Twin Star


Disclaimer:

Vocaloid © YAMAHA

Warning :

Dapat menyebabkan sakit mata (?) karena ke-gaje-an yang akut, dll

a/n : Sedikit terinspirasi dari Ufo Baby, tapi cerita beda jauh. Sebelumnya aku bikin fict ini pakai chara ori, tapi aku jadiin fandom Vocaloid karena lagi kena demam Vocaloid… Dan sekali lagi, aku publish ini cuma buat nambah daftar story aja… =,=v

-digaplok-


Chapter 1


Siapa disana?

Kenapa diam?

Kau mengenalku?

Sepertinya… aku tau dirimu…

Aku… sangat merindukanmu…

Kau seperti separuh diriku…

Hei, kenapa kau menjauh?

Tunggu!

Aku belum tahu namamu…

Tunggu!

BRUUK!

"Uuugh… sakit…" ringis Rin yang baru saja terbangun karena terjatuh dari tempat tidurnya. Ia mengerjapkan matanya yang biru dan segera bangkit dari lantai. Rambut kuningnya yang pendek terlihat berantakan. Selimutnya yang bermotif buah jeruk kesukaannya sudah berserakan dilantai tidak karuan.

Ternyata tadi hanya mimpi. Mimpi yang setiap orang pasti bilang itu cukup terlihat nyata. Dan mimpi yang cukup aneh baginya. Gadis itu duduk terdiam di pinggir ranjangnya.

Sudah tiga hari ia memimpikan anak laki-laki itu, artinya sudah tiga hari ia terbangun gara-gara terjatuh dari tempat tidur. Dan sudah tiga hari pula ia bangun pagi sehingga sudah tiga hari ia tidak terlambat datang ke sekolah.

Mungkin ada sisi positifnya juga yang bisa ia ambil. Jadi ia tidak perlu lagi mendengar ceramahan dari wali kelasnya yang mengeluhkan kelakuan Rin yang sudah resmi dinobatkan sebagai Ratu Terlambat. Rin adalah murid kesayangan wali kelasnya karena reputasinya yang baik dalam semua bidang pelajaran, jadi wajar saja kalau ia selalu diperhatikan dengan baik termasuk dalam hal kedisiplinannya.

Gadis itu menggaruk kepalanya kemudian mengambil handuknya yang berwarna orange dan berjalan ke kamar mandi dengan langkah gontai.


"Sepertinya, akhir-akhir ini kau terlihat rajin." ucap Kaito, kakak laki-laki Rin, satu-satunya keluarga yang ia miliki sejak orang tuanya meninggal sewaktu ia kecil. Pemuda berambut biru itu menatap Rin curiga. Terang saja, Rin kan selalu bangun kesiangan sampai tiap pagi selalu ramai oleh kegaduhannya.

"Hn." gumam Rin malas sambil melanjutkan acara sarapannya yang 'jarang' damai ini.

"Jangan-jangan karena kau sudah punya pacar ya?" tanya Kaito tiba-tiba dan dengan sukses membuat Rin tersedak. Pacar? Ia bahkan belum pernah memikirkannya sekali pun!

"Ti-tidak! Dari mana kakak punya pikiran seperti itu? Aku juga kan ingin sekali-sekali datang ke sekolah tepat waktu!" sergah Rin cepat-cepat. Wajah Kaito pun berubah lega.

"Oh, baguslah. Kalau begitu cepat habiskan sarapanmu. Aku juga akan berangkat pagi, jadi aku bisa mengantarmu." Kaito yang telah menghabiskan sarapannya pun membereskan piringnya ke dalam bak cuci piring.

"Nanti aku pulang agak malam, kau beli saja makan malam mu di luar." kata Kaito sambil mulai mencuci piringnya.

"Ya." sahut Rin singkat. Gadis itu baru saja menyelesaikan sarapannya.

"Dan..." ucapan Kaito terhenti lalu menangkap sebuah piring yang melayang pelan ke arahnya. "...hati-hati dengan kekuatanmu ini. Kau tidak boleh menggunakannya di sembarang tempat."

