Halo, minna 8'D bertemu lagi dengan saya di fandom ini. Jadi, apa kabar kalian semua? Saya... bener-bener kangen ternyata sama Miku, Kaito, Rin, Len, dll :') #halahlebaylu #digorokmassa.

Ehem, biar saya bahas sedikit mengenai fic multi-chap yang bakal saya angkat menjadi karya yang ke-23 ini :) . Jadi, saya membuat fic ini berdasarkan cerita dari komik 'Thorny Rules' (judul yang sama dengan fic ini) karya Yuki Yukimura. Dan jujur, itu serial cantik paling oke yang pernah saya baca :') cinta itu memang seharusnya nggak mandang status... #dor.

n.b : saya nggak mengganti nama belakang para tokoh (walau berlatar di Inggris, takutnya ada yang protes aja kenapa namanya tetep nama Jepang), karena takut melanggar hak cipta :) jadi, nikmati saja fic ini selagi hangat(?)

Sip. Enjoy, minna!


Thorny Rules

a VOCALOID FANFIC

By : EcrivainHachan24

Desclaimer by : Yamaha Crypton Future Media

Rate : T

Kaito x Miku

WARNING!

Shoujo, berlatar di abad pertengahan Inggris, abal, fluff gagal, nama tetap, etc

DON'T LIKE, DON'T READ!

1 of 8

.

.

.

.

.

Di puri ini tinggal seorang iblis.

"Ssst! Tuan Lucifer datang!" salah seorang maid berambut honey blond berbisik setengah panik kepada para maid lain yang sedang sibuk menyikat, menyapu, dan membersihkan ruangan besar yang lebih mirip ruang tamu itu. Ruangan berukuran sangat besar itu harus dibersihkan beberapa orang maid sekaligus agar pekerjaan mereka lebih cepat.

"Cepat menghadap ke belakang!" seru salah seorang maid lainnya yang berambut merah ikan dikuncir dua bernama Teto Kasane dengan sama paniknya. Kontan enam maid yang ada di ruangan itu segera membalikan badan mereka menghadap ke tembok saat suara langkah kaki 'Tuan Lucifer' semakin nyata dan mendekat. Tanpa suara, mereka menundukan wajah—menunggu langkah kaki majikan mereka itu menjauh dan pergi bersama aura hitam yang menyeramkan menguar dari tubuhnya.

Puri ini memiliki peraturan yang tak lazim; para maid, footman, tukang kebun, dan koki dilarang bertatap mata dengan majikan puri. Para pelayan harus memberi jalan dan menghadap ke tembok sebagai penghormatan.

Itulah peraturannya.

"Huaah, seramnyaa!" seru seorang maid berambut hijau toska panjang dikuncir dua sambil mengurut dadanya; berusaha menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan saking ketakutannya ia mendengar suara langkah majikannya tadi. "Habis Tuan Lucifer datang mendadak!" desahnya lagi.

"Kamu nggak dengar langkah kakinya, apa?" maid berambut honey blond pendek yang diketahui bernama Rin Kagamine itu juga masih berwajah tegang. Dia bergidik sebentar. "Katanya, kita bakal dibunuh kalau bertatap mata!" ujarnya mendramatisir.

"Iya, benar!" maid berambut keperakan ikut mengamini perkataan Rin. "Padahal kita sudah bekerja lebih dari setngah tahun di puri ini. Tapi masih belum terbiasa, ya… iya 'kan Miku?" sikut maid berambut keperakan bernama Haku Yowane itu. Miku Hatsune, si gadis maid berambut hijau toska itu mengangguk penuh persetujuan pada rekan-rekannya yang lain. "Ya, benar!"

Majikan mereka adalah 'Tuan Lucifer'. Sebelum kau bertanya, tentu saja itu bukanlah nama aslinya. Itu hanya julukan yang diberikan kepadanya; yah, karena menurut gosip, dia seram. Seperti apa kata para maid tadi. Belum lagi, rumor-rumor yang beredar bahwa sebenarnya 'Tuan Lucifer' ini adalah jelmaan iblis karena aura hitamnya yang pekat. Tetapi, nama sebenarnya adalah Count Kaito Shion, dia orang yang memerintah wilayah Inggris bagian tengah tersebut.

