Secret Admirer

.

.

.

Disclaimer : Saint Seiya © Masami Kurumada

Saint Seiya The Lost Canvas © Shiori Teshirogi

Saya tidak mengambil keuntungan materi apapun dari fic ini, hanya kepuasan dari fangirling-an semata. Maaf jika pairing ini dirasa terlalu crack, salahkan saya mengapa tiba – tiba merasa gemas sekali sama kambing gunung satu itu. Buat Sisyphus dan Milo, saya pinjam El Cid ama Camus ya... bentar aja kok, nanti juga dikembalikan #plakk dan terkhusus buat mbak Lia, selamat menikmati~

Genre : Humor, Romance, AU

Pairing : El Cid x Camus

.

.

.

Seorang pemuda berambut hijau turquoise masuk kedalam kelas tanpa memberi salam, dan segera duduk dikursi miliknya yang terletak paling depan dekat jendela. Keningnya sedikit berkerut saat mendapati hampir semua teman sekelasnya berwajah ceria dan buru – buru berhamburan keluar kelas, menyisakan dirinya bersama tiga orang temannya yang lain. Jeritan "Uhuuu...", "Ahaayyy...", "Yeaahh..." juga terdengar dari kelas – kelas lain, membuatnya berpikir apa yang membuat mereka gembira pada hari Senin?

"Camus, udah dengar belum?" Shura yang sedang menghapus papan tulis berbalik, menanyai temannya yang baru tiba.

"Apa?" Camus mengembalikan pertanyaan sambil meletakkan ranselnya.

"Kata Saga tadi guru – guru lagi rapat. Jadi dua jam kedepan kita free!" lawan bicara Camus menyeringai senang, tapi detik berikutnya wajahnya menampakkan ekspresi lain. Sedih. "Sayangnya aku harus nemenin Angelo nguras selokan sekolah, hukuman buat dia karena ngajak berantem Fenrir kemarin."

Oh, Camus ingat. Anak kelas sebelah yang freak sama serigala (sampai katanya pernah ikut casting Ganteng Ganteng Serigala, tapi sayangnya tidak diterima gara – gara Fenrir yang dikira sudah tua. Resiko punya rambut putih). Walau agak merasa aneh dengan Shura yang mau – maunya membantu Angelo menyelesaikan hukuman, padahal pemuda asal Spanyol itu sama sekali tidak terlibat perkelahian. Ujung – ujungnya Aphrodite pasti juga ikutan, mau bagaimana lagi, mereka bertiga 'kan sehati, sejiwa, seraga, bahkan seranjang (?).

Mungkin ini yang namanya solidaritas antar teman.

"Oh iya." Camus teringat sesuatu. "Bisa pinjam catatan Biologimu yang minggu lalu?"

Sambil meletakkan kembali penghapus papan pada tempatnya, Shura menaikkan alis. "Bukannya catatanmu ya, yang paling lengkap dikelas?"

"Dihilangkan Milo." Jawab Camus singkat.

Shura terkekeh pelan. "Udah tau itu anak ceroboh, masih dipinjamin juga. Sekali – kali tegas sedikit sama dia." Selesai mengatakan itu, Shura merogoh saku seragamnya yang dirasa bergetar. Mengeluarkan ponselnya yang mendapat pesan masuk dari Angelo.

Sementara Camus, pemuda Sekolah Menengah Akhir itu hanya mengangkat bahu, tanda bahwa dia juga tidak mengerti mengapa. Mungkin ini yang namanya solidaritas antar teman.

"Cari aja ditasku, buku warna hijau tua, sampulnya kambing." Pemuda berambut pendek itu beranjak keluar kelas. "Duluan ya, Mus. Si Kepiting ama Ikan Asin udah karatan nunggu disana."

"Tapi, bukunya—"

"Gak apa – apa, kok. Kamu 'kan orangnya jujur, jadi gak khawatir ada barang hilang kalau kamu ngubek – ngubek tasku."

"Tapi—"

"Kalau gak ada ditas, mungkin dilaci. Atau nyungsep dimejanya si Alde. Pokoknya cari aja disekitar situ."

"Tapi, Shura—"

"Iya, sama – sama, Mus. Aku seneng kok bisa nolongin teman." Shura memberi senyuman simpulnya kepada teman dinginnya itu sebelum berbalik pergi melewati pintu. Meninggalkan Camus dengan ucapannya yang tertelan udara.

"Tapi, Shura. Bukumu sampulnya kambing semua."

Menghela napas berat, pemuda asal Perancis itu mulai membuka tas besar Shura, dan mencari buku yang dimaksud. Tapi hampir semua isi dalam tas teman sekelasnya itu dia keluarkan, Camus sama sekali tidak mendapat buku yang dia cari.

"Bahasa Yunani, Matematika, Kimia, Bahasa Inggris..." Camus memeriksa ulang isi tas Shura. "...Fisika, Bahasa Bugis, Bahasa Sunda, Bahasa Sindarin—" matanya tiba – tiba terpaku pada sebuah buku tanpa judul yang berbeda sendiri penampilannya. Masih gambar kambing sih, tapi tidak seperti buku lain yang bersampul kambing yang sedang memainkan pedang, buku ini malah kambing yang membeku ditengah padang salju. Sampulnya juga robek sana – sini, disertai pinggir halaman yang mulai keriting dan menguning.

Otomatis otak Camus yang bisa dibilang cerdas, berpikir bahwa buku inilah yang dia cari. Belajar dari sahabatnya Milo, dia paham bahwa pelajaran yang sedikit fansnya ini (termasuk saya, lumayan gak suka Biologi) sebagian besar memiliki tampilan kumal dan tidak terjaga. Tapi opininya berubah saat membaca preambule norak bertinta merah-hijau yang ditulis besar – besar dihalaman pertama.

.*.

MILIK SHURA DE CAPRICORN

.*.

YANG BACA DAN BERANI BUKA, AKU SUMPAHIN DEPRESI SEUMUR HIDUP, SUSAH REJEKI, DAN PENYAKITAN KAYAK OM KARDIA *maaf Milo*

Camus speechless seketika. Ternyata Shura yang punya loyalitas paling diacungi jempol sekelas dan pernah dikira mantan yakuza gara – gara pintar main pedang, suka diary – diary-an juga ya. Dia pikir Cuma Aphrodite yang super kemayu itu saja. Atau jangan – jangan ini karena hasil sering bergaul dengan adik kandungnya Albafica itu?

