CHERRY BLOSSOM in The TWILIGHT
by SORASA3
.
.
.
NARUTO © MASASHI KISHIMOTO
TWILIGHT © STEPHENIE MAYER
.
.
Uchiha Sasuke and Haruno Sakura
.
.
Romance, Fantasy
.
T+
.
Happy reading!
.
.
.
Aku, Haruno Sakura. Mulai hari ini, aku resmi menghabiskan liburan musim panasku di kota kecil bernama Konoha bersama ayahku. Dengan modal pohon kaktus kecil didalam potnya, aku siap berangkat menuju rumah ayahku—rumahku. Aku meninggalkan Mebuki, ibuku—atau bisa dibilang, mereka meninggalkanku. Bukan dalam artian buruk, tidak sama sekali. Ibuku hanya merasa rindu pada suami barunya—Kizashi—dan memutuskan untuk pergi menyusulnya ke Amerika. Dan aku sebagai anak yang berbakti kepada orangtua, tidak mungkin membiarkan ibuku kesepian, bukan? Alhasil, aku sekarang berada disini, bersama ayahku—ayah kandungku—Hatake Kakashi, terperangkap didalam mobil polisinya, dan saling mendiamkan satu sama lain.
"Rambutmu sudah sedikit memanjang dari yang terakhir ku lihat ya, Sakura?" Kakashi bertanya padaku ketika mobilnya berhenti—lampu merah sedang menyala di depan kami. Aku menoleh padanya, dan menyentuh rambutku yang memang sudah sedikit panjang—sebahu lebih sedikit.
"Um.. yah... akhir-akhir ini aku sedang berusaha untuk memanjangkan rambutku. Yah, walau kadang-kadang Ibu sering kali menyuruhku untuk memotongnya." Aku mencoba terseyum pada Kakashi—dan tampaknya berhasil. "Kata Ibu, gadis berambut pendek itu cantik."
"Begitu." Balasnya sambil mengangguk-angguk. "Bagaimana kabar Ibumu?" tambahnya—masih tetap melihat ke depan.
"Ya, dia baik-baik saja. Apalagi saat ku bilang kalau aku akan pindah sendiri dan membiarkannya berduaan dengan suami barunya." Aku tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana aneh diantara kami. Dan tampaknya itu hanya menambah buruk suasana—aku baru ingat kalau Kakashi itu duda mencakup mantan suami Ibuku. Oh, bodohnya aku.
"Begitu, ya..." Kakashi mendesah lelah—ini semua salahku. "Bagaimana sekolahmu yang disana?"
Aku cepat-cepat menoleh pada Kakashi. "S-sekolah yang bagus. Aku punya banyak teman disana." Aku menjawab agak terbata. "Aku pernah menjadi juara 5 seangkatan. Hebat bukan?" tambahku sambil menyunggingkan senyum penuh kemenangan.
"Ya, ya. Kau hebat, putriku. Kau jenius." Kakashi tersenyum lebar sambil mengatakan itu. Sepertinya, suasana hatinya sudah membaik.
"Nah, jadi sekarang apa kau... senang datang kesini?"
Sudah kuduga, pasti pertanyaannya tentang rambutku-yang-sudah-memanjang dan teman-temannya hanyalah sebagai ucapan berlalu tak bermakna, yang sebenarnya tidak penting sama sekali. Itu hanyalah sebagai basa-basi agar pertanyaan yang seketika membuatku bungkam ini keluar.
"Oh... um, yah. Tentu. Kenapa Ayah bertanya seperti itu?" ucapku sopan. Aku tidak mungkin memanggil ayahku layaknya teman bermainku 'kan? Bayangkan saja jika aku bilang, 'Tentu Kakashi.' atau 'Terima kasih, Kakashi.' Yang benar saja? Aku bisa menjadi tahanan rumah seumur hidup jika aku melakukannya.
Terlepas dari sopan-santun, aku menatap Kakashi sesaat—dan ia juga menatapku—dan dengan canggung aku mengalihkan pandanganku ke arah lampu lalu lintas yang tak kunjung berganti warna itu.
Sesaat, kami sama-sama diam—terdiam dan sok menyibukkan diri sendiri—sebelum akhirnya aku memutuskan untuk memanggil Kakashi lagi—menyadarkannya dari kebisuan kami.
"Ayah?"
