.
Project K (c) GoRa & GoHands
BLUE SUN
.
'Bawa aku dan jangan biarkan aku pergi.'
.
.
.
.
.
Jika ada satu hal yang paling dibenci Munakata Reishi dari setiap mimpi buruknya, maka layangkan caci-maki tersebut pada sebuah pendaran bola biru menggantung di setiap malam-malam penuh peluh dan pacuan adrenalin menyesaknya.
Matahari biru, atau begitu Reishi menyebutnya.
Bongkahan raksasa energi yang alih-alih membakar, matahari dingin itu kerap membekukan apapun yang berada dalam jangkauannya—atau setidaknya, segala bentuk rupa di dalam mimpinya. Dan memanggil kembali gambaran itu dalam kepalanya selalu berhasil membuat tengkuknya menggigil ngeri. Bagaimana tidak? Pemandangan kota yang seharusnya dilindunginya berubah menjadi padang es dengan gemuruh butiran salju bengis tak kenal ampun dari langit. Sosok-sosok putih pucat mematung atau bergelimpangan di tepi jalan, terperangkap bunga-bunga kristal indah namun mematikan, tatapan mata kosong tanpa jiwa yang seolah menghantuinya ke mana pun ia menderap dan berpaling. Wajah-wajah akrab di ingatan yang tak lagi melayangkan tanda kehidupan. Tangannya sendiri yang akan mengubah sesuatu dalam genggamannya menjadi es yang kemudian merapuh lalu meretak hancur detik berikutnya. Hingga di ujung mimpinya, seorang diri ia berdiri di tengah badai salju mengganas, tubuh terikat kaku oleh beku yang menghujam hingga kulit, dengan kristal-kristal dingin itu mulai melahap tubuhnya perlahan. Sementara bongkah biru raksasa itu akan selalu ada, menggantung di atas kepalanya. Pergolakan biru yang menjilat, persis seperti api, membuka ruang hanya untuk memperlihatkan rupa sesungguhnya sang matahari biru. Sebuah pedang berukuran masif, berwarna biru tua, menggelap, meruntuh, siap jatuh untuk memangsanya seutuhnya.
Betapa Reishi lelah. Lelah dengan malam-malam tanpa kedamaiannya. Lelah berkejaran—entah mengejar atau dikejar—belenggu mimpi yang merantainya seakan ingin membinasakannya kapan saja. Dan betapa ia merindukan tidur lelapnya, malam tanpa mimpinya, di mana pagi akan menjemputnya seperti biasa, tanpa dikungkung penat, dan ia akan melakukan rutinitasnya seperti biasa, mengisi satu harinya dengan membuat laporan, berjibaku dengan strain, bermain puzzle atau permainan kartu lain dengan anak buahnya, dicekok sepiring pasta kacang merah oleh letnan ayunya, atau diberi tatapan sinis ditambah decakan lidah untuk segera menyelesaikan pekerjaannya oleh third-in-command kesayangannya… ya, seperti yang seharusnya.
Meski rutinitas baginya kini berubah makna, selayaknya dirinya berubah menjadi sebuah robot yang diprogram untuk memenuhi rutinitas tersebut. Tak ada jemu. Tak kenal jenuh. Reishi terjebak dalam stagnansinya yang tanpa makna.
Seolah hidup hanyalah perkara embusan napas dan menariknya kembali. Sesederhana itu. Sekosong itu.
Menghela napas, Reishi beringsut dari ranjangnya, menyeret langkah ke kamar mandi untuk mengguyur wajahnya dengan air hangat. Ia lelah berhadapan dengan dingin. Ia rindu hangatnya. Ingatannya yang lantas mengajaknya bermain, membangunkan perih yang bergelung manja jauh di dasar benaknya. Imaji api yang membara. Merah marun meletup-letup. Wangi tembakau, biji kopi, sesekali whiskey, atau juga susu stroberi. Serak rendah memanggil namanya dan sepasang tangan yang tidak pernah gagal menenggelamkannya dalam gelegak rasa, meninggalkan jejak-jejak berwarna gelap dan tarian api di atas kulit pucatnya, menggelitik nalar hingga seluruh inderanya. Mematikan laju kerja logikanya.
