Sebenarnya ... ah, saking gugupnya pengumuman PPDB jadi bingung mau ngapain, jadi mau bikin FF aja \ - -)/ yah ... gak jelas juga sih

Btw, Vocaloid dan characternya bukan milikku, aku hanya pinjam, yo!

Enjoy!


"Hm ..."

Matahari terlalu terik, bahkan setelah dia tahu bahwa sejak dulu tempat tinggalnya sangat gersang. Tapi walau begitu, kapan lagi dia bisa menikmati matahari yang terik itu. Hanya hari ini. Itu juga aneh sekali. Keinginannya hanyalah melihat matahari, dan pergi ke berbagai tempat yang jauh dari tempat tinggalnya.

"Allen, apa yang kamu lakukan? Cepat kembali," kata ibunya.

Anak laki-laki itu—Allen—hanya memandang ibunya keberatan. Tapi dia tak punya pilihan lain.

Ibunya menyusuri jalan kecil yang gelap. Allen sedikit takut akan hal itu. Allen takut gelap walau pun dia tinggal jauh dari matahari, lebih jauh dari yang orang pikirkan, tempat yang gelap tanpa dia pernah melihat matahari.

Tapi Allen tak bisa melihat ibunya lagi. Hanya remang-remang sinar matahari yang menuntunnya berjalan di tempat sempit itu. Itu pun semakin gelap saat Allen terus menyusuri jalan itu.

Ketika dia melihat remang-remang sinar matahari tak ada lagi, Allen ragu. Terus berjalan atau kembali. Tapi dia tak pernah tahu apa yang ada di ujung jalan sana. Apa yang pertama kali dia lihat jika dia menyusuri jalan itu.

Allen mulai berkhayal. Bagaimana jika yang dilihatnya bukanlah rumahnya?

Keluarga Allen memang miskin, tapi yang membuatnya takut untuk pulang bukanlah itu, Allen hanya takut gelap. Tapi Allen masih tak mengerti, kenapa rumahnya ada di ujung jalan yang gelap dan sempit.

Allen memutuskan untuk terus berjalan ketika dia melihat seberkas cahaya. Walau pun Allen tahu itu hanyalah cahaya yang berasal dari obor, tapi rasa takutnya seakan hilang.

Allen terus berlari menuju ujung jalan itu. Namun ketika sampai, Allen tak bisa percaya apa yang dia lihat. Kenapa banyak sekali darah? Allen hanya bertanya-tanya, tanpa bisa mengedipkan matanya sedetik pun dari pemandangan di depannya.


Allen menutup bukunya. Buku kusam yang kertasnya sudah berubah kekuningan dan agak sobek. Dia kembali berpikir. Bagaimana dia dulu, dan siapa dia, Allen tak bisa mengingatnya akhir-akhir ini. Allen ingin bertanya, tapi pada siapa?

Ingatannya tentang satu minggu kemarin sudah hilang. Hilang begitu saja ketika dia terbangun. Dia harus melihat buku yang selalu ada di tangannya untuk mengingat siapa dia. Tentu saja dengan cahaya yang sangat sedikit.

Allen mengusap matanya. Dia menyentuh pipinya. Seperti yang dikatakan di buku, ada sisik disana, ada juga di siku sebelah kiri dan di punggung tangan kanan. Allen agak takut pada dirinya sendiri. Bukan, dia tak terlihat seperti manusia kebanyakan. Bahkan jika dilihat, dia tak terlalu butuh makan dan minum.

Rumahnya saat ini hanyalah sebuah rumah kecil di ujung jalan yang gelap. Seperti di dalam gua yang terpencil. Allen ingin tahu apa yang ada diluar sana. Seperti apakah tempat yang disana itu. Tapi dia takut tersesat saat melewati jalan kecil yang gelap itu.

"Hhh ..."

Allen sedikit mendesah lalu melihat ke sekelilingnya. Agak berantakan. Allen bertanya-tanya apa yang dilakukan olehnya kemarin. Melihat itu, tetap saja dia tak mau bangun dulu sebelum dia mendapatkan jawabannya, tapi percuma, dia tak akan mengerti dan tahu jawabannya.

"Kau tak akan punya ingatan."

Allen menutup telinganya. Bahkan siapa yang mengatakan itu? Apakah dia selalu mendengar itu? Memang benar, tapi itu agak kasar. Bahkan suara itu mengatakannya.