Pemuda berambut layaknya daun itu tidak berniat membuka halaman berikutnya, bukan karena takut ancaman absurd tadi, melainkan karena Camus bukan tipe orang yang suka kepo sama masalah orang lain. Camus ya Camus, mereka ya mereka, selesai. Dia sama sekali tidak tertarik membaca keseluruhan isinya.

Tapi semua itu berubah saat—Shaka bersin – bersin dengan hebohnya.

"Maaf." Pemuda India tapi blonde itu mengusap hidungnya yang becek dengan sapu tangan berlambang domba (hadiah ultah dari Mu), dan kembali rileks bermeditasi.

Memang, sedari tadi Shaka memang menjadi penghuni kelas selain Camus. Tapi karena si kurus itu tidak berniat ngapa – ngapain selain duduk bersila ditempatnya duduk, bahkan sedikit berbasa – basi 'say hi' ke Camus pun tidak, jadi kita anggap saja dia rumput yang bergoyang. Salahkan Asmita sang mentor, yang berpengaruh menempa watak si pirang menjadi The Second of Buddha's Reincarnation.

Beruntung karena bersin Shaka yang kelewat keras, Camus menyadari adanya tulisan samar dipojok halaman. Terlihat seperti ditoreh dengan pensil tapi telah dihapus, meski masih menyisakan penampakan serupa bayang – bayang. Camus menajamkan matanya, berusaha membaca dengan jelas tulisan antara ada dan tiada itu. Bersyukur karena matanya masih sehat, tidak seperti kakaknya yang entah telah mencapai minus keberapa sekarang, akibat keseringan membaca malam – malam.

TERUTAMA CAMUS DE ES BATU

Pemuda itu sontak mengerutkan kening. Bukan! Bukan karena namanya yang diberi embel – embel aneh, tapi karena penasaran. Ada apa dengan isi buku itu sampai – sampai dirinya tidak diperbolehkan membacanya? Apa selama ini Shura memiliki sesuatu anomali menyangkut dirinya? Dendam misalnya.

Murni karena ingin tahu, Camus memberanikan diri membuka halaman kedua. Hanya sekedar mencari apa gerangan penyebab buku ini haram baginya. Dia tahu, bahkan amat sangat tahu membaca diary orang lain itu tidak sopan, seperti yang sering kakaknya bilang padanya, 'Rasa penasaran itu, dapat membunuh seekor kucing'. Kesampingkan kucingnya, jelas wejangan ini melarangnya untuk tidak larut dalam penasaran, selayaknya Pandora dan kotaknya.

Camus membuka halaman kedua, tidak menyadari bahwa dirinya telah memerankan Pandora yang sedang membuka kotak terlarang yang dianalogikan sebagai buku harian Shura (kalau di Percy Jackson bejana ya, bukan kotak).

Lelah, aku lelah!

Punya kakak satu biji yang dinginnya minta ampun, tapi tidak sadar umur. Terlambat banget kasmarannya. Oke kak, kamu ganteng, kok! Bahkan banyak yang bilang kamu lebih ganteng dari adikmu ini. Fine! Aku sih terima – terima aja (walau nyesek), tapi mbok ya pubernya kok telat sih? Kayak anak SMA labil aja!

Kak El Cid! Kalau punya orang yang disuka, ngomong dong. Jangan main malu – malu dibelakang, masa' kalah sih sama adikmu yang udah punya pacar. Kalian berdua 'kan sama – sama dingin, sama – sama es batu, sama – sama miskin ngomong, jadi pasti nyambung.

Oke, aku kenalin dulu deh siapa manusia bejat yang tega – teganya bikin kakakku jatuh cinta dan uring – uringan setahun belakangan ini, tapi sama sekali tidak peka. Atau Kak El Cid yang emang kurang action?

Namanya Camus. Tanpa marga, tanpa embel – embel, tanpa nama tengah. Just Camus.

Teman sekelasku yang paling briliant otaknya, asal Perancis.

Orang yang baru kenal dengannya, manggil dia Camus.

Orang yang sudah lama kenal dengannya, manggil dia Camus.

Temannya, manggil dia Camus.

Aku, manggil dia Camus.

Kakakku, manggil dia Camus (sesekali tidak berani nyebut namanya, saking gugupnya).

Guru - guru, manggil dia Camus.

Semua orang, manggil dia Camus. Just Camus.

Tapi hanya ada tiga orang didunia ini yang manggil Camus, bukan hanya 'Camus' saja. Tapi sesuatu yang lain, yang mengutarakan bahwa tiga orang itu berbeda dari yang lain, dihati Camus.

Hyoga, adik kelasku asal Siberia, yang blonde nan hyperactive, tapi mati – matian meniru Camus dengan lagak sok cool. Manggil Camus dengan sebutan 'Sensei'. Bocah bebek itu ngefans sama dia gara – gara katanya Camus mengingatkannya kepada ibunya yang sudah meninggal. Camus dekat dengan Hyoga karena mereka berdua sama – sama pernah hidup satu atap, pas Camus masih tinggal di Siberia.

Berikutnya Kak Dègel, kakak kadungnya sendiri. Well, Kak Dègel manggil Camus dengan 'Camus' saja, sih. Tapi bagi orang yang dekat dengan Kak Dègel, ada desir aneh gimana gitu pas dokter itu nyebut nama adiknya. Namanya juga saudara.

Dan terakhir, Milo. Sahabat Camus sejak masih jadi zigot. Dia memanggil Camus dengan panggilan terhormat 'Kulkas Bertunas', katakan terima kasih kepada rambut hijau Camus yang membahana.

Tapi ini nih, yang sering bikin salah sangka. Saking dekatnya Camus sama kalajengking satu itu, Kak El Cid sering kira mereka udah jadian. Plis deh, Kak! Mereka itu Cuma sahabatan, tidak lebih. Milo aja udah punya pacar, namanya Shaina, Bendahara OSIS yang galaknya minta ampun. Walau Milo bisa dikategorikan termasuk cassanova, tapi mana berani dia selingkuhin Shaina. Bisa kena cakar gratisan dia, meskipun kuku mereka berdua sama – sama tajam.

