BTS – Big Hit Entertainment

Penulis tidak mengklaim apapun selain plot cerita

.


.

.

Mengiyakan ajakan Hoseok memang selalu berujung nasib sial, pikir Namjoon. Setidaknya itulah yang terjadi begitu dia pulang dengan luka-luka akibat mobil yang dikendarainya menabrak pembatas jalan. Satu juta lima ratus ribu won bukan jumlah yang besar baginya, namun senyum jahil Hoseok—yang berkata bahwa Namjoon tak akan sanggup menguasai trayek jalan baru di sekitar area tempat mereka biasa balapan kurang dari setengah jam memaksa darah bersaingnya bergolak hebat. Salah Namjoon juga karena menyanggupi dengan sombong padahal baru pulih dari flu sehari sebelumnya. Toh meski dahinya terbentur, hidungnya berdarah, dan lengannya terkilir hingga harus ditangani oleh dokter khusus yang memaksa Namjoon menyumpah-nyumpah menahan sakit, tatap tajam Jungkook yang menungguinya sambil melipat tangan di pintu kamar terasa berkali-kali lebih menakutkan. Anak laki-laki bermata besar itu tak pernah banyak bicara dan hanya balas mencibir jenuh. Baru menginjak lima belas tahun minggu lalu, namun sorot bengisnya tak pernah gagal membuat Namjoon mati kutu.

"Taruhan keempat bulan ini. Akan kuremuk Jung Hoseok sampai dia tak bisa menemukan tulang lehernya sendiri," decak yang bersangkutan, mendelik pada seorang pelayan agar mengantar dokter pribadi mereka keluar kamar, "Serius, hyung. Apa kau ingin dipesankan peti mati?"

"Damai, sayangku."

"Tutup mulutmu."

Dan hari ini Namjoon harus rela berangkat tanpa kendaraan. Kuda besinya butuh perbaikan serius dan Jungkook mengusulkan pada sang ayah agar menyita kunci kendaraan Namjoon selama sebulan (yang langsung ditanggapi Namjoon dengan dekik keberatan sambil menuntut tes DNA untuk membuktikan apakah Jungkook benar-benar adiknya) Hoseok yang iba masih mencoba menawarkan jemputan, tapi sahabatnya terlanjur memilih mengejar bus sambil bersungut-sungut.

Bosan, Namjoon memutuskan untuk bolos kuliah. Toh Hoseok sudah paham apa yang harus dikerjakan jika Namjoon tak kunjung menampakkan batang hidungnya di kampus lewat pukul delapan. Mengingat dia tak punya janji dan harus pulang dengan taksi, Namjoon berpikir untuk menghabiskan siang dengan jalan-jalan. Tanpa sengaja, pandangannya tertumbuk pada sekelompok murid taman kanak-kanak yang bergerombol di tepi jalan menunggu lampu merah menyala. Tangan-tangan mungil itu memegang es krim berlainan warna yang tampak sangat segar. Namjoon menjentikkan jari dan mengangguk mantap, dia juga ingin makan sesuatu.

Kaki panjangnya melangkah menyusuri trotoar dan berbelok ke jalanan menuju bekas SDnya yang dijajari pertokoan pendatang. Gedung sekolah tua itu kini dicat biru muda dan terlihat mencolok dibanding bangunan-bangunan di sekitar. Tidak banyak yang berubah selain jalanan yang diperlebar, pembatas yang berganti bahan, juga gerbang masuk pusat jajanan yang didominasi warga keturunan. Pada hari biasa, banyak anak kecil yang diajak orangtuanya membeli camilan sepulang sekolah. Tapi di jam-jam lengang seperti ini, Namjoon hanya memergoki sejumlah pemilik toko yang sibuk menyapu teras, menyeka jendela, atau menurunkan pasokan dari truk-truk yang datang dari arah berlawanan. Diliriknya arloji lalu mendesah kecewa. Masih terlalu pagi, belum ada kedai yang buka. Perutnya kini bersenandung dan Namjoon nyaris lupa soal sarapan. Mungkin lebih baik dia pergi ke restoran cepat saji terdekat dan menelepon Hoseok agar sekaligus ikut bolos.

