Ini adalah cappuccino terburuk yang pernah ia rasakan seumur hidupnya, "Irina!" ia selalu tahu kalau rekan kerjanya yang satu itu hanya penampilannya saja yang seperti orang dewasa tapi kelakukannya bahkan lebih parah daripada anak-anak kelas E. Tapi keisengannya sudah melebihi batas kali ini. Semua orang tahu kalau Tadaomi Karasuma tidak bisa berfungsi dengan baik di pagi hari tanpa secangkir cappuccino dan wanita itu berani mengatakan sampah di cangkirnya ini sebagai cappuccino? Luar biasa sekali memang rekannya yang satu itu.

Suara 'klik-klak' khas sepatu hak tinggi yang biasa ia kenakan menggema di lorong-lorong kayu yang sepi itu. Pagi masih dini, tapi sebagai seorang guru mereka memiliki kewaijban untuk hadir lebih awal dari siswanya. Tidak berapa lama kemudia wajah bulat yang dibingkai surai pirang itu mengintip dari sisi pintu ruang guru, "Ya, Karasuma?" wanita muda itu bertanya tanpa dosa.

"Kau sebut ini cappuccino?" manik gelap lelaki itu menyipit melihat bibir merah muda milik wanita dihadapannya terkulum membentuk sebuah kurva melengkung.

"Yep," jawab wanita cantik itu dengan nada ringan, seolah tidak sadar dengan kejengkelan guru olahraga itu, "Setiap pagi kau minum cappuccino, aku melihatmu membuatnya. Dan karena kau ketiduran di sini tadi jadi aku membuatkan satu untukmu."

Mungkin niat mulia rekannya itu patut di apresiasi. Tapi sayangnya, niat mulia Irina Jelavic menghancurkan cita rasa sebuah cappuccino. Karasuma memijit dahinya. Rasanya ia tidak hanya mengurusi satu kelas berisi anak-anak muda yang diharuskan membunuh gurunya, satu rekan sesama guru sekaligus targetnya tapi juga sesosok anak perempuan manja dalam wujud seorang wanita dewasa. Sangat seksi kalau harus ditambahkan. Bahkan mungkin terlalu seksi untuk kebaikannya sendiri, "Cappuccino buatanmu tidak enak. Jangan buatkan cappuccino lagi untukku."

.

.

CappucciLovebelong to Arleinne Karale

Assassination Classroom belong to Yuusei Matsui

A Semi-Canon, possibly out of character, made-up head cannon, lot of typos story with straight pair

Inspired from Assassination Classroom Manga Chapter 160 Valentine's Time – After School

Read at your own risk

.

.

Hari ini pelajaran olah raga mereka diganti di dalam ruangan karena diluar hujan deras. Sesungguhnya kalau dipikir-pikir, bangunan kayu sederhana yang terletak di pedalam ini sangat luar biasa. Entah sudah berapa tahun ia melewati hujan badai dan salju seorang diri tapi tetap berdiri dengan kokoh. Namun sayangnya sekarang bukan saatnya untuk memikirkan bangunan bobrok yang tetap disebut sebagai 'ruang kelas' itu. Toh kalau Karasuma menilai bangunan bobrok mereka mulai membahayakan murid-murid, ia bisa minta Kementrian Pertahanan untuk memperbaikinya.

Namun nampaknya satu-satunya hal yang perlu diperbaiki disini adalah mood dari anak-anak didikannya yang sejak ia menginjakkan kaki di kelas mereka, semuanya terdiam dan menatapnya dengan sorot mata yang tajam. Seolah ia baru saja menendang keluar seekor anak anjing dan membiarkannya berkeliaran di tengah badai yang menerjang wilayah mereka, "Hari ini kita akan sedikit mempelajari tentang diet seimbang, sebuah pemilihan pola makan yang penting untuk menjaga keseimbangan gizi kalian," tapi bukan Karasuma namanya kalau tidak menjalankan tugasnya dengan benar.