Selain itu, ia dijuluki 'Tuan Lucifer' adalah karena puri yang didiaminya ini nampak angker.

"Tapi…," Rin Kagamine kembali menuturkan perkataannya sambil merapikan kulit sofa yang bisa memuat lima orang sekaligus itu dengan telaten, "Asal mula nama 'Lucifer' bukan hanya karena itu 'kan?"

"Ya," Akita Neru, nama maid di sebelahnya mengangguk sambil menyikat pegangan tangga yang sedikit berdebu. "Konon, katanya tampangnya juga menyeramkan. Padahal, dia masih muda."

"Selain itu, pajak daerah ini 'kan tinggi sekali!" sambung Gumi Megpoid, maid berambut hijau pendek sambil merapikan taplak meja.

"Benar, benar!" sahut Haku. "Belum lagi peraturan itu!" katanya setengah jengkel. "Maid dilarang bertatap mata dengan majikan. Bukankah itu agak kelewatan, ya nggak, sih?"

"Hahaha, tapi benar-benar sifat iblis, lho!"

"Hei, hei, nona-nona!" tiba-tiba suara galak wanita berusia paruh baya mengagetkan pada gadis maid yang sedang asyik bergosip-ria itu. "Ngobrolnya nanti saja! Ayo, kerja, kerja!" kata wanita paruh baya yang diketahui bernama Gakuko Kamui itu sambil menepuk tangannya. Rambutnya yang ungu panjang—walau sudah ada uban di mana-mana karena faktor usianya yang tidak bisa dibilang muda lagi—dikuncir satu dengan model konde itu nampak sangat bersahaja. Dialah kepala maid di puri itu.

"Selain itu, peraturan itu juga memiliki arti, maid yang berstatus rendah itu tidak boleh memasuki wilayah majikan," terangnya sambil melipat tangan di dada. "Majikan kita, tinggal di dunia yang berbeda dengan kalian."

Dia lalu berbalik sebelum mengucapkan, "Jangan menggosip terus! Kembali bekerja!" perintahnya sebelum meninggalkan ruangan para maid yang menyahut patuh pada atasan mereka itu.

Semua orang di puri itu tahu, Gakuko tidak pernah menikah walau usianya sudah menginjak 53 tahun. Lagi-lagi, semuanya disebabkan karena peraturan puri itu; butler, kepala footman, dan kepala maid, dilarang menikah. Mereka harus mengabdikan seluruh hidup mereka hanya untuk Count Kaito Shion.

Yah, tidak salah memang jika menyebut peraturan puri itu dibuat oleh iblis. Yang tidak kenal rasa kasih sayang, cinta, dan ketulusan.

Semuanya palsu. Dan kejam.


Hari Minggu yang cerah selalu ditunggu-tunggu semua orang. Termasuk gadis cantik itu; Miku Hatsune. Hari ini, dia tidak bekerja di puri. Jadi, dia berdandan dengan bebas; dress panjang semata kaki berwarna kelabu, dengan cardigan krem berenda di pergelangan tangannya, dan dia juga menggerai rambut hijau toska-nya yang panjang. Hanya bertengger sebuah topi kecil berwarna putih di sana. Di tangannya, dia memegang sebuah tas kecil hitam yang bisa memuat dompetnya saja.

Sesaat pikirannya kembali pada pembicaraannya dengan teman-teman maidnya yang lain kemarin. 'Tuan Lucifer' itu seperti apa sih, tampangnya? Benarkah seperti iblis yang selalu diceritakan semua orang? Kalau iya, dia percaya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tidak akan ada gadis yang berani mendekati 'Tuan Lucifer', kok.

Tapi dirinya teringat kejadian saat dia pertama kali bekerja di puri itu. Rasa-rasanya, dia pernah melihat tampang 'Tuan Lucifer' dari dekat, deh…

"Hei, kau yang di sana! Minggir!" seruan seorang laki-laki membuyarkan lamunannya dari topik 'Tuan Lucifer' yang berkelemit di kepalanya. Lalu, dia menengadah ke atas—ke arah jembatan dengan terowongan di bawahnya—asal suara ribut-ribut itu. Ada apa? Malingkah?

