rating. T
genre. Drama/Angst
disclaimer. Shingeki no Kyojin © Isayama Hajime.
summary. Dia diberikan kesempatan untuk memulai hidup baru; sayang luka-luka itu terus menghantui dan menggerogotinya, akankah ia perlahan hilang tertelan oleh gelap dirinya, atau malah menerima kegelapan itu sebagai bagian dirinya?—AU. YmirxKrista.
warnings. Genre antara Angst-Tragedy, jadi—hati-hati saja membacanya. Plot berat tapi diksi berantakan. Juga, shoujo-ai—walaupun bisa dianggap friendship. Saya sudah memperingatkan, lho? :')
.
.
.
Krista termangu dalam muramnya langit malam. Sesekali mendesah, sesekali melanjutkan langkahnya.
Ya, langit telah menggelap. Matahari tak tampak dan bulan telah memberikan sinar seadanya. Memang sudah sejak tadi sekolah bubar, lagi ia melanjutkan langkah dengan gontai menuju rumah. Ia mencoba menghela nafas, memperhatikan jejak putih yang ia buat sendiri di udara.
Iapun mendesah lagi.
Tidak, ia tidak membenci hidupnya sama sekali, segalanya hanya dan hanya bergeser ketika orangtuanya memutuskan untuk bercerai tepat di hadapannya. Setelah itu, ayahnya kerap menjadi pemabuk—melemparinya dengan botol kosong bekas bir atau menyengatnya dengan puntung rokok. Hari inipun, sudah termasuk dalam seminggu penuh ia selalu mampir ke toko obat untuk membeli plester, obat luka bakar, obat memar, juga perban. Ia turut benci mendengar teman-temannya rebut menanyainya seputar luka-luka yang terlihat di sekujur tubuhnya.
(Dengan senyum pun ia menjawab mereka. Disertai sebatas ucapan tidak apa-apa.)
Alasan Krista memperlambat lajunya adalah untuk melewati sungai kecil yang melintasi Kota Shiganshina; kota tepat sebelah tempat tinggal aslinya, mendengar suara-suara kehidupan di bawah sana—kadang ada kedai minum yang dipenuhi para pekerja yang ramai juga diselingi nyanyian-nyanyian sumbang beraliran enka para pekerja kantoran. Melihat suasana yang menyenangkan—sesuatu yang membuatnya merasa hidupnya berharga.
Lagi-lagi ia mendesah. Rumahnya sudah dekat, sedikit lagi.
Regentropfen sind meine Tränen—
Langkahnya terhenti mendengar nada lain menggoda telinganya. Mata birunya seketika melirik mencari asal suara. Tidak ada siapa-siapa di sana selain dirinya dan izakaya yang ramai di bibir sungai itu. Suara itu sungguh—bening, tidak pernah Krista mendengar ada yang bernyanyi dengan suara seindah itu menurutnya.
Wind ist mein Atem und meine Erzählung
Matanya masih terus berkutat di areal sungai, karena minim lampu, ia tidak bisa menemukan apapun di sana. Namun suara itu tetap bermain, mengunggah hatinya dari kejauhan tanpa tahu siapa pelantunnya.
Zweige und Blätter sind meine Hände
Denn mein Körper ist in Wurzeln gehüllt
Ah.
Terlalu lama terbuai dalam melodi, dirinya lupa kalau ia harus bergegas pulang. Ayahnya bisa saja sudah mengumpat karena makan malamnya belum dibuat.
Ia akan mencoba mencari sang penyanyi malam itu besok—
.
.
.
PRANGG
Dan—lagi.
Sekali lagi botol berwarna hijau itu pecah di atas kepalanya, membuat darah mengalir deras dari luka di pelipisnya. Baru saja ia mengganti perban luka di sekitar sana dan sudah dibuat lagi oleh ayahnya luka baru. Ia bisa mendengar lengkingan suara ayahnya walau ia telah memasuki dapur dan segera mulai menyiapkan makanan.
Air matanya keluar.
Cukup—
Ia menggigit bibir, mencoba untuk tidak mengeluarkan luapan emosinya.
Aku sudah muak.
Aku tidak pernah menginginkan hidup—
Pisau yang ia pakai mengiris bawang ia pegang erat di tangan kanannya, sementara tangan kirinya ia diamkan dengan telapak menghadap ke arah langit-langit.
CRASH!
divine heartbeats
2013 © Kuroi-Oneesan
{satu: analogi berani mati}
(Ia masih hidup—Detak jantungnya dapat ia dengar sendiri dari dalam.)