Ya, Shion Rin memang bukan seorang anak kelas 3 SMP biasa. Dia adalah seorang gadis jenius yang memiliki kemampuan melayangkan benda. Sudah cukup orang-orang mengenalnya sebagai Rin si jenius yang memiliki otak luar biasa sehingga menjadi murid peringkat atas dalam sekejap, ia tidak perlu membeberkan kemampuan istimewanya yang satu ini. Lagi pula belum tentu orang lain bisa menerima dirinya kalau tau ia bukanlah manusia biasa. Ia sendiri saja tidak tau kenapa ia bisa memiliki kekuatan aneh seperti itu. Otaknya pun luar biasa karena bisa mengingat sesuatu dengan cepat. Hanya saja ia begitu heran, di dalam ingatan supernya ini tidak ada kenangan sedikit pun tentang orang tua dan masa kecilnya. Ia hanya ingat kalau ia mempunyai seorang kakak yang sangat ia sayangi…

"Iya kakak… Tenang saja." Rin bergelayut manja di tangan Kaito yang sedang sibuk membilas piring.

"Jangan mengganggu kalau aku sedang bekerja, lagi pula kau ini sudah besar kenapa masih manja seperti ini sih. Lain kali kau yang harus cuci piring." Kaito melirik Rin yang hanya tersenyum geli.

"Kali ini meliput apa sampai malam begitu?" tanya Rin pada kakaknya yang bekerja sebagai wartawan itu sambil menerbangkan tas dan helm ke arahnya.

"Tentang pemadaman listrik mendadak tanpa sebab yang terjadi semalam. Pihak perusahaan listrik itu bilang tidak tau penyebabnya. Tapi banyak yang curiga ada sesuatu yang terjadi." ujar Kaito yang sudah selesai dengan piringnya.

"Mati lampu?" tanya Rin bingung.

"Tentu saja kau tidak tau. Kau sudah tidur cepat semalam. Lagi pula tidurmu itu kan pulas sekali. Aku bahkan curiga kau tidak akan bangun walaupun ada gempa bumi yang besar." Kaito meledek adiknya yang sudah memasang wajah cemberut. Ia memang paling suka menggoda Rin yang cepat ngambek itu. Kaito pun mengambil jaketnya dan mengeluarkan motornya diikuti Rin yang sudah memakai helmnya. Dalam waktu setengah jam mereka sudah tiba di depan gerbang Crypton Gakuen tempat Rin sekolah.

"Nanti malam kunci saja pintunya, aku bawa kunci cadangan." pesan Kaito kemudian pergi setelah Rin mengangguk.

"Pagi, Rin." sapa seorang gadis manis bermata kuning yang muncul dari belakang Rin. Rin segera mengenali gadis itu dari rambutnya yang hitam.

"Oh, pagi Rui." Rin balas menyapa sahabat kecilnya yang kini satu kelas dengannya itu.

"Kaito tetap tampan seperti biasa ya." Rui melihat ke arah motor Kaito yang telah menghilang dari pandangan.

"Tak akan ku restui kalau kau orangnya." celetuk Rin sambil berjalan memasuki sekolah. Rui hanya tertawa kecil melihat tingkah Rin itu lalu mengikuti Rin melewati gerbang masuk sekolah.

"Tenang saja Rin, bagi ku tidak ada yang lebih keren dari Rei-kun." wajah Rui merona tipis. Sahabatnya ini memang sudah lama menyukai Kagene Rei si Ketua OSIS yang juga satu kelas dengannya di kelas 3-A.

"Oh ya Rin, sebenarnya aku mau minta bantuanmu." Rui menarik tangan Rin hingga tiba di sebuah pohon di samping gedung sekolahnya. Kelasnya berada tepat di lantai 2 di depan pohon ini.

