Minna, kembali ke Kisa Fuuma. Kali ini Kisa kembali membawakan cerita untuk Yuna yang merupakan kelanjutan dari fict sebelumnya 'Same Name, Same Love. Pengennya sih dijadiin satu dnegan fict yang satu itu, tapi kalau sudah jadi complete statusnya akan lebih baik aku bikin sequelnya saja. Jadi kali ini Kisa akan fokuskan pada pernyataan cinta Akashi pada Yuna. Atau Yuna pada Akashi? Ah, bisa saja keduanya. Jaa, hajimemashou!

.

.

.

Kuroko no Basuke

Disclaimer: Fujimaki Tadatoshi

Warnings: typo(s), OOC, OC, dll

.

.

.

Same Confession, Same Love

Pagi itu aku terbangun. Perlahan aku mengerjapkan mataku untuk menyesuaikan dengan cahaya matahari yang masuk ke kamarku. Kemudian, aku duduk di kasurku sambil melihat sekelilingku. Lalu aku menoleh ke samping kiriku. Tak ada siapa-siapa disana. Tapi aku pernah mengingat seseorang pernah menemaniku tidur di sini.

Ah, iya. Ini sudah lama sejak kejadian 'itu' ya?

Kini aku bangkit dari ranjangku dan berjalan menuju lemari bajuku. Kuambil seragamku dan kugantung di gantungan baju yang tak jauh dari lemari bajuku. Aku memasuki kamar mandi untuk membasuh wajahku dan sikat gigi. Aku menatap wajahku yang terpantul di cermin washtafel. Ah, poniku kembali panjang, sama seperti saat aku bertemu alumni tim basket SMP-ku sebelum upacara pembukaan Winter Cup tahun lalu. Benar-benar kembali seperti dulu.

Setelah aku melakukan ritualku di kamar mandi –maksudnya cuci muka dan sikat gigi tadi- aku mengganti pakaian tidurku dengan seragam. Sambil bercermin aku mengikat dasi di leherku dengan rapi. Lalu kurapikan blazer abu-abuku agar serasi dengan postur tubuhku.

Selesai dan sekarang aku harus berangkat ke sekolah.

~Same~

Di tempat lain di dalam gerbong kereta, seorang gadis berambut merah panjang dengan ujungnya bergelombang sedang duduk manis di kursi penumpang yang berhadapan dengan kursi penumpang lain. Terlihat pemandangan luar yang seakan ikut berjalan mengikuti kecepatan kereta yang berjalan dengan kecepatan sedang.

Yuna, itulah nama gadis itu. Ia mengangkat lengan kirinya yang bertengger jam tangan hitam sederhana yang kini menunjukkan pukul 06.15 . masih pagi bagi para pelajar untuk masuk sekolah. Namun, inilah keseharian Yuna sebagai pelajar. Meski bukan termasuk jajaran murid teladan, Yuna termasuk yang rajin masuk pagi meski jarak rumahnya dengan sekolahnya bisa lebih dari lima kilometer.

Yuna menghela nafas panjang. Mengingat sebuah memori yang tak pernah ia lupakan sambil menatap luar jendela kereta yang sedang melaju. Sebuah memori manis yang sudah menancap pada syaraf otaknya dan mampu memutar kembali memori tersebut layaknya film. Ia memejamkan matanya, kedua tangannya mengusap pelan kedua lengannya yang sebenarnya tidak merasakan dingin. Indra perabanya mengingat sebuah memori dimana ia pernah dipeluk oleh seseorang. Dimana pelukan tersebut begitu hangat dan tak pernah terlupakan olehnya.

Pelukan pertama yang ia terima dari seorang yang memiliki nama yang sama dengannya.

'Akashi..'batinnya.

Terbayang olehnya sosok seorang pemuda berambut merah dengan mata heterokrom merah-emas yang telah menjadi teman pertamanya itu. Wajahnya yang tegas dan datar, nyaris tak menunjukkan emosi apa pun di dalamnya. Karena ia –baru saja- tahu kalau Akashi adalah pemuda penerus keluarga Akashi yang termahsyur dan terkaya karena aset mansion yang dimilikinya. Ia dituntut untuk menjadi sempurna agar bisa meneruskan pekerjaan Ayahnya kelak. Dan tuntutannya itu membuatnya kehilangan senyum di wajahnya yang tampan.

Bahkan untuk tersenyum pun hanya berupa seringai misterius. Namun, sejak kejadian 'itu' ia telah melihat sisi lain dari seorang Tuan Muda Akashi. Dimana hari itu ia melihat sisi lembut seorang Akashi. Dimana ia pernah mengecupkan bibirnya ke pipi Yuna disaat ia terkena pukul oleh seorang pemuda yang ingin menghancurkan lukisannya saat pameran berlangsung. Juga dimana ia pernah tertidur bersama Yuna di kamar tamu milik Akashi karena ia tertidur saat sedang mengobrol dengan Yuna malam itu. Dan esok paginya, ia melihat telinga Akashi memerah setelah bangun dari tidurnya meski mereka tidak melakukan hal-hal 'aneh' pada malam itu.

Dan satu yang paling diingat oleh Yuna adalah...pelukan hangat seorang Akashi. Pelukan yang sarat akan keposesifan, tak ingin membiarkan Yuna pergi kemana pun dan menginginkan untuk selalu berada di sisinya.