Reishi mendongak. Bayangan wajahnya yang balas menatapnya dari dalam cermin di atas wastafel, berselimut penat, hingga ia menemukan manik ungunya dihiasi kantung hitam yang semakin kentara dari hari ke hari. Tangannya bergerak, membuka cermin yang juga merupakan kotak persediaan obatnya, mencari di antara botol-botol, meraih satu di antaranya, kemudian menjejalkan beberapa pil berwarna putih ke dalam telapaknya, sebelum ia membuka kembali cerat keran dan mengisi sebuah gelas di samping wastafel dengan air, lalu menenggak pil tersebut dalam sekali teguk. Obat tidur memang tidak pernah menjadi solusi utamanya, dan betapa Reishi membenci dirinya sendiri yang kini nyaris menggantungkan tidur lelapnya tidak lagi cukup hanya pada satu butir saja, hanya demi satu kali tidur panjang tanpa mimpinya.
Meski setengah bagian dirinya berharap bahwa sepenggal kenangan yang tersisa di otaknya sudi mampir dan berkompromi untuk melenakan dirinya di tengah ribuan beban yang menghimpit pundaknya.
...
.
"Aku mengurus urusanku dan kau mengurus milikmu. Bukankah selama ini begitu aturan mainnya?"
.
"—kau… memintaku untuk membunuhmu…?!"
.
"Kau sungguh-sungguh tidak akan mengubah pikiranmu…?"
"… tidak."
"… bodoh."
.
"… maaf karena kau harus melakukan pekerjaan kotornya…."
"Jangan ucapkan kata-kata itu dengan wajah penuh kedamaian yang menyebalkan itu. Jika kau benar-benar menyesal, seharusnya kau bisa—melakukan sesuatu untuk mencegahnya…."
"… sudah. Jangan katakan apa-apa lagi…."
.
...
"—shi…."
Silau. Yang pertama kali Reishi ingat adalah cahaya, berusaha mendobrak masuk menginvasi ke balik kelopak matanya. Yang kedua adalah tepukan pelan di pundaknya. Ia tidak tahu apa dan siapa, yang jelas besar keinginannya untuk membalikkan tubuh demi menghindari segala serbuan mendadak yang ditujukan padanya.
"Reishi…."
Sebuah suara kecil mulai terdengar jelas di gendang telinganya. Awalnya terasa jauh, menggema. Hingga suara itu terasa begitu dekat, diiringi frekuensi tepukan yang bertambah dan kini merambat naik hingga sisi wajahnya. Mengerang lemah, Reishi memaksakan diri untuk membuka kedua matanya yang terasa begitu berat. Ah, efek obat tidur—satu lagi alasan yang membuat Reishi semakin ingin membenamkan logikanya ke dasar bumi karena telah dengan sengaja merusak sistem kerja organ tubuhnya sendiri. Butuh waktu cukup lama baginya untuk memfokuskan pandangannya yang memburam, sebagian karena semburan cahaya matahari dari balik tirai jendelanya yang sudah dibuka—entah oleh siapa—dan nihilnya alat bantu yang biasa ia sematkan di atas tulang hidungnya.
Beberapa detik, hingga Reishi akhirnya bisa mengenali sosok mungil bersurai putih dengan sepasang manik rubi besar menatap cemas ke arahnya itu.
"Anna…?"
Gadis kecil itu mengangguk. Reishi merasakan tangannya ditarik lembut, didekap erat di antara jemari tertaut di atas dada sang raja mungil. Penglihatannya yang kemudian melayang pada aura merah marun menguar dari tubuh Anna. Merah yang tidak meluap. Merah yang penuh ketenangan. Merah yang merasuk hingga sukmanya. Menghangatnya.
"Reishi dingin," bisik Anna, dengan sepasang rubi yang tidak pernah lepas mengamati wajahnya. "Reishi mimpi buruk lagi?"
Menghela napas, Reishi menggerakkan tangannya. Jemarinya yang bergerak menyusuri sisi wajah Anna, membelainya penuh afeksi. "Kau tidak seharusnya menggunakan aura dan membuang tenagamu untukku, Anna. Aku baik-baik saja."
