Lelah...

Hanya satu kata yang terus saja menari di kepalanya, menimbun banyak kalimat-kalimat keluhan agar tak serta merta keluar dari mulut dan berakibat semakin banyak energi terkuras. Untuk saat ini... tidak... untuk hari ini cukup sudah. Cadangan energinya betul-betul hanya tinggal bersisa untuk beberapa langkah keluar dari dalam lift menuju kamar hotel, membuka pintu, untuk kemudian melangkah lagi menuju tempat tidur.

Setelah itu cukup. Ia tak akan sudi menggunakannya hanya untuk berganti pakaian apalagi mandi.

Ting...

'Mengapa harus berhenti di setiap lantai?' Sungmin mendengus keras yang langsung saja ia sesali karena energinya kini kembali berkurang. Salahkan perusahaan yang memberikan fasilitas sebuah hotel dengan banyak pengunjung. Hanya berselang lima lantai saja dirinya sudah berada dalam ruangan beberapa meter persegi dengan lebih dari sepuluh orang. Masih ada sepuluh lantai lagi, dan entah apakah akan seperti gerbong kereta bawah tanah di jam pulang-pergi kerja atau tidak. Sungmin pasrah. Dirinya hanya diam bersandar pada dinding logam dingin di barisan paling belakang.

Ponselnya bergetar selama dua detik.

'Bagaimana hari ini?'

Sebuah pesan hangat—setidaknya itu menurut Sungmin—membuatnya tersenyum. Ia merutuki diri bahkan untuk menggerakkan bibir saja terasa berat. Namun pemuda itu tetap tersenyum.

'Masih tak bisa melupakanmu.' Balasnya cepat. Pesan tersebut mendapat respon berupa panggilan langsung. Icon dalam layarnya bergerak-gerak seiring dengan getaran halus. Nama 'Choi Siwon' terpampang jelas. Walau tanpa emoticon gambar hati atau wajah tersenyum, nama tersebut tetap spesial di matanya.

"Hai, sayang. Sepertinya pemenang taruhan kali ini sudah bisa ditentukan."

Sungmin menampilan senyum miring ketika suara berat yang sangat dikenali mengisi ruang dengar dari ponselnya. Selalu seperti itu. Saat salah satu akan melakukan perjalanan bisnis, mereka berdua selalu bertaruh. Yang lebih dulu melakukan panggilan, dialah yang kalah (pesan singkat tidak dihitung). Dan... Siwon akan selalu (sengaja membuat dirinya) kalah.

"Lagi-lagi kau kalah." Ujarnya masih sambil tersenyum lemah.

"Kau curang. Mana bisa aku bertahan jika kekasihku di luar sana sama sekali tak bisa melupakanku."

Sungmin terkikik sekarang. Beberapa orang di dalam lift langsung menoleh dengan tatapan terganggu. Tapi bukan Sungmin jika ia peduli. "Terbang ke Maroko malam ini juga, lalu kita bercinta semalaman." Beruntung tidak ada yang mengerti dengan perkataannya. Sepertinya dari lima belas orang total di dalam kotak besi tersebut, hanya Sungmin yang berstatus 'turis mancanegara'.

"Sungmin... kau memang brengsek. Aku ingin sex phone malam ini juga."

Sungmin menggeleng, kemudian sebuah helaan napas mengudara. "Tidak, Siwon. Aku benar-benar lelah hari ini." Suaranya kembali melemah saat semua saraf di tubuh mengingatkan bahwa kadar energi sudah dalam kondisi 'butuh-diisi'.

"Kau baik-baik saja? Suaramu agak serak." Nada menggoda yang sebelumnya mengiringi pembicaraan 'dewasa' mereka langsung berubah menjadi sebuah kekhawatiran.

"Tidak juga. Karna itu aku tidak bisa melayanimu malam ini. Oh, baby you must be so fucking hard now, aren't you?." Sungmin masih saja sempat membuat nada 'nakal' dalam suaranya. Beberapa orang di dalam lift kembali menoleh dengan wajah terkejut. Kini ia yakin bahwa kalimatnya dalam bahasa dunia itu cukup bisa dimengerti.

