Hinata POV

Dimusim ini dingin ini, aku berulang tahun. Tepat di hari ini pula, dia berulang tahun. Seorang bocah kecil berumur 7 tahun yang sekarang sedang asik menyantap eskrim coklat di kedai eskrim. Sambil melihat-lihat buku menu, ia terus berceloteh kesana-kemari walaupun perkataannya terkadang sulit dimengerti.

"Apa buku bacaan ini?" Tanyanya antusias sambil menunjuk-nunjuk deretan hurup bertuliskan menu eskrim.

"Ini tulisannya, Menara eskrim tiga rasa." Jawabku sambil mengeja perlahan, agar ia mengingatnya walau hanya sedikit.

"Merara." Ucapnya.

"Bukan. Me-na-ra." Kataku sambil menunjuk mulut ini agar ia memperhatikan.

Ia merengit, mungkin ia masih tak mengerti.

"Me-na-ra." Kataku mengulang.

Ia membuka mulutnya perlahan. "Me-na-ra." Ejanya lambat.

"Pintar." Pujiku padanya. Ia tersenyum malu. "Coba ulang lagi."

"Me-ra-ra." Ejanya salah.

"Me-na-ra."

Ia masih sulit menghapal. Satu jam kemudian ia baru bisa menghapal kata menara.

"Apa itu menara?" Tanyanya.

Aku tersenyum. Kali ini ia menyusun kalimatnya dengan benar.

"Kau ingin tahu? Nanti kita kesana." Janjiku sambil mengacak rambutnya. Dia bersorak gembira kemudian kembali memakan eskrimnya lahap.

"Hei, Hinata, kau sudah membuat laporan keuangan minggu ini?"

Seorang pria bertubuh pendek, berteriak memanggil Hinata dengan raut wajah kesal dari depan pintu ruangannya.

"Sudah saya letakkan dimeja anda, Manager." Jawab wanita berumur hampir 40 tahunan itu cuek lalu kembali mengerjakan laporan minggu depan.

Raut wajah pria pendek itu semakin kesal, lalu kembali keruangannya sambil membanting pintu. Semua bawahannya langsung tersentak kaget kemudian mulai bergosip seperti biasa.

"Cih, kelakuannya langsung seperti itu kalau akan rapat besar." Ujar salah seorang rekan kerja Hinata, Ino. Gadis muda berumur 25 tahun itu hanya menggerutu kesal sambil melotot kearah ruangan Manager.

"Kakak, untung saja kau sudah menyelesaikan laporan minggu ini. Kalau tidak habislah kau." Ujarnya menggebu.

Hinata hanya tersenyum menanggapi sikap Ino yang masih khas anak remaja. Hinata dan Ino adalah teman kerja yang cukup akrab dibandingkan yang lain. Mereka masuk pada saat bersamaan tiga tahun lalu. Berlatar belakang pegawai baru, mereka menjadi akrab dengan sendirinya. Walaupun Hinata lebih tua dari Ino, ia tidaklah keberatan terkadang Ino bersikap lebih kepada teman seumuran dengannya.

"Hah, walaupun terkadang Manager menyebalkan dan kita sering lembur, aku rasa sebanding dengan gaji dan berbagai tunjangan yang diberikan." Ujar Hinata.

"Ia juga sih, gajinya besar dan lagi kita dapat tunjangan juga. Kalau dihitung-hitung totalnya bisa empat kali lipat dari gaji di perusahaan lain." Ujar Ino antusias.

"Makannya, bekerja yang benar." Kekeh Hinata. "Mau makan siang bareng?" Tanya Hinata sambil berdiri dari bangkunya.

"Tentu."

Hinata sudah bekerja tiga tahun di Beauty yang bergerak dibidang jasa produk kecantikan wanita. Banyak orang yang ingin bekerja di sini, terbukti dari ribuan orang yang mengantri saat interview tiga tahun lalu, padahal posisi yang diinginkan hanya dua orang. Selain gaji besar yang ditawarkan, tunjangan yang akan diberikan pun berada jauh diatas standart upah perusahaan lain. beruntunglah Hinata dapat diterima bekerja. Awalnya semua meragukannya, berhubung usia yang tidak lagi produktif tetapi mereka memberi kesempatan karena Hinata dapat menguasai dua bahasa asing sekaligus, English dan Mandarin, dengan sangat sempurna. Akhirnya Hinata keluar dari pekerjaan lamanya dan bekerja di Beauty.