"Tapi tubuh Reishi sedingin es. Reishi semalam terbangun lagi? Mengapa tidak membangunkanku?"
"Kau butuh tidur, Anna."
"Reishi juga butuh istirahat. Semenjak hari itu, dua tahun yang lalu… Reishi tidak pernah beristirahat sedikit pun, bukan?"
Ia tertegun. Lidahnya kelu. Reishi hanya bisa menatap nanar raja di hadapannya itu. Ah, sepertinya Reishi terlanjur melupakan bakat dan keistimewaan seorang Kushina Anna sebagai seorang strain, bukan sebagai salah satu raja penguasa Kota Shizume. Gadis kecil itu yang melihat dunia dengan cara tersendiri, warna tersendiri, hingga tidak ada tempat bernama kebohongan di dalam kamus kecil dunia milik Anna. Reishi sering sekali melupakannya, bahwa apa yang selalu rapat-rapat ia sembunyikan sebenarnya tercetak teramat nyata di kedua bola mata bulat milik Anna. Dan tentu tak ada gunanya berkelit dari segala mimpi buruk maupun segala beban yang menyita malam-malamnya.
Melepaskan tangannya dari genggaman Anna, Reishi bangkit dan mendudukkan dirinya pada sandaran kepala ranjangnya. "Jam berapa sekarang, Anna?" tanya Reishi seraya meraba-raba nakas samping ranjang, mencari kacamatanya. "Aku sudah janji pada Kusanagi untuk mengantarmu pulang ke HOMRA pagi ini—"
—tangan kecil Anna kemudian menghentikannya.
Reishi mengangkat sebelah alisnya. "Anna…?"
"Aku… akan di sini sebentar lagi. Reishi harus tidur. Reishi harus beristirahat. Dan aku tidak akan pulang sebelum melihat Reishi melakukannya."
Desah napas. Reishi membatin, entah mengapa mereka yang dianugerahi gelar sebagai Raja Merah selalu saja memiliki kekuasaan untuk memaksakan pendapat, dalam bentuk apapun. Ironisnya, Reishi hampir selalu menurut meski berjuta argumen berlarian dalam kepalanya, menuntut untuk dibebaskan dalam bentuk rentetan kalimat panjang lebar. Atau mungkin juga ini yang sering orang bilang sebagai logika dan nurani yang tak sejalan.
Kalah telak. Reishi tidak tahu harus memasang tameng pertahanan apa lagi di hadapan gadis kecil itu. "Anna… kau tahu kau tidak seharusnya melakukan hal ini untukku. Bahkan tidak seharusnya kau berada di sini bersamaku."
"Kalau aku tidak bisa… tetapi Mikoto bisa?"
Satu nama yang dilontarkan suara lembut, namun berhasil menghujam sesuatu dalam benak Reishi. Yang kali ini, Reishi benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Seolah sekujur tubuhnya kaku, mati rasa, hanya oleh satu nama yang mengacaukan isi kepalanya. Padahal Reishi sudah tak ingin mengingat. Sudah cukup. Reishi tidak ingin jatuh sekali lagi ataupun berkali-kali lagi. Karena ia adalah seorang raja, dan sang raja tidak boleh memiliki maupun menunjukkan sisi lemahnya sedikitpun. Walaupun yang di hadapannya kini tidak lain sama-sama merupakan seorang raja dengan beban yang sama beratnya, namun Reishi tidak seharusnya memikulkan deritanya di pundak kecil itu.
Tidak ketika pundak itu sama-sama menanggung luka yang sama. Luka akan kehilangan. Luka karena ditinggalkan seseorang yang sama.
"Reishi, aku memang bukan Mikoto," bisik gadis itu lagi, kini beringsut ke sisinya, lalu memeluknya erat. Ada hangat yang kemudian memanjakannya. Ada damai yang seketika menyelinap, membasuh segala letihnya. Gadis itu meneruskan, "Aku tidak akan pernah bisa menjadi Mikoto, tapi… jika Mikoto ada di sini sekarang, Mikoto pasti ingin Reishi beristirahat. Jika Mikoto ada di sini, Mikoto tidak akan pulang ke HOMRA, Mikoto akan menunggu hingga Reishi pulih."