Jujur, Kak El Cid bisa jatuh cinta sama Camus, punya dasar yang kuat. Karena memang, Camus itu good looking banget. Kalau saja dia sering senyum dan buang sedikit aura dinginnya, kedip sedikit, semua orang bakal membeku deh. Andaikata Angelo tidak nembak duluan (say thank you to Aphrodite yang hobi mengkompori kami berdua), sudah dipastikan aku bakal jatuh cinta juga sama si Camus.

Keren, tidak menye – menye, pinter, punya darah Perancis, calon dokter lagi! Siapa coba yang tidak terpesona?

Kampret moment itu, pas capek – capek pulang sekolah, Kak El Cid yang lagi masak makan malam langsung nanya. Awalnya soal sekolah, lama – lama buntutnya nanyain Camus juga. Berhubung aku anaknya jujur, ya jawab kalau Camus lagi sama Milo.

Eh... Kak El Cid malah tiba – tiba diam begitu, mana pake aura – aura hitam lagi. Plis deh, Kak! Cemburu? Trus kenapa Camus-nya tidak ditembak? Dan ujung – ujungnya aku harus puas dengan makan malam yang selalu kelebihan bumbu, kalau bukan keasinan, pasti kepedesan. Beneran, deh, sejak kapan kakakku yang katanya Om Hasgard paling cuek sekampus, bisa selenje ini?

Perasaan pas tangannya hampir buntung waktu diserang anaknya Om Hypnos (itu lho, yang punya kembaran rambut hitam, yang lagi pedekate sama abangnya pacarku), ekspresinya masih datar – datar aja, seolah tangan kanan putus itu hal biasa. Malah dokternya yang jerit – jeritan.

Tck... cinta mengubah segalanya.

Awal mula kisah cinta tidak kesampaian kakakku ini, diawali saat mereka pertama kali bertemu satu tahun yang lalu. Waktu itu pertengahan bulan Januari kalau tidak salah, Kak Dègel bikin acara penyambutan sekaligus syukuran buat Camus yang setelah dua tahun bersekolah di Siberia, akhirnya disumpah juga sebagai 'Tenaga Teknis Kefarmasian', mengikuti jejak sang kakak yang sudah jadi dokter.

Kak El Cid adalah tipe orang yang tidak percaya sama yang namanya fall in love at first sight, dan seperti kata mentornya si Shaka, karma is exist. Kakakku tercinta ini, kena batunya. Ceritanya agak kocak, sih, waktu itu Camus disuruh Kak Dègel buat bagi – bagikan roti melingkar yang-aku-lupa-namanya-tapi-sumpah-nagih-banget. Pas sampai ke Kak Cid, Camus basa – basi dikit, bilang, "Silahkan dinikmati, Om."

Kemudian hening...

Kemudian piringnya Angelo sama Milo jatuh...

Kemudian Kak Manigoldo sama Om Kardia tahan napas...

Kemudian keempat orang itu ketawa heboh bareng – bareng, bahkan sampai guling – gulingan dilantai.

Yang lainnya juga ikutan ketawa, bahkan Kak Albafica sama Kak Aspros yang biasanya jaim, udah berurai airmata saking gelinya. Mungkin Cuma Kak Asmita saja yang masih anteng ditempatnya duduk. Apalagi dengan mukanya Kak Cid yang sebelas dua belas sama rambutnya si Mu, ungu muda, juga Camus yang diam tanpa kata, tapi seolah bertanya 'saya salah ucap, ya?'. Tambah menggelegarlah tawa mereka.

Aduh, Kak! Makanya, kalau punya muka ganteng itu ya dimanfaatin dong! Senyum, kek. Tidak bisa move on dari ekspresi jutek ya? Itu Om Sisyphus yang hampir kepala tiga aja dipanggil Camus dengan sebutan 'Kak', kamu gimana eh, Kak Cid?! Dan acara itu akhirnya berlanjut setelah entah sekian lama dipending, guna menenangkan para peserta acara yang hampir kehabisan napas. Meski masih ada cekikikan disana – sini.

Sepanjang acara, Kak Cid dilarang berada dalam radius jarak pandang Kak Manigoldo. Karena sedikit saja Kak Manigoldo melihat penampakan kakakku (walau cuman seujung rambut gelapnya), gairah untuk terus tertawa akan muncul tidak bisa dihentikan lagi. Camus sendiri baru sadar pas dikasih tahu sama Kak Dègel kalau umurnya Kak Cid masih dua puluh lima-an. Dan itu pertama kalinya dunia melihat seorang Camus salah tingkah. Sepulang dari sana, kedua rahangku rasanya kesemutan semua, akibat overdosis ketawa.

Setelah perkenalan yang diluar dugaan itu, Kak Cid jadi lumayan tahu banyak hal tentang Camus dari Milo. Mulai dari Camus yang ternyata ikut kelas akselerasi, dan berniat sekolah disini satu tahun lagi, agar umurnya bisa cukup (padahal kebanyakan orang maunya cepat lulus, ini anak malah ngulur waktu setahun).

Aku sendiri juga bingung, kapan tahunya kalau Kak Cid ada rasa yang tak biasa sama Camus. Kalau tidak salah pas Kak Cid lagi baca buku mitologi gitu, trus bilang kalo Camus agak mirip Ganymede personifikasinya. Tapi manyun berat (beneran, lho! Bibirnya Kak Cid emang ditekuk – tekukkin kebawah gitu) pas tahu kalau Ganymede ternyata pacarnya Zeus.