Tetapi ini Inggris. Jarang sekali ada kriminalitas, apalagi maling.

Pertanyaannya terjawab sebelum seorang laki-laki berambut biru gelap dan memakai topi oval berwarna hitam dengan sangat nekatnya menuju pinggiran jembatan itu dan…

Astaga!, pekik Miku dalam hati. Matanya membeliak kaget. Orang itu… melompat?!

Dia tidak sempat bereaksi. Tiba-tiba saja, laki-laki berambut biru itu menyambar dirinya yang masih syok itu ke bawah terowongan yang ada di bawah jembatan yang tadi dilompatinya. Dengan sekali sentakan, laki-laki berambut biru itu menariknya mendekat, bersembunyi di terowongan gelap itu sambil membekap mulut Miku yang tadi sempat berteriak kaget.

"Lho?! Mana tuan Kaito?!" Miku dapat mendengar suara laki-laki di atas jembatan di atasnya terdengar gusar dan panik.

"Sial! Lagi-lagi dia melarikan diri!" seru seorang temannya yang lain. Oh, mereka bergerombol. Mencari—tunggu dulu!

Tiba-tiba Miku menyadari sesuatu. Kaito? Nama orang ini Kaito? Sementara… nama tuannya yang dijuluki 'Tuan Lucifer' adalah… Kaito Shion, 'kan?!

Gawat! Orang ini majikanku!, panik Miku dalam hati karena mulutnya masih dikunci rapat oleh tangan Kaito.

"Huh, sudahlah! Apa boleh buat… nanti juga dia pasti pulang!" kata laki-laki tadi di atas jembatan. Lalu suara langkah mereka terdengar menjauh dalam gaung terowongan di bawahnya; yang ditempati Miku dan Kaito di sana.

"Fuh, sudah pergi, ya?" suara ngebassnya yang menyenangkan terdengar di telinga Miku.

Demi Tuhan! Apa yang dilakukannya di sini?!

"Ah, maaf… sesak, ya?" Kaito baru menyadari bekapannya pada mulut Miku terlalu kuat sampai gadis itu sulit bernafas. Lantas dia melepaskan bekapannya dan menatap gadis itu dengan iris birunya yang dalam.

"Aku tadi dikejar orang," jelasnya. "Maaf sudah melibatkanmu."

Sesaat Miku tak dapat berkata-kata menatap wajah majikannya selama ini. Iblis? Dari sisi mananya? Seram? Dari segi mananya? Mengerikan? Apanya? Jelas-jelas, laki-laki di hadapannya ini sungguh sangat teramat tampan; dengan bentuk wajah oval melancip di dagunya yang kokoh, berkulit putih bersih, berambut biru gelap yang agak acak-acakan dan tebal, belum lagi wajahnya yang dilukis sempurna oleh Tuhan; mata dengan iris biru dalam—sampai Miku merasa dirinya tenggelam dalam kebiruan itu—alis tebal yang menipis ke samping, berhidung mancung, dan bibirnya merah merona alami. Inikah… 'Tuan Lucifer' yang selalu dianggap menyeramkan oleh semua maid di puri?

Mendadak, Miku merasa anggapan semua orang salah mengenai 'Tuan Lucifer' yang selama ini selalu digosipkan dengan hal-hal negatif.

"Hh, dasar…," dia mengehela nafas dengan gusar. "Mereka keras kepala. Padahal aku hanya ingin keluar sebentar," gerutu Kaito semakin tak senang saja. "Aku ingin mereka berhenti memperlakukanku dengan berlebihan."

"Eh?" Miku mengerjap kaget. Kaito lalu menatapnya lagi dengan tanda tanya di kepalanya.

"Apa?"

"B-bukan… Bukan apa-apa. Hehe," Miku tertawa kaku.

Orang yang tidak pernah menatap mata para maid… berkata seperti itu?! Rasanya sulit dipercaya!

"Ka-kalau begitu… s-saya permisi du—"

"Tunggu." Kaito membuat Miku menghentikan langkahnya. Dia berbalik dan matanya menghujam langsung pada postur tinggi majikannya itu.