Dan setelah kejadian itu berakhir, Yuna kembali ke rumah seperti tak ada sesuatu yang terjadi hari itu. Ia hanya memberitahukan pada Ibunya bahwa ia memenangkan lomba seninya dan mendapatkan penghargaan serta uang tunai. Yuna menyerahkan uang itu pada Ibunya, namun Ibunya menolak dengan tulus. Beliau mengatakan itu adalah uang Yuna, jadi Yuna berhak memakainya. Senyuman tulus dari perempuan paruh baya itu memecahkan bendungan air mata Yuna malam itu dan malam itu juga Yuna bisa tertidur pulas dikamarnya.

Namun, bagaimana perasaannya dengan orang yang memiliki nama yang sama dengannya? Pernahkah ia berpikir untuk menyatakan perasaannya yang sesungguhnya pada pemuda berambut merah itu?

Yuna hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mendongakkan kepalanya sembari menghela nafas panjang. Dan tak lama ada pengumuman pemberhentian dimana ia akan turun. Ia pun berdiri dari duduknya dan berpegangan pada pegangan gantung yang tingginya kira-kira tiga puluh sentimeter di atas kepalanya. Sampai akhirnya ia berhenti di stasiun dan melanjutkan perjalanannya menuju sekolahnya.

~Same~

Pada saat istirahat...

"Ne, ne, lihat itu! Itu Akashi-kun sedang bermain basket!"

"Kyaa! Ada Reo-nee juga! Kyaa! Keren!"

"Uhh, masih kerenan Akashi-kun tau! Kyaaa! Akashi-kuun!"

Jeritan-jeritan fangirling menggema di lorong kelas saat aku melewati kelasku. Kulihat mereka sedang meneriaki Akashi-kun yang kini sedang bermain basket di lapangan luar. Terlihat ia dengan lincah mendribbel bola hingga orang yang menjaganya kewalahan dan kemudian ia melewati pertahanan lawannya dan memasukkan bolanya ke dalam ring dengan mulus. Setelahnya teriakan para murid perempuan menyambut masuknya bola yang masuk ke dalam ring basket dengan reaksinya yang kalau orang Indonesia bilang 'alay euh'.

Aku hanya bisa mengorek pelan telingaku karena teriakan para perempuan nyaris menulikan telingaku. Aku pun beranjak pergi dari tempat aku berdiri sekarang dan segera pergi ke ruang kesenian. Aku membuka ruangan itu dan masuk ke dalamnya.

"Ah, Yuna. Akhirnya kamu datang,"ucap seseorang.

"Eh?"

"Selamat atas kemenanganmu!"seru seorang yang lain kini menaburkan confetti diatas kepalaku.

Terlihat teman-temanku sudah menghidangkan teh dan kue-kue kecil di meja kerja kami yang disusun rapi hingga telihat seperti pesta kecil. Aku hanya bisa tersenyum lebar saat mereka memberi ucapan selamat kepadaku. Kemudian mereka menyuruhku untuk duduk di kursi yang telah disediakan untukku untuk menikmati pesta kecil ini bersama.

"Ano, terima kasih. Maaf kalau merepotkan,"ucapku gugup.

"Aaah, ngga usah sungkan begitu Yuna-chan. Kita memang sengaja mengadakanannya untuk kamu tahu,"ucap gadis berambut hijau pendek. Namanya Megumi-san, seniorku kelas 2.

"Iya, soalnya kamu kan jarang ikut main sama kami. Makanya sekali-sekali kamu juga bersenang-senang Yuna,"ucap gadis pirang dengan dandanan ala wanita dewasa. Ah, yang satu ini namanya Mika, temanku yang juga kelas satu namun dia berada di kelas B. Dia adalah orang yang paling modis diantara kami semua.

"Maaf, tapi aku pun juga harus banyak belajar untuk itu,"sahutku gugup.

"Justru kalau kamu kebanyakan belajar nanti cepat beruban!"seru Megumi-san sambil menodongkan padaku topi pestanya yang berbentuk kerucut itu. Aku hanya bisa terdiam sambil jawdrop ditempat.

"Haah~ sampai kapan Yuna akan menjadi cewek kaku sih?"desah Megumi-san sambil menyandarkan dirinya di kursi yang berada di depanku.

"Iya, padahal kamu cantik lho,"sahut Mika sambil memupuri wajahnya dengan bedak kecantikannya.

"Kalau saja Yuna di dandan sedikit saja lalu bersikap layaknya perempuan dewasa..."ucap Megumi-san sambil memangku wajahnya dengan punggung tangannya dan menatapku serius.

"Maka akan menjadi..."sambung Mika.

"LADY!"seru mereka bersamaan.

Aduh, firasatku tidak enak nih. Dan kenapa rasanya aku seperti mengalami adegan di salah satu komik cewek yang pernah kubaca?

"Yuna..."

"Huh?"

"Kami akan mendandanmu..."ucap Mika sambil menampakkan aura yang mencurigakan.

Oh, Tuhan. Tolong aku!

~Same~

Sepulang sekolah aku memutuskan untuk pergi pulang karena hari ini aku tak ada jadwal latihan basket. Aku berjalan menyusuri jalan sekolah menuju gerbang. Daun-daun jatuh dan terbawa angin. Sampai ada satu daun jatuh di atas kepalaku dan kuambil daun itu dan kubuang.

"Ano, Akashi-kun!"seru seseorang dari belakangku.

Aku pun menoleh kebelakangku mengikuti arah suara yang tadi memanggilku.

"Ah, Yuna.."

"Akhirnya sampai juga..haah haah..."ucap Yuna dengan nafas tersengal-sengal. Aku yakin dia habis lari tadi.

"Kamu ngapain lari ngejar aku?"tanyaku datar.

"Aku ingin mengembalikan ini padamu. Terima kasih ya,"ucapnya sambil mendongakkan wajahnya.