Kalau Camus adalah personifikasi Aquarius, itu artinya Kak Cid adalah personifikasinya Capricorn (tidak ada nilai filosofis macam-macam sih, ngambil langsung dari zodiaknya mereka berdua aja). Gimana ceritanya kambing, mutan pula, bisa ngerebut pacarnya Zeus yang notabenenya adalah dewa dari para dewa? Mungkin karena status kerdilnya itulah, Kak Cid jadi agak sungkan nembak Camus. Dan harus puas Cuma berdiri dibalik bayang – bayang, bersembunyi dengan topeng ketidakpedulian, padahal nyatanya Camus adalah pemain utama dalam setiap mimpinya—

Camus tidak melanjutkan bacaannya, karena sesuatu yang sedang dia baca sekarang telah berpindah tangan. Menoleh cepat, pemuda Perancis itu bertatapan dengan kedua mata Shura yang jelas mendeskripsikan bahwa sang pemilik mata sedang panik. Shura, yang belakangan diketahui sebagai perampas buku, menyembunyikan benda persegi tipis itu dibalik punggungnya. Lengkap dengan tangannya yang penuh keringat, entah karena habis kerja bakti atau karena menahan rasa gugup.

Matanya juga tajam memandang Camus. Batinya berteriak histeris, tidak menyangka bahwa rahasia yang berusaha dia tutupi selama ini, terbuka sepenuhnya. Karena keteledoran dirinya. 'Mati aku!'

"Se-seberapa banyak?! Seberapa banyak kamu baca buku ini?"

...

'Kakak emangnya gak bosan, cuman jadi pengagum rahasia?' kata – kata sang adik masih terpatri jelas dalam ingatan pemuda Spanyol bermata tajam itu.

'Kalau beneran suka, ya diperjuangkan, dong!'

'Cinta tanpa usaha, sama kayak kambing tanpa tanduk. Cemen!'

'Jatuh cinta yang paling menyakitkan adalah jatuh cinta secara diam – diam. Saya harap kamu tidak melakukan kesalahan yang sama seperti saya, El Cid. Bersyukur karena Aspros memberanikan diri untuk maju duluan, kalau tidak, kami berdua akan mati tanpa tahu bahwa sebenarnya kami saling mencintai.' Sial, ucapan Sisyphus sahabatnya juga ikut meramaikan kekalutan pikirannya.

El Cid tahu itu, amat sangat tahu. Bahkan dia sekarang merasakannya, tepat didalam hatinya. Tapi seolah cuek bebek dengan situasi hati, pikirannya malah menolak tegas perasaannya ini. Dia takut perasaannya ini hanya sekedar 'perasaan' belaka. Dia takut bertindak, takut mengutarakan, ucapkan terima kasih kepada dirinya yang selalu mementingkan logika. Akhirnya dia hanya bisa memainkan peran minor sebagai pengagum diam – diam.

Camus melumpuhkan El Cid tanpa sang pemilik tubuh sadar akan hal itu. Dan setelah hatinya dikuasai, semuanya serasa ambigu baginya. Tidak peduli se-absurd apapun proses perkenalan mereka.

"Melamun lagi?"

El Cid mendongak dan mendapati seorang berkacamata dengan wajah amat mirip sang pujaan hati, tengah menatapnya. Dègel, berbalik kewastafel ruang kliniknya dan mulai mencuci tangannya seusai mengganti perban pada lengan kanan sahabat seperguruannya itu.

"Sayatannya mulai tertutup, mungkin agak bengkak nantinya tapi itu normal, kok." Dègel mendengar gumaman 'terima kasih' kecil dari sang pasien. "Minggu depan kembali lagi, lukanya harus dicek supaya tidak infeksi. Saya sarankan jangan bekerja berat, latihan pedangnya ditunda dulu, minta tolong sama Shura saja kalau ada perlu, usahakan perbannya tetap kering, hindari tempat – tempat yang—"

"Terima kasih, Dègel. Tapi kamu sudah pernah bilang begitu minggu kemarin." El Cid memotong, agak bosan dengan ceramah sang dokter. Lengannya hanya nyaris putus, itu saja, tidak perlu dibesar – besarkan. Bukannya apa, dia memang tidak terlalu nyaman sama yang namanya perhatian berlebih. "Dan minggu kemarinnya lagi."

"Saya hanya melakukan apa yang telah menjadi tugas saya saja." Kakak dari Camus itu menghela napas, dan mengerling kearah El Cid sambil mengeringkan tangannya. "Kamu punya masalah, El Cid?"

"Tidak, lukanya baik – baik saja—"

"Bukan itu. Tapi masalah yang lain." Dègel membuka jas putih dokternya, dan menggantungkannya disandaran kursi. Tanda bahwa hubungan dokter-pasien sudah tidak berlaku lagi sekarang. "Kamu sedang kalut, saya tahu."

"Tidak ada—"

"Saya punya gelar dibidang psikologi, El Cid, asal kamu tahu." Dègel menyanggah kembali, memperjelas bahwa opininya beralasan. El Cid hanya diam, tidak berniat mengelak sesuatu yang memang benar adanya. Lagipula dia sudah tertangkap basah.

"Ceritakan saja. Tenang, saya tidak seember pacar saya." sebagai pemecah suasana, Dègel tersenyum hangat. Memberi kesan bahwa rahasia sang teman aman ditangannya. Mau tidak mau El Cid membalas dengan sunggingan juga, walau tidak lebih besar dari bayi semut. Mengungkap perasannya kepada Dègel lumayan membuatnya ketar – ketir, pasalnya karena wajah sang teman amat mirip dengan Camus, meski lebih hangat.

Mengumpulkan segenap keberaniannya, El Cid mulai membuka mulut. "Aku..."

...

"Se-seberapa banyak?!" Shura menjerit panik, buku tulis lusuh yang ia sembunyikan dipunggungnya digenggam erat – erat. "Seberapa banyak kamu baca buku ini?"

Camus masih diam ditempatnya duduk, mendongak menatap mata Shura yang mulai tampak mengecil pupilnya. Tanda bahwa pemuda dihadapannya sedang amat teramat shock. Sementara dibelakangnya, Angelo yang bertaburan keringat habis kerja rodi atas suruhan Pak Shion, hanya menaikkan alis melihat kepanikan Shura yang tiba – tiba.

"Seberapa banyak, Camus?!" Shura bertanya lagi, saat lawan bicaranya masih bergeming.

"Dua halaman terakhir." Camus menyadari bahwa respirasi Shura menjadi tidak stabil sesaat setelah dia selesai menjawab.

