Aku bukanlah anak orang kaya. Percayalah, ibuku hanyalah tukang kuli cuci di sebuah binatu dekat rumahku. Kakakku, si sulung itu hanyalah pekerja paruh waktu di sebuah restoran.
Dulu, dulu sekali ketika aku masih balita, ayahku adalah orang kaya. Dia sanggup menghidupi keluarganya dengan segala yang terbaik. Aku dengan susu formula terbaik kala itu, juga kakakku yang bersekolah di sekolah terbaik di ibukota.
Semua keluarga besar ayah begitu mengelukannya. Memakai topeng secantik geisha di Jepang demi mengais beberapa koin dari kantung ayahku. Kala itu aku belum mengerti bagaimana rupa ular. Ular yang aku tahu itu binatang melata yang memiliki bisa. Namun ular yang sering dibicarakan kakakku ketika kami beranjak dewasa adalah ular licik yang menyerupai manusia. Dan aku mengerti maksudnya.
Lalu badai datang, semua yang diusahakan ayahku perlahan-lahan menghilang seperti ombak mengikis tebing. Ia kehilangan staminanya. Meninggalkan kami beserta kesedihan yang mendalam.
Kakak dan ibuku bekerja keras tak kenal siang dan malam untuk menyekolahkanku. Kemudian aku dan rasa bersalahku diam-diam mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan pribadiku. Aku menjadi penulis webnovel dengan modal voucher internet cafe dan juga sebuah usb. Aku juga jadi pahlawan untuk teman-teman di kelasku yang berdompet tebal namun otaknya sebesar biji selasih.
Mereka, si kaya namun bodoh itu, awalnya mengancamku dengan mata mereka yang terlihat begitu konyol ketika memelototiku. Dengan modal badan besar juga mata sipit yang berusaha diperbesar, mereka 'memohon' kepadaku untuk mengerjakan tugas-tugas mereka. Oh ini kesempatan bagus tentu. Aku dengan angkuhnya berkata,
"Ah itu mudah sekali, mari kerjakan tugas kalian asal kalian memberikan uang saku kalian kepadaku."
Tidakkah aku terlihat seperti seorang preman sekolah? Tidakkah? Jawab saja iya! Supaya aku senang.
Awalnya mereka ingin meremehkan aku. Ya, meremehkan. Jelas saja. Wajahku yang seperti perempuan ini juga tubuh kecil layaknya gadis kekurangan nutrisi berani memberikan negoisasi seperti itu kepada mereka yang bertubuh tambun juga berwajah sangar seperti anggota bajak laut.
Namun pada akhirnya mereka setuju asal aku mengerjakan tugas sekolah mereka dengan baik, mereka mau memberikan uang saku mereka yang setara dengan gaji ibuku di binatu.
See?
Setidaknya aku bisa menyimpan uang dari sebagai joki 'pekerjaan rumah' juga sebagai penulis webnovel. Hanya itu yang aku andalkan supaya aku bisa lanjut ke pendidikan selanjutnya. Mana tega aku membiarkan kakak juga ibuku banting tulang hanya untuk membuat aku sukses sendiri? Mereka juga harus menaiki tangga bersamaku. Ah tidak, aku yang menaiki tangga, mereka naik lift saja.
...
Aku tak jauh berbeda dengan seseorang yang sebatang kara. Aku bangun pagi sendirian hanya ditemani dengan sepiring omelet juga segelas susu di meja belajar. Suara yang kudengar ketika pagi hanyalah teriakkan jam weker yang sengaja aku letakkan di atas lemari supaya aku tidak kesiangan.
Kakak dan ibuku sudah sibuk sejak sebelum aku bangun. Dan mereka akan kembali jika aku sudah terlelap di atas meja belajar karena kelelahan. Lalu aku selalu bangun dengan keadaan linglung karena ketika pagi aku selalu berada di atas ranjangku. Bukankah tadi malam aku tertidur di atas meja belajar?
Sebuah note tak pernah lupa mereka tinggalkan di badan gelas. Isinya beragam, namun selalu berhasil membuatku tersenyum atau kadang juga menangis haru. Seperti yang kutemukan pagi ini.