Eh? What the—

Kenapa wajahnya...

"Akashi-kun? Akashi-kun?"tanya Yuna sambil mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajahku.

"Ah, kenapa?"aku langsung tersadar setelah ia menurunkan tangannya.

"Kamu melamun?"tanya Yuna.

"Ah, tidak. Anu...kamu dandan?"tanyaku agak ragu.

Inilah yang ingin kukatakan. Entah ada apa dengan Yuna hari ini. Dia tiba-tiba muncul dengan dandanan yang sebenarnya...ehm, cantik sekali. Dia mungkin habis di dandani oleh kakak kelasnya di ruang seni. Lihat saja dia sekarang, bulu matanya terlihat lentik dan agak tebal. Bibirnya di beri lipgloss bening dan ia juga memakai maskara warna pink tipis di kedua pipinya. Aku yakin warna putih cerah dari wajahnya karena memakai foundation dan bedak kecantikan.

Uhh...jujur dia cantik sekali, tapi aku gengsi mau bilan dia cantik.

"A-Oh, ini ya. Maaf, tadi ketika aku di ruang kesenian kakak kelasku mendandaniku,"ujarnya sambil tersipu malu.

Sudah kuduga. Tebakanku tepat.

"Lalu, kamu mau pulang dengan dandanan begitu?"tanyaku sambil menerima buku tulis matematikaku darinya.

"Pengennya sih begitu, tapi..."

" Tapi?"

"...a-aku tidak punya make up remover di rumah. Ibuku tak punya peralatan rias yang lengkap seperti mereka. Paling dirumah hanya punya lipstik dan bedak saja,"ujarnya sambil tertawa canggung. Dan sesekali ia juga menundukkan kepalanya karena malu.

"A-aku ingin menghapus make up-nya. Itu saja,"ucapnya dengan wajah merona merah.

Oh, sh*t. Kamu merona seperti itu membuatku juga ikut merona tahu! Sialan, aku jadi salah tingkah.

Tiit tiit!

Ah, itu suara klakson mobilku. "Sebentar,"ucapku pada Yuna. Yuna hanya bisa melongo melihatku berlari ke arah mobilku.

"Rio, kamu ada punya make up remover?"tanyaku.

"Untuk apa,Tuan?"

"Jawab saja, ada atau tidak?"

"Ada, Tuan,"

"Mana?"tanyaku.

Rio, butlerku segera merogoh laci-laci mobilku. Dan akhirnya ia menemukan make up remover dan kapas. Fuhh, untunglah aku ingat kalau dulu bibiku pernah meninggalkan make up remover milinya di mobil ini. Aku menerima botol itu dan satu plastik kecil berisi kapas, lalu aku kembali ke Yuna yang masih berdiri mematung di sana.

"Sini,"ucapku sambil menarik tangannya.

Kami berjalan menuju salah satu pohon yang sekelilingnya ditutupi bata berlapiskan keramik hingga bisa menjadi tempat duduk disana. Aku menyuruh Yuna untuk duduk di sana dan aku mulai menuangkan make up remover secukupnya di atas kapas putih.

"Bentar,"bisikku sebelum mengoleskan make up remover itu ke wajahnya.

Uwaah, aku ternyata sedekat ini dengannya. Lihat saja wajahnya kini merah padam karena jarak kami yang cukup dekat ini. Aku harus sekuat tenaga untuk tetap tenang dan terlihat datar di hadapannya. Dan jujur saja itu kulakukan mati-matian tahu!

Perlahan aku mengusap wajahnya yang agak oval itu dengan kapas yang kukasih make up remover. Sedikit demi sedikit foundation dan bedaknya hilang terserap cairan removernya. Bahkan maskara berwarna pinknya pun luntur oleh remover. Bibirnya pun juga tak lupa kuusap dengan kapas untuk menghilangkan lipglossnya. Sebenarnya aku merasa agak berat kalau dandanan milik Yuna di hapus karena sejujurnya dia cantik bila di dandan seperti tadi. Tapi, entah kenapa aku merasa wajah tadi todak boleh diperlihatkan orang lain selain aku.

Aku berhenti sejenak menatapnya. Dan ia pun juga menatap balik padaku.

Kenapa...wajahnya ini mengingatkanku pada seseorang? aku berpikir sejenak melihat wajahnya yang kira-kira mirip seseorang yang pernah mempunyai mimik wajah yang sama seperti dia.

"A...kashi...-kun?"

Dan mataku sekarang terfokus pada bibirnya yang baru saja bersih dari lipgloss, namun masih menyisakan kilap di atasnya. Kalau saja aku tidak menahan diriku sekarang,mungkin aku sudah...

"Sudah,"ucapku datar sambil mengumpulkan beberapa kapas yang tadi kugunakan untuk menghapus make up di wajah Yuna dan membuangnya ke tong sampah terdekat.

"Aku pulang du-"kata-kataku terpotong saat aku membalikkan badanku dan menatapnya kembali.

Terlihat raut wajahnya berubah menjadi agak suram. Ke-kenapa jadi seperti ini? Memangnya apa yang telah kulakukan?

"Oh, ya sudah. Sampai jumpa besok, Akashi-kun,"ucapnya sambil berjalan menjauhiku.

Kuso! Ada apa sebenarnya ini? Kenapa dia?

"Tunggu, Yu-"lagi-lagi ucapanku terpotong saat ingin mengejarnya. Tapi kenapa kakiku terasa kaku untuk berjalan?

Apa-apaan pula dengan wajah itu? Kenapa wajahnya seakan-akan menyesal?