Hari itu juga, Krista Lenz menyesali perbuatannya dan terbangun di empuk kasur rumah sakit beberapa minggu setelahnya dengan luka yang sudah hilang; bekas sayatan melintang itu masih tertinggal, membuat dirinya sendiri bergidik. Mencoba memegang kepalanya, ia merasakan denyut memar tetap ada di sana, dan beberapa bekas luka akibat beling botol itu. Kejadian itu bagai mimpi baginya, sungguh. Ia tidak bisa mengingat apapun selain mendadak dunia berputar setelah ia menghujam nadi arterinya dengan pisau dapur, suara teriakan ayahnya dan—
Beginilah saat ini. Ayahnya masuk ke panti rehabilitasi dan ia meratapi hidupnya seorang diri. Dokter menjelaskan bahwa berulang kali saudara jauhnya datang untuk memeriksa keadaannya tetapi ia baru terjaga saat itu.
"Kalau hasilnya bagus, mungkin dalam waktu dekat kau sudah boleh keluar," dokter itu berbicara dengan nada riang. "Untung saja saat itu donor darahmu tepat. Aku nyaris hilang harapan dan kupikir akan terjadi koagulasi—"
Krista membuka mulutnya, kaget.
"D-dokter, apa aku kehilangan banyak darah?" bulu kuduknya sedikit berdiri membayangkan kucuran arterinya yang bak air mancur—beruntung ia tidak melihatnya secara langsung.
"Maka dari itu jangan coba-coba memotong arterimu lagi, Nona." Dokter itu berkomentar. "Oh ya, aku dapat pesan dari Bibimu katanya ia akan membiarkanmu tinggal di Shiganshina."
Tanpa alasan, sudut bibirnya melengkung membentuk senyum kecil.
(Ia diberikan kesempaatan untuk hidup, kan?)
x x x
Maria High, sekolah barunya. Untung saja kala itu adalah musim dingin dimana lengan panjang dipakai, sehingga beberapa memar dan lecet di lengannya tertutupi—terutama, sayatan di nadinya, selama ia tidak menggulung bajunya. Pakaian yang dikenakannya kini kemeja putih dengan balutan jas berwarna cokelat susu dengan garis-garis putih.
Memang, rumah yang diizinkan sang bibi ditinggali Krista tidak terlalu besar, namun besar untuk hanya dihuni seorang diri.
Ia bercermin lagi sejenak, merapikan rambutnya—
Sebuah gambaran dirinya yang ketika malam bercermin, dipenuhi luka sana-sini dan darah amisnya sendiri muncul ke permukaan.
Krista mengerjapkan matanya berkali-kali, mengaburkan fokusnya.
"—Mungkin karena aku belum minum obat pagi." Krista bergumam.
Menenteng tasnya, ia pun keluar dari rumah menuju sekolah barunya.
Maria High terletak tidak jauh dari rumah itu, cukup berjalan selama lima menit melalui sebuah sungai dan—
Gadis itu ingat tentang sungai tersebut; tempat ia mendengar peri-entah-dari-mana bersenandung merdu. Tapi, saat ini bukan waktunya untuk mencari sosok itu karena ini hari pertama Krista di sekolah barunya. Gadis itu memasuki gedung sekolah dengan gugup, mengganti sepatunya dengan sepatu ruangan dan mulai meniti tangga mencari ruang guru di lantai dua.
.
.
.
"Namaku Krista Lenz. Umm, salam kenal."
Tak pernah disangkanya suasana kelas sangat hidup, menuai dirinya sendiri dalam heran. Ada beberapa cowok yang menatapnya sekaligus bersiul, atau cewek-cewek yang tampak—normal. Pemandangan baru itu menimbulkan sedikit rasa tenang dan lega bagi dirinya sendiri. Wali kelasnya di kelas 1-4 itu adalah guru mata pelajaran Fisika bernama Bu Rico Brzenska.
"Baik, kau akan duduk sebelah—Mikasa?"
Bu Rico menunjuk bangku tengah yang di sampingnya terdapat gadis dengan syal merah. Krista pun menduduki bangkunya dan mulai memperhatikan pelajaran yang tengah berlanjut. Krista mencuri pandang untuk menemukan ternyata gadis bernama Mikasa itu bertemu pandang dengannya.
"…Ah, aku Mikasa Ackerman." gadis itu berkomentar datar. "Dan disampingmu yang sedang tidur itu Sasha Braus. Jangan segan kalau mau bertanya."
"B, baik." Krista tergagap, bingung ingin menjawab apa.
Mikasa sedikit tersenyum, "Tenang, aku tidak akan menggigitmu kok. Aku hanya akan menggigit Eren."
x x x
Sesuai dengan penjelasan Mikasa dan Sasha, di sekolah itu terdapat banyak ekstrakurikuler. Setidaknya, bila Krista ingin ikut serta, ia harus melihat kegiatan di ruang klub masing-masing di lantai empat. Krista sama sekali tidak pernah mengikuti kegiatan ekstra sebelumnya, karena harinya dihabiskan untuk menghindari orang dan menuruti ayahnya yang kerap mabuk. Karena Mikasa dan Sasha hendak bertemu dengan seseorang terlebih dahulu, Krista berinisiatif mengunjungi sasana ekskul itu sendiri satu persatu.