"You did start, bitch!"Siwon menggeram kesal.

Namun setelah itu tiba-tiba saja ia tak bisa mendengar dengan jelas suara Siwon. Jika saja lampu tidak tiba-tiba padam dan lift berhenti, mungkin Sungmin mengira kartu telepon barunya di Arab Saudi adalah kualitas rendah.

Tidak seperti semua orang yang langsung saling berucap dengan nada panik sambil salah satu dari mereka menekan tombol darurat dan berteriak melakukan panggilan pada petugas, Sungmin hanya diam memperhatikan. Dalam genggaman tangan kanannya masih terdapat ponsel. Menyala, hanya saja bertuliskan 'emergency only'.

Ketika seorang wanita gemuk terjatuh karena lemas dan ketakutan, saat itu juga badan lift terguncang dan mereka seperti tengah meluncur dengan kecepatan tinggi ke bawah. Namun seketika berhenti lagi. Tak perlu mengira-ngira apa yang terjadi, semua orang mengenali bahwa itu tanda salah satu kabel putus, dan entah masih ada berapa utas lagi yang dapat bertahan mengingat empat belas orang bertubuh tinggi besar (tipikal penduduk timur tengah) dan satu warga negara asia dengan bobot enam puluh empat kilogram bergelantung bersama kotak besi tersebut. Hampir mencapai berat maksimum penumpang.

Kemudian satu orang laki-laki dengan janggut lebat langsung berteriak dengan bahasa yang tidak Sungmin mengerti. Hanya ketika tiba-tiba semua orang bergerak perlahan dan mengisi tiap ruas pada bagian tepi lift, saat itu juga ia paham bahwa pria tadi menyuruh semuanya untuk membuat kita besi tersebut dalam keadaan yang seimbang.

"You!" lelaki itu menunjuk Sungmin. "Stay... centre..." lalu menunjuk bagian tengah yang kosong. Sungmin cukup paham jika pria itu menyuruhnya berdiri di tengah.

Namun kesalahan dibuat. Sungmin bergerak terlalu cepat hingga kotak itu terguncang dan satu kabel kembali putus. Semua orang dapat merasakan benda yang mereka tumpangi miring sekitar sepuluh atau lima belas derajat.

"Slowly... move... slowly..." pria tadi kembali berteriak dengan bahas inggris seadanya.

Sungmin menggeleng, "No no no... we have to fill up the left side with more people. You, sir, and you, madam. Yes, both of you...please move here..." dua orang yang ditunjuk tadi langsung merangkak perlahan menuju sisi lantai lift yang lebih tinggi.

Alih-alih si pria berjanggut lebat, kini Sungmin lah yang menjadi pusat komando dari semua kepanikan di dalam lift. Tak ada yang bergerak lagi tanpa perintahnya. Orang-orang berusaha menenangkan diri sendiri sambil terus berusaha fokus pada sedikit saja gerakan.

Tidak jauh berbeda, Sungmin juga manusia yang memiliki rasa takut. Hanya saja mungkin ia bukan seseorang yang terlatih untuk menunjukkan kepanikannya. Di dekat tempatnya duduk, seorang gadis kecil hampir menangis. Dalam suasana yang temaram karena sebagian besar lampu padam, Sungmin dapat merasakan gadis itu gemetar. Sang ibu bahkan sama takutnya.

Aku ingin memeluk ibu...

Ia tak pernah mengizinkan dirinya berpikir melankolis. Satu hal yang saat ini ada di kepala adalah saat-saat dirinya begitu seksi berada di atas ranjang dimana Siwon berkeringat dan mengerang di atas kulitnya yang juga lembab. Sungmin menyunggingkan senyum miring. 'Si brengsek itu' pikirnya getir. Di kehidupannya yang sangat bebas, ia bahkan tak pernah membayangkan dapat bertemu dengan pria gila yang total hanya menginginkan tubuhnya. Dan Sungmin memang jauh di atas 'gila'. Ia bahkan tak menolak sama sekali atas perlakuan Siwon.