"Hah... oh, tidak. Aku hanya memastikan kalau kau dapat melanjutkan sekolahmu sampai tamat tanpa keluhan kalau kau tidak suka hidup di kota yang lembab dan hujan terus-menerus ini." Jawabnya dengan senyum miring dan nada yang sedikit—kecewa. Aku tahu kenapa ia berbicara seperti itu, karena dulu sewaktu aku sering pulang ke Konoha untuk mengunjungi ayahku, aku selalu mengeluh mengenai keadaan kota kelahiranku ini.
"Dan merengek untuk dipulangkan dan ikut tinggal dengan Ibu dan Kizashi di Amerika." Aku menambahkan dengan senyum, lalu menatap Kakashi. "Aku tidak akan begitu, Ayah. Oh, lampunya sudah hijau."
Kakashi masih diam menatap dashbor mobil polisi ini, dan ketika sebuah mobil truk chevrolet mengklakson, Kakashi baru tersadar dan cepat-cepat menginjak gas mobil dengan kecepatan normal.
"Oh, benar." Ia turut membenarkan dengan agak canggung, dan seketika dapat ku rasakan ban mobil yang sedang ku tumpangi ini melaju dengan kecepatan rata-rata—sekaligus secara tidak langsung mengakhiri percakapan kami barusan.
.
.
.
"Biar ku bantu." Kakashi merebut satu tas yang paling besar dari tanganku. "Kau tampak kesusahan." Tambahnya sambil nyengir.
"Oh, yeah. Terima kasih, Ayah." Aku juga balas nyengir. Kami sudah sampai di depan rumahku—rumah yang tidak pernah berubah dari aku lahir sampai berumur 17 tahun ini. Ku genggam kaktus kecilku dengan kekuatan penuh, sambil menyandang tas selempangan yang cukup besar, aku memantapkan diri untuk melangkah masuk.
"Tidak dikunci?" aku menggumam ketika tanganku dengan mudanya memutar kenop pintu, kemudian menatap Kakashi curiga. "Ayah selalu seperti ini?" tuntutku.
"Ah.. tidak! Tentu saja tidak." Ia cepat-cepat menjawab. "Ini khusus untuk hari ini saja." Tambahnya sambil mengacungkan jempolnya.
Aku mendesah bosan, memutar kedua bola mataku dramatis, "Bagaimana kalau ada yang mencuri rumahmu, Sir?"
Kakashi tertawa, "Tentu tidak, sayang. Tidak ada yang berani maling dirumah Kepala Kepolisian Konoha, sayang."
"Kalau orang nekat? Dia nekat menerobos rumahmu, bagaimana?"
"Hanya ada 1 banding 3,2 juta orang yang ada di Konoha, sayang." Kakashi lagi-lagi mendesah—dan membuatku jengkel setengah mati. Hey, harusnya aku yang mendesah bosan seperti itu! "Ayolah, Sakura sayang. Sudah kukatakan, hanya untuk hari ini saja." Tambahnya sambil meringis kecil.
Aku membuang muka, lebih baik mengalah. Toh, Kakashi sudah tua dan fakta bahwa aku adalah anaknya membuat alasan kalau aku harus mengalah lebih kuat lagi. Berbakti pada orangtua, oke?
"Oh, yah, yah, baiklah... Jadi, kamarku?" aku berjalan santai memasuki rumah baruku. Berjalan santai melewati ruang tamu dan dapur yang telah kuingat dengan jelas. Sebentar aku terhenti di lemari kaca yang terlihat asing bagiku—mungkin ini baru—di dekat ruang santai yang memajang foto keluarga Haruno—foto ayahku, ibuku, dan aku. Miris sesaat ketika aku menemukan foto pernikahan Ayah dan Ibuku masih terpajang gagah disana. Kakashi masih belum bisa melupakan Mebuki sepertinya.
"Kau rindu rumahku?" Kakashi berdeham pelan dibelakangku. "Atau aku?" ia tersenyum percaya diri—dan ku akui itu membuatnya tampak 1 minggu lebih muda.
Aku terkikik pelan. Sejak kapan Kakashi jadi pintar melucu?
"Kalau begitu, aku pilih Ayah saja." Aku nyengir dan berputar menghadap Kakashi. Bisa kulihat ia tersenyum lebar. "Tapi, sedikit." Dustaku—tentu saja aku kangen sekali dengan Kakashi—sambil terkikik lagi. Dan Kakashi juga ikut tertawa.
Kemudian aku kembali berjalan dan menaiki tangga—rumah kami berlantai 2—dan berhenti di seperempat tangga untuk membenarkan selempangan tasku yang sedikit melorot.
"Jadi, kamarku?" aku megulangi pertanyaanku lagi.