~Same~

'Kenapa...'

'Kenapa aku merasa kecewa?'

'padahal aku beruntung sudah berada di dekatnya. Tapi, Akashi-kun seperti menahan diri akan sesuatu. Aku tahu itu karena dia menatapku dengan tatapan 'Kenapa...'

'Kenapa aku merasa kecewa?'

'padahal aku beruntung sudah berada di dekatnya. Tapi, Akashi-kun seperti menahan diri akan sesuatu. Aku tahu itu karena dia menatapku dengan tatapan yang aneh,'

Yuna tergesa-gesa menuju ruang kelasnya untuk mengambil kembali tas sekolahnya. Ia membuka pintu kelas dan segera mengambil tasnya dengan terburu-buru. Setelahnya ia keluar kelas dengan wajah sedih. Terlihat raut wajahnya yang sedih karena kejadian barusan. Ia tahu Akashi menatapnya saat ia berhenti sejenak untuk menghapus make upnya. Tapi, tatapan itu bukanlah tatapan biasa.

Tatapan itu...

"Yuna, Yuna? Yuna!"

"Ah!"

Yuna tersentak saat ada seseorang yang memanggilnya dengan keras dan menepuk pundaknya dari belakang. Ia dengan cepat menoleh dan menatap orang yang baru saja menepuknya.

"Mika-san?"

"Kamu kenapa? Kenapa wajahmu tampak kusut? Dan...make upnya kamu hapus?"tanya Mika bertubi-tubi. Namun, Yuna hanya bisa diam menjawab pertanyaan Mika sambil menoleh ke arah lain.

Keduanya terdiam sesaat sampai akhirnya Mika angkat bicara,.

"Sudahlah, bagaimana kalau kita bicarakan di ruang seni? Kebetulan aku ingin kesana karena ada sesuatu yang mau kuambil. Mau ikut?"tawarnya sambil menatap Yuna lekat-lekat.

Yuna berpikir sebentar. Kemudian ia mengangguk pelan tanda ia menyetujuinya. Dan mereka pun pergi ke ruang kesenian mereka.

~Same~

"Jadi, maukah kamu menceritakan padaku apa yang telah terjadi? Kenapa tiba-tiba kamu menghapus make upmu?"tanya Mika lembut.

Kini keduanya duduk berhadapan dengan meja di antara keduanya dengan teko dan dua cangkir teh berwarna pink sakura menemani mereka berdua. Yuna menyesap tehnya pelan, lalu meletakkannya dia atas piring kecil yang berwarna senada dengan cangkir mungil tersebut.

"Aku...menghapusnya karena aku tidak biasa,"ucapnya.

"Lalu?"

"Aku bertemu dengan Akashi-kun,"lanjutnya.

"Untuk?"

"Mengembalikkan buku catatan matematika yang kupinjam darinya,"

"Heh?kok bisa?"

"Maksud?"

"Jarang sekali ada yang berani mau meminjam dari anak itu. Padahal dia menakutkan lho, selalu bawa gunting kemana-mana,"ujar Mika sambil memangku kaki kirinya diatas lutut kanannya.

"Eh? Benarkah?"

"Iyalah, masa' kamu ngga perhatikan dia selama di kelas? Memang sih dia pintar, tampan, tinggi, dan jago basket pula. Bahkan ia juga merupakan kapten tim basket sekolah kita. Siapa yang ngga kenal akan kesadisannya dia? Kamu ngga tahu sih, beberapa waktu lalu ia pernah menodongkan pada teman kelas kita gara-gara mau bolos piket? Dia menasihatinya kayak merintah budak taulah. Makanya ia sedikit bisa berteman dengan teman-teman, kecuali dengan yang ikut basket tentunya,"ujar Mika panjang lebar kemudian menyesap tehnya.

"Souka...tapi sebenarnya ia orang baik kok. Buktinya ia pernah menemaniku saat pameran lukisan minggu lalu,"ujar Yuna.

Brusssh!

Mika memuncratkan isi mulutnya. Dan untungnya tidak mengenai Yuna yang berada di depannya.

"Apa? Dia menemanimu? Bagaimana ceritanya dia sampai menemanimu?"tanya Mika bertubi-tubi saking keponya.

"Waktu itu,..."

Yuna pun menceritakan kronologis kejadian dimana ia nyaris menginap lagi di sekolah kalau saja waktu itu Akashi tidak menemukannya dan mengajaknya menginap di mansionnya selama semalam. Kemudian ia juga menceritakan pengalamannya selama ia dan Akashi berada di tempat pameran dan berhadapan dengan dua orang pria mencurigakan yang berniat membuang lukisannya sampai selesai.

Mika hanya memangut-mangut mendengarkan cerita Yuna tentang Akashi waktu itu.

"Hmm, benar-benar langka ya. Tak kukira Akashi akan selembut itu padamu, Yuna. Berarti kamu orang yang beruntung!"ujarnya dengan semangat.

"Beruntung? Beruntung karena apa?"

"Masa' kamu ngga nyadar sih? Itu kode tau! Kode!"

"Kode?"

"Artinya dia menyukaimu, Yuna!"

Yuna ternganga saat jawaban itu meluncur dari mulut Mika yang sedang menodongkan sendok tehnya ke depan mukanya. Tak lama setelah itu Mika kembali duduk dan menaruh sendok tehnya di atas mulut cangkirnya sambil mendesah pelan. Tak disangka kalau Yuna benar-benar polos sampai tak tahu perasaan dirinya sendiri dan perasaan Akashi.

Ia membiarkan anak itu termenung sebentar memikirkan kata-katanya.

