Hantu (Jones)

Boboiboy © Animonsta Studio

Hantu (Jones) © frkstn

Summary: Kisah seorang pemuda yang meninggal secara (tidak) tragis yang kemudian menjadi hantu yang arwahnya penasaran, ia berniat balas dendam terhadap orang yang (tak sengaja) membunuhnya dengan cara yang tidak terduga. Namun rencananya terganggu saat gadis itu datang.

Warn: typos, humor garing krenyes, alur aneh dan jalan cerita gaje.

.

.

.

.

.

Malam minggu.

Malam yang yang amat tidak disukai oleh para jones.

Apa itu jones? Jones adalah nama monyet berbulu coklat yang pintar, peliharaan pria bertopi kuning.

Tidak lucu hm? Ah, seharusnya aku tau.

Okay, sekarang serius.

Jones adalah singkatan dari jomblo ngenes. Istilah yang sangat populer di kalangan anak muda zaman sekarang. Jones adalah sebutan bagi orang yang belum punya pacar atau... seorang jomblo yang dikelilingi oleh orang-orang yang sedang pacaran. Hm, kata-katanya terlalu berbelit ya? Ah, anggap saja kalian paham.

Tapi, ada beberapa orang yang mempunyai prinsip "tidak semua jomblo itu ngenes". Salah satunya adalah pemeran utama dalam fanfic gaje ini yang bernama Boboiboy Api.

Jangan salah.

Ada alasannya kenapa pemuda hiperaktif dan identik dengan warna jingga ini diberi nama seperti itu. Jadi begini, dulu sebelum menikah dan punya anak, Ibu Api adalah seorang penari latar. Saat itu beliau sedang gladi bersih untuk mengisi acara besar. Dengan gerakan lincah nan gemulai, Ibu Api terus menari mengikuti alunan lagu.

Terus seperti itu.

Hingga sampai di suatu titik dimana ia benar-benar fokus dan tidak menghiraukan sekitar. Ia tidak menyadari seorang pemuda dengan dua tampuk lilin yang cukup tinggi tengah berjalan kesusahan ke arahnya. Dan tiba-tiba saja pemuda itu jatuh dan lilin-lilin yang dibawanya mengenai tirai panggung, dan yah.. kau pasti tau apa yang terjadi selanjutnya.

Semua panik. Mereka yang ada di panggung segera lari untuk menyelamatkan diri, termasuk pemuda tadi.

Tapi tidak dengan Ibu Api.

Ia baru sadar ketika bagian pinggul kanannya terasa panas, "Ow panas seka- Hah?"

Segera, ia melepaskan kain samping yang hampir seluruhnya terbakar. Kemudian Ibu Api mulai melihat keadaan sekitar. "Oh astaga. Kalian para api telah berhasil memecah konsentrasiku,"

Bukannya lari.

"Dengan ini aku menyatakan. Jika nanti aku menikah dan punya anak, mau laki-laki atau perempuan, aku akan menamakannya api!" Ibu Api merentangkan tangan dan kepalanya mengadah ke atas.

"Uhuk uhuk, Ashleen apa yang kau lakukan? Uhuk!" Oh, namanya Ashleen.

"Kenapa malah diam? Uhuk uhuk, ayo cepat keluar!" pemuda yang mengenakan kostum mirip seperti Ashleen –Ibu Api- segera menyeretnya keluar. Perempuan yang ia seret malah menatapnya polos seperti anak kecil yang tak tau kondisi. Tidak, anak kecil saja tau kalau sekitarnya panas dan banyak api berarti sedang terjadi kebakaran dan jika sudah seperti itu, kita harus segera melarikan diri.

Hm, kita kembali ke topik awal.

Api ber-prinsip seperti itu karena ia berpikir bahwa..

"Ada kalanya sendiri itu lebih baik, man. Daripada berdua, tapi malah saling menyakiti atau sering merasa tersakiti? Well, sendiri itu tidak selamanya sedih dan ngenes. Kau paham Fang?"

