Warning

OOC, AU, Blood

Rate

T

Disclaimer

Masashi Kishimoto


Setiap aku menyentuhnya, pasti akan ada darah yang mengalir.
sangat menyakitkan, memang. Tetapi semua harus aku tahan untuk tetap mempertahan kannya.


Bleed

Z.V. Phantomhive

.



.

Seorang pria berbadan tegap menebaskan pisau yang dia bawa ke arah lelaki berambut perak yang sudah meringkuk kesakitan di atas tanah yang basah. Pria itu menunjukan serigaiannya kepada mayat yang ada di hadapannya. "Cih. Siapa yang bilang Hatake Kakashi itu kuat? Ternyata hanya sampah." dengan sadis pria berambut merah itu menendang pria bernama Kakashi itu ke dalam sebuah danau. Tentu saja untuk menghilangkan segala macam bukti yang bisa ditemukan polisi.

Di tengah malam yang berhujan. Itulah ciri pembunuhan yang akan dilakukan pria berambut merah itu. Hanya dengan sebilah benda tajam, dia bisa membunuh banyak orang. Siapapun akan dia bunuh demi memenuhi hasratnya akan darah.

Buktinya adalah pria yang mengambang di atas permukaan air danau itu. Hatake Kakashi adalah ahli waris dari sebuah klub menembak ternama. Bahkan saat dia melawan pria merah ini pun dia hampir mengunakan revolver yang dia simpan di saku jasnya. Tetapi apa daya, sebelum pria perak itu baru mau mengeluarkan revolvernya, sang Merah sudah melemparkan pisau makan—hey dengan pisau makan yang sama sekali tidak memiliki ketajaman apapun—dan menembus kepala sang perak.

Darah yang mengenai permukaan kulit tangan sang Merah, dia jilat perlahan. Menikmati rasa anyir serta manis yang meresap di lidahnya, menuju ke lambungnya. Tidak ada yang tahu. Orang-orang yang telah di bunuh sang Merah sering dianggap hilang mendadak. Tidak ada jejak apapun atas kematian orang-orang yang dibunuh oleh si merah.

Danau. Danau yang menjadi tempat pembuangan mayat itu tidak akan pernah diperhatikan orang. Bukankah itu cara yang paling tepat untuk melemparkan mayat orang yang telahdia bunuh?

Tidak ada saksi mata, tidak ada bukti. Semua akan aman-aman saja. Membunuh hal yang menyenangkan, bukan?

.

.


.

.

Sebuah rumah kecil bercat putih dengan luas taman yang tidak terlalu kecil, berdiri dengan anggunnya. Walaupun saat itu ada badai yang sangat kencang menerpa rumah mungil tersebut, tetapi tidak terjadi efek apapun pada rumah itu. Rumah itu tetap berdiri dengan baik.

Beberapa waktu terlewati, sehingga datang seorang pria yang basah kuyup terkena terpaan hujan badai, membanting pintu rumah mungil itu. Tentu saja hal ini membuat seorang gadis berusia kurang lebih 18 tahun didalamnya terlonjak kaget. Dengan buru-buru dia berjalan mendekati pintu masuk rumah tersebut.

"Kyuubi?" dengan segera sang Gadis berlari ke arah laki-laki yang berdiri dengan kokoh di depan pintu masuk. "Kenapa baru pulang? Ini sudah jam 12 malam. Kau dari mana?" tanya gadis itu bertubi-tubi. Apa yang tidak membuat kekhawathiran seorang gadis muncul jika melihat kekasihnya pulang pada tengah malam dalam keadaan basah kuyup. "Kau harus segera mandi, Kyuubi. Kau bisa masuk angin" ucap gadis itu bertubi-tubi.

Pria yang dipanggil Kyuubi itu menatap sinis kekasihnya yang setengah mati mengkhawathirkannya. Dia merasa gadis itu terlalu berlebihan menanggapi kepulangannya. Bukannya ini hal biasa? Tetapi kenapa selalu dilebih-lebihkan? Dasar perempuan. Semuanya pasti begitu. "Berisik, Hinata. Aku bisa sendiri" ucap pria itu tegas.