"Haah...Yuna, Yuna. Kamu terlalu banyak belajar sih, sampai-sampai kamu lupa bahwa masa-masa seperti kita pun harus belajar mengenai cinta. Kalau tidak begitu kamu tidak akan tahu cara mendapatkan pasangan hidupmu dimasa mendatang,"ucap Mika datar lalu menyesap tehnya sampai habis.

"Pasangan hidup ya..."

Mika menaruh cangkir tehnya yang sudah kosong diatas piring kecil, lalu menopang dagunya dengan kedua punggung tangannya.

"Aku tidak mengerti soal cinta..."

"Kau akan tahu nanti setelah merasakannya, Yuna. Sekarang masih belum,"ucap Mika sambil menatap penuh perhatian pada Yuna.

"Souka...terima kasih, Mika-san,"

"Kamu terlalu formal. Panggil saja Mika,"ucap Mika sambil mengadahkan tangannya tanda penolakan.

"Tapi.."

"Miiika. Panggil aku itu,"ucapnya sambil memasang wajah agak kesal yang dibuat-buat.

"Baiklah. Mi-Mika,"ucap Yuna gugup.

"Nah, begitu baru bagus. Oh ya soal make up mungkin aku tak perlu mendandanimu,"

"Eh? Kenapa?"

"Aku suka wajahmu yang natural tanpa make up seperti ini. Itu saja sudah manis kok. Mungkin Akashi juga akan berpikir seperti itu padamu,"ucap Mika sambil berdiri dan mulai merapikan teko dan cangkir-cangkir mereka.

'Akashi-kun juga berpikir seperti itu? Lalu, apa maksud tatapan tadi?'batin Yuna dalam hati.

~Same~

Malam sudah tiba, kini sudah pukul 20.00

Aku masih terpaku pada soal-soal matematika yang membahas soal pertidaksamaan kuadrat. Kuputar-putarkan pulpenku dengan jari telunjuk, tengah,dan ibu jariku. Lalu berhenti untuk sekedar mengetuk-ngetukkannya di atas meja belajarku. Aku mundur sambil menyandarkan punggung dan kepalaku di kursi berlenganku.

"Haaah...bosan,"gumamku sambil mengadahkan kepalaku ke atas dan menatap langit-langit kamar.

Langit-langit kamar berwarna pucat sepucat bulan purnama yang kini mau memasuki masa penghabisannya. Aku menoleh ke kiri dan mendapati sebuah lukisan merah yang terpampang tak jauh dari tempatku duduk sekarang. Aku ingat lukisan itu. Itu lukisan pemberian Yuna padaku di hari terakhir dia menginap disini.

'Aku tidak bisa membawanya ke rumah karena tak ada tempat lagi. Jadi kupikir aku ingin memberikannya padamu. Kamu mau?'

'Tapi apakah semudah itu memberikan hasil karyamu pada orang sepertiku? Aku merasa tak pantas untuk menerimanya,'

'Ayolah, terima saja. Anggap saja ini hadiah persahabatan kita yang pertama, oke?'

Persahabatan ya?

Aku bangkit dari dudukku dan berjalan mendekat lukisan itu. Lukisan yang menggambarkan taman bunga mawar dan ditengahnya terlilit di kawat berbentuk hati. Yuna, apa kamu yakin lukisan ini adalah makna persahabatan?

Kupikir ini bukan persahabatan.

Tapi cinta.

~Same~

Keesokan harinya...

"Ha~h, aku tak bisa tidur semalam karena mengerjakan pe er,"gumam Yuna sambil berjalan menuju kelasnya yang tentunya masih kosong.

Terlihat kedua matanya berkantung seperti mata panda. Semalam ia baru bisa tidur jam 11 malam. Itu pun ia nyaris tidak bangun pagi kalau saja setelah alarm berbunyi Ibunya tidak membangunkannya saat itu juga. Sesekali ia mengucek matanya yang masih lelah karena belajar kemalaman itu dan menguap lebar.

Digesernya pintu kelasnya itu dan kemudian memasukinya. Kedua matanya sedikit terbelalak ketika ia mendapati sosok seorang pemuda berambut merah tengah tertidur dengan menggunakan satu tangannya untuk menyanggah kepalanya.

'Akashi-kun..'batin Yuna.

Terbesit sebuah ingatan tentang kejadian kemarin dimana ia dan Akashi berduaan di bawah pohon. Yuna menundukkan kepalanya sedikit dan berusaha melupakan kejadian itu. Ia menggelengkan kepalanya, lalu berjalan menuju tempat duduknya.

'oh ya, kemarin baru saja rolling tempat duduk. Aku di...'

Ia mencoba mengingat dimana ia seharusnya duduk untuk hari ini. Dan pandangannya berakhir di tempat duduk dekat Akashi yang dimana tempat duduk Akashi berada di dekat jendela. Yuna hanya bisa mendesah pelan mendapati tempat duduknya yang sekarang bisa dibilang kurang beruntung. Karena bagaimana pun juga suasana hatinya sedang tidak ingin berada di dekat Akashi. Namun, Yuna hanya bisa pasrah karenanya.

Dengan agak berat hati Yuna berjalan tanpa suara ke tempat duduknya. Ia menarik kursi perlahan dan menggantungkan tasnya di sebelah mejanya. Ia menyandarkan dirinya di kursinya dan mengadahkan kepalanya ke atas dan menatap langit-langit pucat kelasnya dan menghela nafas pelan.