Hiii!, batin Miku ketakutan melihat senyum 'yandere' dari Kaito untuknya.

"Kamu… tinggal di kota ini?"


Dia tertangkap.

Miku menghela nafas panjang menatap hiruk-pikuk kota London di siang hari, dan pada hari Minggu. Begitu sibuk, dan ramai. Berbagai macam orang berlalu lalang—mulai dari para remaja seperti dia, orang-orang dewasa, turis, dan anak-anak kecil yang sedang berlarian. Semuanya terjadi di atas tanah kota London yang indah ini.

Tetapi Miku tidak bisa menikmati pemandangan itu sekarang.

Dia teringat perkataan Kaito tadi, "Antar aku keliling kota."

Tapi masalahnya… orang ini 'kan majikanku!, batin Miku putus asa. Dia lalu menatap Kaito yang sedang mengagumi seisi kota itu dengan tatapan linglung dan takjub. Dia lalu bersiul pelan.

Ah, tidak apa-apa. Kelihatannya dia tidak mengenaliku, kok! Dia 'kan tidak pernah bertatap muka dengan pada maidnya. Ya, benar!, batin Miku menghibur diri melihat Kaito yang tidak mengenalinya sebagai maid di purinya.

"Hebat!" seru Kaito tiba-tiba. "Kotanya berliku-liku seperti ini, ternyata…" lanjutnya setengah menggumam. Miku yang di sampingnya menatapnya bingung.

"A-apa… Anda pertama kali kemari?" tanya Miku terkejut. Padahal ini 'kan wilayah kekuasaannya sendiri!

"Hanya beberapa kali," jelas Kaito. "Biasanya, aku jarang bisa keluar. Tidak diizinkan."

"Ha? Tidak diizinkan?" tanya Miku terheran-heran.

Kaito mengangkat bahunya. "Begitulah," dia lalu menatap Miku. "Namaku Kyle!" katanya berbohong. Miku mengernyit. Nama samaran?

"A-ano… t-tapi barusan… Anda dipanggil 'Tuan Kaito' ya, 'kan?" tanya Miku takut-takut.

Ekspresi wajah Kaito berubah mengeras, dan aura hitam muncul di sekitarnya. "Masa?" tanyanya dengan nada berat yang menyeramkan.

H-Hiiii! Se-seraaaam!, teriak Miku dalam hati. Wajah cantiknya sedikit memucat melihat tampang seram majikannya itu.

"Kamu salah dengar kok… aku hanya anak orang kaya yang kabur dari rumah…," kata Kaito masih dengan bayang menyeramkan di kedua matanya. Miku meneguk ludahnya.

Ah, dia sedang menyamar… aku jadi tidak bisa bilang kalau aku adalah maid di purinya…, batin Miku pasrah.

"Ng… o-oke, nama saya Miku Hatsune, penduduk kota ini." Miku juga memperkenalkan dirinya dan akhirnya memilih mengikuti sandiwara yang dibuat Kaito. Lalu senyuman geli terlukis di wajah tampan Kaito.

"Jadi," dia meraih sebelah tangan Miku layaknya gentleman sejati dan menatapnya lembut. "Kita sama-sama rakyat kecil, ya?" dia tersenyum. "Kalau begitu, tolong antar aku, Miku…"

Tapi, aku tidak bisa kabur lagi…, batin Miku saat irisnya bertabrakan dengan iris biru gelap Kaito.

Benar. Karena orang ini… adalah majikanku.


"Ng?" langkah kaki Kaito berhenti di depan sebuah toko roti bakar kecil yang dibangun dari kayu-kayu jati kokoh menarik perhatiannya. Miku menghentikan langkahnya dan menatap toko tersebut. "Tempat apa ini?"

"Ah, ini warung roti bakar," terang Miku.

"Selamat datang!" seorang laki-laki tua berkumis menyapa mereka. "Rotiku memang agak mahal, tapi enak, lho!" promosinya. Alis Kaito terangkat tanda tertarik.

"Benarkah?" dia merogoh saku celananya. "Coba beli, ah…," setelah mencari-cari uang dalam sakunya, akhirnya dia mengeluarkan segepok uang diikat dan menyerahkannya pada pak penjual roti tadi yang bertampang syok bukan main melihat uang sebanyak itu.