"Selagi masih pagi, tidak akan ada yang melihat. Tolong ambilkan gantungan kunci ku yang tersangkut di sana. Kemarin aku tidak sengaja menjatuhkannya dari kelas." pinta Rui menunjuk ke sebuah benda berkilau tergantung di dahan pohon tersebut yang jaraknya cukup tinggi. Memang, satu-satunya orang selain Kaito yang mengetahui kemampuannya ini adalah Rui. Rin pun langsung melayangkan gantungan kunci milik Rui terbang turun dan langsung ditangkap olehnya.

"Yaay, terima kasih. Rin-chan memang baik. Nanti ku traktir jus deh!" wajah Rui terlihat senang sambil menggenggam gantungan kunci miliknya yang berbentuk kristal itu.

"Aku mau jus jeruk!" Rin membayangkan minuman kesukaannya itu dengan mata berbinar-binar. Kemudian matanya menangkap sesosok anak laki-laki yang sudah ia kenal tengah berjalan memasuki gerbang sekolah.

"Rui-chan, itu Rei." Rin menunjuk seorang anak laki-laki berambut hitam sedang berjalan dengan wajah dingin tanpa ekspresi. Mata kuningnya terlihat tajam, membuat orang-orang enggan untuk menatapnya langsung. Kagene Rei, sang Ketua OSIS yang sangat disegani oleh para murid di Crypton gakuen. Prestasinya pun hampir menyaingi Rin walaupun ia tidak pernah bisa mengalahkan Rin dan selalu bertahan di peringkat kedua. Aura milik Rei yang menegangkan begitu berbeda dengan Rui yang selalu ceria dan hangat. Namun Rin mengakui wajah Rei yang mampu membuat murid-murid perempuan di sekolah itu langsung membuat Rei Fans Club diam-diam. Wajar saja kalau sahabatnya menyukai si pemuda bertampang es itu.

"Ayo sapa dia!" Rin memberi semangat pada Rui. Tapi Rui hanya diam menatap sosok angkuh itu sampai dia lenyap dari pandangan mereka.

"Haaa… sayang sekali. Padahal itu kesempatan emas." ucap Rin ikut memandang sosok yang sudah menghilang itu.

"Tidak masalah kok. Ayo, lebih baik kita ke kelas saja." Rui hanya tersenyum tipis dan menarik Rin meninggalkan tempat itu. Setelah bayangan mereka menghilang, muncul seseorang dari belakang pohon tersebut menatap arah kedua gadis itu pergi.

"Hah. Tak kusangka akan menemukannya secepat ini." gumam orang tersebut tersenyum.


Pelajaran pertama adalah Matematika. Sebenarnya ini adalah mata pelajaran yang sangat tidak disukai Rin kalau saja gurunya bukan Kiyoteru-sensei. Guru laki-laki berambut cokelat yang mempunyai tampang di atas standar itu memang sudah jadi guru terpopuler di kalangan anak perempuan di Cypton gakuen. Seperti biasa, para murid sudah lengkap duduk di bangkunya masing-masing walaupun bel tanda pelajaran pertama masih lima menit lagi berbunyi.

"Hei, Rin-chan… Apa kau mau tau apa yang kudengar saat melewati ruang guru tadi?" bisik Rui dari bangkunya yang terletak di sebelah Rin. Rin memasang tampang bingung, tapi tetap mengangguk kecil. Rui mendekatkan tubuhnya ke arah Rin dan berbicara dengan suara kecil.

"Sepertinya akan ada murid baru di kelas kita. Aku sempat mengintip ke dalam ruang guru. Dia laki-laki." Rin menaikkan alisnya. Murid baru di tengah-tengah semester ini? Tanggung sekali ia pindah sekolah di saat seperti ini.

"Lalu? Sekarang rupanya profesimu menjadi detektif dadakan ya?" kata Rin yang sepertinya tidak tertarik dengan murid baru itu.

"Bukan itu masalahnya. Tapi…" ucapan Rui berhenti dan terlihat memikirkan sesuatu.

"Tapi apa?" tanya Rin penasaran.