Allen bangkit lalu pergi keluar rumah. Tak jauh berbeda, tetap gelap, hanya ada remang-remang dari obor di depan rumahnya yang bahkan belum dimatikan dari semalam.

"Ayo, pergilah keluar."

Dia menggelengkan kepalanya cepat. Menolaknya seakan-akan yang bicara adalah dirinya sendiri. Tapi sungguh, itu bukanlah Allen. Dia tak mengatakan apapun.

Allen mendengar suara desisan. Dia melihat ke belakang. Matanya terbelalak begitu melihat ular hitam berukuran besar. Sangat besar dari pada yang dibayangkan.

"Oh, jangan takut, aku tak akan menyakitimu," katanya.

Allen mengernyitkan dahi, ular itu bisa bicara?

"Kenapa? Tak mau pergi keluar?" kata ular itu lagi.

Lalu dia melata di sekitar Allen, mengelilinginya.

"Hm, apa aku bisa pergi?" tanya Allen.

Ular itu menuju ke arah wajah Allen cepat, membuat Allen jatuh dan terkejut, "iya, silahkan, tapi kau benar-benar monster loh."

"Siapa? Aku? Kenapa begitu? Katakan padaku," tanya Allen lagi, kali ini lebih banyak lagi pertanyaan.

Ular itu menjauh dan menuju lubang besar, seperti rumahnya, "ah, apa, ya? Entahlah, aku juga tak tahu kenapa ada mahluk sepertimu, dan aku tak peduli, jadi sampai jumpa lagi dan—ah! Walau pun aku tahu siapa kau, aku tak akan memberitahumu."

"Kenapa?" tanya Allen,masih tak puas. Namun sepertinya ular itu tak peduli kenapa.

Allen juga penasaran apa yang ada diluar. Tapi dia tak tahu apa yang akan terjadi jika dia keluar. Dan Allen tak akan tahu apa-apa jika dia tak keluar. Dia berniat untuk keluar, namun kakinya seperti menolaknya.

"Percuma, palingan lupa lagi," kata Allen pada dirinya sendiri.

Kenyataan yang menyakitkan, tapi begitulah. Allen hanya mencoba untuk mengerti pada dirinya sendiri.

"Mau keluar? Cepatlah! Kau mengganggu pemandanganku."

Allen melihat ke lubang tempat ular itu pergi. Ternyata ular itu tak benar-benar menghilang. Walau samar, Allen tetap bisa melihat kepala ular itu. Namun kini dia agak jengkel dengan ular itu.

"Bisakah kau membiarkanku berpikir?" kata Allen dengan nada yang agak menantang.

Ular itu kembali mendesis, "aku bisa menelanmu loh kalau kamu mau."

Allen tak percaya ular itu akan benar-benar menelannya, jadi dia mengabaikan ular itu.

"Kenapa?" tanya ular itu. "Kenapa masih disitu?"

"Iya, iya, aku keluar."

Ular itu mendesis sekali lagi lalu menghilang dari pandangan Allen. Entah ular itu masih mengawasinya atau tidak, yang penting Allen tak melihatnya lagi.

Allen berlari menuju rumah. Dia mengambil bukunya lalu keluar untuk mengambil obor di depan rumahnya. Dia membawanya dan mengulurkan obor itu untuk melihat apa yang ada di depannya. Semakin dia berjalan, remang-remang sinar matahari semakin terlihat. Allen malah agak ragu. Dia kembali memikirkan apa yang ada di depannya, dunia seperti apa yang akan dia lihat jika dia terus menyusuri jalan itu.

Semakin dia melangkah, semakin terang semuanya. Bahkan Allen tak membutuhkan obor itu lagi dan menaruhnya ditengah jalan. Tak peduli apakah obor itu akan mati atau tidak, untuk pertama kalinya—yang dia tak tahu pasti—dia melihat cahaya matahari.

Allen melihat di ujung jalan semakin terang. Dia sedikit berlari dan matahari menyilaukan matanya. Dia benar-benar ada di luar sekarang. Matanya berbinar. Allen tak pernah membayangkan dunia seperti inilah yang akan dia lihat.