"Aku beli dua roti. Kembaliannya disimpan saja." ujar Kaito dengan datar. Seolah segepok uang itu hanyalah mainan monopoli anak-anak yang bisa diserahkan seenaknya.

Tapi—!

"T-tu-tunggu sebentar!" Miku berseru kaget melihat tindakan Kaito yang menatapnya dengan bingung. Seolah kekagetan Miku dan pak penjual roti bakar tadi benar-benar reaksi yang sangat berlebihan hanya karena menyerahkan 'beberapa' uang.

"Ja-jangan-jangan… anda ini… tidak tahu dunia luar?!" tebak Miku tak percaya.

"Habis, pemilik toko ini bilang 'agak mahal'… ya sudah," kata Kaito dengan wajah super-polosnya. Seolah dia merasa yang dilakukannya wajar-wajar saja.

"Dengan uang sebanyak itu, Anda bahkan bisa membeli tokonya!" seru Miku masih dengan sikap tidak percaya. "Sudah, biar saya yang belikan!"

Pak penjual roti tadi lalu menerima uang dari Miku dan menyerahkan dua buah roti bakar rasa butter crème vanilla yang dibungkus koran lama. "Silakan," katanya ramah. Kaito segera meraih roti bakar itu dan menggigitnya perlahan. Lalu wajahnya berbinar-binar.

"Astaga!" serunya. "Ini enak sekali!" dia lalu menatap roti bakar itu dengan takjub. "Aku baru pertama kali makan roti seenak ini! Beli satu lagi!" seru Kaito pada pak penjual roti bakar yang dengan senang hati membuatkan lagi roti bakar untuk Count yang sedang menyamar itu. Miku memerhatikan tingkah laku Kaito dengan heran dan kaget. Astaga. Sungguh! Aneh sekali!

"Aku mau makan roti ini setiap pagi!" seru Kaito lagi, lalu dia melahap dengan rakus roti bakar itu.

Orang ini… sungguhkah 'Tuan Lucifer' yang itu?!

Miku menghela nafas panjang. Yah… pada kenyataannya maid memang tidak begitu tahu tentang majikannya, sih…

"Berikutnya toko itu!" seru Kaito sambil menunjuk sebuah toko yang menjual scone. Miku menyetujuinya. Habis, mau bagaimana lagi? Bagaimanapun… orang ini… benar-benar majikannya!

Yang tidak Miku percayai adalah, majikannya adalah orang yang seperti ini. Ceria, lucu, menyenangkan, dan polos. Imej menyeramkan, sadis, galak, dan mengerikan menghilang begitu saja dari beringsut hatinya. Seolah-olah, apa yang dia dengar selama ini hanyalah mitos yang sangat salah mengenai 'Tuan Lucifer' yang selama ini menakuti, dan menjadi mimpi-mimpi buruknya hanya dari langkah sepatunya.

Teng! Teng! Teng!

Suara lonceng dari jam besar Inggris; menara Big Ben menunjukkan waktu pukul enam sore tepat.

"Huuh! Sudah jam enam, ya? Padahal aku masih banyak toko yang makanannya belum kucoba," gerutu Kaito sambil menggigit scone-nya. Dia lalu menatap Miku di belakangnya yang sudah lemas. Yang benar saja! Dia sudah menemani majikannya itu lebih dari sepuluh jam!

"Miku," panggilnya tiba-tiba. Gadis itu mengangkat wajahnya yang kelelahan sebagai jawaban. "Kamu selalu libur di hari Minggu, ya?" tanya Kaito memastikan. Miku mengernyitkan dahinya bingung.

"Umm… ya," jawab Miku. Kaito tersenyum.

"Bagus!" dia lalu menepuk kepala Miku pelan. "Sampai jumpa minggu depan!"

A—apa?!

"Saya… tidak akan datang lagi, lho!" kata Miku sambil mengusap kepalanya yang ditepuk Kaito. Tapi tunggu… kenapa orang ini tahu dia hanya libur di hari Minggu? Memang sih, hanya puri Shion-lah yang meliburkan maid-nya di hari Minggu. Puri-puri lain tidak pernah meliburkan para maidnya.