Satu kesalahan karena harus memikirkan pria tersebut dalam suasana seperti ini. Sungmin semakin merasa hidupnya tak pernah berguna.

Tiga puluh menit jika Sungmin tak salah menghitung. Semua orang mulai melemah karena keterbatasan oksigen dan tekananudara dalam ruangan yang kini sudah gelap total. Telinganya bahkan sudah mampu mendengar suara napas putus asa dari mereka yang ikut terjebak.

Pemuda itu menajamkan pendengaran ketika sayup-sayup mendengar suara langkah beberapa orang dan disusul dengan suara besi bergeser. "Someone's coming..." bisiknya lemah. "...just... stay calm..." Sungmin menggunakan satu lengannya untuk melakukan gestur menenangkan. Semua orang cukup mengerti dan setidaknya akan terus ingat bahwa besi kotak dimana mereka berada cukup rapuh hanya untuk menahan gerakan yang tiba-tiba.

Seberkas cahaya akhirnya masuk. Hanya dari sebuah titik oranye, hingga bertambah besar dan memungkinkan tergambar siluet beberapa orang dari luar. Dunia luar berada tiga puluh sentimeter di atas kepala mereka. Lift ini berhenti tidak tepat pada pintunya.

Terdengar suara berat dari luar. Sungmin tak paham apa yang dikatakan orang-orang itu. Dari semua manusia di dalam sana, hanya dirinya yang tidak menyahut. Suasana kembali ricuh. Kotak itu kembali bergerak.

Kali ini lebih keras dan tegas. Sepertinya petugas penolong berusaha membuat orang-orang diam dan tidak panik. Berhasil. Suasana kembali tenang, kecuali suara tangis lirih gadis kecil yang duduk di sebelah Sungmin.

Pemuda itu berdiri perlahan. Sungmin tahu apa yang harus ia lakukan sebagai satu-satunya pria yang duduk tepat di bawah pintu lift yang dibuka paksa. "Ma'am, your baby first..." Sungmin menjulurkan kedua lengannya siap membopong si gadis kecil. Sang ibu mengangguk paham. Ia membiarkan si gadis kecil lepas dari pelukannya untuk menjadi yang pertama keluar dari mimpi buruk malam ini.

Selanjutnya para wanita. Sungmin menggeser tubuhnya untuk membuat lift tetap dalam keadaan seimbang. Yang artinya, ia semakin jauh dari pintu keluar. Satu persatu tubuh mereka ditarik dari luar dengan sedikit bantuan para pria yang sudah bergeser ke dekat pintu.

Ketika orang kesepuluh mencoba memanjat, tubuh itu terjatuh dan langsung membuat lift terguncang. Sungmin dapat merasakan sudut kemiringan lantai bertambah. Salah satu kabel kembali putus—tidak, mungkin semuanya. Kotak itu kemungkinan besar hanya tinggal mengandalkan gaya gesek dengan dinding sebelum jatuh.

Petugas di luar sana tetap fokus berusaha mengeluarkan orang-orang yang tersisa. Ketika pada akhirnya satu orang terakhir—sebelum Sungmin—memanjat dan tak sengaja menghentakkan kaki tepat di dada pemuda itu, hingga membuat Sungmin harus kembali terdorong kesisi paling belakang. Benda itu kembali berguncang, dan ketakutan mulai melanda ketika kedua matanya menyadari lebar jalan keluar semakin kecil karena kotak lift mulai bergerak ke bawah.

Sungmin benci mengakui bahwa dirinya sudah terlambat.

"Sir, you okay? Just grab my hand! The elevator will fall down in no time. Hurry up!" entah dari mana informasi mereka dapatkan, karena sepertinya petugas sudah tahu satu orang yang masih terjebak di dalam lift bukanlah warga negara asli. Bahasa inggris yang berat dan terdengar sengau (karena logat) beruntung masih dapat Sungmin mengerti. Ia berusaha mengumpulkan kekuatan walaupun sudah tak sanggup lagi berdiri di atas kedua kaki. Panik membuat seluruh tubuh pria itu gemetar.