"Lupakan semuanya! Kamu harus amnesia! Plis, demi keutuhan leherku dari Excalibur Kak Cid!" Shura sekarang malah berlutut, dan dengan brutalnya menggenggam kedua tangan sang pangeran es kuat.

"Shura loe kok gitu?!" Angelo salah paham, mendapati moment aneh terpampang jelas dihadapannya.

"Diam dulu! Kalau gak tau apa – apa jangan ikut ngomong!" Shura membentak sang pacar, membuat Angelo langsung naik tekanan darahnya.

"Jangan nyolot, dong! Siapa juga yang gak sewot habis lihat pacarnya pegang tangan orang lain!" pemuda berambut pendek itu mulai muncul urat – urat didahinya.

"Angelo jangan salah paham!" Shura buru – buru berdiri, mencegah sang pacar bepikiran lebih ekstrim lagi.

"Cukup, Shura! Semua sudah jelas!"

"Gak! Ini gak seperti yang kamu kira! Dengar penjelasanku dulu..."

"Gue gak butuh penjelasan!"

"Telenovelanya bisa di-pause sebentar, tidak?" Camus mulai hilang kesabaran. "Bukan Angelo yang butuh penjelasan, Shura. Tapi saya!" iris tajam Camus memberi dampak beku pada dua orang dihadapannya. Terlebih pada Shura yang tiba – tiba full of guilty itu. "Jelaskan!"

...

Bersyukur atas nama Yang Maha Kuasa, Dègel tidak sedang menggenggam sesuatu sekarang ini, karena jika tidak, benda yang ada ditangannya pasti telah jatuh berantakan kelantai. Terkejut? Jelas! Dirinya mengenal El Cid bukan sekedar setahun dua tahun, tapi bertahun – tahun. Teman jangkungnya ini adalah tipe yang irit kata – kata sama seperti dirinya, tapi sekali El Cid mengucap sebuah kalimat, tidak ada dusta didalamnya. Hanya saja, aneh rasanya mendengar kata 'itu' keluar langsung dari bibir sang ahli pedang.

Dègel sedari tadi memang telah mewanti – wanti hal aneh yang akan terjadi pada El Cid. Sejak dirinya membebat ulang luka sang teman, El Cid menunjukkan kelakuan lain dari biasanya, tetap diam dengan diam yang tidak wajar, tidak meringis sedikitpun walau luka terbukanya masih amat perih (menunjukkan sesuatu yang sedang El Cid kalutkan itu lebih menyakitinya), tidak membalas pertanyaan apapun darinya (disini Dègel tidak terlalu memikirkannya, mungkin balasan karena dia juga sering mengacuhkan orang lain, terutama Kardia), dan tatapannya serasa kosong, tak ada semangat seperti biasanya.

Mata memang pintunya hati, sekalipun itu tergambar jelas dari mata sewarna nila El Cid, tentu saja masih terasa aneh baginya. Atau telinganya yang salah dengar?

"Kamu tadi bilang—apa?" Dègel memastikan untuk yang ketiga kalinya.

El Cid yang duduk dikursi pasien berseberangan dengan meja, menoleh kearah lain, tidak bernyali menatap mata Dègel. Dan itu memberi dampak kemerahan dipipi tirusnya. "Kamu harusnya tahu. Ini sulit dikatakan, Dègel!"

"Saya hanya memastikan, kalau – kalau telinga saya salah."

"Tapi tidak sampai tiga kali."

"Sekali saja, dan saya akan percaya."

Mengurut kening dengan tangan kirinya, El Cid akhirnya bersuara dalam nada bariton kecil, "Aku, naksir adikmu."

Hening.

Kedua ujung bibir Dègel berkedut, senyum simpul mulai sedikit membentuk darinya. Nyaris tertawa, tangannya menutup mulut, mencegah gelak yang akan segera tersembur keluar. Demi apa, baru kali ini Dègel melihat sang teman yang dikenal paling kaku, tersipu seperti sekarang. Kalau ada Manigoldo disini, komentar 'Kesambet apa loe, bro?! Bwahahahah...' pasti akan terus keluar tanpa henti.

"Saya tidak tahu harus mengatakan apa." Masih mengulum senyum, Dègel mencoba untuk duduk. Mengistirahatkan dirinya yang agak oleng diterpa infomasi mengejutkan dipagi hari.

"Jangan dikomentari. Kamu tidak pernah tahu sesulit apa untuk mengatakannya." El Cid mendelik.

"Lebih sulit mengatakannya pada saya, atau mengakuinya didepan Camus?"

El Cid gerah diserang terus menerus. Bersyukur karena Dègel segera mengerti dan mengganti pertanyaannya menjadi bertendensi kepada interogasi. Ho, ingin menguji calon iparnya mungkin?

"Sejak kapan? Kalau boleh tahu." Sang dokter memperbaiki letak kacamatanya.

"Setahun lalu, diacara penyambutan waktu itu." Lirih, El Cid menjawab.

Dègel mengangkat satu alisnya. "Pandangan pertama?"

Rona merah kembali menghiasi tulang pipi sang ahli pedang. "Memalukan, bukan?"

Dègel merasa tidak pernah tersenyum selama ini seumur hidupnya, setelah hari dimana Kardia pertama kali menembaknya saat dirinya masih Sekolah Menengah. Seberapa sering kau bisa melihat El Cid dalam keadaan seperti ini, selayaknya remaja baru puber. Sepertinya dia harus mengangkat semua jemurannya, karena sebentar lagi pasti akan ada badai besar.

"Saya tidak tahu kalau Camus sepopuler ini." Dègel berujar, masih dengan senyum tersungging.

"Salahkan dia kenapa begitu mempesona." El Cid menunduk, menatap tangan kanannya yang dibebat perban serupa mummi. Lidahnya serasa menertawai dirinya.

"Saya sih tidak keberatan. Camus dengan siapa saja, asal dia bahagia itu sudah cukup." Dègel berkomentar bijak, kedua tangannya menyatu dan bertaut erat didepan wajahnya. Matanya yang dilapisi kaca, memandang El Cid yang masih saja menunduk. "Sayangnya saya tidak bisa berbuat apa – apa dengan statusmu yang masih stuck sebagai—"

"—pengagum, aku mengerti—" El Cid memotong. Tapi dipotong kembali oleh Dègel.