"Yah terserah. Intinya kau tidak punya pacar,"

Api berdecak dan kembali mengamati keadaan sekitar rumahnya dari atas pohon yang sangat tinggi. Keadaan sekitar rumahnya kini sudah seperti area khusus pacaran. Dengan lampu yang (tidak terlalu) remang, komplek tempat tinggal Api menjadi tempat favorit bagi pasangan muda-mudi untuk mojok.

"Kapan kau turun? Ini hampir jam sepuluh,"

"Justru jam-jam segini adalah jam rawan. Siapa yang tau kalau mereka akan berbuat hal yang tidak senonoh huh?"

"Siapa peduli. Aku mau pulang, tiga jam berdiri disini membuat kakiku pegal,"

"Siapa suruh kau berdiri terus? Kau 'kan bisa duduk. Rumputnya tidak terlalu kotor,"

Fang memutar matanya. Ia heran dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini. Tiap malam minggu tiba, Api akan memanggil dirinya dan memintanya untuk menunggu dibawah pohon sebelah rumah sedangkan Api sendiri akan naik ke atas, hanya untuk mengawasi setiap pasangan yang sedang pacaran.

Untuk apa coba? Kurang kerjaan.

Dan kenapa Fang menurut saja saat diajak?

"Fang? Kau masih dibawah 'kan?" Api mengedarkan pandangannya ke bawah, berusaha mencari sosok sang sahabat.

"Hm. Aku tidak setega itu untuk meninggalkan orang yang penakut sepertimu," Fang mulai duduk dan meluruskan kakinya.

"U-uh, aku bukan penakut!"

"Lalu apa namanya kalau minta ditemani seperti ini?"

"Ughh," Api bungkam.

Tidak sepenuhnya kurang kerjaan sih. Niat Api baik. Ia hanya tidak ingin pasangan-pasangan di luar sana sampai berbuat hal yang jauh. Daripada mengurung di kamar dan tidak melakukan apapun?

Hal yang dilakukan Api bisa dibilang hal yang positif.

Tetangga Api? Hee, jangan tanya. Kau lihat 'kan reaksi Fang tadi? Kira-kira seperti itulah pemikiran tetangga Api kebanyakan.

Api mulai melihat sekitar dengan mata elangnya, sasarannya kali ini adalah pasangan yang tengah duduk di tempat (agak) gelap. Ada tiga pasangan disana.

Pasangan satu, dekat lampu taman sedang duduk di atas motor.

Genggam tangan? Normal. Gumamnya.

Pasangan dua, duduk di atas rumput taman.

Rangkul? Okelah.

Pasangan tiga, duduk di bangku taman dan menghadap membelakangi Api.

Peluk dan... kiss? TIDAK.

Api menarik nafas panjang, "OI KALIAN YANG DISANA! KALIAN PIKIR APA YANG KALIAN LAKUKAN HAH?"

Semua pasangan terkejut, tapi tidak dengan Fang. Kedua telinganya tertutup sempurna dengan headset.

"APA MASALAHMU BOCAH?" pasangan tiga ternyata sadar.

"A-APA KATAMU? BOCAH? A-AKU INI SUDAH KULIAH!" Api menggebu-gebu.

"Hee pantas saja marah. Anak kuliahan yang belum punya pengalaman pacaran. KAU TIDAK TAU APA RASANYA! JADI DIAM SAJA. DASAR JONES!" Yang meladeni adalah pemuda bertopi hitam-merah.

Api membulatkan mata, "APA KAU BILANG?"

"AKU BILANG 'DASAR JONES',"

"KATAKAN SEKALI LAGI DAN AKU AKAN MEMATAHKAN LEHERMU!"

"D-A-S-A-R J-O-N-E -S!"

"BERANINYA KAU. DIAM DISANA! AKU AKAN... AKU... AKU-,"

TAK

"WAAAAA!"

