Perfect Imperfection

Chapter 1

NO F.U.N

Jeon Wonwoo adalah seorang remaja dengan rutinitas seperti biasa. Bangun pukul enam pagi, mandi dan berseragam, memasak sarapan, makan, mencuci piring, lalu berangkat ke sekolah. Kebiasaannya yang membawa buku ke mana-mana sudah menjadi rahasia umum. Orang-orang akan menemukan pemuda itu mendekap buku yang berbeda-beda setiap harinya. Wonwoo selalu punya kesempatan untuk membaca, ia sama sekali tidak ingin menyia-nyiakan waktu luangnya hanya untuk bersenang-senang. Kepintaraannya dalam segala hal menjadi poin utama yang ia miliki. Oleh karena itu, Wonwoo adalah satu-satunya siswa kutu buku yang digilai oleh para siswi.

Wonwoo punya segalanya; ia mendapat juara satu olimpiade musim panas tahun lalu, menjadi perwakilan sekolah dalam festival kebudayaan yang diselenggarakan di Guangzhou, parasnya tampan dan ia berhati malaikat.

Surat berwarna-warni dengan aroma parfum yang menyeruak akan berhamburan ketika ia membuka loker untuk pertama kali di pagi hari. Seolah telah paham dan menjadi bagian dari kesehariannya, Wonwoo selalu menyediakan sebuah kantung plastik di tangannya untuk menampung semua surat. Kemudian ia akan membawa seluruhnya pulang ke apartemen. Menghabiskan waktu selama satu jam untuk membacanya di atas ranjang, tertawa saat membaca surat yang menurutnya lucu, lalu menyimpannya di dalam laci meja ranjangnya paling ujung tanpa perlu membalas. Hal itulah yang menjadi sumber utama berkurangnya kapasitas lokernya untuk menyimpan buku pelajaran, bahkan beralih fungsi menjadi kotak pos mendadak. Wonwoo menghargai semua pemberian gadis-gadis itu, ia terlalu memaksakan diri untuk membaca setiap rentetan kata pernyataan cinta mereka yang bahkan hampir sama setiap harinya.

Saat jam istirahat, Wonwoo akan terlihat menuruni anak tangga susah payah bersama tumpukan buku dan folder yang menggunung di tangannya. Dalam beberapa ketidaksengajaan ia akan menabrak siapapun yang ada di depannya. Dan kebanyakan dari mereka tidak keberatan akan hal itu. Tak jarang pula bantuan datang membanjiri bahkan dari siswi kelas lain yang sama sekali tidak dikenalnya. Mereka bersedia meminjamkan tangan mereka untuk Wonwoo, berusaha mencuri hatinya dengan hal-hal sosial seperti itu. Wonwoo merasa tidak enak hati di awal, meski pada akhirnya hanya akan tersisa folder-folder ringan di tangannya, sementara sebagian lagi dibawa oleh seseorang yang bersedia membantunya.

Jeon Wonwoo itu sempurna dan tanpa cela, semua orang menyukainya. Para gadis menggilai bagaimana ia bernapas dan bergerak, ia punya banyak teman. Guru-guru juga memberikan kepercayaan absolut kepadanya tanpa terkecuali.

Tetapi, kesempurnaannya itulah yang mendatangkan musibah. Setiap pulang sekolah, Wonwoo akan menemukan kumpulan orang-orang dengan seragam yang sama telah menunggu kehadirannya. Ia tidak punya jalan lain untuk pulang selain harus melewati jalan setapak yang sangat sunyi itu—bahkan ketika jarum jam belum sepenuhnya menyentuh angka sembilan. Kemudian ia akan mendapati kulitnya penuh luka, di bagian manapun. Pergelangan kakinya pernah patah dan ia izin sekolah dua minggu dengan alasan pergi ke luar kota. Sama sekali tidak ingin melibatkan segala sesuatunya kepada pihak sekolah. Wonwoo merasa ini hanyalah masalah kecil yang biasa didapatkan oleh para lelaki menginjak usia mereka yang hampir dewasa.