Apapun yang menghadang, ia akan tetap mengajarkan materi ini pada siswa-siswanya. Memang untuk sekarang ini materi yang akan ia ajarkan tidak terlihat terlalu penting. Plus sepertinya tidak ada satupun dari siswanya yang akan melanjutkan jejaknya atau Irina sehingga seharusnya mereka tidak terlalu perlu mempelajari hal ini. Tapi jelas bagaimanapun juga tubuh manusia butuh gizi yang seimbang.

"Karasuma-sensei?" suara seorang gadis membuatnya berhenti menulis di papan tulis. Hirano Kurahashi, yang biasanya mengikuti semua pelajarannya dengan penuh semangat sekarang nampak tidak berminat akan apapun yang ia ajarkan. Karasuma paham. Toh materi ini harusnya diterapkan saja, "Aku tidak minat belajar."

"Kalau begitu silakan keluar," Karasuma menjawab dengan tenang. Hanya sebuah rintangan tidak penting yang bisa segera disingkirkan untuk melanjutkan misinya. Jam pelajarannya masih ada satu jam lagi. Kalau ia memberikan materi ini dengan cukup cepat, siswanya bisa mendapat waktu kosong sekitar setengah jam.

Tapi sayangnya semua siswanya berdiri dan keluar.


Karasuma menatap dinding kayu yang bolong di beberapa tempat. Bangunan ini sungguh menyedihkan. Untung saja air hujan diluar tidak masuk ke dalam ruang guru dan menyebabkan banjir. Sekarang bukan saatnya merenungi lubang di dinding. Masalah yang harus ia renungi sekarang adalah soal kelakuan siswa-siswanya di kelasnya tadi. Ada yang salah dengan mereka, seolah mood mereka yang buruk disebabkan sebuah pemicu dan jelas pemicunya bukan dia.

Jangan-jangan Irina meracuni mereka lagi? Kebetulan sekali kelas wanita itu ada sebelum jamnya mengajar. Atau makhluk itu mencekoki mereka dengan sesuatu yang 'enggak-enggak' karena gurita berwarna kuning ajaib itu mengisi homeroom mereka pagi tadi, tepat setelah insiden cappuccino sampah buatan Irina.

Ketukan samar di pintu membuat Karasuma menoleh dan mendapati pemuda berambut hitam dengan senyum ragu-ragu berdiri di depan pintu. Manik matanya yang berwarna madu melirik cemas ke arah Karasuma. Sepertinya kelas 3-E mengirimkan ketua kelas mereka untuk berdiskusi hal yang tidak mengenakkan dengan Karasuma, "Karasuma-sensei," Yuuma Isogai menarik napas dalam-dalam sebelum menatap tajam ke arah Karasuma.

"Kami mogok masuk kelas Karasuma-sensei kalau Karasuma-sensei masih tidak mau meminum kopi buatan Bitch-sensei," pemuda itu membungkuk sopan sebelum berbalik pergi. Meninggalkan Karasuma yang hanya bengong menatap tempat kosong yang tadi diisi oleh pemuda yang dijuluki Ikemen oleh rekan-rekannya.

Apa-apaan itu maksudnya?


Dan sayangnya sepertinya apa yang dikatakan Isogai kemarin bukanlah ancaman belaka, Karasuma mendengus menatap lapangan yang kosong. Bahkan hawa kehadiran siswa-siswanya berpencar jauh di hutan sekitar bangunan sekolah kecil mereka. Karasuma sudah mengestimasi, kalau ia harus mengumpulkan semua siswanya, itu akan memakan waktu hingga pulang sekolah. Padahal jam mata pelajarannya hanya ada dua jam setelahnya ada kelas dari Gurita Mesum itu. Ah, well, paling juga besok mereka kembali lagi. Toh kelasnya ada untuk membantu mereka membunuh target mereka.

Tapi betapa salahnya Karasuma karena keesokan harinya, siswanya kembali tidak ada yang hadir pada jam pelajarannya.

Dan besoknya.

Dan besoknya lagi.

Hingga satu minggu berturut-turut dan Karasuma kesal sendiri.