'Baekhyunku yang tersayang, ibu sudah siapkan bekal untukmu makan siang nanti. Jangan tidur terlalu larut, kakakmu mulai mengeluh karena kian hari kau semakin berat'
Kakakku, Byun Baekbeom yang sukanya mengomentari hidupku itu dengan baik hatinya mau memindahkan aku ke ranjang. Mungkin karena takut adik kecilnya yang sering kali merengek padanya itu bangun dengan keadaan pegal-pegal. Kadang aku juga menitikkan air mata bila menyadari sesibuk itu mereka hingga aku kesulitan bertemu muka dengan keluargaku sendiri hanya karena mereka bekerja keras untuk menghidupiku. Betapa egoisnya aku.
Oh! Oh! Aku kesiangan!
Sial. Notes manis itu selalu membuat aku terbirit-birit. Aku melahap semua omelet dengan dua kali suapan. Juga meneguk susu seperti aku selesai marathon. Mandi seperti seekor kucing yang tak sengaja tercebur got. Memakai seragam seperti seorang pelacur yang tertangkap basah.
Aku berlari sambil mengancingkan kemejaku, mengunci pintu pagar sambil memakai sepatu. Dan ketika aku berbalik,
aku mencium sebuah sepatu.
Sial. Aku tersandung tali sepatuku sendiri.
Dia. Si pemilik kaki mengangkatku seperti menggendong bocah taman kanak-kanak yang tersandung kakinya sendiri. Dia membersihkan celanaku yang kotor. Dia juga membetulkan posisi ranselku. Dia si tinggi yang tampan.
"Tak apa?" tanyanya dengan suara yang sungguh menggoda.
"Kau baik?"
Tidakkah dia melihat aku sedang terpesona?
"Apa lututmu terluka?"
Kenapa telinganya lebar sekali, tanganku penasaran sekali ingin menyentuhnya. Apa boleh?
Matanya yang bulat itu melirik lucu ke arah tanganku yang dengan kurang ajarnya menyentuh telinga perinya.
Dia tersenyum! Astaga. Apa itu yang ada di pipinya?
"Ahh ini?" katanya lagi. "Apa telingaku terlalu lebar? Kata kakakku ini lucu seperti telinga gajah" dia ikut menyentuh kedua telinganya. Lalu dikepakkan macam telinga gajah. Imutnya..
"Aku baiknya memanggilmu apa? Adik kecil, tapi kau berseragam sekolah menengah. Tetangga manis? Bukankah itu terdengar seperti merayumu?"
Hey! Hey! Apa itu tadi? Tetangga manis? Aku suka panggilan itu. Kau buat pipiku rasanya panas sekali.
"Apa kau hendak pergi sekolah? Mau berjalan bersama? Aku lupa letak halte terdekat disini. Aku baru saja pindah tadi malam."
Aku mengangguk seperti seorang idiot. Mataku masih tak bisa lepas dari wajahnya. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengembalikan nyawaku sebelum dia menganggapku aneh.
"Hey!" Dia memekik. "Mengapa kau menampar dirimu sendiri?" Menatap horor kepadaku. Mungkin dia kaget dengan tingkahku yang menampar diriku sendiri.
"Maaf," setelah berdehem untuk membersihkan tenggorokkanku. Juga memastikan suaraku tak seperti suara perempuan. Aku menjawab pertanyaannya, "aku hampir saja kehilangan nyawaku. Ah! Namaku Byun Baekhyun" aku mengulurkan tanganku sedikit merendahkan tubuhku dengan menggerakkan sebelah alisku untuk bertanya siapa namanya.
"Ah" dia tersenyum lagi. "Aku Park Chanyeol, penghuni baru rumah di depanmu. Maaf tadi aku membuatmu jatuh mencium sepatuku. Aku hendak menanyakan dimana arah menuju halte bis terdekat. Jika tidak keberatan, kita bisa jalan bersama." Dia menjabat tanganku kemudian, "omong-omong tanganmu indah Baekhyunssi."
...
Sayup-sayup aku mendengar dia berceloteh. Tak begitu jelas karena mataku kini berat seperti menahan beban berton-ton.