Kakashi mengangkat wajahnya dan tersenyum, "Yang dulu." Ucapnya.
"Dulu?" aku mengangkat alisku. Kalau itu 'dulu' berarti...
"Ya, dulu. Tapi tenang saja, sudah ku beres-bereskan, 'kok." Kakashi cepat-cepat menambahkan. Ia nyengir padaku, "Kamar tuan putri sudah siap dihuni."
"Oh, benarkah? Terima kasih, pangeran." Aku membalas candaannya, dan kami tertawa-tawa hingga di pertengahan tangga.
.
.
.
"Em, yah.. baiklah. Katakan saja jika kau perlu sesuatu." Kakashi tersenyum dan mengangkat kedua tangannya kearahku.
Satu hal yang sangat ku sukai dari Kakashi. Dia tidak suka berbasa-basi.
"Um, yah.. terima kasih." Ucapku, lalu ia melangkah keluar dan menutup pintu kamar—kamar yang baru saja resmi menjadi milikku ini.
Setelah bunyi tutupan pintu terdengar, aku langsung jatuh dan merentangkan tanganku di atas ranjang. Tidak ada debu yang bertebaran, tidak ada sarang laba-laba dan sampah-sampah disudut ruangan. Tidak ada kain-kain putih penutup barang yang tak terpakai, jendela sudah mengkilat dan lengkap dengan tirainya serta beberapa funiture yang sudah bertengger manis lainnya. Benar, Kakashi memang membersihkan kamar ini—sangat bersih malah. Membuatku menambahkan nilai plus untuk dirinya—mengingat ia sudah beberapa dekade menjadi 'bapak rumah tangga'.
Aku menilik segala sudut kamarku, tampaknya Kakashi masih meninggalkan semua perabotan yang ada dikamarku ini dengan tata letak yang sama. Lemari besar untuk baju-bajuku di sudut kiri, dan rak buku disebelahnya. Meja nakas kecil yang antik disebelah ranjangku ini, dan kaca besar full body terpajang tepat di dinding sebelah kiri ranjangku. Sofa kecil kesayanganku diletakkan tepat ditempat paling strategis—didepan ranjangku. Semuanya diatur tampak seperti pada saat aku masih tinggal di sini—dulu. Aku suka semuanya yang ada dirumah ini—terkecuali fakta bahwa dirumah ini hanya memiliki satu kamar mandi.
"Baiklah. Saatnya kita berbenah, diriku sayang."
.
.
.
"Jadi, apa yang Ayah bisa lakukan selain memasak?" aku bertanya ketika kami sedang melangsukan acara turun-temurun—makan malam. Benar, aku hampir saja tidak menyadari kalau waktu sudah menunjukkan pukul 18.00 karena keasyikan menyusun barang-barangku kalau saja Kakashi tidak berteriak dari bawah—menyuruhku mandi dan ikut makan malam bersamanya.
"Menangkap maling. Tentu saja." Kakashi menjawab singkat, lalu menyendokkan kedalam mulutnya mengunyah lagi omelete yang masih tersisa.
Aku mendesah, menguyah potongan timun yang terakhir, lalu berkata, "Ayah... bukan itu. Maksudku ketika Ayah sedang dirumah dan tidak ada pekerjaan."
"Oh? Aku menonton pertandingan bola. Itu seru sekali." Jawabnya sambil mengelap mulutnya. "Kadang-kadang pergi mancing." Tambahnya sambil nyengir.
"Mancing? Dengan?"
"Shikaku."
"Shikaku?"
"Oh, yeah. Kau pasti lupa dengannya, tentu saja. Dia teman baikku, anaknya bernama Gaara."
"Gaara?"
"Ya. Anak itu bilang sudah lama sekali dia tidak melihat wajahmu." Kakasi tertawa pelan, kemudian mengerinyit aneh—seolah mencium aroma tak sedap, "Tapi jangan terkejut, kali ini dia mengecat rambutnya berwarna merah cemerlang. Entah apa yang ada dipikiran anak itu." Kakashi menggeleng prihatin.
Hey, tidakkah kau juga melihat anakmu ini yang berambut tak lazim yaitu pink—walaupun ini asli turunan?
Aku masih saja tidak mengingat siapa itu Shikaku dan Gaara. Terima kasih kepada kapasitas memory otakku yang begitu minim. Padahal sepertinya mereka berdua sangat penting sekali—sepertinya.
"Dia akan berkunjung?" aku bertanya. Siapa tahu dengan melihat wajahnya aku bisa mengingat kembali apa yang bisa ku ingat. Maklum.