Tepat beberapa meter dari tempatnya berdiri, seorang pemuda tampak menyeringai misterius di bawah sinar lampu yang temaram. Wonwoo punya kepribadian yang tenang, ia tidak mudah gentar hanya karena melihat sosok di sana. Lagipula ia sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang yang sama. Obsidiannya menatap balik seseorang di ujung sana, seakan menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak takut terhadap ancamannya. Di belakang pemuda itu terdapat beberapa orang yang merupakan anggota gengnya, bertingkah layaknya pemimpin mereka. Wonwoo bisa melihat balok-balok kayu berada di genggaman tangan mereka masing-masing.

"Ingin bersenang-senang, Jeon?" Pemuda itu mulai melangkah lebih dekat dengan Wonwoo hingga hanya tersisa tiga jengkal spasi di antara mereka.

Tidak sedikitpun didapati raut ketakutan pada wajah Wonwoo. Yang ia lakukan hanya perlu was-was dengan keadaan. Bisa saja nantinya ia kecurian tanpa sempat membaca pergerakan pemuda di hadapannya. Jadi Wonwoo memandangnya penuh kewaspadaan, kontras dengan raut wajahnya yang datar.

"Kita sering bertemu belakangan ini. Apa kau sebegitunya merindukanku?"

Pertanyaan itu kembali meluncur enteng dari mulut pemuda itu. Namun sekeras mungkin Wonwoo berusaha mengacuhkannya. Ia hanya bersikap kasual, tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan tidak se-inchi pun ia bergerak dari tempat berpijaknya ketika lawan bicaranya mulai mengikis jarak yang tersisa.

"Kau tuli, Jeon Wonwoo?" Kini bibir pemuda itu berada tepat di depan ujung hidung Wonwoo. Tinggi mereka yang jauh berbeda sama sekali bukan masalah bagi dirinya. "Atau kau sedang menunggu kejutan dariku?" Jemarinya naik menyentuh pipi Wonwoo, membelainya turun dengan perlahan sampai rahang kokohnya. Ia terhenti sejenak, memandang lurus ke bawah hidung Wonwoo, menemukan bibir pucatnya yang sangat menggoda. Ia menyelinapkan lidahnya guna membasahi bibir yang terasa mengering. Kemudian tanpa aba-aba jemari panjangnya bergerak mencapai bibir Wonwoo sebelum pergelangan tangannya ditepis kasar.

Wonwoo dengan segala sisa tenaganya yang terkuras setelah bermain futsal tadi sore bergerak cepat menahan lengan itu, membalikkan tubuh lawannya dengan mudah, lalu memelintir tulang pergelangan tangannya di belakang tubuh. Menguncinya tepat di punggung pemuda itu.

Tetapi yang didapatkannya hanyalah gelak tawa meremehkan yang mengudara di sekitar mereka, terselimut oleh hawa dingin musim gugur. Pemuda dalam kungkungannya tidak merasa apa yang Wonwoo lakukan berdampak besar bagi dirinya. Teknik memelintir semacam ini bahkan digelutinya ketika berada di bangku sekolah dasar. Tidak sedikitpun terpintas jika anak emas kesayangan semua orang itu akan menggunakan teknik kuno untuk menjatuhkannya.

"Apa hanya ini yang bisa kau lakukan untuk membunuhku?" tanyanya remeh. Wonwoo langsung menghadiahinya dengan pukulan telak pada tengkuknya hingga ia tersungkur. Iris kelamnya menatap Wonwoo penuh pancaran emosi.

"Atau kau yang mendapat kejutan dariku, Kang Minhyuk." Secepat kilat Wonwoo menendang kepalanya. Menimbulkan reaksi amarah oleh anak buah Kang Minhyuk yang telah berjaga-jaga. Darah segar keluar dari mulut pemuda itu, mengotori celana sekolahnya yang berwarna cokelat cerah. Ia tergelak saat cairan merah kental itu memenuhi telapak tangannya. Maka dengan segera ia memberikan isyarat kepada gengnya untuk balik menghajar Wonwoo.