Tepat ketika hendak berputar balik, Namjoon dikejutkan oleh suara benda jatuh diiringi pekik kesakitan dan bunyi gesekan kertas. Menoleh, matanya mendapati seorang pria terduduk di tepi jalan dengan tungkai terkulai dan raut kebingungan. Kepala berpaling ke kiri dan kanan, menatap berbagai macam sayur serta butiran jeruk yang menggelinding ke segala arah, seolah ingin berkata 'berhenti!' namun tertahan oleh kaki yang belum mampu bergerak. Dua buah kardus berukuran cukup besar ikut terguling di sebelah pria itu, perekat plastiknya yang terbuka memperlihatkan gundukan bawang yang siap bergulir keluar.

Insting, Namjoon buru-buru berlari menghampiri dan sigap membalik kardus-kardus itu agar kembali tegak. Tasnya dilempar begitu saja sembari menyambar kantong kertas menuju arah bawaan yang masih berserak. Namjoon hampir menendang jeruk-jeruk itu jika tak ingat bahwa dia bermaksud menolong. Merutuk karena seumur hidup tak pernah memungut benda jatuh, Namjoon memasukkan jeruknya ke dalam kantong, kemudian mendaki tanjakan ke arah sang pemilik yang sedang menaruh belanjaan kembali ke keranjang. Bagi kaki jenjang Namjoon, jarak seperti itu hanya butuh lima hingga enam langkah. Disodorkannya kantong tadi memakai sebelah lengan selagi lengan lain menyambar tas yang segera dipanggul jumawa. Pria di hadapannya menerima penuh kelegaan dan susah payah memeluk semua bawaannya dengan agak tertatih, "Terima kasih, bocah."

Bocah? Pelipis Namjoon berkedut-kedut, berniat mengajukan protes sebab dia bahkan sudah mengantongi ijin meneguk alkohol dan kerap kebut-kebutan. Namun perhatiannya malah tertuju pada kardus-kardus bawang yang tampak berbobot, tidak heran pemiliknya sampai terjungkal. Dan alih-alih memeriksa diri sendiri, pria berambut hitam yang menjajari bahunya itu malah mendongak heran.

"Maaf, kepalamu kenapa?"

"Oh, ini?" Namjoon meraba perban tipis di balik poninya, sisa pengobatan akibat kecelakaan tempo hari, lalu menggeleng acuh, "Bukan apa-apa. Tapi ngomong-ngomong, kardus-kardus ini mau dibawa kemana? Tidak ada yang membantu?"

"Harusnya tadi adikku menemani belanja, tapi dia harus mengambil pesanan daging di toko, dan...OW!" pria itu mendesis, sobekan di bagian lutut celananya menunjukkan goresan yang mulai berdarah, "Gawat! Aku bahkan belum memasak nasi! Bisa tolong letakkan kardusnya di tanganku?"

Memiringkan kepala sambil menimbang-nimbang bahwa keadaan ini sepertinya lebih penting daripada sarapan, Namjoon kembali membungkuk untuk mengambil kedua kardus tersebut sekaligus dalam satu gerakan. Berat, dan lengan kanannya yang belum sembuh itu berdenyut-denyut. Namjoon berdecak, memang sedikit ngilu, tapi karena terbiasa cedera akibat hobi bodohnya, hal seperti ini tak perlu dianggap serius. Alisnya naik melihat pria tadi melongo.

"Apa?"

"Sini kardusnya, bocah."

"Ini berat lho? Dan tidak mungkin dibawa dengan keadaan lutut seperti itu," seloroh Namjoon datar, "Tsk, sedang butuh begini aku malah tak bawa mobil. Sudahlah, tunjukkan jalannya."

Pria itu terlihat hendak membantah. Tapi melihat Namjoon melotot, dihelanya napas panjang lalu mengangguk sambil tersenyum.

.


.

"Makanlah yang banyak," sepiring telur gulung dan irisan lobak kuning diletakkan di atas meja. Namjoon bergeming di salah satu kursi dan tengah menyesap semangkuk sup bertabur daun bawang. Tiba di rumah pria bernama Seokjin tersebut, Namjoon langsung diminta menyusun kardus-kardus di sudut dapur, juga membantu mengatur botol-botol bumbu di lemari bahan sementara sang empunya rumah pamit sejenak untuk mengobati lutut. Perut Namjoon berbunyi kencang kala Seokjin menyusul masuk. Pria itu tertawa dan akhirnya menyilakan Namjoon duduk untuk dijamu.