"Tentu saja. Mungkin—
Ucapan Kakashi terhenti ketika telepon rumah yang tergantung tepat didepannya berdering. Aku bangkit berdiri, hendak mengangkat teleponnya, namun Kakashi lebih dulu menyabet gagang telepon—bahkan aku hampir saja kagum dengan kecepatannya kalau saja fakta tidak mengatakan itu sudah sewajarnya karena ia adalah Kepala Kepolisian.
"Halo.." terdengar suara Ayahku yang berdeham—mungkin masih ada sisa-sisa omelet yang masih tersangkut ditengah tenggorokannya—kemudian pembicaraan aneh pun dimulai. Maksudku, suara berat Ayahku terdengar ceria dan menggelegar didapur kecil kami.
"Wah! Kebetulan sekali! Ya, Sakura sudah sampai—baru siang tadi. Oh, tentu.. tentu. Sakura pasti akan senang jika bisa bermain bersama Gaara lagi. Yah... hahaha.. tidak-tidak. Terima kasih sudah mau repot-repot mengantarnya untukku besok, Shikaku. Ya. Akan ku tunggu. Baiklah, sampai jumpa besok, sobat!"
Setelah yakin kalau Kakashi benar-benar menyudahi teleponnya—mengingat tadi dia seru sekali berbicara dan tak menutup kemungkinan untuk menelpon kembali—aku bertanya dengan cepat karena aku yakin tadi Kakashi menyebut-nyebut namaku.
"Siapa?" aku bertanya penasaran.
"Shikaku." Kakashi menjawab singkat lalu kembali duduk ke kursinya setelah ia menggantungkan gagang teleponnya di tempat yang benar. "Besok dia akan berkunjung."
Aku sedikit terkejut. Pasalnya, baru saja kami membicarakan tentang kenalan atau sobat karib Kakashi beberapa detik yang lalu, namun ia akan kemari besok. Oh, sungguh kebetulan yang begitu tidak terduga.
"Benarkah? Untuk apa?" aku bertanya antusias pada Kakashi. Tadi ia menyebut sesuatu yang ada namaku, jadi aku yakin sekali kalau itu pasti ada hubungannya dengan diriku ini.
"Rencananya kami akan menonton pertandingan bersama." Kakashi menjawab dengan senyum mengembang. "Dan mengantarkan hadiah selamat datangmu juga." Tambahnya sambil nyengir—dan seketika semangatku menguap begitu saja. Aku memutar bola mataku bosan.
"Ayah." Aku mendesis pelan. "Ayah paling tahu kalau putri semata wayangmu ini tidak suka yang namanya hadiah." Tambahku sambil mendesah. Hilang sudah rasa penasaranku dan rasa nyamanku untuk malam ini. Aku hanya ingin cepat-cepat pergi ke kamar dan tidur.
Kakashi menatapku dengan tatapan memohon. "Ayolah, Sakura. Tidak ada yang salah dengan hadiah, apalagi ini adalah hadiah untukmu yang baru saja resmi tinggal disini untuk beberapa dekade kedepan."
"Tapi Ayah... sudahlah. Aku mau tidur." Ucapku akhirnya. Jujur, aku sedikit merajuk dengan Kakashi saat ini.
"Sakura sayang," Kakashi memohon, aku jadi tidak tega sekarang. "Kali ini saja." Janjinya.
Aku jadi semakin tidak tega. Setelah ku pikir-pikir, Kakashi memang tak pantas mendapat perlakuan egoisku ini. Dia sudah lama menyendiri ketika aku dengan egoisnya memutuskan untuk ikut dengan ibuku, dan kali ini aku bersikap egois lagi. Oh, ayolah Sakura. Ayahmu ini hanya memberi hadiah untuk mengungkapkan rasa senangnya ketika kau memilih untuk tinggal dengannya ini. Berbakti pada orang tua, oke?
"Oh, baiklah." Aku menghembuskan nafas pelan. Kakashi tersenyum lebar.
"Apa isinya?" Aku bertanya lagi, dan senyum Kakashi makin mekar selebar-lebarnya.
"Kau akan tahu sendiri besok siang." Jawabnya dengan nada misterius.
"Aku belum pulang sekolah." Desakku. Memangnya apa yang akan dihadiahkannya padaku? Mobil dengan body baja dan kaca anti peluru?
"Shikaku datang setelah kau pulang sekolah." Protes Kakashi.
"Ayah!" aku memekik, lalu berdiri—menghempaskan kursiku hingga jatuh kebelakang. Tak peduli, aku kemudian mengangkat piring bekas omelet kami dan menuju wastafel. Sebagai satu-satunya perempuan didalam rumah ini, tugas ini sudah mutlak menjadi milikku.