"Irina!" Karasuma menendang pintu ruang guru karena kedua tangannya penuh dengan berkas-berkas yang harus ia pertanggung jawabkan selama seminggu kemarin. Ia harus menjelaskan bagaimana siswa-siswanya mendadak menjadi pemberontak kurang ajar yang tidak paham bahwa apa yang ia lakukan adalah untuk mereka. Karasuma tidak punya pilihan lagi. Deadline sudah semakin dekat. Mereka perlu banyak belajar teknik membunuh kalau ingin membunuh Gurita Alien itu, "Buatkan aku cappuccino!" maka ia harus menelan egonya dan terpaksa menikmati sampah yang disebut sebagai cappuccino oleh rekannya itu.

"Baiklah," suaranya terdengar ringan dan bahagia. Ia yang awalnya duduk manis di kursinya sekarang berdiri dan menatap Karasuma dengan manik biru muda bulat yang dibingkai oleh bulu mata yang lentik dengan binary bahagia. Seolah Karasuma baru saja memberikan hadia natal untuk seorang anak kecil. Well, pada dasarnya kemungkinan besar mental wanita muda di hadapannya ini berhenti bertumbuh sejak usianya 10 tahun.

Karasuma mulai menekuni kertasnya satu per satu. Menuliskan perkembangan siswa-siswanya dalam sebuah rangkuman singkat—untuk pekan kemarin jelas lebih singkat karena ia tidak memiliki kelas bersama dengan mereka—yang sudah ia jalani sejak awal menjadi pengawas disini. Hal itu diperlukan untuk memonitori kesehatan fisik dan mental siswa-siswanya. Bagaimanapun juga, seberapapun menyenangkan kelihatannya, dan senjata yang mereka gunakan hanya mainan, tujuan utama mereka adalah membunuh Guru Wali Kelas mereka.

"Silakan Karasuma," manik biru itu masih berbinar senang. Karasuma memijit dahinya sekali lagi dan menelan ludah berkali-kali sebelum mengambil cangkir kecil dari tangan wanita cantik dihadapannya dan menghabiskan isinya sekali teguk.

Panas memang, tapi setidaknya ia fokus merasakan rasa sakit pada lidahnya yang terbakar dibandingkan rasa asin dari cappuccino buatan Irina. Apa sih yang ditambahkan wanita itu ke dalam minumannya, "Irina," Karasuma meletakkan cangkirnya, "Setelah pekerjaan ini selesai. Kau harus berhenti menjadi seorang hitman. Kau tidak pantas untuk itu."

Manik biru itu menyipit tidak senang, "Maaf?" suaranya yang biasanya tinggi dan sarat akan keceriaan kini berubah menjadi dingin dan berbahaya.

"Kau akan selalu gagal kalau menyamar menjadi seorang Barista. Padahal sekarang kebanyakan pertukaran informasi di lakukan di café-café pinggir jalan," Karasuma menjawab singkat sebelum menendang tangan wanita itu yang hendak meraih pistol di balik blazernya, "Cappuccino buatanmu rasanya asin."


"Kurasa kau belum pernah coba di bunuh di bawah laut," Karasuma mengetukkan pulpen ke mejanya.

"Nurufufufu," lawan bicaranya hanya tertawa dengan misterius.

"Kau harus dijebak dulu di dalam ruangan anti-sensei lalu dibawa ke bawah laut," Karasuma mencoret sesuatu di kertasnya. Bukan ide dasar yang buruk. Ia bisa membuat siswa-siswanya berpikir ke arah situ dan mengembangkan strateginya dengan lebih matang. Tentu saja tidak di depan targetnya.

"Karasuma," wanita berambut pirang dengan senyuman super manis dan manik biru yang berbinar bahagia masuk ke ruangan kecil yang mereka tetapkan sebagai ruang gutu itu. Ia membawa sebuah cangkir kecil yang tidak diragukan lagi berisi cappuccino lain.

