwarna merah pekat dan hitam, Novel itu bergenre horor. Akashi mendengus geli.

"Refrensimu bisa dipertanggung jawabkan." Komentar Akashi sekenanya.

Novel diturunkan kembali di sisi tubuh. "Jadi boleh aku pinjam ponselmu?"

Wajah memohon itu kembali datar. Akashi takjub sekaligus sebal. Menarik berbicara dengan bocah lebih pendek darinya ini. Akashi tidak ingin segera mengakhirinya. Entah karena apa.

"Tidak."

"Kenapa?"

"Karena aku tak punya alasan untuk menolongmu."

Orbs biru muda meredup kecew, merasa kehilangan harapan terakhir. Menyesal habis-habisan karena mau meladeni bicara si kepala merah. Kuroko menyumpah dalam hati. Tapi wajahnya tetap sedatar papan catur.

"Kalau begitu permisi." Bersiap-siap pergi, Kuroko malah merasa lengan jaket yang ia kenakan ditahan oleh genggaman kokoh. Ia terpaksa mendongak. Akashi Seijuurou mengacak kepalanya lembut. Membuat Kuroko bingung sekaligus terpana lagi.

"Kau mudah ngambek. Maaf. Tapi aku sedang tidak membawa ponsel. Kau bisa memakainya dirumahku." Senyum disunggingkan. Kali ini senyum Akashi lebih teduh dari sebelumnya. Kuroko bersyukur dalam hati, firasatnya tidak meleset. Akashi memang orang baik.

"Terimakasih Akashi-kun."

Dibalas anggukan. "Mobilku disana. Kita akan pulang setelah membeli makanan di Maji Burger. Kau tidak keberatan?"

"Tidak. Aku malah berterimakasih sekali Akashi-kun mau membantuku."

Akashi hanya menanggapinya dengan senyuman lagi. Kemudian berjalan menuju mobil merah kecil di luar area parkir. Ditengah-tengah pantai. Kuroko menurut saat Akashi menyuruhnya duduk di kursi kiri depan. Tapi kaget saat melihat Akashi duduk di bangku kemudi.

"Akashi-kun mengemudi?" Tanyanya seraya mengamati remaja sebaya yang sedang menghidupkan mesin.

"Tentu saja. Mana mungkin kusuruh kau yang mengemudi" Jawaban sekenanya, Akashi mulai memutar kemudi. Melirik kaca spion untuk berbelok dan menginjak pedal gas perlahan.

"Bukan itu maksudku. Kita masih tiga belas tahun. Belum punya surat izin mengemudi"

Dengusan geli, "Itu akan terjadi saat umurku 17 tahun Tetsuya. Kalau yang kau khawatirkan keamanan, aku jamin kau aman bersamaku." Akashi tak sadar Kuroko merona. "Daripada itu, darimana kau tau umurku baru tiga belas? Aku belum mengatakannya padamu kan?"

"Cuma menebak. Biar kutebak, Akashi-kun pasti sering dikira anak umur 9 tahun atau kurang dari itu."

Tawa kecil pecah. "Iya. Bagaimana kau tau?"

"Aku sering dikira 8 tahun. Semuanya gara-gara tubuhku kecil dari yang lain. Tinggiku cuma 155 sentimeter"

Tawa Akashi lenyap. Suasana mendadak tegang. "Aku malas membahas masalah tinggi badan, Tetsuya"

"Eh, kenapa?"

".."

"Akashi-kun? tinggimu berapa?"

".. Yang jelas lebih tinggi darimu. Tetsuya berhenti membicarakan masalah tinggi badan."

"Akashi-kun, jangan-jangan tinggi kita sama."

"Mustahil. Aku lebih tinggi."

"Aku tidak percaya."

"Ck.. Aku 158 senti. Puas?" Kuroko mendadak bungkam. Kepalanya menoleh ke Akashi. Melotot, tidak terima. "Apa?"

"Kita cuma beda 3 senti, Akashi-kun jangan sombong."

Ctes! Persimpangan urat muncul. Akashi tak percaya bocah yang ditemukannya hari ini ternyata cukup ahli membuat perasaan jengkel.

"Itu tak mengubah kenyataan kalau aku lebih tinggi darimu." Hardik Akashi seraya melempar pandangan kesal ke remaja biru disampingnya.

".." Kuroko tidak menanggapi. Pura-pura sibuk dengan pemandangan luar jendela. Akashi tersenyum geli.

.

.

.

"Kenapa ponsel ditinggal? Aku mati-matian menghubungimu dan malah menemukan ponselmu di atas meja makan. Akashi! Oi! Dengarkan aku!"

Remaja bertubuh tinggi dengan rambut hijau lumut, -mengenakan kacamata tebal serta sebuah nekomimi di tangan dengan jari-jari berbalut perban- tengah melipat tangan mengomeli remaja merah yang sedang melepas sepatu kets di depan pelataran rumah.

