Aku masih ingat semuanya.

Rasanya aku masih dapat melihat dia bersandar di bingkai pintu, membawakanku semangkuk sereal oat yang direndam susu panas—tersenyum, mengejek rupa kacauku di balik selimut.

Aku masih dapat membayangkan rambut segelap sayap gagak miliknya dikacaukan angin tiap kali kami duduk di pinggir tebing, kakinya menjuntai, mengatakan 'halo' pada pesisir Cornwall di penghujung musim panas, menghirup aroma laut, memburu beberapa jenis kerang bercangkang indah—biasanya abalone, yang cangkangnya berpendar—untuk ditaruh di dalam sebuah toples lama bekas selai.

Aku masih bisa melihatnya menambahkan es ke dalam segelas limun, menawarkan segelas lain kepadaku dari seberang meja dapur, menyajikan kudapan tiap sore di atas piring porselen untukku meski hanya sekedar kukis kismis dengan bentuk berantakan.

Aku masih ingat jeritan kesalnya tiap kali aku terlambat pulang tanpa memberi kabar, atau tangis yang selalu aku jumpai ketika aku sampai di rumah setelah berhari-hari pergi mencari bahan tulisan untuk pekerjaanku tanpa memberitahunya.

Aku masih ingat baunya. Dia benci parfum, tapi aroma tubuhnya terpatri dalam ingatanku; percampuran embun, buku-buku tua, kayu manis dan lavendel—yang ia rawat dengan sabar walau saban diratakan tikus tanah—berpadu, mengacaukan akal sehatku sehingga kerap kali aku berakhir dengannya, tubuhku di atas tubuhnya, tungkaiku membelit tungkainya, dan kami berpagutan di mana saja jika aku menghirup aroma tubuhnya terlalu lama.

Semuanya terekam dalam memoriku, seperti pikiranku adalah sebuah kamera yang merekam aktivitas hariannya, menjadikan potongan-potongan memori tersebut menjadi satu video kaset untuk diputar setiap tahun saat dia berulang tahun. Dia akan mengunyah berondong jagung, tertawa melihat dirinya sendiri mengurusi sepetak rumpun lavendel di pekarangan yang hampir setiap minggu direbahkan binatang pengerat, lalu menyandarkan kepalanya di dadaku, sementara aku tersenyum bangga karena mempunyai kekasih semanis dirinya.

Atau mungkin aku bisa menontonnya sendiri, menyeka airmata dengan punggung tangan, sambil mendekap kausnya yang tertinggal di mesin pengering seperti seorang pecundang.

Kemungkinan besar yang akan terjadi adalah kemungkinan kedua; karena dia yang sejak tadi dibicarakan telah meninggalkan rumah ini tadi pagi, menyisakan bau tubuhnya di seluruh penjuru yang sangat ingin aku singkirkan dengan sebotol pewangi ruangan aroma apel namun kuurungkan mengingat aku tidak akan menghirupnya lagi—mungkin sekitar... selamanya.

Tunggu. Selamanya itu berapa lama?

Setahun? Sepuluh tahun? Seribu tahun? Sejuta tahun? Seratus juta tahun?

Jadi, berapa lama aku harus menunggu?

Sial. Jeon Jungkook, aku merindukanmu.

—étoiles: end—