Sudah seminggu belakangan setiap pagi Karasuma 'menikmati' cappuccino buatan Irina. Kalau ia tidak meminumnya, siswa-siswanya akan mogok masuk kelasnya, seperti yang ia lakukan di hari kedua. Siang itu juga, setengah jam sebelum kelas berakhir ia terpaksa meminum racun yang dengan sempurna menyamar sebagi kopi itu. ternyata ancaman siswanya memang tidak main-main. Jadilah Karasuma setiap pagi meminum cappuccino buatan Irina agar siswa-siswanya mau belajar mata pelajarannya.

Cappuccino buatan Irina sekarang tidak terlalu asin lagi. entah karena wanita muda itu berhasil menemukan resep sebenarnya cappuccino atau karena lidah Karasuma sudah terlalu terbiasa menikmati cappuccino Irina sehingga rasa asinnya tidak terlalu menusuk lagi. biarpun ada rasa baru yang menyerbu indra perasanya begitu cairan cokelat pekat itu masuk ke dalam mulut.

"Irina…" Karasuma menghembuskan napasnya setelah menenggak habis kopinya dan meletakkan cangkir di mejanya, "Bekerjalah di Kementrian Pertahanan!"

"Eh?" gadis itu memandangi antara laki-laki yang merupakan objek afeksi dan Gurita Aneh yang menjadi objek serangan fisik.

"Cappuccino buatanmu rasanya seperti yang ada di mesin pembuat kopi di Kementrian Pertahanan," Karasuma menjelaskan, "Jadi mereka tidak perlu membeli mesin baru setiap tahun karena ada kau disana."

"Maksudnya apa, hah?" manik biru itu menyipit kesal. Dahinya berkerut tidak senang. Tapi sekalipun terlihat seperti monster yang hendak menyerang, Irina Jelavić saat marah tetap luar biasa cantiknya.

"Lagipula," Karasuma kembali menghela napas seolah berusaha menghilangkan rasa yang tertinggal di lidahnya akibat kopi buatan rekannya itu, "Cappuccino buatanmu rasanya asam."


Entah sudah berapa hari berlalu sejak pertama kali Karasuma meminum sampah-garis-miring-racun-yang-menyamar-sebagai-kopi buatan Irina. Sejujurnya, rasanya mulai membaik sekarang. Bahkan cappuccino buatan gadis Eropa Utara itu mulai terasa seperti cappuccino, "Karasuma-sensei," panggilan dari sang ketua kelas sukses membuat Karasuma membuka matanya.

Diluar masih hujan, jadi kelas kali ini ada di dalam ruangan. Karasuma sudah menjelaskan materi mereka tentang kemungkinan membunuh di dasar laut, sekarang siswanya sedang mengatur sendiri strategi yang akan mereka gunakan untuk mencoba saran dari Karasuma. Tampaknya Karasuma tertidur selama beberapa saat.

Ah ya. Hari itu ia tidak minum cappuccino. Irina pergi melakukan sesuatu untuk Lovro dan tampaknya alat pembuat kopi itu terseimpan di lemarinya yang terkunci, "Kalian sudah selesai?" Karasuma bertanya pada salah satu siswanya itu.

"Ah, sebetulnya ada yang masih kami bingungkan," Isogai melirik teman-temannya yang lain, "Soal bagaimana menjebak Koro-sensei karena kami semua sudah kehabisan trick. Selain itu, kami juga tidak menemukan baju renang yang tahan tekanan pada kedalaman—"

Pintu geser ruang kelas mereka terbuka dengan suara 'BRAK' keras, diikuti dengan suara 'klik-klak' yang tergesa-gesa dan teriakan cempreng dari wanita muda yang merupakan salah seorang guru untuk kelas 3-E juga, "KARASUMA!" wanita berambut pirang itu setengah berlari menghampiri pria yang selalu mengenakan setelan jas berwarna hitam sambil membawa secangkir—yang tidak diragukan lagi—berisi cappuccino.

Gadis cantik itu meletakkan cangkirnya di meja Karasuma dan Karasuma menghela napas sebelum meneyeruput minuman surga itu. Sekali ini, rasa manis dan pahit berpadu dengan sempurna. Kopi yang panas bertemu dengan susu yang hangat dan foam yang dingin menciptakan harmoni di lidah. Ia bisa merasakan butiran-butiran kopi, kelembutan susu, dan tekstur lembut dari foam di dalam mulutnya. Hari ini Irina membuat secangkir cappuccino sungguhan.