Kuroko mematung memandangi mereka. Gelas Vanila Shake yang sudah kosong tak sadar diremas. Rada tidak nyaman saat emerald si megane berbenturan dengan orbs azure miliknya. Kuroko berusaha melempar senyum tipis kepada si rambut hijau.

"Akashi, siapa anak berwajah sedatar papan cucian di belakangmu ini?"

Kuroko bersumpah, barusan ia sudah tersenyum tipis. Akashi mendongakkan kepalanya ke Kuroko, kemudian membalas tatapan Midorima.

"Jangan ganggu Kuroko Tetsuya. Dia tamuku." Ucapnya penuh peringatan. "Tetsuya ini Midorima Shintarou. Sepupuku. Dia Tsundere. Jangan pedulikan omongannya yang kasar. Hatinya sebenarnya lembut"

"OI!"

Mengacuhkan tatapan protes remaja hijau bernama Midorima yang ia kenalkan sebagai sepupu, Akashi memberi kode kepada Kuroko untuk mengikutinya ke ruang tamu.

"Duduk dimanapun yang kau mau. Buat dirimu senyaman mungkin."

"Akashi-kun, ponselnya?" Bermaksud mengingatkan, Kuroko malah dihadiahi seringaian oleh Akashi.

"Sabar sedikit. Ponselnya masih dengan Shintarou. Disita sepertinya. Aku akan coba memintanya lagi besok pagi." Akashi merobek kertas kecil dan menyerahkan pulpen yang ia temukan di atas lemari buku kepada Kuroko. "Tulis nomor Kaa-san mu disini. Kau boleh menghubunginya besok pagi. Sekarang aku mau mandi"

Sosok Akashi berlalu dibalik tirai pemisah ruang keluarga dan kamar mandi. Kuroko memandangi kertas kosong dan pulpen dihadapannya. Bertanya-tanya mengapa ia harus menulis nomor orang tuanya disana. Tapi kemudian perhatiannya teralihkan kepada sosok tinggi yang baru memasuki ruang tamu. Midorima.

"Midorima-kun" Sapa Kuroko. Lagi-lagi berusaha tersenyum. Midorima membalas tatapannya. Tapi tidak tersenyum.

"Apa? Akashi sudah mengatakan padaku untuk tidak mengganggumu. Maka aku tak akan melanggarnya." Ujarnya seraya membenarkan letak kacamatannya. "Santai saja. Bak sampahnya ada di dekat pintu utama." Ucapnya melirik gelas Vanila Shake di genggaman Kuroko sebelum menghilang dibalik tirai yang sama dengan Akashi.

Kuroko mengerjap. Membenarkan perkataan Akashi yang mengatakan kalau Midorima tsundere. Tapi ia memang baik. Mungkin sama baiknya dengan Akashi. Perhatian Kuroko kembali teralihkan kepada kertas kosong di depannya. Tanpa berfikir, Kuroko segera mengambil pulpen dan menuliskan nomor Kaa-sannya disana.

Selesai.

Setengah lega. Paling tidak ia punya kesempatan untuk tidur nyenyak di atas kasur tanpa harus cemas memikirkan nasibnya malam ini. Kuroko menyandarkan punggungnya di Sofa. Mengedarkan pandangan ke ruangan besar bercat merah lembut. Sofa, Kursi dan dan meja di tertatap rapi dibawah lampu kristal besar yang menggantung kokoh. AC terpasang di atas jendela kaca. Meniupkan udara sejuk yang menyegarkan. Kuroko tak sadar Akashi sudah kembali ke ruang tamu.

"Tetsuya"

Kuroko menoleh. Mendapati sosok Akashi dalam balutan kaos hitam dan celana kain di atas lutut. Terlihat segar. Rambutnya basah. Habis keramas. Kuroko jadi ingat kalau ia belum mandi.

"Badanmu lengket? Pakai saja kamar mandi di kamarku."

Seakan bisa membaca fikiran, Akashi menyuruh Kuroko mengikutinya. Mengarahkan Si biru muda ke ruangan dibalik tirai pemisah. Kuroko menurut. Tak bertanya sedikitpun saat melihat lorong luas yang ia lintasi. Batu marmer bermotif kayu. Ia barusan mengira itu benar-benar kayu. Di dinding lorong ada dua pintu tertutup. Sepertinya salah satu dari pintu itu kamar Akashi. terbukti dengan langkah Akashi yang berhenti di pintu sisi kanan. Membukanya perlahan dan memasukinya. Kuroko masih setia mengikuti dalam diam.

Di dalam kamar Akashi catnya berwarna merah maroon. Nyaris gelap sebelum Akashi memasukinya, Kemudian Berubah terang benderang saat sensor elektronik mendeteksi keberadaan manusia. Kamar luas tanpa banyak perabot. Hanya ada jendela besar membentang hampir separuh 1 dinding persegi panjang di seberang pintu, Tirai Putih susu. Satu sofa di depan tv layar datar. Sebuah lemari tinggi dijadikan sekat antara ranjang king size berwarna putih dan pintu lain di dalam kamar. Akashi mendekati pintu itu dan membukanya perlahan. seperti yang Kuroko duga, isinya kamar mandi dan toilet.