Ia melirik ke arah Akashi yang masih tertidur dengan sebelah tangannya itu dan sesekali mengubah posisinya agar kepalanya tidak jatuh ke meja. Yuna menguap dan menutup mulutnya dengan telapak tangannya. Kemudian ia mengambil tasnya dan mencari buku tulis matematikanya, mengeluarkannya dan menaruhkan di meja, dan kembali menggantungkan tasnya di sebelah meja.

Ia mengambil pensilnya dan mulai mencorat-coret di buku coretannya untuk mengerjakan ulang soal-soal dibuku tugasnya.

Namun, tanpa ia sadari sebenarnya Akashi sudah menyadari keberadaannya dalam tidurnya. Dan diam-diam Akashi memperhatikannya dalam tidurnya.

~Same~

"Yak, untuk hari ini cukup sekian. Ingat minggu depan kita ulangan pertidaksamaan kuadrat, oke?"ujar sang guru sambil merapikan buku-bukunya.

"Baik!"sahut seluruh murid serempak.

"Berdiri! Beri hormat"seru ketua kelas memberi komando. Semua murid pun berdiri.

"Selamat siang, Pak!"

"Selamat siang. Sekarang kalian boleh istirahat,"ujar sang guru sambil berlalu keluar kelas.

"Fuaaah! Pelajarannya benar-benar bikin ngantuk!"

"Baka! Kau bahkan sempat digeplak sama bapaknya tau!"

"Hahahaha, dasar tukang tidur kamu!"

Itulah yang diramaikan oleh anak-anak di belakang Yuna. Dalam hati Yuna tertawa pelan, namun ia tak berani bila ia menoleh ke belakang dan ikut berbicara dengan mereka. Karena yang ada malah mereka mengejeknya. Yuna hanya bisa tertunduk lemas dan menghela nafas sambil menyusun kertas-kertas coretan yang ia pakai untuk mencatat soal-soal di papan tulis. Tiba-tiba satu dari kumpulan kertasnya itu terjatuh ke lantai. Yuna yang melihat kertasnya jatuh segera mengambilnya, namun ia di dahului leh sebuah tangan yang mengambil kertasnya itu.

"Ah, terima ka-"

Akashi melihat dengan seksama coretan yang berada di kertas itu. Yuna yang ingin mengambilnya dari Akashi hanya bisa terdiam sejenak menunggu Akashi menyerahkan kertas itu.

"Hmm, kamu suka banget gambar manga ya?"tanya Akashi.

"Huh?"

Yuna terdiam sejenak. 'Aduh, aku baru ingat selama pelajaran tadi aku kan menggambar juga! Dia sadar tidak ya kalau gamba itu...'batin Yuna kini panik. Terlihat wajahnya merona merah karenanya.

"Hei.."

"Ah, oh, i-iya. Aku suka menggambar manga kok, hahaha"ujar Yuna sambil tertawa canggung. Ia menggaruk kepalanya yang tidaklah 'Sialan, aku pasti tampangnya memalukan di hadapannya sekarang. Sebal,'batin Yuna lagi kemudian mengubah raut wajahnya menjadi murung kembali.

"Uhmm, ano, tolong kembalikan,"ucap Yuna sambil menyodorkan tangannya pada Akashi. Akashi terdiam kemudian menyeringai pelan.

"Baiklah kalau begitu, tapi..."

"?"

"Larilah untuk mendapatkannya,"ucap Akashi sambil menyeringai jahil pada Yuna. Ia langsung berlari keluar kelas sambil membawa kertas itu.

"Tu-Tunggu! Akashi-kun!"seru Yuna kini berdiri menyusul Akashi keluar tanpa memperdulikan tatapan mata murid lain ke arahnya.

Yuna berlari sekuat tenaga seanjang lorong untuk menyusul Akashi. Dan dengan cekatan pula ia menghindari kerumunan orang dan menaiki tangga. "Akashi-kun! Tunggu!"seru Yuna sambil berlari menaiki tangga. Ia terus berlari sampai lantai paling atas gedung sekolahnya atau tepatnya atap sekolah.

"Akashi-kun! Sudah lah! Hentikan! Aku-"

"Yo!"

"Wah, pendatang baru nih,"

"Kawaii na,"

Terlihat sekumpulan pemuda yang merupakan anggota klub basket Rakuzan. Akashi hanya bisa tersenyum lebar ke arah Yuna sambil melambaikan kertasnya. Terlihat empat pemuda lain yang kini menikmati makan siang mereka. "Kemarilah, dan ambil kertasmu,"ucap Akashi.

Yuna berjalan perlahan mendekati Akashi dan mengambil kertasnya. "Terima kasih, uhh—"ucap Yuna yang tiba-tiba memegang dada kirinya dan berjongkok.

"Huwaa! Anak itu kenapa?" seru seorang berkulit gelap.

"Dek! Kamu ngga apa-apa kan?"tanya seorang pemuda berambut agak panjang dan berwajah cantik menghampirinya dan merangkul pundaknya.

"Tidak apa-apa, dadaku hanya sesak saja. Sudah lama aku tidak lari seperti tadi,"ucap Yuna sambil tersenyum miris sambil terus meremas seragam di dadanya. Nafasnya tersengal-sengal namun sesak hingga membuat dadanya terasa makin sesak.

"Apa jangan-jangan kamu kena penyakit asma?"tanya Akashi ikut berjongkok.

"Tidak juga. Aku memang seperti ini sejak dulu. Paru-paruku termasuk yang lemah hingga aku tak bisa banyak lari seperti tadi,"ujar Yuna kini sudah bisa bernafas normal. Pemuda berambut pendek itu membantu Yuna untuk berdiri.