BRUK

Fang tersentak. Bunyi 'BRUK' itu lebih keras dari lagu yang sedang ia dengar. Fang melepas headset-nya kemudian berdiri dan memasang kuda-kuda. "A-api?"

Tidak ada respon.

"Api? Kau baik-baik saja?" Ia mendongakkan kepalanya.

Hening.

"Jawab aku hei!"

Fang hendak memanjat ke atas pohon sebelum bau anyir menyerebak(?) penciumannya dan sebuah gundukan di belakang pohon menarik perhatiannya. Fang menarik nafas pelan berusaha mengumpulkan keberanian sebanyak mungkin. Dengan gerakan hati-hati ia mulai mendekati gundukan itu, daun yang lebat menghalangi sinar bulan sehingga Fang kesulitan melihat.

Ponselnya mati karena baterainya habis setelah dipakai untuk mendengarkan lagu. Fang mendengus kesal.

Tap Tap

Fang mendekat dan bau anyir semakin tercium. Jangan-jangan..?

Fang segera membalikkan gundukan itu dengan kedua tangannya. Iris violetnya yang tertutup kacamata melebar, "A-API!"

.

.

.

.

.

Rumah sederhana itu ramai pengunjung.

Bendera kuning berkibar di depan rumah kediaman Boboiboy Api. Orang-orang mengaji untuk mendoakan anak tunggal pasangan Ashleen-Arya.

Kedua kelopak mata itu terbuka. Menampilkan iris jingga yang menawan bagi siapapun yang melihatnya. Sosok itu mengerang saat cahaya lampu mengusik indra penglihatannya.

"Ugh silau,"

Hal pertama yang dilihat Api adalah semua anggota keluarganya serta sahabat dan para tetangganya sedang berwajah sedih. Suara tangisan dari keluarga dan sebagian sahabatnya yang memilukan memasuki pendengarannya.

"Ayah? Ibu? Kenapa kalian menangis?" Api bertanya di depan orangtuanya.

"Fang, Suzy, Amy, Ying, Gopal! Kenapa kalian semua menangis?" kali ini pertanyaan yang sama ditujukan kepada para sahabat.

Tapi tidak ada yang mendengar suara Api. Mereka semua tetap larut dalam kesedihan yang mendalam. Pertanyaan Api diabaikan.

"A-ayah? Apa yang terjadi?" Api mencoba menepuk bahu Ayahnya, namun ia terkejut. Tangannya menembus punggung sang Ayah.

"Aku pasti bermimpi," ia mencoba menepuk bahu sahabatnya, Fang. Hasilnya sama.

"Hah?" ia menatap nanar kedua telapak tangannya. "K-kenapa?"

"API! KENAPA KAU PERGI SECEPAT INI NAK? HUHUHU," suara familiar terdengar.

"I-ibu. Aku disini! Aku tidak pergi kemanapun," Api hampir menangis.

"Tenanglah sayang. Api akan sedih jika melihatmu menangis seperti ini,"

"A-ayah! Lihat aku. A-aku disin-"

Saat itu orangtua Api menyingkir ke tepi untuk menenangkan diri. Dan barulah Api sadar akan sesuatu. Ia akhirnya tau kenapa semua orang sedih dan menangis.

Ia tak percaya saat melihat tubuhnya terbujur kaku dengan dibalut kain putih dikelilingi oleh para tetangganya yang sedang mengaji. Kakinya lemas, Api berlutut. Ia menangis sejadi-jadinya.

"Saya turut berduka cita atas meninggalnya putra kalian, Api," seorang tetangga mengucapkan bela-sungkawa pada orangtua Api.

"Ah iya terima kasih," Ayah Api menjawab.

"Kalau boleh tau, Api meninggal karena apa? Sakitkah?"

"HUWAAAAA," Ibu Api tidak bisa menahan tangisannya.

"Hm, dia meninggal karena terjatuh dari pohon tinggi semalam,"

"Pohon yang tingginya seperti pohon kelapa itu?"