"Anak itu… Dia mirip sekali denganmu, Rin-chan." eh?

Suara pintu yang terbuka kini menarik perhatian seisi kelas yang langsung menjadi hening. Guru matematika mereka sudah masuk ke dalam kelas dengan beberapa buku di tangannya.

"Sebelum kita memulai pelajaran hari ini, aku akan memperkenalkan seorang murid baru pada kalian. Ini memang mendadak sekali mengingat anak ini baru saja tiba di kota ini semalam. Nah Kagamine, masuklah." ucap Kiyoteru-sensei lalu memanggil anak baru itu.

Kemudian seorang anak laki-laki masuk ke dalam kelas itu. Dia memiliki bola mata dan warna rambut yang sama persis dengan Rin. Bahkan raut wajah yang sama. Rasanya bagaikan bayangan cermin Rin yang memakai baju berbeda dan gaya rambut yang berbeda. Rin terdiam menatap anak itu.

Deg.

"Selamat pagi."

Deg.

"Namaku Kagamine Len."

Deg.

"Salam kenal." sapa anak itu kemudian tersenyum. Menatap Rin. Lalu mengedarkan pandangannya ke seisi kelas yang mulai ribut.

Apa ini? Kenapa jantungku jadi berdebar-debar seperti ini? Rin bertanya-tanya dalam hatinya. Entah hanya perasaannya saja atau bukan, tapi sekilas terlihat murid baru itu seperti tersenyum padanya. Rin merasakan wajahnya mulai memanas. Perasaannya begitu aneh.

Sepertinya teman-teman yang lain tidak begitu mempermasalahkan soal kemiripan mereka. Tapi dilihat dari tatapan anak-anak perempuan yang bersinar, tidak heran kalau sebentar lagi akan terbentuk Len Fans Club.

"Baiklah Kagamine, kau bisa duduk di kursi kosong di belakang dekat jendela sana." kata Kiyoteru-sensei menunjuk bangku kosong yang berada tepat di belakang bangku Rin. Rui yang duduk di sebelah Rin memperhatikan tingkah sahabatnya itu dan kemudian tersenyum geli.

Murid baru bernama Len itu pun berjalan pelan menuju bangkunya. Saat Len melewatinya perlahan, gadis itu benar-benar tidak habis pikir. Aura milik Len bagaikan magnet yang seolah-olah menggodanya untuk mendekat padanya. Membingungkan, tapi Rin merasa… sama…

Kenapa ini… Baru kali ini ia merasakan hal seperti ini… Batin Rin merasa aneh. Benar-benar aneh.


"Jadi, kau menyukainya?" Rui bertanya pada Rin ketika mereka berjalan menuju kantin saat istirahat tiba.

"Si-siapa yang kau maksud?" Rin balik bertanya terkejut. Rui seperti bisa membaca pikirannya.

"Tentu saja anak baru itu. Kau tidak bisa membohongiku." Rui menyeringai. Rin menghela napas berat. Suka ya? Apa ia benar menyukai Len? Tapi rasanya memang menyenangkan bila tiap kali ia mengingat Len.

"Mu-mungkin saja… Aku tidak tahu." Rin mengaku dengan lemas sambil memesan makanannya setibanya di kantin.

"Tembak saja." saran Rui.

"Eeh? Tidak mau! Berkenalan saja belum!" Rin terkejut mendengar saran sahabatnya itu, membuatnya wajahnya memerah. Perasaannya saja masih belum jelas, kenapa harus langsung menyatakan perasaan?

"Kalau begitu, kau akan mengikuti jejak ku dong. Hanya menatap orang yang disukai dari jauh karena tidak berani menyatakan perasaan." ucap Rui semangat sambil menatap dengan tatapan matanya yang berbinar-binar, Kagene Rei yang sedang duduk di salah satu bangku kantin sedang meminum jusnya dengan tampang dinginnya.