"Mandilah Tetsuya. Pakai saja pakaian yang sudah kusediakan di atas ranjang nanti. Setelah itu bergabunglah denganku dan Shintarou di meja makan." Jelas Akashi mengintruksi. Remaja merah itu kemudian berlalu menuju pintu keluar. Menutup pintunya, meninggalkan Kuroko sendirian.

.

.

.

Pukul 11. 40 PM.

Kuroko memandangi langit-langit kamar gelisah. Sejak tadi usaha untuk jatuh ke alam bawah sadar tak kunjung membuahkan hasil. Tidur di atas ranjang king size milik salah satu kamar rumah Akashi bukannya tidak nyaman. Hanya saja ia belum terbiasa menginap. Sejak kecil Kuroko dibiasakan menolak ajakan menginap. Dimanapun. Bahkan di rumah Ogiwara yang merupakan teman dekat sekalipun. Kuroko tidak pernah diizinkan.

"Ck." menyerah, Pemilik orbs azure beranjak turun dari ranjang. Keluar pelan-pelan dari kamar untuk mengunjungi toilet. Tapi langkah miliknya tiba-tiba terhenti. Suara berisik di ruang tamu cukup menarik perhatian. Suara percakapan antar dua remaja pemilik rumah. Akashi dan Midorima sepertinya. Siapa lagi. Kuroko meneguk liur penasaran. Kaki kecil mengubah haluan, mengendap mendekati tirai pemisah berwarna keemasan. Mengintip, Kuroko dapat mengetahui kalau lampu ruang tamu dimatikan. Tapi ia masih dapat melihat dua pemuda yang ia kenal disana. Akashi sedang duduk di sofa, membelakanginya. Sementara Midorima duduk di sofa lain seberang Akashi. Remaja biru menahan nafas saat menyadari suasana tegang di ruangan itu.

"Kaa-san mengatakan aku harus membawamu." Ujar Midorima serius. Emerald miliknya menatap lekat kepada lawan bicara. Akashi bahkan tidak balas menatapnya.

"Aku tidak akan mati hanya karena tinggal di Kyoto sendirian. Bukannya kau sudah memastikan sendiri dengan datang ke sini tiap tahun, Shintarou."

Si rambut hijau berdecak kesal. "Jangan konyol Akashi. Aku bukannya sekali melihatmu dalam kondisi 'itu'. Kau tidak aman dibiarkan sendirian."

"Sudahlah. Aku bisa tangani semuanya. Jangan menyinggung masalah 'itu'. Shintarou, kau harusnya tau kalau aku selalu benar."

Rambut hijau mendengus tidak setuju. "Tidak. kau harus tetap ikut. Besok lusa kita akan pindah"

Akashi-kun, pindah?

"Kenapa buru-buru? Aku yang akan tentukan keputusannya, Shintarou. Selain itu.." Kepala merah ditolehkan ke belakang. " Tetsuya. Kalau ingin ke toilet, kau sudah tau jalannya kan?"

Sial! Ketahuan.

Meski berat hati, Kuroko terpaksa keluar dari persembunyian. Midorima tampat kaget. Akashi menyeringai.

"Kau menguping?" Tanya pemilik orbs emerald, nekomimi di tangannya digenggam geram.

"Eng.." Kuroko menggaruk pipi canggung. Tau kali ini dia bersalah. Tapi tetap ingin membela diri. "Aku tidak berniat seperti itu."

Ambigu, tapi jujur, Midorima jelas tak percaya.

"Lalu apa yang baru saja kau lakukan, Tetsuya?" Tanya Akashi, kalem.

"Mau.. Pinjam ponsel" Serius, Kuroko hanya mengatakan yang terlintas difikirannya.

"P-ponsel?"

Dibalas anggukan oleh kepala biru.

".. Tetsuya. Sudah kukatakan aku akan memberikannya padamu besok pagi." Tangan Akashi mengode Kuroko untuk duduk disebelahnya. Kuroko menurut.

"Ponselmu memangnya kemana, Kuroko?" Midorima menaikkan kacamatanya menggunakan jari tengah. "Aku tanya bukan karena peduli"

Akashi mencibir, dasar tsundere.

".. Tertinggal di bus. Aku ditinggal rombongan pariwisata sekolah."

Alis hijau naik sebelah. "Ditinggal?"

Kuroko mengangguk. Midorima gagal paham. Tapi terlalu gengsi untuk bertanya.

"Tetsuya, aku akan mengantarmu ke stasiun besok sore. Bagaimana?

Mengalihkan pandangan ke pemilik iris kucing disebelahnya, Kuroko tak langsung memberikan jawaban. Percakapan Midorima dan Akashi barusan masih terngiang difikiran. Entah mengapa Kuroko penasaran. Ingin bertanya, tapi takut dikira lancang.