"Kau tahu," Irina memulai, "Aku belajar membuat cappuccino dari Sensei. Sensei kan orang Italia dan aku tahu cappuccino buatannya sangat enak. Dia bilang, setelah pensiun nanti dia ingin membuka—"

"Irina," Karasuma memotong apapun yang hendak dikatakan gadis itu dan meletakkan cangkirnya di atas meja, "Setelah pekerjaan ini selesai, kau harus berhenti jadi hitman dan mulai bekerja di Kementrian Pertahanan."

Bibir merah muda itu mengerucut. Pipi yang mulus itu menggebung. Karasuma tidak bisa dibohongi hanya dengan raut muka karena sorot mata gadis itu mengatakan segalanya, Maik biru itu meredup sebelum menyala dengan sangat terang bagaikan api di perapian. Isogai yang masih ada di dekat meja guru mundu teratur, begitupun dengan siswa-siswa kelas 3-E yang lain yang mulai merasakan kedatangan awan badai yang lain.

Karasuma menahan tangan gadis itu yang mengeluarkan pistol dari lengannya, "Setiap pagi sebelum kau pergi ke kuil, kau bisa memasak dan membuatkan kopi. Dengan begitu kau tidak selalu pergi bekerja dengan perut kosong."

"Kuil?" sebelah alis gadis itu melengkung ke aras, "Aku kan sudah bilang kalau aku ini kristen. Lagipula, buat apa bikin sarapan kalau ada café yang searah dengan tempat kerja?"

"Kau tidak mengerti, huh?" Karasuma dengan santainya melempar pistol Irina ke luar jendela, "Di dekat rumahku tidak ada gereja. Jalanan ke arah Kementrian Pertahanan dari rumahku tidak ada café."

.

.

The End

.

.

Bacotan Arleinne:

Halo, Penghuni Fandom Assassination Classroom! Salam kenal, Arleinne Karale disini, panggil saja Aru. Dan selamat datang di cerita pertama saya di fandom ini.

Fyuh, susah juga nulis Karasuma. Semoga ini gak OOC banget. Mungkin ada beberapa bagian yang OOC, tapi reader sudah diingatkan. Ah ya, tapi saya minta maaf kalau Karasuma jadi terkesan norak, alay, berisik.

One shot ini terinspirasi dari chapter 160 dimana Karasuma dan Irina sweeeet banget. Ajakannya Karasuma ke Irina soal bekerja di Ministry of Defence kayak sebuah lamaran gitu. Dan overall mereka itu pasangan yang sweet dan imut. Karasuma yang strict banget dan Irina yang santai-tapi-serius-kadang-kadang. Dan, well, Karasuma tuh ganteng abis.

Demi kelancaran cerita ini, saya membuat beberapa headcannon yang sebetulnya gak tahu udah ada atau belum dan saya gak sempet searching.

Irina gak bisa masak. Well, melihat masa lalunya Irina dan kerjaan dia, kayaknya dia gak bakal sempet belajar masak layaknya calon istri yang baik. Dengan uang yang dia punya hasil dari kerjaannya, Irina pasti lebih dari mampu tiga kali sehari makan di restoran bintang lima.

Karasuma suka minum kopi. Mengingat kerjaannya Karasuma yang super banyak dan posisi dia yang tinggi, pasti dia perlu waktu melek lebih lama daripada waktu tidur. Apa lagi yang bisa membantu melek selain kopi? Lagian kebanyak mas-mas kece yang setipe Karasuma minumnya kopi.

Yaaah dan sisanya yang sebetulnya gak terlalu penting. Sebenernya intinya mau menunjukkan betapa sweetnya Karasuma dan Irina dengan cara mereka sendiri, maka terbentuklah one shot ini.

Terakhir, terima kasih banyak sudah mampir ke cerita ini, apalagi yang rela baca bacotan ini sampai selesai. Kritik, saran, dan masukannya ditunggu di kotak review. Sampai jumpa di cerita lainnya.