Apa… dia menyadarinya?, batin Miku bertanya-tanya.

"Aku akan menunggumu." Kaito tersenyum sebelum membalikan badannya, meninggalkan Miku yang mematung di tempatnya.


Pada akhirnya, Miku tidak bisa menolak kata-kata yang Kaito ucapkan padanya di hari Minggu terakhir mereka bertemu. Dia merasa kasihan, tidak tega, sekaligus… menikmati saat-saatnya bersama Kaito.

Ini hari Minggu kedua setelah pertemuan mereka yang pertama. Miku menghela nafasnya. Dia tidak percaya, dia akan melakukan ini. Akhir-akhir ini tekadnya menjadi lemah sekali…!

"Kau datang," senyum Kaito melebar saat melihat Miku menghampirinya dengan wajah pasrah. Ya sudahlah…

"Aku mau coba waffle yang di sana!" seru Kaito sambil menunjuk toko pinggir jalan yang tidak terlalu ramai. Miku tersenyum menyanggupi.

"Silakan," seorang nenek tua yang menjual waffle itu menyerahkan dua buah waffle pada Kaito.

"Waffle itu sulit untuk ditolak, ya 'kan?" cengir Kaito. Miku tersenyum. "Benar sekali."

"Jadi, selamat ma—" ucapan Miku terputus saat waffle di tangannya diambil oleh Kaito dan menukarnya dengan waffle yang ada di tangan laki-laki itu. Miku mengangkat sebelah alisnya dengan bingung.

"Ini untuk Miku," sodor Kaito pada Miku.

"Kenapa? Rasanya sama saja, 'kan?" tanya Miku bingung.

"Um, yang punyamu tadi agak gosong…," terang Kaito sambil menunjuk bagian gosong dari waffle Miku.

Eh?!

"T-tidak apa-apa! Tidak usah ditukar! Biar saya makan yang gosong!"

"Ini," Kaito berkata dengan nada lembut yang agak tegas sambil menyodorkan wafflenya pada Miku. "Kamu makan yang ini saja. Tidak ada bagian yang gosong," senyum Kaito. Miku terdiam sesaat sebelum menerima waffle itu dengan gugup.

"T-terima kasih…,"

Kaito tersenyum sebentar sebelum menarik perlan siku Miku dan menariknya menepi ketika sebuah kereta kuda melewati mereka. Miku merasa heran mendapatkan perlakuan seperti itu dari Kaito. Lebih heran lagi, ketika dia menyadari laki-laki itu secara tidak mencolok telah bertukar posisi dengannya, sehingga kini Miku berjalan di bagian dalam jalan, dan Kaito berjalan di bagian luar jalan. Menurut Miku, sikap tersebut sangatlah sopan dan penuh perhatian.

Tidak cukup itu saja, Kaito sering kali membukakan pintu untuknya, dan menahan pintu ketika Miku hendak masuk, atau keluar toko. Mungkin, laki-laki itu tidak menyadarinya karena telah terbiasa dididik menjadi seorang gentleman sejati. Selain itu, Kaito tidak pernah berjalan di depannya; menunjukkan sikap angkuh bahwa dia seorang Count; atau di belakang; sikap merasa rendah diri. Tidak pernah. Dia selalu berjalan beriringan dengan Miku, seolah tak peduli apa status mereka. Perlakuan-perlakuan sederhana itu, ternyata mampu membuat Miku sangat terkesan.

Seperti sekarang ini. Akhirnya mereka berdua selalu berjalan-jalan di kota setiap hari Minggu. Sambil berpura-pura memerankan drama sebagai "anak kota" dan "anak orang kaya". Tetapi Miku mengakuinya, itulah saat-saat yang menyenangkan dalam hidupnya.

Dan tanpa ia sadari, dia jadi selalu menantikan hari Minggu.

To be continue

How? 8'D saya udah lama banget pengen bikin karakter cowok kayak Kaito di fic ini lho. Dan baru kesampean sekarang (hiks...) hwhwhw TwT

Jadi, berminat meninggalkan review anda di kotak bawah? :)

V

V