Kali ini, ia tidak takut—ia ingin mencoba hal baru yang tak pernah bisa dinikmatinya. Gadis bersurai pirang itu memantapkan hatinya.
Terburu-buru, matanya sedikit luput melihat jumlah lantai—
"Ah."
Mendadak yang terbayang hanya satu hal; bukan perihal kepalanya terantuk ke lantai—namun suara botol yang pecah karena menghantam kepalanya dan darah yang mulai membasuh mukanya. Kepalanya pening, sakit luar biasa mengingat hal tersebut, ia juga merasakan pergelangan tangannya nyeri, mengingatkan luka lamanya tidak akan pernah pergi dari sana.
"—Hei."
GREP
Ia merasakan sesuatu empuk—sedikit keras—menangkapnya, menangkap tubuhnya yang terjatuh dari tangga. Jemari itu besar, besar sekali; sampai Krista mengira dirinya ditangkap oleh raksasa bukan oleh manusia. Dirinya memang kecil, tambah lagi ringan seperti bulu.
"Tidak apa-apa kan?"
Manik birunya menatap manic cokelat yang tajam lagi mengeluarkan kekhawatiran. Krista mencoba memperhatikan sekeliling, dirinya tengah berada di tangan kuat seseorang yang tidak ia kenal. Dirinya tidak habis pikir, seberapa kecilnya ia di tangan orang itu.
"A, aku tidak apa-apa." Krista menggeleng. "Tolong turunkan aku."
"O-oh, sori."
Krista kini berada di sampingnya; setelah diamati lamat-lamat, sosok itu seorang gadis, sama seperti dirinya. Wajahnya penuh jerawat, dengan surai cokelat kehitaman yang berantakan. Raut wajah itu tampak kebosanan, Krista menelengkan kepalanya.
"Serius tidak apa-apa? Tadi kau—nyaris saja."
Krista mencoba untuk tidak melakukan kontak mata dengan orang itu. Menjauhkan dirinya dari sorot manik cokelat itu sejauhnya.
"Sudahlah."
Gadis itupun melangkah pergi ke lantai bawah, meninggalkan Krista terpaku.
Ia belum sempat mengucapkan terima kasih—
Seseorang tampak turun dari lantai di atasnya, dengan rambut pirangnya dikuncir ke belakang, serta seorang laki-laki yang sangat tinggi mengikutinya.
"…Kouhai, apa kau melihat seorang gadis tinggi lewat di sini?" laki-laki itu bertanya pada Krista.
Adik kelas—tampak ada perbedaan antara seragam kakak dan adik kelas, bisa dilihat dari logo romawi satu dan dua yang menempel di pinggir kerah jas. Krista dengan seulas senyum mengeluarkan pernyataan sopan.
"Kalau tidak salah ia menuju arah bawah, senpai."
"Terima kasih—hoi Annie, jangan cepat-cepat turunnya, kita memang mau menyusul Ymir kok!" laki-laki itu memekik ke perempuan yang segera bergerak cepat ke lantai bawah atas jawaban Krista. "Ah, maafkan mereka ya, kouhai. Hanya sekedar senpai tidak benar."
Krista tatkala menganggap pembicaraan itu angin lalu dan melanjutkan langkah ke tujuannya. Sembari tersenyum, mendengar bahwa kehidupan sekolahnya kali ini pasti akan berangsur lebih baik.
(namun, kepalanya masih nyeri.)
x x x
"Ymir, tumben sekali kau hendak pergi dari ekskul tanpa izin ke Bertl."
Annie Leondhart berkomentar dengan nada picik, akhirnya ia berhasil menangkap gadis yang tengah kabur setelah berlari dalam jangkauan seluruh sekolah. Kehabisan nafas, sang dara yang kehabisan nafas belum menjawab, masih mengatur nafas lamat-lamat.
"Sudah kubilang kan, aku masih tidak enak badan." ia mendecakkan lidah.
"Sampai kapan? Rasanya tidak pernah usai lelahmu." Annie kembali berargumen.
Gadis bernama Ymir itu mendesah pelan setelah melihat ekspresi Annie yang semakin mendatar, ia benar-benar tidak pandai berbohong soal apapun; terlebih kepada si pirang kecil nan galak itu. Sudah dihabiskan waktunya untuk membual alasan tidak latihannya, juga hari ini. "Baik, baik; akan kuceritakan—"
[TBC.]