"Maaf, aku tak tahu soal itu,"ucap Akashi datar. Dan tentunya membuat empat teman lainnya terbelalak.

'Baru kali ini aku melihat Akashi meminta maaf pada seorang gadis,'batin mereka.

"Ne, ne...bagaimana kalau bergabung dengan kami saja manis? Mumpung kamu sudah disini dan dibawa oleh Akashi, maka kamu adalah bagian dari kami. Oya, namaku Reo Mibuchi, aku dijuluki 'Ibu para Rakuzan', panggil saja aku Reo-nee. Aku akan menganggapmu sebagai adikku sendiri...um, siapa namamu?"ujar Reo panjang lebar sambil menyentuhkan jari telunjuknya di dagu Yuna.

"Yuna Seijuurou. Salam kenal Reo-nee,"

Bruuust!

Semua menyemburkan apa yang mereka minum, kecuali Akashi dan Reo. Tapi Reo hanya bisa tahan nafas dan nyengir kuda mendengarnya.

'Nama mereka sama! Tapi kepribadiannya berbeda! Sungguh keajaiban dunia!'batin mereka.

"Yu-Yuna ya,oke oke. Sekarang kalian mengenalkan diri kalian!"ucap Reo sambil menunjuk tiga yang lainnya yang masiih dengan kecengoan mereka.

"Namaku Nebuya Eikichi, salam kenal,"ucap seorang yang berkulit gelap.

"Hayama Kotarou, salam kenal!"

"Mayuzumi Chihiro, kelas 3,"ucap Mayuzumi datar sambil terus membaca novelnya cuek.

"Uh...iya, salam kenal semua,"ucap Yuna sambil membungkukkan badannya.

"Nah, ayo Yuna-chan. Aku ada jajan enak, kita makan bareng oke?"ujar Reo sambil menuntun Yuna layaknya seorang putri. Yuna yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tersenyum kecil dan mengiyakan ajakan Reo.

Reo pun mempersilahkan Yuna duduk melingkari mereka berenam. Yuna disuguhi bento milik Reo yang bisa dibilang 'Wah, master chef nih ye', dengan malu-malu Yuna menerima suapan dari Reo layaknya Ibu yang mengasuh anaknya. Yuna hanya bisa terdiam sambil mengunyah tamagoyaki (telur dadar gulung) buatan Reo. Sedangkan Akashi yang duduk dekat Yuna hanya diam sambil menikmati minuman kalengnya dengan santai.

'Aku tidak khawatir kalau dia diperlakukan seperti itu oleh Reo karena pada dasarnya Reo ingin punya adik perempuan,'batin Akashi yang sekarang sedang memandang Reo berdebat dengan Hayama yang ingin menyuapi Yuna. Yuna hanya bisa bengong melihat mereka berdua berdebat, namun pada akhirnya Mayuzumi mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Daripada meladeni mereka, sini kusuapi. Katakan 'aaaah',"ucap Mayuzumi sambil mengambil tamagoyaki. Yuna terdiam sambil menatap Mayuzumi dan tamagoyaki secara bergantian.

Oke, ini buruk bagi Akashi sekarang. Ia meletakkan minuman kaleng disebelahnya, lalu berjalan –atau tepatnya merangkak-. Ketika makanan itu mau masuk ke mulut Yuna, Akashi langsung melahap tamagoyaki tersebut. Seketika keadaan menjadi hening dimana Reo dan Hayama saling mencengkram baju satu sama lain sambil cengo melihap posisi Akashi yang agak nungging dan Nebuya yang sedang makan langsung berhenti. Mayuzumi maupun Yuna juga tak kalah terkejut melihat Akashi.

"Hm? Apa kalian lihat-lihat? Memangnya salah kalau aku memakan tamagoyaki?"tanya Akashi datar kembali duduk bersimpuh disamping Yuna.

'Ngga salah sih. Cuma cara makannya saja anti-mainstream,'batin mereka berempat. Dan tentunya Akashi dapat membaca pikiran lewat ekspresi mereka.

"Hari ini latihan kulipat gandakau menjadi tiga kali. Awas saja kalau kabur,"ucap Akashi datar namun terkesan memerintah.

"Ba-baik!"sahut mereka serempak. Akashi pun menyeringai penuh kemenangan.

'Enaknya Akashi-kun bisa makan bareng disini,'batin Yuna sambil tersenyum ke arah mereka yang kini kembali makan.

Lalu teringat bahwa Yuna sudah mengantongi kertas yang tadi Akashi bawa lari sampai ke sini. Mau tahu apa yang ia gambar?

Yuna menggambar Akashi dari sudut pandangnya selama ia belajar. Jujur Yuna malu ketika gambar itu Akashi ambil dan dilihatnya. Tak bisa ia bayangkan bagaiman Akashi akan marah kepadanya.

"Aku tidak akan marah kalau kamu yang menggambarnya,Yuna,"ucap Akashi tiba-tiba hingga menyadarkan Yuna. Yuna menoleh tak percaya kepadanya, sedangkan Akashi hanya diam sambil kembali meminum minuman kalengnya.

"Aku tahu kamu akan menggambarku. Bagaimana tidak? Selama pelajaran matamu melirik padaku terus, tapi tanpa kamu sadari aku juga memperhatikanmu meski kamu berada di dekatku,"ucap Akashi datar. Yuna menunduk merasa bersalah karena kelancangannya sudah menggambar Akashi tanpa izin.

"Maaf, harusnya aku tidak menggambarmu. Aku hanya merasa kamu mudah digambar, lalu aku menggambarmu,"ucap Yuna dengan nada menyesal.