"—rahasia!" tatapan matanya semakin intens seiring atmosfer yang mulai mendingin, entah karena AC atau dari tubuh Dègel sendiri yang kata Kardia punya aura beku. "Kamu benar – benar menyukai adik saya?"

"Kamu ragu dengan ketulusanku, Dokter?" El Cid akhirnya berani menatap mata Dègel, lumayan tersinggung dengan statement sang teman berkacamatanya yang agak menyinggung perasaannya. Mempertanyakan kesungguhan hatinya.

"Tidak, hanya saja..." gestur tubuh Dègel semakin menguatkan aura beku disekitarnya. "Kalau kamu memang sungguh – sungguh, kenapa tidak diperjuangkan?"

Shit! Pertanyaan ini lagi!

Tidak tahukah Dègel, bahwa menyatakan perasaan kepada orang yang hampir membuat jantungmu berdetak tidak normal tiap kali bertemu, itu lebih sukar dari mengoperasi caesar kambing bunting yang bayinya kembar sebelas. Oh tentu saja, bodohnya El Cid, Dègel memang pernah melakukannya. Sayangnya bayi kambing itu hanya kembar tiga.

"Saya tidak akan memaksamu." Dègel memutuskan acara merenung El Cid dengan senyum hangat, seperti tahu isi pikiran sang teman yang semakin tidak karu – karuan. "Camus memang dingin. Tapi sekalinya kamu bisa melelehkan hatinya, dia tidak akan berpaling ke hati yang lain. Saya hanya ingin kamu beraksi lebih fantastis lagi. Bukannya saya sok tahu, hanya saja ini berdasarkan pengalaman pribadi." Mata Dègel melirik kearah pintu kliniknya, dan detik berikutnya terdengar suara barang – barang berjatuhan dan seruan "Sial!" dari luar.

"Dègel...! yang jatuhin alat operasimu kucing ya, bukan gue!" teriakan susulan dari balik pintu.

"Tidak ada kucing disini, Kardia!" Dègel membalas, kemudian beranjak pergi untuk membuka pintu.

"De-Dègel..." panggil El Cid. Sementara yang dipanggil menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sang pemanggil.

"Ya?"

El Cid melengkungkan bibirnya kaku, "Terima kasih."

Dègel mengangguk dengan senyum simpul, lalu berbalik kembali menekan engsel pintu kebawah. Tapi belum juga pria berambut hijau itu membuka pintu, El Cid kembali menahannya.

"Dan, Dègel..." mau tidak mau Dègel kembali menoleh. "Jangan beri tahu Kardia."

...

'Kakakku suka padamu.'

'Dia tidak berani bilang karena kira Milo itu pacarmu.'

'Tapi pas tahu Milo bukan pacarmu, dia jadi semakin tidak bisa bilang.'

'Mungkin pikirnya, Milo saja yang dekat denganmu sama sekali tidak bisa menarik hatimu. Apalagi dia yang 'begitu'.'

'Dia takut perasaannya menipunya. Kakak memang begitu, maklumi saja.'

'Bagi kakak, bisa suka padamu itu sudah merupakan sebuah kebahagiaan. Meski hanya sepihak.'

Camus menjambak rambutnya sendiri, berusaha mengenyahkan ucapan Shura yang masih melekat didalam sel otaknya yang paling dalam. Walaupun dia tahu itu tidak mungkin, malah akan membuat akar rambutnya rapuh dan rontok. Dengan langkah yang dipaksakan, sang adik Dègel menyusuri jalanan kerumahnya, masih tetap berusaha amnesia untuk sesaat.

Seharusnya Camus tidak membukanya. Seharusnya Camus menuruti ultimatum yang telah tertulis jelas dihalaman pertama. Seharusnya Camus tidak mengikuti rasa penasarannya. Seharusnya Camus tidak bertindak layaknya Pandora. Seharusnya, hanya tinggal seharusnya.

Sekarang dia harus menerima konsekuensinya, dan ini jelas membuatnya teramat bimbang. El Cid baginya hanyalah merupakan seorang kakak (atau om saat mereka pertama kali bertemu), mereka berdua sama sekali tidak pernah bicara berdua. Interaksi mereka hanya sekedar menyapa, tidak lebih sama sekali. Bagaimana bisa orang yang bahkan tidak pernah bicara denganmu, tiba – tiba ketahuan punya perasaan padamu?

Lagi pula kesenjangan umur mereka terpaut sangat jauh. Lima tahunan. Camus harus bertindak, dia benci yang namanya PHP, dan sama sekali tidak ingin meng-PHP orang lain. Mengatakan dengan jelas dan tegas walau menyakitkan, itu lebih baik daripada diam dan mengungkung orang lain dalam fantasi harapan kosong.

"Ke-kenapa bisa ada kucing disini?"

Pemuda berambut hijau itu berhenti didepan klinik milik kakaknya, yang juga merangkap sebagai tempat tinggal mereka berdua. Lamunannya terputus begitu mendengar suara sang kakak yang tumben – tumbennya keluar.

"'Kan sudah dibilang, kucing yang bikin!"

Kakaknya tidak sendiri rupanya, suara lain juga terdengar dari dalam. Suara mirip Milo, tapi dengan nada lebih berat. Siapa lagi kalau bukan Kardia, pacar sang kakak. Pria berambut biru ombak itu memang sering datang ke klinik Dègel dengan alasan check up harian jantungnya, meskipun sudah jelas motifnya adalah kencan.

Ingin tahu apa yang terjadi, Camus segera melangkahkan kakinya masuk, dan terkejut mendapati kakaknya, pacar sang kakak, dan seekor makhluk berbulu yang tepar dilantai dengan background ruangan berantakan juga alat – alat kedokteran yang bertebaran dimana – mana. Camus menyadari, disamping kucing tersebut, tergeletak botol obat berlabel palang merah dengan latar putih, lambang obat narkotik.

"Sudah pulang?" Dègel-lah yang pertama kali menyadari kehadiran sang adik yang tanpa salam masuk itu.