Namun ia berhasil meraih tangan yang masih setia terulur. Tubuhnya seketika seperti melayang. Beberapa orang membantu untuk menariknya ke atas karena sadar korban terakhir sudah tak akan sanggup lagi memanjat, disamping memang tak ada lagi yang dapat membantu mendorong tubuhnya dari bawah.

Tubuh bagian atasnya berhasil keluar. Sungmin dapat merasakan angin segar menggantikan udara menyesakkan di dalam sana.

Hanya tinggal sedikit lagi, maka status korban jiwa kecelakaan lift di dalam hotel ini adalah nol.

"Damn, my angkle!"

Dan hanya dengan satu teriakan memilukan, aksi evakuasi berakhir cacat.

::::::::::

Hero

"...when you think it is really strong, you've completely become weaker."

.

.

-Sungmin POV-

"Sudah satu minggu."

Kenapa ribut sekali?

"Aku tak bisa memastikan semua. Dia belum siuman."

Siapa? Aku? Aku sudah bangun.

"Tapi kau bilang semuanya normal. Mengapa dia belum juga bangun?"

"Kyuhyun..."

Huh? Kyuhyun?

"...mengapa kau begitu terburu-buru? Kau bahkan tak memikirkan bagaimana saat dia bangun dan mengetahui keadaan yang sebenarnya."

Aku tak sanggup lagi. Aku tak mengerti apa yang sedang orang-orang ini bicarakan. Aku sudah bangun. Aku hanya tak bisa bergerak. Brengsek! Obat apa yang sudah mereka berikan padaku?

Tak ada cara lain...

"Ugghhh... uugghhh..." Aku tahu ini terdengar mengerikan. Namun rasanya dengan menggeram, siapapun bisa mengalihkan semua perhatiannya padaku, dan membantuku untuk bangun seutuhnya.

"Sungmin... Sungmin... kau dengar aku? Kau bisa membuka matamu?"

Hanya jika kau membantu. Kumohon... apa kalian sudah merekatkannya dengan lem? Kenapa kelopak mata ini sulit sekali dibuka?

Aku benar-benar jengkel. Mereka hanya memanggil namaku berulang-ulang tanpa melakukan sesuatu agar aku bisa membuka mata. Kuputuskan terus mengerang. Rasanya seperti anak bayi lapar yang tak kunjung diberikan ASI.

"Tenanglah Sungmin..."

Lengan siapa? Tak ada yang pernah membelaiku begitu lembut dan nyaman seperti ini. Seketika kepanikanku lenyap. Aku dapat merasakan rongga paru-paru ini sudah bergerak normal. Aku sudah bisa mengatur napas, dan seketika semua terasa mudah. Sedikit demi sedikit cahaya mulai menelusup dalam retinaku. Keadaan ini cukup meyakinkan, namun masih bisa tertahan karena semua pasti terbayar dengan keluarnya aku dari kegelapan memuakkan.

Aku menghela napas panjang ketika kabut menyakitkan tadi semakin jelas tergambar dalam bentuk sesuatu... seseorang. "Cho Kyuhyun." Aku mengucapkan nama itu tanpa emosi. Tidak dalam konteks tanya ataupun gertakan sinis yang biasa kulakukan.

"Ya. Ini aku."

Saat kutemukan mata kelamnya, rasanya cukup untuk dijadikan alasan untuk menggerakkan kepala dan menatap arah lain. Aku membenci tatapan itu. Mata yang hanya akan membuatku semakin egois dan jahat karena tak ingin kehilangan sedikitpun dari semua yang telah kuraih. Mata itu... kalian tak akan percaya jika aku menganggapnya sebuah ancaman besar. Mata yang akan membuatku kehilangan semuanya.

Aku memijat kening untuk mengurangi rasa sakit di bagian ini. Dan tak lama dapat kurasakan dingin dari sebuah gelas dan logam di permukaan dada. Stetoscope. Aku tahu alat itu. Kini semua orang mulai mengelilingi ranjang dimana aku berbaring dan sibuk dengan catatan ataupun alat-alat lain. Lee Sungmin—aku—tak akan seperti orang bodoh dengan bertanya 'dimana aku'. Karena semua pemandangan saat ini sudah menjelaskan dimana aku berada.