"...hyunssi apa kau berada di awal tahunmu?"
Semenjak aku mencoba mencari uang sendiri, jam tidurku jadi kacau. Aku kerap kali kesulitan memilah mana tugasku yang sesungguhnya, dan mana 'pekerjaanku'. Bahkan aku sering melewatkan makan malam hanya demi mengisi rekeningku. Tuhan, apa aku serakah?
Aku berhasil mendapat kesadaranku kembali setelah mencubit pahaku sendiri.
"Kau tertidur?"
Aku mengedipkan mata, masih berusaha menghilangkan kantuk yang luar biasa menggodaku untuk terlelap.
"Tidak. Aku tidak" jawabku masih dengan usaha mengembalikan kesadaranku sepenuhnya.
Dia tertawa. Lucu sekali. Membuat aku juga ikut tersenyum.
"Kau iya!" dia mencubit pipiku dengan gemasnya. Tertawa sampai ada kerutan manis di kedua ujung matanya. Hey! Ini sakit. Tapi aku mau lagi. "Lelahkah? Tahun pertama biasanya melelahkan bukan?"
"Tidak, aku berada di tahun terakhir."
Mimik wajahnya berubah seperti bunglon. Matanya melotot dengan mulut setengah terbuka. Bukankah dia menggemaskan? Wajahnya imut seperti bayi, namun dia juga bisa tampan dalam waktu yang bersamaan.
"Tapi kenapa kau terlihat seperti bocah sekolah dasar?"
Oh terima kasih Tuan Park atas pujianmu. Aku tersipu jadinya. Aku mencebik dengan keras, berusaha menunjukan jika aku tak seimut itu sampai disamakan dengan bocah sekolah dasar.
"Aku mahasiswa jurusan musik merangkap seorang composer." Dia berceloteh tanpa kutanya, "aku pindah hanya supaya aku bisa mendapat lebih banyak ide dan kesunyian. Kau mau tahu? Ibu dan kakak perempuanku itu luar biasa berisik. Orang bilang wanita memiliki dua mulut. Aku tak percaya. Sungguh. Sepertinya mereka punya tiga."
Kantukku tetiba hilang karena celotehannya. Bisakah dia senyaman ini berbicara dengan orang yang baru dikenalnya? Aku tidak.
Ku ceritakan sedikit. Semenjak ayah meninggal, dan keluarga ayah sering meneror keluargaku untuk menyerahkan asuransi ayah, keluargaku menjadi pemurung. Aku tak tahu harus menyebut keluargaku seperti apa. Hanya saja aku, ibu dan kakak kehilangan kepercayaan terhadap orang-orang. Selalu mengunci rumah, juga mematikan lampu depan. Supaya keluarga ayah yang luar biasa kelaparan mencari sisa-sisa koin ayah tak lagi menggedor pintu.
Aku jadi senang sendirian. Menutup diri dengan tetangga. Begitu juga ibu dan kakakku. Mungkin karena mereka terlalu sibuk mencari uang, jadi hanya aku yang kadang ketakutan mereka akan membobol rumah ketika keluargaku tak ada di rumah. Sengaja aku matikan seluruh lampu di rumah, berakting jika di rumah tak ada siapapun. Aku sampai belajar di dalam kamar mandi, supaya sinar lampunya takkan terlihat dari luar.
Dia terkekeh, sepertinya menertawakan dirinya sendiri. Aku tak menemukan kalimat mana yang ia anggap lucu dari apa yang ia lontarkan soalnya.
"Baekhyunssi kenapa kau banyak melamun? Tadi kau mengantuk"
Busku datang! Bergegas aku berlari supaya tak tertinggal. Tapi aku melupakan sesuatu. Aku berhenti saat di pintu, "kau tidak naik?" tanyaku padanya yang masih duduk di kursi halte.
"Aku tak naik bis yang sama denganmu Baekhyunssi. Kita berbeda arah. Dadah Baekhyunssi, hati-hati di jalan! Kita bertemu lagi nanti" dia melambai-lambaikan tangan besarnya begitu bersemangat. Aku tersenyum dibuatnya. Ahh betapa indah pagiku.
.
.
.
.
.
.
TBC