Gadis yang bernama Hinata itu menutup pintu yang dibuka kasar oleh kekasihnya, "Cepatlah mandi. Aku akan menghangatkan makan malam" ucap gadis itu lembut. Sambil merangkul lengan kekasihnya yang basah. Dia pikir pria ini pasti kedinginan dan kesepian selama di luar rumah tadi. Walaupun sebenarnya kenyataan mengatakan tidak, tetapi gadis ini tidak segan-segan menuangkan kasih sayangnya sebanyak mungkin.

Kyuubi yang dari tadi merasa terusik dengan ucapan sang Gadis mulai geram. Dia menepis tangan Hinata yang merangkul lengannya dengan kasar. Padahal sudah sangat jelas tangan itu sedang memegang sebuah silet. Tetapi, tanpa segan-segan dia menepis tangan kekasihnya, dan membuat punggung tangan sang gadis mengeluarkan darah merah yang melimpah. Apa yang sebenarnya ada di otak pria itu? Gadis yang dilukainya itu kekasihnya, kan?

Hyuuga Hinata. Gadis yang menjadi kekasih pria berambut merah itu meringis kesakitan. Dia menuduk untuk menahan rasa perih yang menjalar di tangannya. Sudah berapa kali kekasihnya itu menorehkan luka di kulit gadis mungil itu? Tetapi semuanya tidak sebanding dengan sakit hati yang terus menerus diterima gadis itu. Air mata sang Gadis yang awalnya tidak mau tumpah, akhirnya menjadi mengalir perlahan di pipinya, akibat ulah sang pria menarik tangannya secara paksa, dan menjilati punggung tangan sang Gadis.

Pria itu menikmati darah. Ya, dia gila karenanya. Setiap melihat darah—dan pastinya itu adalah darah manusia—dia pasti akan meminumnya sampai dia merasa puas atau karena darahnya memang terhenti. Terdengar biasa jika kau adalah salah satu dari kelompok vampir-vampir haus darah. Tetapi ini bukan. Pria itu bukan seorang vampir yang hanya ada dalam dunia khayalan. Dia itu hidup, nyata. Hanya seperti kata orang-orang, pria merah itu adalah seorang 'Psikopat'.

.

.


.

.

"Oh, Hinata? Ada apa dengan tanganmu?" seorang gadis pirang dengan rambut diikat tinggi, menghampiri pelayan yang bernama Hinata, yang sedang bekerja paruh waktu di cafe terkenal itu.

Hinata yang menyadari kehadiran sang Pirang segera menyembunyikan tangannya yang ditutupi perban di belakang tubuhnya, "Tidak ada apa-apa, Ino-chan." ucap Hinata dengan senyuman ramah, "Kau ingin pesan apa?" ucap Hinata sambil mengantarkan tamu ke bangkunya.

Ino tidak yakin sepenuhnya dengan apa yang dikatakan sahabat karibnya itu. Dia tahu betul jika gadis itu sedang menahan rasa perih yang menjalar di tangannya. Rasanya pasti sakit. Dia juga tahu jika itu semua adalah hasil dari perlakuan kekasih sahabatnya, Namikaze Kyuubi.

Setelah sang Tamu duduk di tempatnya, sang Pelayan harus mengeluarkan memo untuk mencatat apa yang diinginkan sang Tamu. "Hari ini kau ingin pesan apa, Ino?" ucap Hinata dengan senyuman lembut—tetapi Ino tahu itu hanya pura-pura.

Sang Tamu ragu dengan keadaan Hinata, sampai tidak mendengarkan pertanyaannya. Dia masih memikirkan haruskah dia memanggil Sasuke, yang juga salah satu teman akrab mereka yang bekerja sebagai dokter untuk memeriksa Hinata secara gratis. Tentu saja, gratis. Apa yang tidak untuk teman sendiri?

"Ino. Please, jangan pikirkan tentang keadaanku" desis Hinata pelan.

Dengan cepat Ino mengangkat kepalanya, dan membuat pandangannya dengan Hinata bersatu. Butuh waktu yang lama sampai gadis pirang itu bisa mencerna dengan baik apa yang gadis itu pikirkan. "Baik Hinata. Baik. Berikan aku kopi." ucap gadis pirang itu kasar, mengandung unsur kemarahan.