"Nng, kukira kau lebih mirip maniak dari pada menyukai seseorang. Aku tidak akan mengikuti jejak mu. Terima kasih." kata Rin kemudian membawa nampan berisi makanannya menuju meja kantin.

"Rin jahaat!" seru Rui menepuk punggung Rin dengan kesal. Namun tepukan Rui terlalu keras dan menyebabkan jus yang dibawa Rin menjadi tumpah, secara perlahan, mengenai baju seseorang yang berada di depannya yang ternyata adalah… Len.

Rui diam.

Rin diam.

Len diam

Author diam.

Reader diam.

Semua diam.

Hening.

?

"Ma-maaf! Maafkan aku! Maaf!" Rin segera meminta maaf berulang kali. Gadis itu sekarang benar-benar bingung dan tidak tahu harus melakukan apa. Baju Len menjadi kotor terkena noda kuning dari jus jeruknya.

"Tidak apa-apa. Tidak usah meminta maaf seperti itu. Aku juga salah kok." Len mencoba menenangkan Rin yang benar-benar terlihat panik.

"A-aku akan meminta pinjaman baju di ruang UKS pada Luka-sensei! Ikut aku!" Rin menaruh nampannya di meja dan menarik tangan Len, meninggalkan Rui yang terbengong sendirian.


"Terima kasih, Luka-sensei." ucap Len yang sudah menukar seragamnya dengan seragam pinjaman dari ruang UKS.

"Ya, lain kali berhati-hatilah." Luka-sensei kemudian meneruskan pekerjaan mencatatnya yang sempat tertunda. Rin dan Len pun segera keluar dari ruangan UKS itu.

"Ma-maafkan aku ya, eh… Kagamine…" suara Rin terdengar canggung mengucapkan nama Len.

"Panggil saja aku Len." pemuda bermata biru itu pun tersenyum dengan senyumnya yang membuat jantung Rin kembali berdegup kencang. Sungguh, baru kali ini Rin merasa aneh dengan tubuhnya. Baru saja gadis itu mau membuka mulutnya lagi untuk meminta maaf, terdengar suara nada asing yang tidak pernah ia dengar. Ternyata itu nada dering yang berasal dari telepon genggam milik Len. Rin memperhatikan telepon genggam milik Len itu dengan seksama. Bentuknya terlihat aneh dan sepertinya Rin tidak pernah melihat model yang seperti itu. Mungkin keluaran terbaru, pikirnya tanpa merasa curiga sedikit pun.

"Maaf, kau bisa tunggu sebentar disini kan? Aku mau menjawab telepon dulu." Len berkata pada Rin yang segera mengangguk. Ia segera berjalan menjauh dari Rin untuk menjawab teleponnya, memastikan Rin tidak akan bisa mendengar pembicaraannya.

"Ya ayah. Ada apa?" Len bersuara dengan malas setelah menekan tombol untuk menjawab.

"Ada apa? Santai sekali bicaramu! Kenapa kau tidak mengabari kami kalau kau sudah sampai disana?" teriak sebuah suara dengan nada kesal yang dikenal Len sebagai suara ayahnya.

"Sabar sedikit dong. Semalam pesawatnya agak terbentur sedikit, jadi sinyalnya sempat terganggu. Bahkan listrik kota ini sempat terputus karena gelombangnya." ujar Len berusaha menenangkan ayahnya.

"Lalu bagaimana keadaan pesawatmu sekarang? Tidak rusak kan?" tanya ayahnya terdengar panik. Hah. Rupanya ayahnya lebih mengkhawatirkan pesawatnya dari pada anaknya.

"Tidak apa-apa. Aku sudah memperbaikinya dan menyimpannya di tempat yang aman. Sekarang aku menyewa apartemen dan tinggal disana." jelas Len.

"Oh, baguslah kalau begitu." suara ayahnya sekarang terdengar lega dan tenang.

"Lalu… Apa kau sudah menemukannya?" lanjut ayahnya bertanya. Len tersenyum.

"Ya ayah. Aku sudah menemukan Rin…"

-to be continued-