Hangat itu semakin menyesakkan. Reishi nyaris tercekat. Sesuatu yang ingin membuncah dari dalam dadanya.
"Reishi sudah banyak melindungiku, menolongku… membimbingku di jalanku sebagai raja ini. Karena itu, biar aku membalas semua itu, ya? Aku akan menjaga Reishi, aku tidak akan pergi. Reishi tidur lagi saja, aku tidak akan ke mana-mana."
Aura merah itu semakin menguar, menjalar dari ujung kepala hingga kakinya. Menenggelamkan birunya yang memberontak, meluruhkan sakit dan dingin yang semula berusaha melawan. Dan Reishi membiarkan dirinya dipeluk kedamaian itu. Berusaha melupakan statusnya, tanggung jawabnya, kewajibannya… serta dosa dan masa lalunya. Matanya yang semakin memberat, tubuhnya yang perlahan merosot, kembali ke atas pelukan seprai putih dan sepasang lengan kecil yang melingkar di perutnya, seakan tak ingin melepaskannya barang satu detik saja.
...
Di mimpinya saat itu, Reishi tidak lagi menemukan matahari birunya.
Atau malah… Reishi tidak tahu apakah ia sedang bermimpi atau malah… ia sudah mati. Karena sensasi nyaman yang tentram… entah sudah berapa lama Reishi tidak pernah lagi merasa demikian, hingga ia begitu meyakini bahwa ketentraman terdekat yang bisa digapainya adalah dengan kematiannya sendiri.
Tidak ada guruh badai salju. Tidak ada imaji kota membeku. Tidak ada padang bunga-bunga es. Tidak ada dingin. Alih-alih ia terbangun di sebuah ruangan yang begitu dikenalnya, yang selama dua tahun ini selalu Reishi hindari untuk berada di sana.
Kamar kondominium pribadinya.
"Sudah bangun?"
Suara berat itu mengejutkannya. Reishi membalikkan tubuh, dan betapa ia tidak menyadari sebelumnya bahwa ia tidak sendirian di sana—di atas ranjang besarnya. Dan butuh beberapa detik yang menggantung hingga Reishi berhasil mematri sosok di hadapannya itu lekat-lekat dalam kepalanya. Surai merah berantakan tertarik ke belakang, sepasang iris amber berkilat, segaris lengkung tipis menghiasi wajah tirus, tubuh kekar terbalut kaos tipis dan sebuah kalung menggantung menemani.
Tidak. Reishi tidak ingin mempercayainya. Reishi tidak ingin percaya pada apa yang dilihatnya.
"Kau pucat, Munakata."
Tidak ada kata-kata yang berhasil keluar. Mulutnya yang hanya mengatup, tanpa suara. Namun laki-laki itu mengerti. Suoh Mikoto mengerti, dan tidak pernah gagal untuk mengartikan setiap gestur darinya. Laki-laki itu kemudian rebah, menaunginya, menutup jarak di antara keduanya. Kecupan hangat di dahinya, kelopak matanya, batang hidungnya, pipinya, hingga bibirnya. Sentuhan yang begitu lembut… Reishi bahkan tidak ingat bahwa laki-laki itu pernah menyentuhnya seperti ini. Penuh rasa yang tumpah-ruah, bukan hanya sekedar gelegak napsu yang ingin dipuaskan semata.
"Butuh waktu lama hingga kau bisa menemukanku dalam mimpimu, eh, Munakata?"
Selalu, nada bicara sinis penuh sindiran. Namun Reishi tahu ia teramat merindukan kata-kata itu. Ia lantas mengaitkan kedua lengannya pada leher Mikoto. Berusaha menariknya mendekat. Ia tidak bisa menahannya lebih lama lagi.
"Aku sedang tidak ingin berdebat denganmu, Mikoto."
"Hmph. Menyerah semudah ini?"
"Dan kau pikir karena apa… salah siapa hingga aku harus selalu berdiri di ujung jurang kematianku sendiri setiap malamnya?"