Arya –Ayah Api- mengangguk sambil terus memeluk istrinya.

"Bagaimana bisa?"

"HUWAAAAA API! API ANAKKU!" Ashleen makin meraung.

Sang tetangga menutup mata mendengar teriakan itu. "Ah maaf, sebaiknya aku...," tanpa pikir panjang segera pergi dari hadapan suami-istri tersebut.

Api mendengar itu semua. Ia jatuh dari pohon? Semalam?

TING

Benar, sekarang ia ingat. Dirinya terjatuh karena dahan pohon yang tidak kuat menanggung berat badan Api yang sedang marah saat disebut jones oleh anak bertopi merah-hitam. Kurang ajar.

"Pfftt,"

Api menoleh dan mendapati sosok pemuda yang sepertinya seumuran dengannya tengah menahan tawa, "Apa yang lucu hah?"

"Sebab kematianmu. Sangat konyol," ujar pemuda itu.

"SIAL- Eh, kau bisa melihatku?" Api tidak jadi meledak.

"Yap. Aku bisa melihatmu karena aku sama sepertimu," sang pemuda menjabat tangan Api, "Perkenalkan, namaku Tanah,"

KRIK KRIK

"Namamu aneh," komentar Api.

"Kau pikir namamu tidak aneh juga hah?," sembur Tanah marah.

Api diam. Sekarang suasana rumahnya sedikit riuh. Jasad Api tengah dimasukkan ke dalam keranda. Siap dibawa menuju tempat peristirahatannya yang terakhir. Api bangkit.

"Kau mau kemana?" tanya Tanah.

"Tentu saja ikut menguburkan jasadku," balas Api.

.

.

.

.

.

Setelah seorang ulama memanjatkan doa, satu-persatu para pelayat pergi. Menyisakan orangtua Api. Batu nisan bertuliskan nama anak tunggal Ashleen-Arya menghiasi kuburan yang tanahnya masih basah itu. Ibu Api sedari tadi masih menangis sesenggukan, masih tak percaya bahwa anaknya sudah meninggalkan dirinya dan suami untuk selamanya.

Ashleen mengelus batu nisan itu dan jika tidak dipaksa oleh suaminya, ia akan terus berada di kuburan anaknya. Ibu Api menurut dan pulang ke rumah bersama Ayah Api.

Sedangkan Api sendiri, ia hanya memandang kosong kuburan itu. Tapi tunggu dulu, kalau dia sudah meninggal, kenapa dia masih bisa menyaksikan semua hal ini?

"Itu karena arwahmu penasaran ingin bertemu orang yang sudah membunuhmu," ucap Tanah membaca pikiran Api. Yah walaupun sebenarnya dia tidak sengaja membunuh. Lanjutnya dalam hati.

"J-jadi aku dan kau ini arwah?" tanya Api tidak percaya. "Jadi ini maksud 'kau sama sepertiku' yang kau bilang tadi saat dirumah?"

Tanah mengangguk, "Aku merasa kasian padamu wahai jones yang meninggal secara (tidak) tragis. Jadi aku berniat menemanimu balas dendam,"

"Jones? Aku ini single!" Api mengepalkan tangannya. Ya aku akan balas dendam, tunggu saja kau topi merah-hitam jelek. Eh tapi tunggu...

"Hanya menemani? Tidak ikut membantu?"

"Iya, anggap saja aku pengganti sahabatmu yang berambut ungu itu,"

Api baru teringat, Fang adalah satu-satunya orang yang bersamanya malam itu. Wajahnya tegang, ia khawatir Fang akan disalahkan atas kematian dirinya. "Oh tidak, Fang pasti sedang kesusahan,"

.

.

.

.

.

Hi semua~

Ehm frei datang lagi bawa fanfic (yang lagi-lagi) aneh bin gaje ini._.

Terima kasih buat yg udah baca dan bila berkenan mohon berikan review yaw*-*

Sampai jumpa di ch. berikutnya~~