Prolog fanfic ini ditulis untuk mengikuti Challenge Valentine di HPI setahun lalu. Setelah mendekam beberapa lama di compie, tertarik untuk menulis kelanjutannya. Sempat terhenti di tengah jalan dan berniat untuk tidak melanjutkan lagi, tapi terpaksa dilanjutkan karena bujukan maut teman (melirik sadis ke arah MzPadfoot). Maaf kalo agak aneh.
Untuk MzPadfoot/MzBlack/Anne, inspirator cerita ini…
Pairing : Oliver Wood-OC
Disclaimer : Harry Potter milik JK Rowling, dan saya bukan JK Rowling. Berani tes DNA!!
IN THE RAINY DAY
By MzMoony aka Iputz
Prologue
Hari itu, tanggal 14 Februari. Aku tidak begitu yakin apa yang kurasakan di hari yang dianggap istimewa itu, paling tidak itu anggapan sebagian besar kawan-kawanku di Hogwarts. Tapi yang pasti hari itu akan menjadi kenangan yang tidak terlupakan bagiku…
Hari itu bertepatan dengan akhir pekan Hogsmeade. Udara di luar cukup dingin dan hujan turun rintik-rintik. Aku berjalan sendirian menyusuri jalan setapak menuju Hogsmeade. Semua temanku di Ravenclaw pergi dengan pasangan masing-masing, hanya aku sendiri yang tidak punya kencan. Aku agak iri pada mereka, sedih juga pergi sendirian, apalagi dimana-mana anak-anak tampak berpasang-pasangan. Tapi tak ada gunanya mengeluh kan?
Sebenarnya ada satu pemuda yang sudah lama kusukai. Dan hari ini aku bermaksud menyatakan isi hatiku. Tapi karena aku tak punya keberanian untuk itu, maka aku memutuskan untuk memberinya sesuatu. Mungkin sekotak cokelat yang manis, semanis perasaanku padanya.
Hujan turun semakin deras dan udara menjadi lebih dingin dari sebelumnya. Aku memegangi payungku lebih erat supaya tidak terbawa angin, sementara kakiku membawaku ke toko permen Honeydukes.
Toko itu penuh dengan anak-anak yang sibuk memilih-milih permen. Aku beringsut mendekati rak yang memajang aneka jenis cokelat. Mulai dari cokelat kuali biasa, sampai bongkahan cokelat yang luar biasa besar. Mereka juga menjual cokelat-cokelat edisi khusus valentine yang lucu-lucu, ada cokelat yang sudah diberi ramuan cinta segala.
Setelah beberapa lama memilih, akhirnya aku memutuskan untuk membeli sekotak cokelat kuali aroma mint. Penyihir perempuan muda yang menjaga toko membungkusnya dengan kertas kado berwarna pink lembut dan menghiasnya dengan pita putih ketika aku ke konter untuk membayar cokelat itu.
"Terimakasih," ucapku seraya mengangsurkan beberapa keping uang perak padanya.
"Beruntung sekali pemuda yang menerima cokelat itu," ujar si penjaga toko sambil tersenyum padaku.
Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana, jadi aku hanya membalas tersenyum sebelum pergi. Aku memasukkan cokelatku dengan aman di balik mantelku dan melangkah keluar toko.
Kupikir sebaiknya aku kembali ke kastil saja. Tidak ada lagi yang bisa kulakukan di Hogsmeade, lagipula aku sedang sedikit flu. Aku lupa mampir ke rumah sakit untuk meminta ramuan merica mujarab pada Madam Pomfrey sebelum pergi tadi. Aku mengambil payungku dan sekali lagi melangkah menembus hujan.