Kecuali satu hal.

Kenapa Cho Kyuhyun di sini?

"Apa aku sudah kembali ke Korea?" malang saat mendengar suara ini tak lagi terdengar percaya diri. Ah, kurasa ini hanya efek dari sakit kepala. Aku tak merasakan hal aneh yang mungkin dapat merusak pita suara.

"Ya. Kau sudah di Seoul. Kami memindahkanmu satu minggu yang lalu." Suara Kyuhyun seperti satu-satunya yang memiliki hak bicara. Dokter dan para suster masih sibuk dengan tubuhku. Ini makin menjengkelkan. "Kau tak lupa bukan dengan apa yang sudah terjadi padamu?" dia mendekat dan tanpa izin duduk di atas ranjang yang sama denganku. Dan sial aku terlalu lemah untuk mengusirnya.

"Hanya satu yang ingin aku tanyakan." Sedikit demi sedikit kubangun arogansi dalam suara ini.

"Ya?" Baik. Cho Kyuhyun merespon terlalu manis untuk seseorang yang selalu membuatnya berada dalam situasi sulit.

"Kenapa kau di sini?"

Kyuhyun tak menjawab. Belum. Aku dapat melihatnya mengawasi orang-orang yang kini satu persatu meninggalkan ruangan. Hanya seorang dokter muda yang sepertinya ingin sekali menyampaikan sesuatu.

"Uhm.. Sungmin-ssi, bagaimana perasaanmu saat ini?" aku memicingkan mata mendengar pertanyaan tadi. Namun demi sebuah sufiks yang bernama sopan-santun, aku tak bisa mengabaikan.

"Lebih baik. Hanya sedikit sakit kepala. Kuharap kau bisa memberikan sesuatu untuk menguranginya, dokter."

Kyuhyun menatap sang dokter dengan pandangan misterius. Aku ingin tahu ada apa. Namun kuputuskan untuk diam saat ini. "Apa ada masalah?" tanyanya. Yang sewajarnya pertanyaan itu adalah bagianku saat ini.

Dokter itu menggeleng. "Semua baik. Sakit kepalamu hanya efek dari tidur panjang. Aku sudah memasukkan propifenason* dosis rendah ke dalam cairan nutrisimu. Rasa sakit itu akan hilang dengan segera."

"Sebaiknya memang seperti itu." Aku kembali memijat kening perlahan.

Sang dokter tersenyum, kemudian menepuk pundak Kyuhyun yang kubaca sebagai 'aku pergi kalau begitu'. Dan tentu saja tersenyum padaku.

Kemudian kami benar-benar hanya tinggal berdua di dalam kamar rawat yang cukup besar menurutku. "Jadi... kenapa kau masih di sini? Jika tidak salah ingat, aku meninggalkanmu dengan banyak pekerjaan sebelum pergi. Dan mendengar aku hanya tertidur selama kurang lebih satu minggu, kau tidak mungkin sudah menyelesaikan semuanya."

Kyuhyun hanya menampilkan senyum miringnya. Satu lagi hal yang sangat kubenci. Sangat tidak nyaman. Alih-alih menanggapi perkataanku, ia bergerak untuk membantu menarik tuas agar bagian kepala ranjang lebih tinggi. "Kau selalu mengatakan 'duduk, jika sedang bicara'. Sudah cukup?"

Aku diam. Memang sudah cukup, posisi ini sudah sangat nyaman. Sakit kepalaku berkurang.

"Kau memang benar sudah meninggalkanku dengan banyak pekerjaan. Dan kau memang tak pernah berniat bahwa aku bisa menyelesaikannya dengan cepat. Kau atasan yang buruk."