Ketika itu pula Wonwoo merasa telah cukup siap menanggung segala rasa sakit yang akan menimpanya. Dengan sisa tenaganya ia melawan mereka yang berjumlah empat orang dengan tinggi setara. Wonwoo sempat bertahan dengan sudut bibirnya yang sobek, tulang pipi yang membengkak, dan lebam biru di pelipisnya. Tetapi mereka terlalu banyak dan kuat dari yang Wonwoo duga. Berulang kali punggungnya dihantam oleh balok-balok kayu itu, ia hanya menahan serangan dengan tangan kurusnya. Hingga salah satu balok itu melayang tepat ke sikunya, menghasilkan bunyi yang amat keras. Ia menjerit kesakitan, lalu tubuhnya ambruk ke tanah—sejajar dengan kaki-kaki mereka.

Maka Wonwoo hanya bisa pasrah ketika ujung sepatu mereka menghantam setiap bagian tubuhnya yang lemah, seolah berharap anak emas itu hilang selamanya dari setiap pandangan mereka.

"Mereka menyukaimu, Man. Kau terkenal sebagai playboy terpopuler, tapi aku tidak menyangka kau tak mampu meluluhkan Minhee. Aku mulai meragukanmu sekarang."

Pernyataan menohok itu menjadi pengiring langkah Mingyu menuju kediamannya. Seokmin yang berjalan beriringan dengannya masih saja betah menjatuhkan harga dirinya yang tinggi. Mengatakan segala kelemahannya tanpa beban seolah ia sedang tidak bersama objek yang dibicarakan. Jika saja Mingyu tidak ingat bahwa pemuda yang sebelas-duabelas dengan kelakuan kuda itu adalah temannya, maka ia tak segan untuk menenggelamkannya ke sungai malam ini juga.

"Aku sudah cukup tahu diri untuk mendekati gadis itu lagi. Jadi berhentilah mengataiku, kau manusia kuda." Mingyu mendengus lalu melayangkan pukulan di belakang kepala Seokmin.

Tawa Seokmin yang menggelegar di malam sunyi itu menghiasi gendang telinganya. Dan Mingyu bersumpah ini akan menjadi yang terakhir kalinya ia pulang bersama manusia jadi-jadian bernama lengkap Lee Seokmin itu.

Mingyu tersentak kala tepukan keras Seokmin mendarat di bahunya. "Itu lebih mudah kuterima." pemuda itu tergelak lagi. "Kurasa mulai sekarang kau cukup memilih salah satu dari gadis-gadis yang menyelundupkan cokelat setiap harinya ke dalam lokermu."

Mingyu memutar bola matanya malas. Ia sudah sepenuhnya kehilangan minat untuk menanggapi ucapan Seokmin. Jadi ia membiarkan tawa temannya itu mengudara di keheningan malam. Maniknya berpendar, menyadari jika lingkungan sekitar mereka sangat sepi. Lalu guratan heran tercetak jelas di keningnya. "Hei, ini masih jam sembilan kan? Kenapa sepi sekali?"

Seokmin menurunkan volume tawanya hingga benar-benar teredam saat memandang sekitar. Kosong. Senyap. Setiap langkah mereka hanya ditemani oleh cahaya lampu jalan yang temaram serta suara tapak sepatu mereka yang bersahutan.

Obsidiannya terus memandang dengan jeli ke segala arah. Sampai dirinya menemukan siluet seseorang di seberang jalan.

"Oh, Ya Tuhan, lihat orang itu." Telunjuk Seokmin mengacung pada seseorang yang berjalan sempoyongan di sana. Menatapnya tak percaya, "Dia mabuk dengan memakai seragam begitu?"

Mingyu pun menoleh dan mendapati sosok yang Seokmin tunjuk. Sepertinya seorang siswa menengah atas seperti mereka. Seragam sekolahnya masih melekat apik pada tubuhnya dengan tasnya yang terseret sepanjang trotoar. Penasaran melingkupi keduanya hingga mereka terus menatap ke arah yang sama dalam beberapa menit, lalu sama-sama terkesiap ketika objek yang mereka lihat jatuh dan tergeletak tak sadarkan diri.