Perhatiannya yang kembali tercuri oleh bibir yang melumat miliknya. Jawaban dari pertanyaannya, sarat permohonan maaf. Reishi menjawab panggilan itu. Mengeratkan dekapannya. Merasakan gemuruh jantung berdetak kencang, seirama dengan degupnya. Begitu nyata. Begitu menyiksa. Karena Suoh Mikoto seolah kembali hidup dan beradu napas dengannya.
"Maafkan aku."
Reishi kembali membisu. Hanya mengadu ungunya pada merah keemasan yang membara itu. Dadanya semakin sesak. Matanya mulai terasa panas.
"Panggil namaku, Mikoto…."
Satu cumbuan lagi. Jemari yang perlahan menginvasi tubuhnya, meninggalkan sensasi panas menggelitik yang mengaburkan logikanya. Kenangan yang bangkit tidak hanya dari otaknya, namun juga dari sendi-sendi dan otot-ototnya. Dan Reishi mendapatkan apa yang diinginkannya. Namanya yang dibisik suara berat itu, berulang kali, bersamaan dengan embus napas di daun telinganya.
"Katakan apa yang kau inginkan, Reishi."
Jika ada satu hal yang paling diinginkan Reishi, adalah agar ia tidak pernah terbangun lagi dari mimpinya. Agar momen yang melumpuhkan raganya itu tidak pernah berakhir hanya dalam sekejap mata saja. Agar tidak ada lagi matahari biru yang menggantung di langit mimpinya. Meski ironisnya, Reishi tahu angannya tidak akan pernah bisa dijawab siapapun.
Hingga Reishi hanya mampu menyerah. Tenggelam pada gelegak rasa memabukkan. Pada desah, peluh, dan erangnya yang menggema. Pada sepasang tangan sehangat mentari pagi yang hadir untuk melegakan setiap mimpi bekunya, meski hanya untuk sesaat.
"Bawa aku, Mikoto…."
Bawa aku dan jangan biarkan aku pergi.
...
"Selamat pagi, Reishi."
Senyum lembut yang menyapa. Reishi akhirnya bisa membalas lengkung senyum itu, sama tulusnya.
"Selamat pagi, Anna…. Meski kalau boleh kukatakan, ini sudah lewat tengah hari dan tidak seharusnya aku mengucapkan selamat pagi."
"Setidaknya Reishi bisa tidur nyenyak. Mimpimu… menyenangkan?"
"… ya. Aku bisa tidur karena kau menjagaku. Terima kasih banyak, Anna."
"Reishi tersenyum dalam tidur. Reishi… memimpikan Mikoto?"
Jeda sesaat. Satu hela napas. Meski tidak ada perih yang mengikis habis senyum di wajahnya.
"Kupikir memimpikan orang barbar akan membuat sakit kepalaku bertambah, tapi ternyata tidak. Jika aku bertemu dengannya lagi suatu hari nanti, aku harus mengucapkan terima kasih pula untuknya."
"Jangan pergi terlalu cepat. Orang-orang di sekeliling Reishi… masih membutuhkan Reishi."
Ia tertawa kecil. Lengannya yang terjulur, membelai hangat puncak kepala gadis itu.
"Ayo lekas bersiap-siap. Aku tidak mau diomeli walimu karena terlambat mengantarkanmu pulang."
...
.
.
.
Author's note:
ALL HAIL TO CERTAIN PROVIDER langganan author yang semula nge-banned situs ini dan sekarang mengizinkan author untuk buka lagi situs ini #plak. Singkat kata, author mengaku bahwa author khilaf karena mencekok diri sama lirik lagunya Aimer yang berjudul Cold Sun. Dan dari lirik lagu itulah lahir inspirasi gila tentang fanfiksi kali ini. Jangan tanya pula kenapa author bukannya lanjutin Twenty-Four *digeplak warga sekampung*
Oke, mungkin sekian aja dari author kali ini. Terima kasih udah nyempetin buat baca, dan jangan lupa review-nya XD *dihajar*. Oh ya, silakan pula main ke lapaknya author di situs tetangga (url bisa dilihat di bio author) karena untuk multi-chapter sepertinya author akan lebih banyak publish di sana, hehehehe...