Selagi diambilkan nasi, mata Namjoon berpendar ke segala penjuru. Ruang tamu merangkap tempat televisi, dapur merangkap ruang makan, dua pintu kamar berwarna serupa, dinding bersemat lukisan dan beberapa bingkai tua, juga plakat-plakat yang bersisian dengan sejumlah tropi di atas tirai penyekat ruangan. Kisi ruangannya terbilang rendah hingga kepala Namjoon terantuk celah ventilasi sewaktu memasuki dapur. Bahan kursinya pun kayu tua yang sesekali berderit. Tapi tidak jadi soal, yang penting masakan pria itu cocok di lidahnya.

"Letak bumbunya rapi juga, apa kau sering membantu ibumu di dapur?" Seokjin menuang air dingin ke gelas panjang lalu menggesernya ke arah Namjoon yang menggeleng pelan, menelan lebih dulu dan terdiam sebentar, memastikan tak ada yang tersisa di dalam mulut. Bibi pengasuhnya selalu menegur keras jika hal itu terjadi.

"Sudah meninggal, dan seingatku dia sangat ceroboh," tukasnya, mengibaskan tangan saat Seokjin beranjak meminta maaf, "Tapi adikku suka memasak dan aku cukup sering melihat pelayan-pelayan membereskan dapur," seloroh Namjoon, mencapit sepotong telur dan mengangguk-angguk senang. Kalimatnya tak urung membuat kerut di dahi Seokjin bertambah.

"Pelayan?"

Namjoon mengerjap, "Ada yang salah?"

Dari samping, Seokjin mengamati pemuda itu dengan seksama. Kemeja bermerek di balik jas berlogo kampus elit, dasi yang terkait necis meski bukan pekerja kantoran, celana yang tampak baru keluar dari binatu, juga sepasang sepatu yang kelihatannya tidak murah. Mungkin anak orang berada, batinnya, menilai dari logat dan gestur yang tetap dalam postur sempurna meski sedang menyantap makanan.

"Tidak," ujar Seokjin akhirnya, "Apa mereka terus menungguimu hingga selesai makan?"

Namjoon berkedik acuh, "Kadang kuusir pergi kalau sedang ingin sendiri," sumpitnya disusun di atas mangkuk, kedua tangannya dikatupkan sekilas lalu beralih menyesap sedikit air selagi Seokjin mengerut dahi penasaran.

"Apa ada gunanya?"

"Pertanyaan macam apa itu?" kekeh Namjoon, "Mereka sudah bekerja di sana sejak aku lahir dan tak ada yang perlu dijelaskan. Cukup repot kalau harus mengerjakan banyak hal tanpa bantuan. Maksudku, meja makan kami lumayan besar. Jika tak ada pelayan, kau harus berdiri lebih dulu dan mengulurkan tangan agak jauh jika ingin mengambil sesuatu. Bukankah itu menyebalkan?"

"Sebesar apa?"

Namjoon memutar kepala ke arah ruang tamu, "Dari sana ke sana," ditunjuknya pintu dapur kemudian menoleh tanpa rasa bersalah, "Aku harus bayar berapa untuk sarapannya?"

Bukannya mendapat jawaban, kalimatnya langsung disambar ketukan dua buku jari tepat di kening. Keras. Namjoon berjengit bingung memperhatikan Seokjin yang beranjak meninggalkan kursi sambil menggeleng-gelengkan kepala. Mata pria itu melotot galak, "Sakit tidak?"

"Sangat," Namjoon buru-buru meraba balutan perbannya dengan tersinggung, "Kenapa aku dipukul?"

"Karena kau tidak sopan!" tuding Seokjin, telunjuknya teracung mengejutkan Namjoon, "Apa kau selalu begini tiap ada orang yang melakukan sesuatu sebagai tanda terima kasih?"

Lagi-lagi kepala Namjoon bergerak miring, "Terima kasih?"

Mendengar nada bertanya serta ekspresi yang sepertinya tidak dibuat-buat, Seokjin spontan menyipit, "Jangan bilang kau tak pernah dapat ucapan seperti itu."