"Perhatikan kalimatmu, Kyuhyun. Aku atasanmu." Aku menatapnya tajam. Ada apa dengannya? Mengingat aku adalah atasan yang sangat gila dengan sikap hormat, rasanya Kyuhyun sudah melewati batas yang seharusnya ketika tengah berinteraksi denganku. Atau... sepertinya dia memang selalu begitu? Oh, sakit kepala tadi sepertinya membuatku bingung.

Kyuhyun mengangguk, "Aku tak pernah melupakan hal itu."

Aku mulai jengah dengan percakapan ini, "Pergilah. Aku baik-baik saja walau sendirian. Dan jangan khawatir. Lusa aku sudah bisa kembali bekerja dan membuat kalian semua sibuk serta semakin membenciku."

"Kurasa... itu akan sedikit sulit, Sungmin."

Bicara apa orang ini? Namun aku tak ingin menghiraukannya. Kantung kemihku sudah penuh. Aku ingin ke kamar kecil segera. "Aah!" ada apa ini? Lutut kananku serasa nyeri. Apa aku terluka parah karena kecelakaan itu.

Namun seketika hal aneh baru kusadari, dan semua terasa semakin mendebarkan ketika Kyuhyun menahan lengan ini saat aku berniat menyibak selimut yang menutupi sebagian tubuh.

"Sungmin... dengarkan aku—"

Dengar apa? Ada apa dengan wajahmu? Kenapa kau menahanku? Dan kenapa rasanya begitu ringan? Aku dapat merasakan detak jantung ini bergerak semakin cepat. Aku berusaha melepaskan diri, namun Kyuhyun justru semakin keras menggeggam lengan bahkan pundakku.

"Tidak... kau pasti sedang mengerjaiku. Ini tidak lucu, Kyuhyun." Tak ada yang bisa kubanggakan. Saat ini rasa takut mengalahkan segalanya. Seharusnya kalimat tadi terdengar menjengkelkan. Tapi... aku bahkan tak lagi yakin dengan hal itu.

"Sungmin, dengarkan aku. Kau terluka parah, dan satu-satu cara untuk membuatmu selamat adalah—"

Aku menggeleng. Kumohon Kyuhyun... jangan katakan itu. Brengsek! Brengsek! Kubilang jangan katakan!

"Mereka harus memotongnya. Infeksinya sudah tak bisa ditangani."

Apa yang harus kulakukan sekarang?! Kyuhyun kau benar-benar idiot! Kenapa kau membiarkan mereka melakukannya?! Kenapaaaaa?!

"Brengsek! Brengsek kau! Aaaaakkkkkhhhhh... Aaaakkkkkkhhhhh!"

Aku mulai melempar semuanya. Semua terlihat buruk. Apa lagi? Aku tak suka mengapa ada bantal di sini. Aku melemparnya. Lalu? Apa yang mereka pasang di lenganku? Berani-beraninya mereka menusuk lenganku dengan jarum. Kyuhyun ini, sakit! Kau harus tahu bahwa ini sakit!

;;;

Kyuhyun hampir menyerah menghadapi Sungmin saat ini. Ranjang tempatnya berbaring sudah sangat berantakan. Belum lagi darah segar yang berasal dari tangan Sungmin kini mewarnai sebagian selimut dan sisi tempat tidur yang awalnya berwarna putih.

Sungmin memberontak dan masih berusaha melemparkan apa saja. Ia bahkan mencakar dan memukul Kyuhyun yang saat itu mau tak mau memeluknya, mencegah Sungmin menyakiti dirinya. Sekejap pemuda itu merasa tolol karena dengan melakukan tindakan tersebut, ia harus merelakan lengannya terluka akibat cakaran.

Dengan susah payah akhirnya ia berhasil menekan tombol panggil yang terletak di atas tempat tidur pasien. Kyuhyun hanya bisa menunggu orang-orang datang setelahnya, sambil tetap menahan tubuh Sungmin yang mengamuk.

::::::::::

-flashback before accident-

"Jika aku jadi kau, aku tidak akan punya wajah lagi untuk datang ke kantor ini."

Semua orang di dalam ruangan hanya bisa menahan napas ketika rapat pagi itu diakhiri dengan 'sapaan' Sungmin pada salah satu anak buahnya.