Beauty, perusahaan yang menjual produk kecantikan ini, nyatanya tidak membawa brand tentang kecantikan semenjak penggantian pemilik barunya dua tahun lalu. Disaat semua brand kecantikan mengiklankan produknya dengan model-model berwajah cantik dan putih, Beauty malah memakai seorang ibu rumah tangga dengan kulit kecoklatan.

"Semua wanita cantik dan kami tahu itu." Ujar Ino memaca brand Beauty di bilboard besar yang terpasang dikantin sambil mengunyah tempura itu dimulutnya. Ia mendesah berat. "Entah kenapa saat membacanya membuatku tanpa sadar membeli semua produk Beauty."

Hinata tersenyum, "Tapi kau tampak terlihat lebih cantik akhir-akhir ini."

Ino terlonjak, "Benarkah?" Tanyanya antusias sambil menyentuh kedua pipinya.

"Kurasa kulitmu lebih halus dari biasanya."

"Kurasa juga begitu." Ujar Ino dengan penuh percaya diri. Hinata hanya tersenyum maklum.

"Launching produk beauty yang terbaru minggu lalu sudah membawa hasil. Penjualan sudah mencapai 20 juta produk minggu ini, dan keuntungannya sudah mencapai hampir dua juta dollar. Bila kita bisa menembus pasar Asia, tidak terbantahkan lagi produk kita akan sejajar dengan merek terkenal seperti Pond`s dan SK-II."

Seorang pria berkacama bundar membacakan lembaran grafik dan perhitungan kalkulus yang ada di pangkuannya pada atasannya yang sedang acuh menatap keluar jendela pesawat Jet milik atasanya itu. Mereka sedang melakukan perjalanan ke Jepang untuk beberapa minggu.

"Hentikan penjualan produk Beauty besok. Alihkan keluar negri." Perintahnya.

"Ta-Tapi, bagaimana mu-"

"Lakukan saja." Ujarnya tegas.

"Baiklah." Ujar pria berkacamata bundar itu. Atasannya memang seorang jenius. Sudah semenjak sepuluh tahun lamanya ia menjadi sekertaris pria bermarga Uchiha itu dan jarang sekali pemikiran pemilik rambut rambut raven itu meleset. Terkadang ia merasa tertinggal jauh dari atasannya itu, padahal usia mereka hanya terpaut satu tahun. Jangan heran kalau sebuah majalah bisnis memasukkan ke dalam orang paling berpengaruh.

"Kabuto, aku rasa, aku akan menetap di Jepang untuk satu tahun."

"Baik. Saya akan mengurus semuanya."

Heh, walaupun dalam hati Kabuto menggerutu tak karuan karena harus mengatur ulang jadwal atasannya yang padat sampai satu tahun kedepan, ia tidak bisa mengatakannya langsung karena ia masih ingin belajar dan mendampingin atasannya yang super power itu. Setiap berhubungan dengan Jepang, Uchiha itu selalu saja begitu. Terkadang melamun dan mendadak tak berguna. Ia pun lebih sering menggunakan hati dari pada otaknya. Akhirnya, giliran pria berambut putih itulah yang selalu mem-back up pekerjaan atasannya agar berjalan lancar.

Entahlah, pernah saat atasannya launching pembukaan brand berlian terbaru di Prancis, atasannya tiba-tiba saja pergi entah kemana dengan tergesah-gesah. Ternyata ia pergi ke Jepang. Pelayannya baru mengabarkan kalau pria Uchiha itu terkena tifus dan gejala infeksi paru-paru seminggu setelahnya dan parahnya dalam keadaan kritis. Untungnya dia bisa selamat.

Setelah itu, anehnya lagi, perubahan nyata dirasakan Kabuto. Perlakuan Uchiha berubah total. Ia berubah menjadi orang yang humble dan lebih sabar. Berbeda 180 derajat dari biasanya yang sangat sombong dan brengsek.

Semoga kedatangan Uchiha ini untuk kedua kalinya ke Jepang, tidak mengembalikan tabiat bajingannya di masa lalu.