"Sabarlah, Sakura sayang." Kakashi berdeham, kemudian aku mendengar kursi berderit—dan suara kursi yang didirikan dan dirapikan kembali. "Ayah mau menonton dulu. Pertandingannya sudah hampir dimulai."
Dan sekali lagi aku mendengus keras, mengabaikan sentuhan ringan dibahu ku. Oh, ini sangat menyebalkan. Sebal! Aku mau tidur!
.
.
.
Ayahku membangunkanku pagi-pagi sekali. Alasannya ia tidak mau aku terlambat—atau dirinya sendiri yang terancam akan terlambat. Tentu saja—dengan terpaksa—aku membuka mataku dan menatap jendela kamarku yang selalu berembun. Hari ini gerimis lagi, dingin dan semuanya hijau—terlalu hijau. Kapankah aku bisa merasakan vitamin D masuk melalui pori-pori kulitku?
"Sakura? Kau sudah selesai?" Kakashi berteriak dari bawah.
"Sebentar lagi!" aku memekik dari dalam kamar—langsung menyambar peralatan mandiku dan melesat keluar kamar. Sayangnya kamar mandi dirumah ini hanya satu—dan kenyataan itu bukan berada dikamarku, sehingga aku harus lari pontang-panting terlebih dahulu untuk mendapatkan siraman shower dan bak mandi yang berisi air hangat yang menyenangkan.
"Kalau begitu cepatlah! Kelasmu akan dimulai setengah jam lagi!"
Nah, kan? Masih setengah jam lagi—setengah jam yang harusnya ku dapatkan untuk menyambung tidurku.
"Baiklah." Aku mendesah dari dalam kamar mandi—tak peduli apakah Kakashi mendengarnya atau tidak. Selamat tinggal, setengah jamku yang berharga.
.
.
.
"Kau Haruno Sakura, 'kan?" Seorang pria datang menghampiriku—menghadang jalanku. Ada apa ini?
"Namaku Rock Lee. Panggil saja aku, Lee." Ucapnya lagi sambil mengacungkan jempolnya dan mengedipkan sebelah matanya padaku. Hey, hey, ada apa ini?
"Oh, um.. yeah..." aku mengerinyit, sedikit memundurkan diri. Hari pertama aku menginjakkan kaki disekolah ini, sekolah menengah pilihan Kakashi yang selalu basah—karena hampir setiap hari selalu mendung dan gerimis—seorang lelaki berambut bob berkulit putih agak pucat langsung menodongku begitu saja. Ia menatapku penuh harap, lalu dengan sedikit terpaksa, kusebutkan namaku.
"Haruno Sakura."
"Oh, yah! Haruno Sakura-san, aku—
"Sakura."
"Oh, baiklah, Sakura. Aku adalah orang yang sangat mengetahui seluk beluk sekolah ini jadi karena itu aku disebut sebagai pro-guide Konoha-gakuen. Hahaha!" Lelaki yang tidak ku ingat namanya itu tertawa keras di depanku, dan itu membuatku semakin takut. Mungkin pulang ini aku akan mengadu pada Kakashi untuk memindahkan aku dari sekolah ini.
Sejenak setelah ia tertawa—dan membuatku merinding—ia berdeham pelan dan menggosok-gosok hidungnya. "Jadi, aku disini ditugaskan untuk mengantarmu ke kantor." Tambahnya sambil tersenyum. Dan baru kusadari ternyata dia adalah orang yang memiliki alis sangat tebal—didunia.
"Oh, ya.. terima kasih." Ucapku pelan, menunggu reaksinya untuk mengajakku ke kantor. Ia sendiri yang bilang kalau dirinya ditugaskan untuk mengantarku ke kantor, bukan? Lagipula aku tidak tahu dimana kantornya, jadi lebih baik menerima tawarannya daripada harus berkeliling, 'kan?
Aku terus memperhatikannya—dari ujung kepala sampai ujung kaki—dan ia semakin asyik berceloteh didepanku mengenai ia, julukannya dan sekolah ini. Aku tidak tahu apa yang membuat Kakashi terpikirkan untuk memasukanku disekolah yang muridnya tidak lebih dari 300 orang ini. Apa ia memang sengaja memasukanku disini karena sekolah ini dekat dengan kantor polisi tempatnya bekerja sehingga ia bisa memantauku selama 24 jam?