"Tidak pernah," gumam Namjoon singkat, "Pelayan dibayar untuk melayani, senior-senior tak pernah berani memberi perintah karena takut, para gadis menawarkan bantuan karena sedikit rayuan, dan dosen-dosen memberiku nilai bagus tanpa memeriksa tugasnya karena segan dan mungkin cari muka," ujarnya santai, "Jadi, apa maksudnya dengan terima kasih?"

"Astaga, aku benar-benar kasihan padamu," Seokjin menepuk dahi lalu mengulurkan tangan menyentuh bahu Namjoon, sewot bercampur simpati, "Jadi begini, aku memberimu tempat duduk dan menyediakan makanan di meja ini bukan karena aku takut, ingin diberi uang, atau karena segan. Aku melakukannya sebagai balas budi karena sudah dibantu mengangkut belanjaan dan mengatur lemari dapur. Kau menolongku dan aku menjamu. Itu salah satu cara berterima kasih."

Namjoon berkedip tak paham.

"Jangan melongo begitu," Seokjin makin trenyuh, "Memang tidak semuanya memberi balasan. Tapi jika nasib sedang mujur dan kebetulan bertemu orang baik, mereka akan mengucapkan terima kasih. Untukku, kalimat itu sudah cukup memberitahu bila mereka merasa tertolong, setidaknya bagi beberapa orang. Kadang ada yang enggan memberi bantuan secara gratis, tapi kau jangan tumbuh jadi orang seperti itu," tambahnya mewanti-wanti.

"Jadi kalau Hoseok tidak berterima kasih walau sudah menyalin seluruh esai jawaban di ujian kenaikan tingkat, aku harus berlapang dada, begitu? Oke, tidak masalah."

"Yang begitu sih tidak boleh dilakukan, tahu! Mencontek itu perbuatan yang tidak bagus! Ya Tuhan, anak-anak jaman sekarang," Seokjin mengusap muka frustasi, "Memberi salinan waktu ujian sama artinya dengan kau membiarkan temanmu menjadi pemalas. Meniru jawaban orang lain artinya malas berpikir, lama-lama otaknya akan tumpul karena dimanjakan. Kau mau temanmu bodoh?"

Bukannya berkata iya atau tidak, pemuda di hadapannya malah menggaruk dagu seolah tengah mencerna. Mungkin menurut Namjoon, kalimat itu pernah didengarnya di suatu tempat. Meski sebetulnya dia tak peduli jika otak Hoseok tumpul atau hilang sekalipun.

"Ayahku sering mengatakan hal yang sama, tapi jarang kupatuhi," seringainya tanpa dosa, kedua lengan dijadikan bantalan di belakang tengkuk, "Kami saling mencontek kalau salah satu terlalu sibuk atau ketiduran sebelum mengerjakan laporan. Toh tidak dilakukan setiap hari," celetuk Namjoon tenang. Tak ayal membuat alis Seokjin menyatu heran.

"Sibuk?" ulangnya, "Memangnya anak kuliahan punya kegiatan sebanyak apa?"

"Tidak banyak, tapi sangat membosankan," bahu Namjoon terangkat naik turun, "Kelas harian, bimbingan malam, rapat mingguan, kunjungan kantor saham, diskusi bisnis menggantikan orangtua, semacamnya. Kadang malah harus absen kalau mendadak ada tamu perusahaan dan harus segera datang walau masih memakai jas ini. Setelahnya baru diminta ganti baju di gedung pertemuan karena siapapun dilarang masuk tanpa pakaian formal dan aku benci memakai setelan. Gerah."

"...dunia orang kaya itu ternyata sulit," Seokjin menyeka kedua tangannya memakai lap meja sambil mendesah panjang, "Dan kau menurut? Tidak pernah mengeluh kalau itu akan mengganggu jam istirahat?"

Yang ditanya justru terbahak sambil beranjak dari kursi, ujung sepatunya diketukkan ke lantai untuk merapatkan bagian jari, "Tidak ada gunanya mengeluh. Mungkin sesekali, tapi aku tak berniat memberi kesan buruk atau mempermalukan nama baik seseorang. Bersikap terlalu serius tidak baik untuk jantung, jadi kubiarkan berjalan sewajarnya."

Tidak yakin dirinya mengerti, Seokjin hanya mengiyakan. Bahasa bangsawan.