"Tidak perlu, Aku hanya butuh ponsel untuk menghubungi kaa-san. Tou-san akan menjemputku. Aku sudah banyak merepotkan Akashi-kun." kata Kuroko akhirnya, menolak halus sekaligus menunda niat ingin bertanya.

"Kalau ponsel-"

"Shintarou kau mengambil kereta pagi, kan? Kau harus tidur kalau begitu. Besok ku antar ke stasiun pagi-pagi."

Kentara menutupi, Midorima paham betul arti tatapan 'jangan ikut campur' milik Akashi Seijuurou barusan. Kepala hijau dianggukan sebelum beranjak dari kursi.

"Aku tidur duluan." Ujarnya sebelum berlalu ke balik tirai. Akashi mengangguk. Kuroko hanya mengerjap bingung, mengarahkan pandangan ke tirai yang kembali menutup. Tak mengerti dengan perubahan tingkah Midorima barusan.

"Tetsuya, kau juga harus tidur."

Kuroko mengalihkan pandangan ke Akashi. "Aku tidak bisa tidur Akashi-kun"

"Hm? Kenapa?"

"Tidak tau. Ini kali pertamaku menginap dirumah orang lain. Rasanya aneh."

Ditanggapi dendengus geli. "Pantas saja."

"Pantas apanya?"

"Tidak apa-apa."

Akashi kembali meluruskan pandangan diikuti Kuroko. Si kepala merah menyandarkan diri di sofa. Matanya dipejamkan. Hening selanjutnya. Kuroko bergulat dalam fikirannya sendiri. Terlalu penasaran dengan kalimat 'itu' yang diucapkan Akashi dan Midorima di tengah percakapan mereka. Menyerah, remaja biru kembali menolehkan kepala perlahan.

"Akashi-kun"

"Hm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

".. Tanya apa?"

Mata delima membuka perlahan, reaksi Akashi barusan ragu-ragu. Kuroko sadar. Tapi ia sudah terlalu penasaran.

"Kondisi 'itu'. Maksudnya apa?"

Hening seketika sebelum dengusan geli pecah. Akashi mengacak rambut Kuroko gemas. "Kau menguping. Dasar nakal."

"Gomen."

"Kumaafkan, tapi dengan satu syarat."

"Apa?"

"Jangan pernah menanyakan hal itu lagi setelah ini. Denganku, ataupun Shintarou." Akashi mengatakannya sambil tersenyum. Kuroko tau ia sedang menyembunyikan sesuatu. Dua Iris berbeda warna saling bertatapan. Kuroko paham ia harus berhenti mencari tau. Tapi sesuatu di dalam hatinya berfirasat buruk tentang senyum Akashi barusan.

"Dan kalau kulanggar?"

Terdiam sebentar, Akashi mengalihkan pandangannya seraya menutup wajah dengan punggung tangan.

"Kau tidak akan pernah mendapat jawaban, Tetsuya." Jawab Akashi. Tangannya bergerak menarik kepala Kuroko bersandar di bahunya. "Berhenti bertanya. Sekarang tidurlah, besok aku harus bangun pagi"

Yang Kuroko tidak mengerti, setiap perkataan Akashi, setiap perintah yang diperdengarkan remaja merah yang diperuntukkan untuknya, Kuroko tak pernah bisa menolak. Seperti kali ini. Mata biru yang bahkan tidak menurut ketika ia-sebagai pemiliknya- memerintahkan untuk tertidur, tapi ketika yang memberi perintah Akashi, Kuroko dengan mudahnya memejamkan mata. Melenyapkan segala kegelisahan yang mengganggunya. Rangkulan Akashi begitu nyaman. Mengantarnya ke alam mimpi semudah mengedipkan mata. Kuroko tidak menampik.

Dua remaja berbeda warna jatuh tertidur bersisian di sofa.

.

.

.

"Engh.."

Pemilik helaian biru cerah menggeliat dalam tidur. Sinar hangat matahari pagi membuat kulit palenya berubah kemerahan. Orbs sewarna langit perlahan muncul di balik kelopak pucat. Sudah pagi. Kuroko menyadari jam menunjukkan pukul 7 di dinding ruangan.

"Hm?" Selimut tebal berwarna putih membalut kaki sampai pinggang. Kuroko ingat pernah melihat selimut ini di kamar Akashi. Fikirannya langsung teringat dengan kejadian malam tadi. Ia dan Akashi tertidur disini. Oh.. Kuroko mengangguk. Tubuh miliknya dibawa beranjak pelan-pelan. Rumah terlihat sepi. Seperti tak ada penghuni. Kalau tidak salah Akashi bilang akan mengantar Midorima ke stasiun pagi ini.

Mengedarkan pandangan, perhatian Kuroko tersedot oleh gadget kecil di atas meja dekat sofa yang ia duduki. Ponsel Akashi. Kuroko segera meraihnya. Agak kaget saat menemukan notes kecil di bawah ponsel merah tadi.