"Jadi, kita pergi sekarang?" lelaki itu tersenyum padaku. Mengaggetkanku dari fantasi liar tentang ayahku dan sekolah baruku.
"Oke."
.
.
.
"Jadi, yang harus kau tanda tangani ada di map berwarna biru ini, dan yang harus kau minta tanda tangan pada guru ada di map yang berwarna hijau. Tanyakan pada Lee, pemuda yang baru saja mengantarmu tadi untuk guru-guru yang harus kau mintai tanda tangan. Lalu yang terakhir, kumpulkan kedua map itu padaku saat jam istirahat nanti. Dan untuk besok, silahkan datang kembali ke kantor saat jam istirahat, ada yang ingin ku bicarakan padamu." Ucap wanita berkacamata yang ku lansir sebagai kepala sekolah—mungkin. Deretan kata yang panjang ditambah dengan penjelasan super cepat itu hanya bisa membuatku mengangguk-angguk tanpa memahaminya. Mungkin aku akan membutuhkan lelaki beralis tebal yang tadi.
"Mengerti?"
"Y-ya, Ma'am."
Dan aku keluar ruangan dengan lunglai. Tidak ada semangat untuk bersekolah—dan hidup.
.
.
.
"Jadi, hari ini pelajaranmu ada di kelas Biologi, dan siang nanti ada jam Olahraga. Jika kau tidak keberatan, aku bisa mengantarmu." Ucap Lee—aku baru ingat namanya—sambil membolak-balikkan selembar kertas yang telah ia rampas dariku. Aku masih menjinjing map-map berisi tugas meminta tanda tangan itu. "Kalau kau tidak keberatan."
"Oh, um... yah. Terima kasih." Ucapku akhirnya. Ku lihat ia tersenyum berseri-seri.
"Baik! Ayo, kita ke kelas pertamamu, Sakura. Kebetulan kelasmu sama denganku!" Ucapnya semangat. Hebat sekali di bisa mengingat namaku hanya dengan perkenalan singkat tadi, sedangkan aku sendiri perlu beberapa kali disebutkan agar bisa mengingat namanya.
Aku mengekor lelaki berpotongan bob itu, melirik ke kanan dan ke kiri sembari berjalan dengan harapan aku dapat mengingat jalan menuju kelasku. Ketika melihat seragam wanita yang digunakan disini, aku jadi sedikit risih. Aku hanya pernah memakai seragam dengan rok di bawah lutut, tapi sekarang... sangat seksi!
"Ano.. Sakura? Kita sudah sampai." Rock Lee—akhirnya aku ingat sepenuhnya nama lelaki ini—bergumam kepadaku. Aku mengerjap, kemudian mengalihkan pandanganku kepada pintu yang menjulang didepanku.
"Oh, iya. Terima kasih."
Aku kembali mengekor Lee, lelaki itu membimbingku menuju meja guru yang berada ditengah-tengah ruangan. Rasa canggung menghampiriku sesaat ketika Lee meninggalkanku dan duduk ditempatnya sendiri. Aku tidak memperhatikan siapapun yang ada dikelas—karena aku masih fokus pada kegugupanku di kelas baru. Perlahan-lahan aku merasa hawa dingin menjalar ke seluruh tubuhku—oh, rupanya aku sedang berdiri di depan kipas angin di ruangan itu.
"Nah, Haruno Sakura-san. Terima kasih sudah mau bergabung di kelas ini. Aku Sarutobi Asuma, mulai hari ini akan menjadi guru biologimu." Lelaki besar didepanku tersenyum—dengan batang rokok yang terselip dibibirnya. Hey, kau adalah guru biologi, tapi pernakah kau belajar tentang bahaya-nya rokok bagi tubuh manusia?
"Ya." Balas ku singkat, kemudian ku ulurkan map hijauku kepada guru baruku itu.
"Oh, ya. Terima kasih. Silahkan duduk dimanapun kau suka—maksudku dimana yang masih ada bangku kosongnya. Aku tidak memaksamu untuk duduk dengan orang tertentu."
"Baiklah. Terima—
Ucapanku tergantung ketika melihat dimana letak kursi kosongku itu. Ternyata ada dipaling pojok kelas ini. Dan yang paling mengerikannya, seorang lelaki tampan yang bertampang suram menduduki tempat itu!
Rambut hitamnya yang bermodel aneh membuatku bergidik.
"Ada apa, Haruno Sakura-san?"
"Oh, tidak ada apa-apa, Sensei."