Hinata memandang Ino sejenak. Kopi lagi? Dia tahu Ino memang orang yang sibuk, sangking sibuknya, sampai harus menghabiskan waktu malamnya. Maka dari itu dia harus meminum kopi demi menghilangkan rasa kantuknya. Hanya saja terlalu banyak kopi itu tidak baik, bukan? "Um, Ino. Kau terlalu banyak minum kopi."

"Tidak, Hinata. Aku butuh kopi, sekarang."

"Tidak."

"Hinata? Bisa kau tidak mengaturku?" seru Ino kesal. Bagaimana tidak. Sekarang dia sedang benar-benar mengantuk, dan pagi hari sudah dihadapkan dengan keadaan tangan sahabatnya. Argh, benar-benar cobaan.

Jelas jika Hinata tersentak dengan apa yang dilakukan Ino. Dengan segera dia menunduk, "Maaf. Pesanan anda akan segera datang." gumamnya pelan, setelah itu berlari kecil menuju pintu dapur.

Gadis pirang itu perlahan mengurut kepalanya yang pening. Beberapa selang waktu berlalu, dia mengambil ponsel yang dia letakan di dalam tas merahnya. Dengan lincah jari-jari itu bermain-main di atasnya, mencari nomor seseorang. Setelah panggilan itu tersambung, dengan anggun dia meletakan ponsel itu ditelinganya.

"Halo, Ino? Ada apa?"

"Bisa kau ke cafe biasa? Punggung tangan Hinata sepertinya mengalami luka yang cukup serius."

"..."

"Halo?"

"Kyuubi lagi?"

"Sepertinya."

"Oh, oke. Aku segera datang."

"Terima kasih."

"Hn"

Sambungannya terputus dari pihak penerima. Gadis pirang itu perlahan menyandarkan kepalanya di punggung kursi.

.

.


.

.

"Maaf anda lama menung-" Hinata terkejut melihat pria yang ada di samping Ino, "Sasuke?"

"Hai." sapa pria yang ada di samping Ino.

Perlahan Hinata meletakkan kopi yang dipesan Ino di atas meja, "Ada apa kau kemari?"

"Mengecek keadaanmu" jawab pria itu singkat.

Perlahan senyum mengembang di wajah Hinata, "Aku baik-baik saja, kok. Sungguh." tanpa sepengetahuan kedua temannya, dia menyembunyikan tangan kirinya yang terluka di belakang punggungnya.

"Oh, baiklah. Ngomong-ngomong bagaimana kabar Kyuubi?" masih dengan santai pria raven itu bertanya-tanya. Sedangkan gadis pirang di sampingnya, telah pergi memanggil manager cafe itu. Dan menarik-narik manager itu ke arah tempatnya.

"Dia... Dia baik-baik saja."

Perlahan pandangan Sasuke teralih ke manager cafe tersebut. "Bisa dia ku pinjam hari ini?" tanya pria itu tegas dengan pandangan yang dingin.

Manager toko itu jelas sangat mengenal pria itu. Dokter bedah yang terkenal di seluruh penjuru Konoha city. Siapa yang tidak mengalnya? "Sebuah kehormatan bagi kami. Silahkan." ucap manager itu sambil menunduk.

Senyum Sasuke mengembang, "Thanks." detik berikutnya dia menarik Hinata dan Ino keluar dari cafe itu.

.

.


TBC


Hohoho.. Thanks uda mau membaca...

Woho... Kembali seperti fic yang 'Last'... Saya mendapatkan ide pas selesai mandi... Entah mengapa akhir-akhir ini kamar mandi memberi banyak ispirasi...

Ehem... untuk rate M nya itu masih lama.. Tapi kayaknya bukan Lemon, deh.. Soalnya aku ngga PD buat cerita berlemon yang kecut" gitu..

Terus, bagi yang membaca fic 'OnlyLove' Dimohon dengan sangat untuk bersabar menunggu. Soalnya otakku udah mampet. Ngga kepirik ide lagi. Tapi tenang aja, dalam waktu lama ini (?) pasti bakalan update...

DIMOHON KRITIK DAN SARAN...! (RIVEW JUGA)