'Tetsuya. Ini ponselku. Kau boleh meminjamnya. Tapi pulsanya sedang habis. Jadi tidak bisa digunakan untuk menelpon. Akan kubeli pulsa setelah pulang mengantar Midorima. Cepat mandi dan sarapan kalau kau sudah bangun. Seijuurou'

Ctes! Urat kesal muncul di pelipis si biru muda.

"Kalau begitu buat apa Akashi-kun meninggalkan ponselnya disini!"

.

.

.

'Tetsuya. Kita akan makan siang diluar. 10 menit lagi kujemput. Pakai bajuku dilemari.'

Pesan dengan nada perintah, flip ponsel ditutup. Kuroko yakin ia tak diizinkan untuk membantah. Remaja biru itu memilih menurut saja. Ia memasuki kamar Akashi, mengobrak abrik isi lemari sampai menemukan sebuah kemeja biru dan celana jeans panjang. Kaos merah polos tak luput dari pillihan. Kuroko mengenakan semuanya dan memeriksa nya di depan kaca lemari.

Bersiap keluar untuk menunggu jemputan, perhatian Kuroko malah tertuju kepada sesuatu di bawah bantal Akashi. Orbs biru mudanya berkilat penuh penasaran. Ragu-ragu untuk memeriksa. Tapi ingin tau adalah sifat alami yang tak bisa ia bendung sejak kecil. Kuroko menyerah untuk melawan sifatnya satu itu. beralibi bahwa saat ini Akashi tak ada di dalam rumah. Kuroko mendekati ranjang, menyingkirkan bantal panjang yang menindih sesuatu.

"Foto?" Alis ditautkan heran. Sebuah foto keluarga sepertinya. Tapi robek dikedua sisi. Bayi berambut merah yang satu-satunya jelas terlihat di gendong dalam pelukan seseorang. Wajah lain selain bayi dirobek. Kuroko yakin si bayi rambut merah adalah Akashi. Tapi jika ini foto keluarga, kenapa wajah selain bayi yang ada di foto dirobek?

Siapa mereka ini?

"Tetsuya?"

Kaget, Kuroko spontan menyimpan foto ke dalam saku kemeja. Kemudian berbalik kikuk menampilkan ekspresi super flatnya kepada seseorang dibelakangnya. Akashi Seijuurou memandanginya heran.

"Kau sedang apa?"

"Memakai baju." Mengangkat bahu, Kuroko mencoba meyakinkan. "Apa boleh kupinjam kemeja ini, Akashi-kun?"

Akashi terkekeh. "Tentu. Kubilang pilih yang mana saja, kan? Kalau begitu ayo pergi."

Membiarkan Akashi berbalik, Kuroko menaruh foto kembali di bawah bantal. "Ya, Ayo."

Entah sejak kapan, rasanya hanya dengan menatap punggung remaja merah didepannya dan berjalan dibelakangnya bisa jadi sangat menyenangkan bagi Kuroko. Akashi Seijuurou tidak seperti remaja 13 tahun biasanya. Ia lebih dewasa dari kelihatannya. Kuroko tidak menampik. Aura yang dikeluarkan pemilik orbs delima ini bukan main-main. Rahasia yang ia simpan bukannya sedikit, sepertinya. Kuroko tergiur untuk mencari tau. Tapi sadar bukan tempatnya untuk penasaran. Lagi pula mereka akan berpisah kurang dari 24 jam lagi.

Pintu mobil dibuka oleh Akashi, perlakuan khusus yang Kuroko penasaran apa dilakukannya juga kepada Midorima. Akashi lagi-lagi mengemudi disebelahnya. Menyalakan mobil dan menyetir selihai orang dewasa.

"Mau makan di mana?" Tanyanya tiba-tiba. Kuroko terkesiap dari lamunan.

"Maji Burger?" Jawaban spontan.

Akashi menggeleng. "Tidak boleh. Tidak sehat."

"Kalau begitu terserah Akashi-kun saja."

Si rambut merah tampak berfikir. "Restoran Perancis? Atau Itali?"

"Restoran Jepang."

"Itu tidak ada dalam pilihan Tetsuya."

"Tapi di Restoran Perancis tidak ada Udon"

"Kau mau makan Udon?"

Kuroko mengangguk. "Mau"

"Yasudah. Ke Restoran Jepang."

Pedal gas diinjak, kecepatan meningkat. Kuroko menahan nafas.

Mengemudi di kecepatan seperti ini, Kuroko tidak pernah mengizinkan ayahnya melakukannya. Mobil sedan yang biasa dikendarai Tou-san biasa kecepatannya kurang dari 100. Tapi Akashi malah enteng mengemudi di atas tiga digit angka itu.

"Akashi-kun."

"Hm?"

"Pelankan mobilnya. Akashi-kun terlalu cepat."

"Kau memerintahku, Tetsuya?"

"Bukan begitu. Tapi disana ada lampu merah."

"Polisi tidak akan bisa menghentikanku."

"Tapi tiang lampu merah bisa."

".. Itu beda ceritanya."

Kuroko mendengus. Akashi menyeringai.