Aku perlahan berjalan mendekati tempatku, dan langsung duduk diam ditempat. Saat aku menoleh—mencuri-curi pandang pada lelaki misterius itu, dirinya malah menutup hidungnya dan melotot kearah—hey! Apakah aku bau?
Aku merasa risih padanya, karena sedari tadi ia terus saja melotot dan mencengkram wajahnya—lebih tepatnya menutup hidungnya dengan kekuatan tangan yang tidak masuk akal. Apa aku sebegitu bau? Apa aku sebegitunya tidak enak untuk berada disebelahku dan mencium aroma tubuhku?
Perlahan aku mendekatkan rambutku sendiri ke hidungku, dan aku mencium aroma shampoo strawberry yang menguar dari sana. Ku rasa rambutku baik-baik saja. Dan aku yakin, sebelum berangkat sekolah aku menyemprotkan minyak wangi pada seragamku. Tapi kenapa ia tetap saja menganggapku begitu... busuk? Bahkan ketika Sarutobi-sensei membagikan bahan untuk eksperimen kami, ia tidak bergerak sedikitpun.
"Baiklah, kali ini pelajaran kita adalah tentang cacing. Cacing pipih. Silahkan kalian pisahkan masing-masing bagian dari cacing ini dengan partner kalian! Me-regenerasinya!" Sarutobi-sensei mengumumkan apa yang harus kami lakukan. Aku membeku. Partner katanya?
"Ano..." Aku memberanikan diri menoleh ke arah 'partner'-ku dan menatap matanya. Hitam kelam yang menakutkan! Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku dari matanya.
Saat aku sudah bisa menguasai diriku lagi, aku berniat kembali menoleh padanya—namun tidak jadi karena dengan gerakan perlahan ia memisahkan gelas kecil yang berisi cacing pipih itu kearahku. Sinyal bahwa ia menyuruhku untuk melakukannya sendirian.
Hey, sebenarnya ada apa ini? Kenapa pertemuanku yang pertama kali di sekolah baru ini sangatlah tidak menyenangkan?
Rasanya mataku menjadi panas. Aku marah—tentu saja. Aku tidak tahu apa kesalahanku, dan aku tidak tahu apa yang telah aku perbuat padanya sehingga ia terlihat begitu... membenciku.
Akhirnya, aku hanya bisa mengikuti pelajaran biologi ini tanpa benar-benar memperhatikan dan menyentuh cacingku. Pria disebelahku ini juga bergerak-gerak gelisah—seolah-olah benar-benar ingin pergi jauh dariku. Dan ini menghinaku. Menjatuhkan harga diriku. Memangnya ada apa denganku, hah?!
Dan benar saja, ketika bel berbunyi, dengan luwes dan cepat ia langsung bangkit dari duduknya dan meninggalkan kelas. Bahkan Sarutobi-sensei belum meninggalkan kelas.
Aku ingin sekali berteriak padanya dan bertanya kenapa ia bersikap seperti itu. Tapi ku urungkan niatku karena Lee datang menghampiriku dan berteriak padaku—padahal kami hanya terpisahkan oleh 2 jajaran bangku. Dan itu menambah kekesalanku saat ini.
"Yo, Sakura! Bagaimana dengan cacingmu? Kau berhasil?" ia bertanya dengan riang dan menggebu-gebu, tidak memperhatikan suasana hatiku yang begitu buruk hari ini. Aku kesal, kesal setengah mati. Rasanya aku ingin pindah sekarang juga, tak peduli bagaimana kecewanya Kakashi nanti. Aku benci sekolah ini—jujur karena lelaki itu.
"Sakura?" Lee memanggilku lagi—dan aku menoleh padanya.
"Oh, hai, Lee." Jawabku singkat. Aku berusaha mengendalikan diriku agar menjadi sedikit lebih tenang—dan tampaknya itu bekerja walaupun sedikit.
"Baiklah, lupakan tentang cacing itu. Apa kau perlu bantuan? Tentang sekolah barumu ini, atau tentang map-map mu itu mungkin?" Lee bertanya lagi padaku, dan aku langsung teringat dengan map-map yang harus ku tandatangani. Gawat, Sarutobi-sensei sudah keluar kelas!
"Um, yeah. Em, Entahlah, tapi yang pasti aku harus segera menyusul Sarutobi-sensei. Entah, entah aku tidak tahu... tapi, tapi... Mapku ada disana!" aku meracau pada Lee dan langsung menyabet tasku dan berlari keluar ruangan tanpa menunggu suara protes dari Lee. Rasanya semua rasa benci dan kesalku langsung menguap begitu saja hingga aku sendiripun tidak sadar kalau aku sedang merasa benci atau kesal beberapa menit yang lalu. Yang kurasakan saat ini adalah... panik!