Mereka saling bertukar pandang sejenak, berbagi pikiran dalam waktu singkat. Kemudian secara serentak keduanya berlari menyeberang jalan tanpa takut tertabrak oleh kendaraan jenis apapun. Lagi-lagi mereka dibuat terperangah saat melihat kondisi pemuda itu yang sebenarnya. Mingyu bisa mengatakan bahwa ini pertama kalinya ia melihat seseorang yang baru saja dipukuli sampai hampir mati seperti ini. Seokmin bahkan sampai membuka mulut tak percaya.

"Dia siswa Sekang," kata Seokmin reflek menangkap bordiran simbol lengkap dengan nama sekolahnya pada dada kiri pemuda itu. "Kau mengenalnya?" ia balik menatap Mingyu yang masih terpaku.

Mingyu tampak berpikir. "Aku seperti pernah melihatnya tapi entah dimana," lalu tiba-tiba saja ia berseru dan membuat Seokmin terperanjat. "Oh—dia tetanggaku, Min! Cepat bantu aku membawanya!"

Seokmin segera mengangkat tubuh ringkih itu ke atas punggung Mingyu. Kemudian ia membawa tas Mingyu juga pemuda itu yang ternyata kedua talinya telah putus.

"Hubungi Jisoo hyung untuk datang ke apartemenku." pinta Mingyu di sela langkah kakinya yang penuh ketergesaan, seolah telat sedetik saja nyawa seseorang dalam gendongannya akan melayang.

Seokmin mengangguk patuh, lalu dengan segera menghubungi seseorang bernama Jisoo seperti yang Mingyu katakan. Malam itu pun ia harus menunda kepulangannya selama dua jam di apartemen Mingyu demi menunggu pemuda mengenaskan yang mereka temukan di jalan itu selesai ditangani oleh Jisoo.

Jisoo datang tak lama kemudian. Ia langsung meminta mereka melepaskan seragam sekolah yang sudah tak layak pakai milik pemuda itu. Dan mereka dibuat lebih terperangah lagi saat menemukan banyak lebam pada bagian pinggang dan perutnya. Oleh karenanya Jisoo menyingkirkan mereka berdua yang masih terpaku. Mingyu yang menggenggam jas pemuda itu langsung membawanya untuk dimasukkan bersama pakaian kotor ke mesin cuci. Sebelumnya memeriksa setiap kantung jasnya dan menemukan name tag juga sebuah jam tangan. Nama Jeon Wonwoo tertera di sana. Dan dari sana lah Mingyu mengetahui nama tetangganya itu. Ia pun segera menyimpan kedua barang itu di dalam laci ruang tengahnya.

Jisoo tengah mengobati luka-luka di wajah Wonwoo dengan telaten ketika Mingyu kembali. Seokmin berada di dekatnya tetapi yang dilakukannya hanya mengamati setiap pergerakan dokter muda itu.

Akhirnya ia menoleh dan menemukan keberadaan Mingyu di ambang pintu. "Aku mengambil asal kaosmu dari dalam lemari dan—maaf karena telah melihat barangmu." tukasnya jahil.

Kaos hitam polos telah melekat di tubuh Wonwoo. Sementara Mingyu tidak mempermasalahkan Seokmin yang membuka lemari pakaiannya tanpa izin. Ia pun berinisiatif untuk membuatkan teh hangat untuk mereka berdua. Setelah semuanya selesai, maka setiap penjagaan kini dilimpahkan kepada Mingyu.

Saat itulah Seokmin merasa bahwa Mingyu menunjukkan perhatian berlebih pada seorang tetangga yang baru dikenalnya. Entah apa alasannya. Seokmin hanya tidak mengira jika ada hal yang menyangkut pemuda itu maka Mingyu selalu ada di depannya. Ia bahkan berani melupakan kewajibannya hanya untuk menunggui pemuda asing yang tidak sadarkan diri.

Dan Seokmin semakin khawatir akan hal itu.

To Be Continued

Sedikit aku peringatkan untuk chapter selanjutnya akan lebih condong ke pendeskripsian narasi dan dialog antar tokoh itu sangat jarang terjadi. Jadi diharapkan untuk sabar membacanya.

Aku sangat menghargai siapapun yang berbaik hati meninggalkan review demi kelangsungan hidup ff ini(?). Terima kasih!