Suasana berubah hening sampai Akashi memarkirkan mobil disebuah restoran Jepang yang lumayan sepi. Akashi menoleh ke Kuroko, ragu-ragu turun. Merasa dipandangi, Kuroko menoleh.

"Ada apa Akashi-kun?"

"Restorannya sepi"

Kuroko memicingkan matanya ke tulisan di pintu masuk. "Tapi tulisannya disitu sudah buka, Akashi-kun."

"Bukan begitu maksudku." Mendengus, Akashi menghalangi Kuroko yang berusaha keluar dari pintu mobil. "Bisa saja makanannya kurang enak. Kita ke restoran lain saja, bagaimana?"

Dibalas gelengan. "Tidak mau. Aku lebih suka sepi begini, Akashi-kun."

"Hm. Keras Kepala."

Akashi menyerah. Membuka kunci pintu mobil yang tadi di aktifkannya. Dua remaja turun dari sana. Berjalan bersisian ke pintu masuk restoran. Saat masuk kedalam seorang pelayan menghampiri mereka.

"Selamat datang" Sambut pelayan itu sopan, senyum khas bisnis yang menipu pelanggan. Akashi menghela nafas dalam hati. "Maafkan atas ketidak nyamanan anda. Tapi seluruh meja disini sudah dipesan kecuali ruangan VIP di lantai 2."

Alis merah bertaut. "Dipesan?" Bukannya restoran ini sepi karena makanannya tidak enak? Batin Akashi tak terima.

"Benar. Ada perayaan ulang tahun sore ini. Jadi kami menyiapkan segala sesuatunya dari sekarang. Hanya satu meja lantai atas yang tersisa."

Akashi berdehem canggung, Kuroko menahan senyum dibelakangnya.

"K-kalau begitu kami pesan meja itu"

"Baiklah. Ikuti saya."

Pelayan berbalik, Akashi dan Kuroko berjalan mengikuti dibelakang. Si biru muda mendekati Akashi ditengah tawa kecilnya yang pecah. Suara tawa Kuroko indah, Akashi mengakui diam-diam.

"Akashi-kun, kau sudah suuzon."

"Diam Tetsuya."

.

.

.

"Sudah kubilang makanan di sana tidak enak. " Minyak angin di sapuhkan berkali-kali di punggung. Kuroko menghadapi lubang toilet dengan wajah pucat. "Aku selalu benar Tetsuya."

Akashi berdiri dibelakang Kuroko, mengurut pelan punggung telanjang remaja biru di depannya. Tak jijik meski Kuroko muntah berkali-kali. Orbs biru muda menoleh lemah. Melirik Akashi dari ekor mata.

"Akashi-kun, aku tidak apa-apa. Tinggalkan saja aku sendiri. Jangan membuat dirimu tidak nyaman."

Dibalas gelengan sekali. "jangan memerintahku. Selesaikan saja acara muntahmu dulu."

"A-aku sudah selesai Ugh-"Bohong. Yang selanjutnya terdengar suara putaran air di lubang toilet. Akashi memutar bola mata.

"Kubilang aku selalu benar, Tetsuya."

Selepas pulang dari restoran Jepang, Kuroko mengeluh kepalanya pusing dan perutnya mual. Ia bahkan tidak menghabiskan Udonnya saat itu. Dan Akashi cukup cerdas untuk menyadari gelagat aneh Kuroko sesaat sebelum ia berakhir di toilet seperti ini. Mereka singgah ke apotik. Membeli obat pereda mual dan vitamin. Dan benar saja, sesampainya dirumah Kuroko langsung berlari menghambur ke toilet. Mengeluarkan isi perutnya sampai terbungkuk-bungkuk. Akashi geleng-geleng. Mengutuki diri sendiri karena tidak menuruti firasat absolutnya tadi siang dan lebih memilih terpancing dengan ledekan bocah ringkih yang sekarang terbaring lemah di ranjang kamarnya.

"Akashi-kun. Aku mau pinjam telepon" Pukul 5 sore. Dan Akashi sama sekali belum mengizinkannya menyentuh ponsel yang –mungkin- sudah terisi pulsanya.

"Tidak boleh. Kepalamu bisa pusing lagi, Tetsuya. Kau harus istirahat. Kepulanganmu kita tunda jadi besok pagi. Kita pesan tiket langsung besok" Murni khawatir. Akashi meletakkan kompres dingin di dahi Kuroko. Rasanya sejuk. Kuroko tidak membantah.

"Akashi-kun"

"Hm?"

"Boleh aku tanya sesuatu?"

Tidak langsung menjawab, Akashi menatap lekat kepada iris biru muda yang tak lama ini familiar di pandangannya. Terlihat datar, tenang, tapi memiliki cahaya serupa langit musim panas. Rasa ingin tau terpancar dari orbs bulat sewarna batu azure. Akashi tidak tau mengapa ia merasa tak boleh memandangi bola mata itu lebih lama lagi.

"Boleh, tapi kau harus pejamkan matamu Tetsuya"

"Kenapa?"