Akashi menepuk pucuk kepala Yuna pelan. "Tak apa, asal kamu yang menggambar aku tak keberatan,"ucap Akashi lalu bangkit berdiri.

"Aku duluan,"

"Hee? Sei-chan sudah mau pergi? Jahat sekaliii!"ucap Reo sambil menarik tangan Akashi dengan wajah memelas.

"Berisik kau Reo. Dan berhenti menarik tanganku. Sakit tahu!"

"Sei-chan hidoii desu yo!"

Yang lain pun ikut meraimaikan acara tarik-menarik tangan Akashi dengan wajah memelas. Yuna yang melihatnya tak kuasa menahan tawanya.

"Hahahahaha!"tawa Yuna sambil memegang perutnya sekaligus menutup mulutnya karena malu.

Mereka berlima pun menoleh pada Yuna yang sekarang tertawa. Dan entah kenapa dalam waktu singkat mereka juga ikut tertawa, kecuali Akashi. Akashi hanya bisa memalingkan wajahnya merona karena malu. Kalau saja tak ada acara tarik-menarik tangannya tadi, mungkin ia tak akan sebegini malunya.

"Sudah, sudah. Uhuk uhuk! Aduh sakit perut juga nih. Sudah lama aku tak tertawa seperti tadi,"ujar Yuna kini ikut berdiri.

"Tapi, aku suka Yuna-chan yang tertawa seperti tadi. Yuna-chan benar-benar senang ya?"tanya Reo sambil tersenyum lembut pada Yuna.

"Iya, aku senang sekali,"jawab Yuna membalas senyum pada Reo.

"Yah, baguslah kalau begitu. Sering-seringlah ke sini bersama kami, aku yakin kami bisa jadi temanmu,"ucap Hayama sambil memamerkan ototnya. Akashi pun melotot.

"Ngapain kamu pamer otot, Hayama?"tanya Akashi ketus.

"Heh, ini menunjukkan bahwa aku perkasa. Bukan begitu Yuna-chan?"

Yuna mengangguk kaku menanggapi Hayama. Hayama pun nyengir kuda pada Akashi, sedangkan Akashi sendiri hanya bisa menghela nafas menghadapi anak buahnya. Yuna yang melihatnya hanya bisa menyengir pelan melihat ekspresi Akashi yang nampaknya tidak suka dengan tingkah mereka, namun lucu dimata Yuna.

"Sudah deh, aku mau kembali ke kelas. Pelajaran selanjutnya akan segera dimulai,"ujar Akashi pada akhirnya. Yuna pun mengikutinya dari belakang. Terlihat para senpai sudah mulai bangkit dari duduk mereka dan juga bersiap untuk kembali ke kelas.

"Nanti kita makan bareng lagi nee, Yuna-chan!"ucap Reo sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Iya, sampai ketemu lagi!"ucap Yuna sambil melambaikan tangannya pada Reo dan yang lainnya.

Ia pun berjalan menuruni tangga mengikuti Akashi menuju kelas mereka. Yuna masih tidak bisa untuk tidak tersenyum setelah melewati jam makan siang mereka bersama para senpai mereka. Akashi menoleh pada Yuna yang berjalan sejajar dengannya.

"Kenapa kamu tersenyum?"tanya Akashi datar.

"Ah, tidak. Aku hanya merasa senang saja bisa melewati makan siang bersama teman-teman basketmu itu. Apalagi Reo-nee sangat baik padaku, seperti kakak perempuan saja,"ujar Yuna.

"Dia memang dasarnya agak kecewek-an sih. Buktinya dia suka warna pink,"ucap Akashi agak menggerutu.

"Haha, bisa saja. Tapi dia juga keibuan, daritadi berusaha melindungiku seperti anaknya sendiri,"

"Diantara kami dia yang paling keibuan, tapi kalau sudah bertemu dengan anak perempuan dia akan menganggapnya seperti adiknya sendiri. Jadi jangan salah kalau suatu saat kamu akan didandani olehnya,"ucap Akashi. Diam-diam ia tersenyum saat mengatakan hal itu.

"Ah, kamu ini ada-ada saja, Akashi-kun,"ucap Yuna sambil menyiku lengan Akashi. Yang disikut hanya bisa tersenyum menahan tawa karena tingkah Yuna.

"Hmm, lain kali kita makan bersama mereka saja. Tapi kamu juga harus bawa bekal lho,"ucap Akashi sambil nyengir pelan.

"Un, ngga masalah kalau itu maumu,"sahut Yuna tersenyum pada Akashi. Akashi menoleh padanya dan membalas senyum pada Yuna. "Janji ya?"tanya Yuna sambil mengangkat kepalan tangannya.

Akashi terbelalak saat melihat kepalan tangan itu. Itu mengingatkannya pada seseorang yang mirip dengannya. Akashi terhenti di jalan sambil memandang kepalan tangan milik Yuna.

"Untuk apa?"

"Eh, ah, maaf! Aku reflek melakukannya. Maaf, kebiasaan waktu dulu sih, haha,"ucap Yuna panik sambil menyembunyikan kepalan tangannya.

"Oh, aku mengerti. Nih,"ucap Akashi kini mengangkat kepalan tangannya pada Yuna.

"Eh? Apa tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa,"jawab Akashi sambl tersenyum simpul.

"Baiklah kalau begitu,"

Yuna pun mengangkat kepalan tangan kanannya dan membalas kepalan tangan kiri Akashi.

'Bagian ini pun mirip 'dengannya' dulu,'batin Akashi.

~Same~

To be continued...

Mind to RnR?