"Masih jam sepuluh, kok. Tumben cepat pulang." Kardia juga menyapa. "Mau bolos kayak si Milo, ya!"

"Guru – guru sedang rapat." Camus mengangkat bahu, dia kemudian melirik kearah kucing malang berbulu putih-abu itu. "Dia keracunan?"

Dègel berjalan, dan mengambil botol yang jatuh disamping sang kucing. Berupaya membersihkan tumpahan tablet dilantai. "Lebih tepatnya overdosis." Ucapnya begitu menghitung ada berapa butir yang hilang. "Kucing ini sepertinya penasaran. Kardia, bantu saya bereskan semua ini. Camus, kamu masuk saja."

'Rasa penasaran memang benar membunuh seekor kucing.' Batinnya. Pemuda dingin itu mengangguk menyetujui perintah Dègel, dan berjalan pelan menuju pintu utama yang menghubungkan ruangannya sekarang dan ruang kerja kakaknya itu.

"Oh ya, Camus." Dègel memanggil lagi, "Didalam ada pasien kakak, tolong kamu bungkuskan persediaan perban untuk satu minggu. Bisa 'kan?"

Camus hanya menjawab dengan lambaian tangan, sebelum benar – benar menghilang kedalam ruangan sebelahnya. Tidak menyadari makna terselubung dari arti perintah barusan.

'Eh? Dègel senyum! Tumben.' Pikir Kardia dalam hati.

...

Camus shock bukan main, melihat penampakkan orang yang paling dihindarinya sekarang ini tengah duduk dikursi tepat dihadapannya. Bertemu dengan El Cid sama sekali bukan hal yang dia inginkan, tapi demi profesionalitas, pemuda berkulit agak kecoklatan itu akhirnya menguatkan kedua kakinya mendekati pria Spanyol disana.

"Selamat pagi." Sapa Camus sembari meletakkan ranselnya diatas meja, dan segera berjalan ke rak penyimpanan, melaksanakan perintah kakaknya. Sama sekali tidak menyadari bahwa manusia yang disapanya tadi hampir jantungan. Mendapati sesosok orang yang telah memenuhi pikirannya tiba – tiba muncul betulan. Terefleksi dengan jelas, memberinya salam pula!

"Pagi." Berusaha terlihat baik – baik saja, El Cid menahan napasnya. Takut jika Camus menyadari keganjilan yang ada pada dirinya dari tidak normalnya hembusan udara yang keluar dari hidungnya. Hanya berjaga – jaga, tadi saja dia baru tahu kalau Dègel punya kemampuan semi psikiatri, siapa tahu adiknya juga belajar hal yang sama.

Beruntung karena sang lawan bicara sedang membelakanginya, El Cid dapat sedikit menyembunyikan kegugupannya. Benar – benar kondisi yang bisa dibilang tidak terlalu membuat nyaman. Camus diseberang sana, sibuk dengan sesuatu entah apa, sama sekali tidak me-notice keberadaannya. El Cid mulai khawatir bahwa sapaan dua kata tadi hanyalah sebuah basa – basi yang tidak memiliki arti, hanya sekedar penjaga kesopanan, tanpa sang pelontar kalimat bersungguh – sungguh dengannya.

Pria berdarah Spanyol itu benar – benar ingin menghilang saja dari sana sekarang juga.

Disisi lain, Camus ternyata juga merasakan hal yang sama. Bahkan mungkin lebih tinggi dosisnya dari El Cid, tapi tertutupi sempurna dengan wajah datar abadinya. Beberapa kali tangannya bergerak sendiri tanpa komando darinya, hampir menjatuhkan barang – barang, mengepak benda yang tidak perlu dan mengeluarkan yang dibutuhkan, salah mengira air kapur sebagai alkohol, juga kesalahan fokus yang lain. Dia mulai ragu dengan keprofesionalitasnya, dan berpikir untuk berhenti magang dalam waktu agak lama guna menenangkan diri.

"A-anu..." gumaman kecil akhirnya keluar dari celah bibir Camus. "Kak Dègel biasa ngasih analgetik oral, tidak?"

"Tidak." El Cid menjawab cepat. "Aku tidak mau merusak ginjalku dengan obat semacam itu." setelah mengucapnya, El Cid benar – benar ingin pulang dan menebas dirinya sendiri dengan Excalibur kesayangannya. Sadar akan aksen kasar yang tertera jelas.

Camus mengangguk paham, dan berbalik menyerahkan kantong plastik putih kepada El Cid, juga secarik kertas etiket. El Cid mengambilnya sambil merutuki dirinya sendiri, hampir lima belas menit mereka berdua dalam keheningan, sama sekali dirinya tidak punya keberanian memunculkan satu topik pembicaraan pun! Dia mulai meragukan darah Spanyol yang katanya memenuhi seluruh arterinya.

Pria berambut pendek itu tertegun, melihat tulisan tangan Camus yang tertoreh diatas etiket tadi. Tidak ada yang spesial sih, selayaknya tulisan dokter kebanyakan, El Cid bahkan tidak dapat membedakan satu persatu hurufnya. Hanya huruf 'C' kapital yang ada diawal kata, sebagai penanda bahwa rangkaian huruf abstrak itu adalah nama Camus sendiri (saya tidak tahu dokter luar negri tulisannya cakar ayam juga kayak dokter di Indonesia atau tidak, kita anggap saja begitu #plakk). Apa mungkin semua dokter dan calon dokter punya refleks alamiah berupa tulisan tangan serupa rumput yang diterpa angin (?).

"Ada yang salah?" Camus menegur, begitu mendapati El Cid yang menatap kertas persegi berwarna biru itu dengan begitu dalamnya.

"Ti-tidak, hanya terpikirkan sesuatu saja." El Cid sedikit mengulum senyum. Saya ulangi, 'sedikit' mengulum senyum, hingga lawan bicaranya bahkan dirinya sendiri tidak sadar bahwa dirinya tersenyum. "Ternyata tulisanmu itu replika dari raut wajahmu. Dua – duanya sama."