"Kau harus tidur. Habis bertanya langsung tidur"

Asalkan keinginannya terpenuhi, Kuroko menurut. Kedua matanya dipejamkan perlahan. Akashi merapikan poni birunya dengan gerakan lembut.

"Kenapa Akashi-kun tinggal sendirian?"

"Karena aku sendirian Tetsuya."

"Kemana Midorima-kun akan membawa Akashi-kun?"

".. Aku tidak akan kemana-mana Tetsuya"

"Kenapa Akashi-kun tidak mau tinggal dengan Midorima-kun?"

"Rumahku disini, di Kyoto."

"Dimana orang tua Akashi-kun?"

Pertanyaan terakhir membuat gerakan merapikan poni terhenti sejenak. Kuroko berusaha tak membuka mata untuk mengetahui reaksi Akashi saat itu. Tak lama. Gerakan Akashi kembali berlanjut. Tapi kali ini pipinya yang di elus.

"Mereka sudah tidak ada."

Jawaban Final. Kuroko tau ia harus berhenti bertanya.

"Maaf"

Suara kekehan pelan. "Kenapa minta maaf? Bukan salahmu. Sekarang tidurlah Tetsuya. Kita harus bangun pagi besok."

"Akashi-kun tidur dimana?"

"Hm? Ini kamarku. Tentu saja aku tidur disini"

Kuroko tidak mengerti debaran apa yang muncul di dadanya kali ini.

"Tetsuya? Kau sudah tidur?" Belum. Kuroko hanya pura-pura tertidur. Membunyikan dengkuran kecil dari bibir tipis. Mengira si merah mudah ditipu. Yah kadang mudah bagi Kuroko.

"Oyasumi" Bisikan lembut terakhir hari itu. Tapi Kuroko tidak mendengar ranjang berderit disebelahnya. Kuroko tau Akashi tidak tidur disebelahnya.

.

.

.

Pagi di stasiun. Kuroko menguap untuk ke sekian kalinya. Pakaian yang ia kenakan tak lain adalah pakaian saat ia bertemu Akashi pertama kali. Saat sarapan, Kuroko bertanya apakah ia boleh meminjam ponsel Akashi untuk mengabari orang tuanya. Tapi Akashi bilang Kuroko harus menceritakan secara langsung ketimbang berbicara di telepon. Kuroko setuju.

Waktu menunjukan pukul 6. 30 pagi. Akashi berdiri disebelahnya memandangi tiket yang ia pesan sendiri.

"Akashi-kun? Ada apa?"

Kepala merah menggeleng. "Tidak, tidak apa-apa." Tiket diserahkan kepada Kuroko. "Simpan ini"

"Tiketnya cuma satu."

"Aku hanya mengantarmu Tetsuya. Uang sudah kumasukkan di dalam kantong jeansmu." Helaian biru langitnya diacak oleh Akashi. Kuroko tidak tau jika itu sudah menjadi hoby baru si pemilik Orbs delima.

Mengangguk, Kuroko sedikit kecewa dengan jawaban Akashi. Remaja merah itu mengalihkan pandangannya kepada Kereta yang datang tiba-tiba. Kuroko ikut menoleh. Lagi-lagi kecewa karena setuju memesan kereta pagi.

"Tetsuya keretamu datang."

"Aku tau." Tapi kakinya bahkan tidak bergeming meski pintu kereta sudah dibuka. Akashi memandangi bingung.

"Tetsuya, Ada apa?"

Kedua iris berbeda warna bertemu. Perasaan tawar yang dulu Kuroko rasakan saat pertama kali melihat iris kucing didepannya berubah entah karena apa.

"Apa.. Kita akan bertemu lagi?"

Diucapkan lambat-lambat. Kuroko tau pipinya sedang merona. Reaksi Akashi didepannya hanya tertegun. Sebelum seulas senyum lembut tersungging menghiasi wajah tampannya.

"Aku tidak tau." Entah jawaban jujur, atau bohong. Kuroko tidak tau. Yang jelas ia kecewa untuk ketiga kalinya hari ini. Kepala biru menunduk. "Kalau begitu aku akan transfer uangnya ke rekening Akashi-kun. Aku minta nomor rek-"

"Itu tidak perlu" Diinterupsi. Akashi menolak, Kuroko protes.

"Aku akan kirim melalui kantor pos kalau begitu."

"Tetsuya-"

"Sayonara, Akashi-kun"

Sebenarnya Kuroko tidak ingin berbalik duluan. Tidak ingin mengatakan salam perpisahan duluan. Tapi ia tidak ingin menerima penolakan lagi. Lagipula mereka hanya bertemu untuk waktu yang singkat. Kuroko tidak percaya dengan ide jatuh cinta atau apapun itu. Kali ini ia hanya ingin pulang dan menemui orang tuanya. Meminta maaf. Mentransfer uang dan beberapa ucapan terimakasih.

Lalu melupakan kenangan musim panas singkat tahun ini.