"Aku mempertaruhkan semua kepercayaan dalam bekerja hanya kepada manusia yang memakai otaknya, bukan tubuhnya. Dan hari ini aku ingin surat pengunduran dirimu sudah ada di atas meja sebelum jam makan siang." Sungmin berdiri, kemudian menghampiri seseorang yang sejak tadi menunduk dan menangis sesenggukan. Rambut panjang merahnya menghalangi pandangan. Namun tak menghalangi Sungmin untuk membisikkan sesuatu yang sangat menyakitkan, "Kau beruntung karena aku tak pernah tertarik dengan wanita, Jess. Tapi jika kau berpikir aku melakukan ini karena alasan kau sudah menggoda Siwon, kau salah besar." Sungmin semakin dekat dan suaranya semakin kecil, "Dia partner terbaikku di atas ranjang. Dan semua orang tahu, aku tak akan melepaskan siapapun yang memberikan keutungan padaku."

...

"Jessica memecahkan kaca mobilmu." Kyuhyun mengakhiri laporannya dengan satu kabar berita hangat.

"Aku justru memperkirakan yang lebih buruk." Sungmin masih sibuk dengan semua dokumen-dokumen di atas mejanya. Rencana proyek pengeboran migas di daerah potensial sudah hampir menuju akhir. Saat ini ia tengah mempersiapkan diri untuk observasi lokasi. "Jadi, jalang itu ada di kantor polisi sekarang? Aku tidak keberatan jiak mereka mau menahannya selama beberapa hari di sana. Hal itu akan memberikan pengalaman yang berharga bagi kelanjutan hidupnya."

Sungmin bicara dengan segala keangkuhan dan sikap dingin. Hal itu terjadi bukan karena dirinya membenci (mantan) anak buahnya yang cantik itu. Sungmin tahu orang lain masih akan membencinya walaupun ia menyumbang berton-ton beras untuk masyarakat kurang mampu. Sungmin hanya ingin—sekali lagi—memberitahu pada semuanya betapa ia tak akan membiarkan serangga kecil mengganggu konsentrasinya dalan melakukan sesuatu apapun.

Kyuhyun tak menanggapi. Ia lebih memilih sibuk merapikan semua berkas. "Perjalananmu akan panjang. Siwon menelepon tadi, dan membuat janji untuk bercinta denganmu nanti malam."

Sungmin memejamkan mata sejenak dan membenarkan posisi kacamatanya. "Kau masih di kantor, jadi jaga ucapanmu. Dan kau harus ingat kalau aku adalah—"

"Atasanmu." Kyuhyun mengangguk. "Aku tidak akan pernah melupakannya. Untuk itulah aku melakukan semua perintahmu, menjaga semua jadwal agar dapat kau jalani dengan baik, termasuk kegiatan panasmu di atas ranjang. Semua sudah kuatur—"

"Kyuhyun!"

Pria itu mengangkat tangannya, "Aku sudah meletakkan tiket penerbanganmu ke Maroko untuk lusa di laci meja." Kemudian beranjak pergi.

Namun belum sampai ia membuka pintu, Kyuhyun berbalik, "Ah, ada satu yang ingin aku tanyakan padamu. Apa membeli kondom juga termasuk dalam daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan?"

Sungmin menatap tajam, namun tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya.

"Well, walaupun aku tak tahu apa gunanya kalian memakai benda itu, aku tetap mempersiapkannya. Mungkin pria memang bisa hamil. Aku memilihkan strawberry untuk malam panjangmu. Sampai jumpa." Kalimat tadi diucapkan dengan penuh kebencian yang mendarah daging. Kemudian pintu tertutup dengan bunyi 'blam' halus.

.

.

-to be continued-

.

.

.

*propifenason : golongan obat dengan bahan aktif untuk meredakan rasa nyeri atau sakit.

A/N: I think this not gonna be so long fanfic. Sorry for typos and didn't mention anything at first place. Anyway.. mind u come in throughout my journey? Thanks for reading ^^

-venus-