Tidak bergeming, Camus masih diam dengan ekspresi datar. Menunggu kelanjutan dari statement pria lebih tua lima tahun didepannya, yang dirasa masih bersambung.

"Sama – sama tidak bisa dibaca."

Oh, well. Itu adalah merupakan sebuah PENGHINAAN bagi Camus. Bukan salahnya punya style tulisan seperti itu, salahkan kakaknya yang berperan membentuk dirinya menjadi pribadi yang tidak suka membuang – buang waktu dan efisien. Sehingga Camus sama sekali tidak menanggapi keindahan seni tulis tangan sebagai sesuatu yang penting. Baginya, jika dirinya sendiri masih bisa membacanya, itu sudah cukup.

"Ada masalah dengan itu?" Camus berkomentar dingin, lumayan tersinggung ternyata.

El Cid salah tingkah dibuatnya. "Jangan salah paham."

Walau paras Camus masih tembok seperti biasa, El Cid tahu bahwa pemuda dihadapannya ini sedang merajuk. Mungkin karena terbentur gengsi, pemuda Perancis itu hanya merealisasikan perasaan hatinya dengan buru – buru mengambil ranselnya, berinisiatif untuk pergi dari sana.

"Maaf." El Cid berusaha mengalihkan suasana.

"Tidak apa-apa." Bohong Camus. "Banyak yang bilang begitu. Saya sudah terbiasa."

Agak geli, mau tidak mau ekspresi El Cid melunak. Kedua bibirnya spontan melengkung sedikit, memberi stimulasi ke salah satu ujung bibirnya untuk melar mendekati pipinya. Niat awalnya sih ingin tersenyum tulus, walau hasilnya malah senyum miring yang menyerempet ke seringaian. Merupakan penampakan yang amat jarang terjadi.

Entah kebetulan atau tidak (meski kita semua tahu, tidak ada yang namanya kebetulan didunia ini), mata Camus menangkap pemandangan singkat itu. Singkat, tapi menggoreskan bekas yang cukup dalam diotaknya. Seolah melihat Aurora Borealis, iris, pupil, lensa, kornea, serta semua komponen penglihatan sang adik Dègel, serasa terhipnotis. Dia merasa harus segera mendaftarkan senyum El Cid ke UNESCO sekarang juga, untuk dideklarasikan sebagai 'situs warisan dunia'.

Lebay? Memang! Tapi inilah kenyataannya. Tidak ada yang terlalu berlebihan, jika telah dikaitkan dengan fakta. Walaupun fakta itu disadur langsung dari perasaannya, tanpa mengalami proses pengeditan. Apa yang salah dengan dirinya? Kenapa waktu serasa menjadi lambat? Dan apa pula bintang – bintang yang bertebaran disekitar wajah El Cid?!

"Dulcis[1]..." desis sang mahkota hijau pelan, tak tertahankan. Mengundang naiknya satu alis dari lawan bicaranya.

"Kamu bilang sesuatu?"

"Ti-tidak!"

Ada apa ini? Seingat Camus, dia tidak pernah mengkonsumsi salah satu obat yang ada dalam rak narkotik tempatnya magang, hingga membuatnya seperti berhalusinasi. Jatuh cinta? Normalkah dirinya? Jatuh cinta hanya karena senyum yang bahkan tidak selebar daun kelor itu?

Tiba – tiba, pintu berdecit terbuka, refleks Camus dan El Cid menoleh. Masuklah Dègel bersama Kardia yang sedang menggendong seekor kucing dalam pelukannya. Kucing putih-abu tadi, hanya saja tidak teler seperti kondisi awal, kedua matanya telah membuka walau agak sayu.

"Dia belum mati?" tanya Camus segera.

"Anehnya iya." Dègel yang sedang menuangkan susu kedalam mortal[2], menjawab. Setelah penuh, pria jangkung itu kemudian meletakkannya dilantai. Membuat sang kucing buru – buru melompat ke arah mangkuk berwarna putih itu.

"'Kan gue udah bilang, kucing itu nyawanya ada sembilan. Gak gampang mati!" Kardia mengusap lengan jaketnya, mengusir bulu – bulu halus yang bermigrasi dari kucing tadi.

Dègel hanya memutar mata, sudah cukup kering bibirnya menjelaskan bagaimana 'nyawa sembilan' pada kucing hanyalah perumpamaan. Tapi Kardia tetap kukuh pendiriannya.

Dan entah kenapa, kucing yang sedang minum itu lebih menarik perhatian Camus daripada sang kakak dan pacarnya yang dirasa akan memulai babak baru debat mereka. Pemuda es itu mulai menyadari, 'Rasa penasaran, tidak selamanya dapat membunuh kucing', serta Pandora yang tidak selamanya harus disalahkan karena rasa penasarannya. Bukti nyata telah terpampang dihadapannya.

Sekarang dia hanya sedang memikirkan dua hal. Maju duluan untuk mengklaim sang pencuri hati. Atau menunggu, entah sampai kapan, hingga sang pencuri hati berani mengklaim dirinya. Membuka babak baru dalam kehidupannya.

Ini yang secret admirer, dirinya atau El Cid?

.

.

.

TO BE CONTINUED

.

.

.

[1] Dulcis (dulcet, chemble) bahasa Latin, yang berarti manis. Istilah dalam Farmasi yang digunakan untuk menyebut sebuah obat yang rasanya manis. Saya benar – benar buta sama yang namanya bahasa Perancis, jadi terpaksa pake ini saja XD

[2] Mortal (lumpang) adalah salah satu alat dalam membuat obat, yang berbentuk seperti mangkuk. Tempat obat digerus dan dihomogenkan, berpasangan dengan alu (mortal) dan stamper (lumpang).

Persembahan baru lagi dari saya :D saya tidak tahu pairing ini ada penggemarnya atau tidak, tapi yasudahlah, Camus cocok kok berpasangan dengan siapapun. Atau ada yang sehati dengan saya, membayangkan Cid sebagai Shura? #ditebas

Pokoknya terima kasih bagi semua yang telah meluangkan waktu untuk membaca fic ini, dan meresponnya dalam bentuk apapun. Apalah arti sebuah fict tanpa adanya reader.

Sampai bertemu dichapter mendatang~