Walau pun Allen merasa agak gersang disana, namun semuanya menakjubkan. Arsitektur bangunan yang unik dan klasik itu tersusun dari batu bata coklat pucat dan merah, disusun secara acak, ada pula yang tersusun dari kayu yang di cat warna-warni. Atap yang berbentuk kerucut berwarna hijau dengan ukiran emas disekelilingnya. Jika melihat ke atas banyak sekali orang-orang dengan pakaian aneh yang berterbangan dengan sapu atau karpet. Pakaian mereka terlihat mencolok dengan topi kerucut yang berbeda-beda warna dan modelnya. Ada pula orang-orang biasa yang berjalan dan tak bisa terbang.

Allen menyusuri jalan itu ragu. Berbagai macam buah, sayur dan benda lain dijual. Semuanya ramai menawarkan barang-barang yang dijualnya sendiri dengan semangat. Beberapa orang mendarat di jalan untuk membeli sesuatu.

"Hey! Bukankah dia monster?" teriak seseorang.

Itu membuat Allen terkejut dan menyadari orang-orang melihat ke arahnya. Kini semua yang telah dilakukannya berkelebat di kepalanya, dan dia merasa bodoh karena telah menuruti perkataan ular itu.

Orang-orang terlihat takut melihat Allen. Beberapa orang yang berani mengarahkan tongkat, pedang atau pisau ke arahnya dan mulai memojokkan Allen. Allen sendiri takut dan dia tak mengerti apa salahnya.

"Vanmozieur!" teriak salah satu dari orang yang mengarahkan tongkatnya ke arah Allen.

Tiba-tiba Allen melayang dan merasa sesak. Dia tak bisa bernafas begitu menyadari sebuah bola berwarna emas yang cantik mengelilinginya. Walau Allen tak begitu membutuhkan makan dan minum, namun tetap saja dia butuh bernafas.

Dengan pandangan yang agak buram, Allen melihat seseorang datang. Orang itu berada di depan Allen. Pakaiannya lebih bagus dari pada yang lain dengan beberapa perhiasan yang berada di sekeliling tubuhnya. Rambutnya yang berwarna tosca itu benar-benar cantik.

Orang itu berbalik membelakangi Allen. Dia terlihat seperti sedang berteriak. Dia seperti sedang berdebat dengan orang yang mengucapkan mantra tadi. Lalu berdebat dengan beberapa orang lainnya. Mereka semua beranjak pergi. Cahaya yang mengelilingi Allen menghilang. Dia kembali bernafas dan jatuh.

"Kau tak apa?" tanya perempuan itu.

Allen tak bisa membuka mulutnya. Bahkan tubuhnya terasa begitu lemas. Dan semuanya gelap bagi Allen...


Allen merasakan sesuatu yang basah mengenai pipinya. Dia mengerjapkan matanya dan merasa agak silau dengan cahaya matahari. Dia belum terbiasa.

Yang pertama kali dia lihat begitu bangun adalah perempuan cantik yang tadi dia temui. Perempuan itu membuka topi kerucutnya yang berwarna aquamarine dengan corak bergelombang berwarna pale violet dengan renda berwarna putih tulang dan bel besar yang tergantung di ujungnya membuat topi itu mengeluarkan suara gemerincing. Perempuan itu mengelap pipi Allen dengan sapu tangannya.

"Hai," sapanya.

Allen tersenyum, "terima kasih, kau yang menolongku, kah?"

"Bisa dibilang begitu, tapi jangan sungkan, anggap saja rumahmu sendiri," katanya.

"Tapi rumahku tak seterang ini," kata Allen asal. Dia langsung menutup mulutnya.

Perempuan itu malah tertawa, "siapa namamu?"

"Aku? Allen ... panggil saja Len," jawab Allen.

"Kau ingin tau namaku?" tanya perempuan itu, seakan mengerti bahwa Allen sangat bingung bagaimana caraya bertanya soal nama.

Allen segera mengangguk cepat.

Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya lalu tersenyum, "aku Mikuella Mealarania."


Omelan Author :

Aduh, seriusan gaje, saya gak bisa ngegambarin suasana dengan baik, kalau emang sampai chap 3 banyak yang suka saya terusin, kalau nggak saya gak bakal terusin, masalahnya ini bakal jadi FF terpanjang saya, bisa lebih dari 10 chap mungkin,

Makasih semua yang udah baca, review please?