Aku dapat mendengar teriakan Lee yang teredam oleh debam kakiku sendiri hingga suara itu hilang ditelan oleh debaman kakiku sendiri. Aku tidak mau tersesat disekolah ini—mengingat aku belum mengenal siapa-siapa kecuali Lee—dan aku tidak mau mapku pergi ke alam entah berantah karena terombang-ambing diantara kapitan lengan Sarutobi-sensei, dan yang paling penting, aku tidak mau membayangkan kemungkinan—walaupun sekecil apapun persennya—aku akan bertemu dengan pria aneh dan gila itu lagi!—di manapun aku berada.
"Oh, Sarutobi-sensei!" Aku memekik ketika kepala Sarutobi-sensei tertangkap oleh mataku diantara jajaran kepala yang lain-lain. Sarutobi-sensei menoleh, kemudian ia menepuk jidatnya seakan ia melupakan sesuatu—yang memang benar ia melupakan soal mapku itu. Ia terhenti ditengah-tengah lautan kepala murid Konoha ini.
Aku berjalan cepat menghampirinya, dan langsung mengatakan tujuanku tanpa harus berbasa-basi—toh, ia sudah tahu apa maksudku datang padanya.
"Oh, ya. Haruno. Maaf sudah membawa map mu. Ini." Sarutobi-sensei menyerahkan map berwarna hijau itu padaku yang langsung ku sambut dengan senang hati.
"Terima kasih." Ucapku ketika menerima map itu. "Saya permisi." aku menundukkan kepala sesaat, lalu berlalu.
Aku meninggalkan Sarutobi-sensei, berjalan pelan untuk kembali ke kelasku—jika aku ingat jalannya. Tapi, ku urungkan niatku ketika tak sengaja menemukan papan penunjuk yang bertuliskan "Tata Usaha" itu. Yah, mumpung aku sudah menemukan ruangan itu, begitu pula dengan tugas-tugasnya yang sudah selesai. Jadi tunggu apa lagi?
Dengan gerakan mantap, aku melangkah lebar-lebar kearah ruangan yang bertuliskan Tata Usaha itu. Setengah detik kuhabiskan untuk berdiri didepan pintu dan menarik nafas dalam-dalam. Aku butuh pencerahan, dan tiba-tiba semuanya menjadi sesak ketika aku mengingat mengenai pencerahan—dan cacing.
"Ano.. Permisi..." Aku mengetuk pintu—mengabaikan rasa sesaknya—lalu membuka pintu dengan perlahan. Ku lihat wanita yang sama persis dengan tadi pagi sedang duduk disana. "Permisi... Aku... mau mengumpulkan ini." Ucapku sambil menyodorkan map-mapku.
"Oh? Terima kasih, Haruno Sakura. Tunggu sebentar, ya." Ia mendongak, dan langsung menyambar map ku.
"Baik." Aku bergumam pelan, dan melipat tanganku di atas meja tinggi itu sambil sesekali melihat apa yang sedang ia perbuat dengan map-mapku itu. Dan disanalah berawal. Aku melihat Dia, dan Dia melihatku. Kami saling berpandangan selama setengah detik, sebelum akhirnya aku mengerti, dan ia bergumam disana—dibagian paling ujung yang terpisahkan 4 meja dariku.
"Oh, maafkan aku sudah merepotkanmu, Mrs. Anko. Permisi."
Dia berjalan keluar dengan luwes dari dalam kantor—meninggalkanku dengan air mata yang memaksa keluar dari sudut mata dengan kecepatan cahaya.
.
To be Continue...
.
.
.
Holaa!
Sora datang lagi dengan fanfic gaje bin aneh yang pastinya Anda sendiri sudah tahu bagaimana garis besarnya akan menjadi apa nanti ._.
Maaf sekali dengan fanfic sebelumnya yang belum juga update setelah sekian lama karena berbagai hal yang telah terjadi dan menghambatnya untuk update beberapa bulan belakangan :3
Disini, Sora murni mengambil semua scene yang ada di TWILIGHT (namun ada sedikit yang di ubah sendiri demi kelangsungan cerita)
Sekali lagi, TWILIGHT milik STEPHENI MAYER dan NARUTO milik MASASHI KISHIMOTO. Sora tidak mengambil keuntungan apapun dari fanfic yang telah mengadaptasi novel best seller tersebut.
Akhir kata, mind to review? :3
Story only : 3.923
SORASA3, 27-11-15