Kuroko memasuki pintu kereta, duduk di kursi dekat jendela. Berusaha mati-matian untuk tidak melihat kebelakang.

Saat pintu kereta ditutup dan suara pemberitahuan Kereta diperdengarkan, Kuroko tau ia tak bisa menahan diri. Kepala biru menoleh cepat. Mencari sosok merah yang tadi tak menjawab kata perpisahan.

Akashi Seijuurou masih berdiri ditempatnya. Tersenyum. Melambai singkat. Lalu berbalik saat kereta berjalan.

Ah.. sudah berakhir.

Selamat tinggal Kyoto.

Sebentar lagi ia akan mendaftar di salah satu SMA Tokyo.

Mendapatkan teman-teman baru yang 'mungkin' dapat menyadari hawa keberadaannya lebih baik daripada teman-teman saat SMP.

Ia juga akan mendapatkan kenangan baru.

Lalu kenangan hari ini akan ia lupakan.

Kuroko tersenyum getir. Menertawakan fikirannya sendiri.

"Tadaima."

Derap langkah dari lantai dua, Kuroko tau itu ibunya.

"Tetsuya-kun!" Wanita dewasa berambut biru muda seperti dirinya, Kuroko tersenyum kala wanita itu menerjangnya untuk sebuah pelukan.

"Okaeri." bisik ibunya pelan. Ayah Kuroko turun tak lama setelah itu. menyunggingkan senyum selamat datang yang tak kalah hangat.

Tapi Kuroko heran. "Kaa-san tidak ingin tau apa yang terjadi denganku?" Tanyanya seraya meletakan sepatu di rak dekat pintu.

"Hm? Akashi-kun bilang kau menginap di tempatnya. Dia memberitahu Kaa-san tepat saat Kaa-san memutuskan untuk melaporkan pihak sekolah ke polisi."

Tubuh Kuroko membeku. Tak bereaksi saat ibunya merangkul dirinya penuh sayang.

"Akashi-kun.. Menelpon ibu?"

"Iya. Ibu fikir tak ada salahnya kau menginap karena umurmu sudah besar. Kau tidak pernah memberi tau Kaa-san punya teman di kota Kyoto, Tetsuya-kun"

Memang tidak. Aku memang tidak punya teman di Kyoto, Kaa-san.

Akashi-kun bukan temanku.

"Kaa-san. Apa Kaa-san masih menyimpan nomor Akashi-kun?"

"Ada kok." Ponsel dikeluarkan dari saku baju, Ibu Kuroko memberikan kontak bernama Akashi yang ia simpan. Kuroko menyambutnya cepat. Menekan tombol hijau dengan hati berdebar debar.

'nomor yang anda tujui sedang tidak aktif.'

"Nomornya, tidak bisa dihubungi" gumam Kuroko lemah.

"Eh benarkah?" Ponsel direbut dari tangan. Ibu Kuroko mencoba menghubungi lagi. tapi hasil tetap sama. Nomor Akashi tidak aktif.

Akashi –kun.

Akulah yang meninggalkanmu.

Membalikkan badan darimu duluan.

Mengucapkan selamat tinggal padamu duluan.

Berniat menghapus dirimu dari hidupku duluan.

Tapi kenapa malah kau yang pergi duluan?

Memutuskan untuk menghilang bahkan sebelum aku sempat mengucapkan terimakasih padamu.

Setitik cairan hangat menetes di atas lantai kayu.

"Tetsuya-kun? Kenapa menangis"

Ah, Kuroko baru tau. Yang namanya perpisahan sepihak rasanya bisa semenyakitkan ini.

Continued..

Selesai buat part 1.

Resca balik lagi dengan ff bergenre romance buat Akakuro Shippers.

Kali ini MultiChap.

Resca usahain update secepat mungkin.

Jalan ceritanya udah Resca rangkum kok. Tinggal diketik.

Sedikit penjelasan buat Fict kali ini.

Judulnya Natsu Ni Hanashi O Nisshoku. Atau kalau di translate ke bahasa Indo berarti 'Sebuah Cerita Tentang Gerhana di Musim Panas'.

Cerita ini bukannya nyeritain tentang gerhana beneran.

Tapi gerhana adalah gambaran sosok Akashi di mata Kuroko.

Harusnya Akashi sebuah Matahari yang menyilaukan. Tapi malah tertutup Bulan (rahasia dan masalah pribadi) sampai akhirnya kehilangan cahaya aslinya.

Cerita ini nantinya ngambil dari sudut pandang Kuroko. Meski kadang bisa berubah ke sudut pandang Akashi. Hehe.

Rencana Resca ini Fictnya dijadiin 10 chapter.

Semoga bisa selesai sebelum akhir tahun ya. Amin.

Soalnya Resca sambil kuliah nyelesainnya.

Semoga kalian suka!

Review please.

Saran dan kritik kalian sangat Resca perhatiin, sebagai pelajaran buat bikin chapter selanjutnya.

Review akan Resca balas di chapter selanjutnya.

Terimakasih sudah membaca.

Salam Author.