"Panjang umur, baru dibicarakan," Namjoon menilik ponselnya, menatap cengir lebar Hoseok di tampilan utama dan meraih tas dari kursi, sekilas bergumam tentang jenis dosen yang bersikeras memaksa mahasiswanya hadir dan jemputan yang menunggu di samping sebuah toko. Ekor matanya menangkap sorot mata kebingungan begitu memalingkan kepala, "...apa ada sesuatu di wajahku?"

"Kau membolos?"

Namjoon mengangguk sementara Seokjin spontan memijat pangkal hidung dan mengumpat lirih. Rasanya seperti kecolongan karena dia bahkan tidak bertanya lebih jauh apakah pemuda itu memiliki urusan lain yang harus dikerjakan dan malah menahannya untuk makan pagi. Padahal jelas-jelas Namjoon memakai almamater.

"Sejak awal aku sudah berniat bolos seharian, tapi mendengarkan ceramah setelah sarapan enak kurasa tidak buruk juga," ringisnya sumringah, sejenak mengamati Seokjin yang masih tampak menyesal. Alis turun dan tengkuk digaruk-garuk.

Urung berbalik, Namjoon beranjak mendekat. Lengannya yang tak memanggul tas dijulurkan ke arah Seokjin, perlahan menangkup rahangnya dan pria itu ikut mendongak. Mata mengerjap heran, "Bocah?"

Namjoon beringsut menyamping, menunduk lebih rendah dan tersenyum sebelum mengecup pipi Seokjin. Sekilas, kemudian beralih mundur diiringi bisik samar di telinga pria itu.

"Terima kasih."

Terkesiap, Seokjin reflek memegang pipinya sendiri sementara Namjoon balas terkekeh.

"GAAAAAAAAAAAAAAH!" pekik nyaring menggema memecah ruangan dan keduanya berpaling bersamaan. Seorang pemuda berkulit gelap menyerbu masuk, tak ambil pusing mengucap permisi. Langkahnya berderap menghampiri serta langsung menarik lengan Seokjin menjauh ke tepi dapur. Mata besarnya mendelik buas, jemari mengepal erat. Terdorong naluri, sebelah kaki Namjoon bergeser ke belakang, keningnya terlipat dan tinjunya bersiaga.

"BERANINYA KAU! DASAR MAKHLUK MESUM!" pemuda asing itu meraung kencang sambil mengusap-usap wajah dan rambut Seokjin, khawatir, "Kau baik-baik saja, hyung?"

Bukannya mengiyakan atau menimpali, Seokjin memilih melonggarkan pegangan lalu balas menepuk bahunya, berdecak meski masih merona, "Aku tak apa-apa."

"AKAN KUBUNUH BERANDALAN ITU."

"Taehyung-ah. Dia bukan berandalan."

"Tapi, hyung—"

"Turunkan lenganmu."

"Tapi! Tapi! Tapi!"

"Kubilang turunkan!"

Mengambil kelengahan itu sebagai kesempatan bagus, Namjoon melesat menghampiri jalan keluar, meninggalkan Seokjin yang menggeleng-gelengkan kepala dan mulut lain yang ternganga tak terima, "OI! Kau! Aku belum selesai bicara!"

"Aku harus kembali ke kampus! Adik kecil!" gelak Namjoon, mengerling, "Sampai jumpa!"

"Tunggu, bocah!" Seokjin mencegah cepat, menahan adiknya agar tak terus mengamuk dan Namjoon berhenti tepat di ambang pintu, rautnya cerah berhias senyum, "Siapa namamu?"

Menaikkan tasnya tinggi-tinggi, Namjoon merespon nyaring, "Namjoon!" teriaknya tak kalah ceria, "Namaku Namjoon!"

Detik berikutnya pemuda itu berlari menghilang, suara sepatunya bergedebum hebat di luar ruangan sebelum berangsur samar. Pemuda di samping Seokjin tampak mengerut dagu selagi yang bersangkutan berkacak pinggang sambil berdecak.

"Anak aneh."

"...apa katanya tadi? Namjoon?" Taehyung bergegas mengangkat kepala, terkejut begitu menyadari sesuatu. Mulutnya terbuka selebar angkasa, "Kim Namjoon? Anak konglomerat itu? Yang benar? Kenapa bisa ada di sini?"

Dan Seokjin hanya mampu menghela napas panjang.

"Entahlah."

.


.

.