Aku sedikit tergoda untuk mampir ke the Three Broomsticks ketika lewat di depan rumah minum itu. Minum secangkir Butterbeer panas berbuih yang lezat pasti akan menghangatkan badan. Tapi tampaknya rumah minum itu juga penuh sesak. Mungkin sudah tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa. Lagipula aku sudah malas berdesak-desakan lagi. Apalagi ada kemungkin aku bertemu teman-temanku yang sedang berkencan di sana. Pasti akan sangat tidak enak kalau mereka mengajakku bergabung. Maka aku melanjutkan perjalananku kembali ke kastil.
Aku mulai mencemaskan apa yang akan kulakukan dengan cokelat yang kubeli tadi. Apa aku punya cukup keberanian untuk menyerahkannya langsung pada pemuda yang kusukai? Atau aku akan menitipkannya pada anak yang seasrama dengannya? Apa aku harus menyertakan surat? Tapi apa yang harus kutulis? Bagaimana kalau dia ternyata sudah punya cewek?
Serombongan anak sedang berteduh di depan sebuah toko kecil. Tiba-tiba seorang anak laki-laki berlari ke arahku sambil melindungi kepalanya dengan tangan dari hujan.
"Maaf, boleh aku ikut sampai ke kastil?" tanyanya agak terengah ketika sudah berada dalam naungan payungku.
Aku menoleh. Jantungku serasa melompat ke leher ketika melihat wajahnya. Oliver Wood! Pemuda yang selama ini memenuhi pikiranku tiba-tiba muncul begitu saja di depanku! Ini seperti mimpi! Dia jangkung dan gagah. Tak kupungkiri kalau profilnya sudah membuatku begitu terpesona. Sesaat aku hanya bisa ternganga tak percaya menatapnya.
"Haloo…" Oliver berkata seraya melambai-lambaikan tangannya di depan wajahku. Aku terkesiap. Rupanya dia sedang menungu jawabanku.
"Oh, yeah… b-boleh s-saja," gagapku.
Oliver tersenyum hangat, benar-benar membuatku salah tingkah. Aku bisa merasakan wajahku merah padam.
Kami mulai berjalan bersama-sama menuju kastil. Aku sedikit menaikkan payungku supaya dia tidak perlu menunduk.
Oh, aku benar-benar merasa bodoh. Seharusnya momen itu bisa menjadi kesempatanku yang paling bagus untuk mengutarakan perasaanku. Padahal aku sering membayangkannya, mereka-reka apa yang akan kukatakan padanya kalau dia muncul dihadapanku. Tapi sekarang otakku serasa kosong, aku tak tahu harus berkata atau berbuat apa.
Kami berjalan dalam diam. Oliver bersenandung kecil di sampingku. Aku bisa merasakan dadaku berdebar-debar tak karuan. Andai saja dia tahu perasaanku, apa dia mau berpayung berdua denganku seperti ini? Aku bertanya-tanya dalam hati.
Tidak terasa kami sudah sampai di gerbang kastil. Sementara aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri, membayangkan bagaimana reaksi teman-temanku kalau melihatku berduaan dengan Oliver Wood, keeper sekaligus kapten tim Quidditch Gryffindor yang tampan.
"Nah, sudah sampai," kata Oliver membuyarkan lamunanku ketika kami sudah di Aula Depan. "Terimakasih ya…" dia menepuk pundakku pelan sebelum pergi.
Selama beberapa waktu aku terus berdiri di sana, menatap punggungnya. Tiba-tiba seperti ada orang yang memukul kepalaku dengan gada troll, aku tersentak. Aku buru-buru merogoh ke dalam mantelku dan mengeluarkan kotak cokelatku. Cokelat yang seharusnya kuberikan padanya. Tapi dia sudah keburu menghilang ke Aula Besar.
Aku berdiri saja di sana, hampa, menyesal, dengan bungkusan pink berpita putih itu masih tergenggam di tanganku. Aku menyadari kalau aku baru saja melewatkan kesempatanku…
"Bodohnya aku…" gerutuku menyesali diri. Seharusnya ini bisa menjadi Valentine yang sempurna untukku. Kalau saja aku sedikit lebih berani…
